WAKTU

JEDA

Kamis, 27 Desember 2012

AIRMATA

Airmata*)


Obama membacakan nama 26 korban tewas dalam tragedi penembakan brutal di SD Sandy Hook, Connecticut, AS, sebelum memulai pidato belasungkawanya. Korban-korban itu adalah 20 anak dan enam orang dewasa. Suaranya lirih dan bergetar menahan kesedihan. Berkali-kali tangannya mengusap matanya yang terus berkaca-kaca. Kontan isak tangis peserta yang kebanyakan keluarga korban dan masyarakat sekitar membuncah, memenuhi ruangan tempat upacara peringatan tragedi penembakan massal digelar minggu malam 16 Desember 2012 itu.

 ”Kita tak bisa mentoleransi lagi. Tragedi-tragedi ini harus diakhiri. Dan saya bersumpah akan menggunakan semua kekuasaan saya untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi. Sudah saatnya kita berubah” janji Presiden Amerika peraih nobel perdamaian tahun 2009 itu.

Memang tak ada yang menduga hari Jum’at 14 Desember 2012 bakal menjadi hari berdarah di SD Sandy Hook, Connecticut, AS. Pada pagi yang dingin itu, tepatnya pukul 09.30 waktu setempat, kegiatan berlangsung seperti biasa. Melalui pengeras suara, terdengar seorang guru membacakan ikrar kesetiaan. Kemudian mengumumkan bahwa makan siang di kantin adalah pizza dan brokoli.

Tapi lima belas menit kemudian, Adam Lanza, remaja berusia 20 tahun yang diduga mengalami gangguan jiwa itu mendobrak pintu utama sekolah dengan dua senjata berpeluru lengkap. Sebelum mendatangi sekolah tempat Ibunya mengajar itu, Lanza terlebih dahulu telah membunuh Ibunya. Menembaknya tiga kali di wajah saat tidur di kamar tengah.

Ia kemudian memberondongkan senapan serbu jenis Bushmaster 233 milik ibunya secara membabibuta. Kaca-kaca ruangan pecah. Kertas-kertas berhamburan ke tanah. Teriakan minta tolong membuncah. Murid-murid  belia dan para guru berlarian mencari perlindungan. Korban-korban berjatuhan. Begitu suara sirene polisi mendekat, Lanza menghentikan aksinya. Terdiam. Meletakkan senapannya. Lalu mengambil pistol yang terselip di celananya. Dan; dor! Ia menembak kepalanya sendiri.

Penembakan brutal itu bukanlah yang pertama terjadi di negeri Paman Sam. Sejak tahun 1966, tercatat ada 10 penembakan terbesar yang terjadi di sekolah atau kampus yang memakan korban jiwa. Dan sebagian besar pelakunya bunuh diri.

Obama menangis. Amerika berduka. Bendera setengah tiang dinaikkan sebagai tanda kesedihan nasional. Kesedihan ‘dunia.’ Tak urung Presiden Israel Shimon Perres dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu turut mengucapkan belangsungkawa atas tragedi itu. ”Kami di Israel turut berdukacita,” tulis keduanya dalam surat yang dilayangkan ke Amerika. Pemerintah Jepang melalui Perdana Menterinya, Yoshihiko Noda, juga menyampaikan hal serupa.

Sebagai manusia waras kita juga berhak menangis atas tragedi itu. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Anak Semua Bangsa; ”Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana.”

“Tapi kita juga harus adil sejak dalam pikiran. Apalagi dalam perbuatan” Tulis Satu-satunya Sastrawan yang namanya jadi kandidat Nobel Sastra dunia itu di Novel Bumi Manusia. Ya. Aimata Amerika seringkali airmata berwajah ganda. Di satu sisi ia gampang mencair atas sebuah tragedi kemanusiaan yang menimpa bangsanya. Tapi di sisi lain kesedihan itu beku dan membisu pada tragedi kemanusiaan yang lain. Memang airmata karena iba dan airmata buaya begitu tipis bedanya.

Obama tak meneteskan airmata ketika tentara-tentara AS yang dikirim melalui bendera NATO ke Afganistan menyerang penduduk sipil, terutama perempuan dan anak-anak. Dari berbagai serangan tersebut ratusan anak-anak Afganistan tewas. Presiden AS yang pernah bersekolah di Indonesia itu juga tak merasa perlu berbelasungkawa atau mengibarkan bendera setengah tiang kala Israel menyerang Palestina dan menewaskan anak-anak tak berdosa. Sementara penduduk Afganistan dan Palestina terus mengutuk serangan-serangan yang melibatkan AS di dalamnya.

”Perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa” kata sastrawan kelahiran Cekoslowakia, Milan Kundera. Dan airmata boleh jadi adalah salah satu cara mengingat segala penindasan. Mengenang segala kebengisan kekuasaan yang menikamkan belatinya ke jantung kemanusiaan. Di manapun.

Barangkali kita, di Indonesia, beruntung karena masyarakat sipil tak gampang memiliki dan menyimpan senjata secara legal. Kita mungkin tak akan pernah mengalami tragedi kemanusiaan seperti yang menimpa SD Sandy Hook, Connecticut, AS.

Tapi kita seringkali menangis karena suatu hal yang mubazir. Kita gampang menangis kala menonton sinetron yang melankolis. Tapi airmata tak jua jatuh melihat penggusuran pemukiman kumuh, penggusuran masyarakat adat yang mempertahankan hutan dan tanahnya dengan darah dan airmata kala berhadapan dengan alat negara dengan moncong senapan mengarah ke dada. Kita menangis melihat selebritis menangis dalam doa-doa, tapi kita tak menangis ketika rakyat tak berdaya digulung perusahaan-perusahaan tambang yang bengis.

Manusia menangis bukan karena lemah. Tapi karena ada perasaan sakit yang tak bisa diobati kecuali dengan airmata. Begitu kata petuah bijak. Kita berhak menangis ketika tangan tak sanggup mengepal dan melawan. Meskipun itu selemah-lemahnya iman perjuangan. Ironisnya, kita barangkali terlalu kebal dengan rasa sakit. Karena itu kita pelit mengeluarkan airmata pada penindasan yang sebenarnya terjadi di sekeliling kita.

Maka ijinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah cerita fakta dari dusun Aramiah, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur. Pada Kamis sore, 6 September 2012, Seorang gadis bernama Putri Erlina, 16 tahun, dengan tangan gemetar meraih seutas tali, mengalungkan ke lehernya. Dan wuts, nafasnya tertahan di lehernya. Kakinya menendang-nendang udara. Bibirnya mulai membiru. Beberapa menit kemudian nyawanya terpisah dari raganya.

Alasan Putri menghabisi nyawanya sendiri karena terlanjur malu. Ia terjaring razia petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariah)  pada 3 September 2012. Ia dituduh melanggar perda Syariah, menjadi pelacur. Tuduhan yang ‘membunuh’ harga diri perempuan manapun yang tak pernah merasa melakoni profesi itu.

Sebelum menyerahkan nyawanya sendiri pada el maut, ia menulis surat pada Ayahnya. Isinya pengakuan dengan larik yang memedihkan. ”Ayah…maafin Putri.  Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani sumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu Putri Cuma mau nonton keyboard di Langsa. Terus Putri duduk di lapangan, begadang sama kawan-kawan Putri…’’ Yusrin, Ayah Putri, menemukan surat itu tak jauh dari jasad putri yang menggelantung.

Putri adalah salah satu dari sekian banyak remaja dan anak-anak yang jadi korban kekuasaan yang congkak di negeri ini. Dan tak pernah ada airmata bagi mereka yang kalah. Tak pernah ada bendera setengah tiang dari negara atas kematian mereka yang lungrah dihujam meriam kekuasaan yang pongah. Kita hanya mengenangnya sebagai berita. Tak lebih. Tak ada airmata. Apalagi pembelaan dan perlawanan. Juga isak sedih. Kebanyakan masyarakat kelas menengah Kita—meminjam terminologi Eric Fromm—barangkali adalah masyarakat yang sakit jiwa.(*)

*) dimuat di Detik.com : http://news.detik.com/read/2012/12/26/123142/2126830/471/airmata-obama-dan-kita

Kamis, 20 Desember 2012

Membaca Hegemoni dan Politik Media*)


Membaca Hegemoni dan Politik Media*)

Saya akan mengawali tulisan ini dengan cerita fakta dari negeri Paman Sam. Pada bulan Mei 1986, publik Amerika dikejutkan dengan terbitnya sebuah buku memoir yang ditulis Armando Valladeres, seorang bekas tawanan Kuba yang baru saja dibebaskan. Berdasarkan ulasan buku yang dilansir media seperti Washington Post dan New York Times secara berulang-ulang, buku tersebut dianggap sebagai buku yang membangkitkan inspirasi karena menceritakan tentang kebiadaban sebuah penjara di negeri sosialis di mana Fidel Castro berkuasa. ”Inilah laporan tentang sebuah sistem penyiksaan dan pemenjaraan yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan Castro untuk menghukum dan memusnahkan musuh-musuh politiknya” demikian media menjelaskan isi dari memoir tersebut.

Dan dengan cepat, buku tersebut menjadi sensasi di berbagai media. Menjadi pembicaraan publik Amerika hingga membuat gedung putih merasa perlu bereaksi atas pemberitaan media soal memoir tersebut. Apa reaksi gedung putih? Pada sebuah upacara di gedung putih yang disebut Hari Hak Asasi Manusia, tulis Noam Chomsky, Velladeres dipilih oleh Ronald Regan sebagai wakil Amerika di Komisi Hak Asasi Manusia PBB karena ketegarannya melewati horor dan sadisme yang dilakukan tiran Kuba yang kejam. Hal itu dilakukan tak lain karena Kuba adalah musuh bebuyutan Amerika. Dan penunjukkan Velladeres bisa menjadi alat cuci tangan AS terhadap kekejaman yang dilakukan pada masyarakat El Savador dan Guatemala saat mendirikan negara ‘boneka’nya.

Sementara itu, di bulan yang sama, Noam Chomsky melanjutkan, beberapa anggota kelompok HAM El Savador yang selamat—beberapa pimpinannya telah dibunuh—tertangkap dan disiksa, termasuk direkturnya, Anaya. Mereka dibawa ke sebuah penjara yang bernama La Esperensa (harapan). Mereka disiksa dengan keji; mulai dari pemukulan hingga sengatan listrik. Tapi penyiksaan tak menyurutkan perjuangan mereka. Sebaliknya, karena sebagian besar dari mereka adalah pengacara, perlawanan terus dilakukan. Salah satunya dengan mengumpulkan tanda tangan persetujuan bukti tentang adanya penyiksaan tersebut. Hasilnya, dari 432 narapida di La Esperensa mereka berhasil mengumpulkan 430 tanda tangan di bawah sumpah tentang adanya penyiksaan yang mereka alami. Termasuk penyiksaan yang dilakukan oleh seorang Mayor Amerika yang mengenakan seragam dan dijelaskan dengan tambahan beberapa detail.

Pengakuan tersumpah yang tebalnya 160 halaman itu berhasil diselundupkan ke luar penjara dan disebarkan oleh satgas antar agama di Marin Country. Apa yang terjadi? Tidak ada media dan stasiun televisi yang mau meliputnya. Apalagi melakukan investigasi. ”Memang ada sebuah artikel yang ditulis dan dimuat koran lokal di Martin Country, San Fransisco Examiner, tapi setelah itu tak ada lagi. Tak ada yang mau menyentuh persoalan ini” tulis Noam Chomsky.

Dan tak ada penghargaan apa-apa yang diperoleh Anaya. Pemerintah Amerika tidak menunjuk Anaya mewakili Komisi HAM di organisasi internasional manapun seperti yang diberikan pada Armando Valladeres. Sebaliknya justru tragedi menimpa Anaya. Dia dibebaskan dalam sebuah pertukaran napi dan kemudian dibunuh oleh kesatuan rahasia Amerika. Tak ada yang mempertanyakan kelanjutan laporan Anaya. Juga media. Laporan Anaya tentang kekejaman penjara El Savador dan Guatemala di mana Amerika berhasil mendirikan negara “boneka” di sana hilang tertindih oleh isu-isu lain.

Apa yang bisa ditarik dari cerita di atas di tengah makin menjamurnya media baru baik cetak maupun online di Indonesia? Mungkin masyarakat mempunyai beragam pilihan bacaan atas tafsiran media (dengan awak reporternya di lapangan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tapi perlu diingat bahwa media juga mempunyai peran besar dalam mengontrol opini publik berdasarkan tafsirannya atas peristiwa. Bukankah pemberitaan yang dilakukan media Amerika seperti diawal tulisan ini juga kerap terjadi di negeri ini? Pada medio 2009 publik Indonesia dikejutkan dengan peristiwa yang menimpa Manohara Odelia Pinot, seorang model Indonesia yang mendapatkan KDRT oleh suaminya, Pangeran Kerajaan Kelantan, Malaysia, Muhammad Fakhry. Media massa di Indonesia memberitakannya dengan detail. Sontak Manohara mendapatkan perhatian publik. Dan pemberitaan media pula yang mendorong pemerintah (melalui Kementerian Perempuan) memperjuangkan “nasib” Manohara. Tapi berbeda misalnya pemberitaan media mengenai kasus TKW dan TKI di Malaysia yang mendapatkan perlakukan keji dari majikannya. Media tak sanggup mendorong pemerintah menuntaskan banyak kasus TKI dan TKW yang meninggal secara tak wajar di negeri Jiran, misalnya. Dalam kasus lain misalnya, kasus penghilangan paksa aktivis-aktivis pada medio 1996-1997 yang dilakukan negara melalui kopassus dengan tim mawarnya juga tak mendapatkan berita serius dari media massa. Siapa dalang dibalik penghilangan paksa itu juga belum terungkap hingga sekarang. Sebuah ironi sebenarnya ditengah menjamurnya media massa cetak dan elektronik di negeri ini.

Itulah mengapa diperlukan sikap kritis atas maraknya kemunculan media massa baik cetak maupun online yang bak jamur di musim hujan. Sikap kritis tersebut diperlukan karena tidak ada pemberitaan yang ‘bersih’ di media manapun. Kita tak bisa sepenuhnya percaya pemberitaan media. Setiap media punya sikap politik dan ekonominya sendiri-sendiri. Kisah soal Armando Valladeres dan Herbert Anaya diawal tulisan ini bisa dilakukan media manapun dalam bentuknya yang lain.  Tentu saja kita tak menginginkan itu terjadi. Ataukah memang tengah terjadi dan terus terjadi juga di negeri ini? Entahlah.

Tapi saya punya pengalaman untuk menutup tulisan ini. Pada awal 2006 saya meliput demo besar buruh di depan kantor Gubernur Jatim yang menuntut soal UMR. Saya mewancarai aktivis dari FNPBI dan PRD Jatim sebagai perwakilan ‘suara’ buruh. Ketika hasil liputan itu saya serahkan ke redaktur, tiba-tiba saya dipanggil.

”Ganti narasumbermu. Bos tidak suka komentar dari PRD dan sejenisnya.” Kata redaktur saya. Malam itu saya pontang-panting mencari narasumber lain dari serikat buruh. Beruntung ada kawan reporter dari media lain yang baik hati mau membantu saya membagi hasil wawancaranya dengan perwakilan serikat buruh yang moderat.  Esoknya, berita saya turun. Dan komentar dari perwakilan FNPBI dan PRD Jatim tak muncul. Diganti dengan komentar dari serikat buruh yang saya dapat dari kawan saya itu. Nah!

*) Tulisan ini dimuat di Harian Radar Surabaya, 09 Desember 2012

Kamis, 13 Desember 2012

Membaca Sastra Indonesia Hitam Putih

Membaca Boemipoetra, Membaca Sastra Indonesia Hitam Putih*)

Judul                : Djoenal Boemipoetra
Penulis              : Wowok Hesti Prabowo, dkk
Penerbit            : Boemipoetra, Tangerang
Cetakan           : I, November 2012
Halaman           : 272 halaman



Jurnal itu cuma sekedar corat-coret di toilet. Begitulah kira-kira komentar Goenawan Mohammad (GM) ketika menanggapi terbitnya Djoernal Boemipoetra (selanjutnya disingkat BP). Malah saking tak bergunanya BP di mata penyair yang juga pernah jadi pemimpin redaksi Majalah Tempo itu, ia sempat meramalkan, dalam sebuah wawancara, bahwa BP tak akan bertahan lebih dari enam bulan.

Tapi ‘’ramalan’’ salah satu penandatangan manifes kebudayaan (manikebu) itu keliru sama sekali. BP terus terbit. Dicetak 1000 eksemplar tiap edisinya, meski dananya berdasarkan patungan antar redakturnya dan hasil sumbangan dari sukarelawan. Bahkan pada Oktober 2011 lalu BP memasuki usianya yang genap lima tahun.

Nah, buku ini adalah salah satu bentuk perayaan awak redaksi BP. Jurnal BP yang bertebaran selama lima tahun itu dikumpulkan ulang kemudian dijadikan buku. Tujuannya sebagai pelajaran bagi kesusastraan Indonesia bahwa di mana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menentangnya. Tidak untuk menjadi pahlawan atau pecundang. Yang terpenting dari perlawanan adalah mengangkat bendera tinggi-tinggi. Pena dilesatkan.

Lalu apa yang membuat GM memandang rendah BP hingga menganggap isinya sekedar corat-coret di toilet? Kalau membaca pengantar di cover belakang buku ini ( yang diambil dari “tajuk rencana” BP edisi kedua 2007) kita akan mengerti mengapa GM memandang sinis BP. Sebab BP tanpa tedeng aling-aling menuding GM sebagai pecundang bangsa, penipu rakyat dan pelacur budaya.

Buktinya? Pertama, GM yang selama ini mencitrakan dirinya sebagai orang yang pro demokrasi ternyata prilakunya sangat anti demokrasi. Contoh kongkretnya adalah kasus DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Nyaris hampir semua pengurus DKJ adalah orang-orang KUK ( Komunitas Utan Kayu) yang dipilih dengan cara amat tidak demokratis.

Kedua, GM yang selama ini mencitrakan dirinya pro-rakyat nyatanya tidak berpihak pada rakyat. Ia dan antek-anteknya secara nyata mengiklankan dirinya mendukung kenaikan BBM melalui iklan sehalaman penuh di berbagai koran nasional. Mereka dibiayai Freedom Institute milik keluarga Bakrie yang kini menenggelamkan Sidoarjo dengaan lumpur lapindo.

Ketiga, alih-alih menghargai keberagaman, justru ia dan antek-anteknya memaksakan keseragaman pikiran dan nilai-nilai barat yang diimpornya ke dalam kebudayaan Indonesia. Termasuk upayanya menyeragamkan warna kesusastraan Indonesia dengan sastra kelaminnya.

Bukan hanya GM yang diserang oleh BP. Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Salihara, dua ‘lembaga’ yang menjadi wadah kesenian yang didirikan GM juga tak luput dari tajam pena BP. Termasuk juga karya yang dikeluarkan anggota komunitas tersebut. Kritik sastra dan sastra kritik dilancarkan BP baik melalui esai-esai, cerpen, dan puisi. Misalnya esai yang ditulis kritikus sastra Indonesia asal Jerman, Katrin Bandel, berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” ( BP edisi Mei-Juni 2008), atau esai “Seksualitas dalam Sastra Indonesia” untuk mengkritik Novel Saman karya Ayu Utami (BP edisi Januari-Maret 2010).

Apa reaksi mereka yang dituduh BP secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling itu? Seorang Sitok Srengenge dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa BP hanya berisi fitnah belaka. Tapi salah seorang redaktur BP yang dikenal sebagai presiden penyair buruh, Wowok H Prabowo, justru menantang balik Sitok. ”Jika benar ada isi BP fitnah, silahkan tunjuk tulisan mana yang berisi fitnah. Bila perlu melalui jalur hukum” tulis peraih penghargaan Yin Hua tahun 2001 itu di BP edisi Agustus-Oktober 2011.

Tantangan Wowok terhadap Sitok menunjukkan bahwa BP tidak digarap main-main dan asal-asalan untuk sekedar meraih popularitas dalam jagad sastra Indonesia. Banyak sastrawan ternama yang menjadi kontributor di BP. Mulai dari D. Zawawi Imron, Katrin Bandel, Beni Setia, Kusprihyanto Namma, Saut Situmorang, Ahmadun Y. Herfanda, untuk sekedar menyebut beberapa nama. Dengan lain kata tudingan GM bahwa BP sekedar corat-coret di toilet makin menunjukkan bahwa komentar penulis catatan pinggir itu hanya sekedar asal bunyi belaka. Sulit dibantah misalnya, esai-esai Katrin Bandel dalam BP sekedar corat-coret di toilet belaka, meskipun beberapa tulisan istri Saut Situmorang itu di BP itu sebelumnya pernah juga diterbitkan dalam buku kumpulan esainya ”Sastra, Perempuan dan Seks” oleh penerbit Jalasutra tahun 2006 silam.

Nyatanya bukan hanya GM dan antek-anteknya di KUK dan Salihara saja yang diserang BP. Taufiq Ismail dan Seno Gumira Adjidarma juga tak luput dibahas BP. Pasalnya, keduanya terlibat kasus plagiasi. Taufiq Ismail diduga kuat melakukan plagiasi dalam puisinya berjudul “Kerendahan Hati” atas puisi salah satu penyair Amerika, Douglas Malloch (May 5, 1877 – July 2, 1938). Sedangkan Seno Gumira Adjidarma diduga kuat melakukan plagiasi atas cerpen Tiga pertama karya sastrawan legendaris Rusia, Leo Tolstoy, dalam cerpennya berjudul “Dodolitdodolitdodolibret. Ironisnya, cerpen penulis buku kumpulan cerpen “Saksi Mata” yang juga peraih SEA Write Awars itu justru mendapatkan anugerah cerpen terbaik pilihan Kompas 2010. (BP, edisi Januari-Juni 2011).

Karena itu, bagi mereka yang ingin tahun perkembangan sastra Indonesia dengan berbagai intrik politik yang terjadi di dalamnya selama lima tahun silam buku setebal 272 halaman ini layak dibaca. Dalam buku ini kita diajak membuka mata lebar-lebar bahwa sastra bukanlah dunia suci yang turun dari kepala dewa-dewa langit. Sastra adalah produk kebudayaan. Sebagai sebuah produk kebudayaan sastra tidaklah netral. Disamping itu, buku ini penting bagi mereka (terutama sastrawan di daerah yang mengtahui hiruk-pikuk sastra “nasional” dari media mainstream) yang memitoskan sastrawan KUK dan Salihara sebagai ‘dewa’ sastra untuk menata ulang pikirannya tentang mitos-mitos yang telah disebarkan melalui media massa.

Dibandingkan buku lain buku BP ini ”unik”. Selain tidak dilengkapi halaman (karena sekedar mengkliping 22 edisi BP selama lima tahun), buku ini juga terbilang besar; 21 x 29,5 cm. Pembaca akan membaca versi asli BP yang dibeberapa edisi masih banyak typo di sana-sini. Meski begitu hal tersebut tak mengurangi manfaat buku ini. Hanya saja buku ini tidak dijual bebas di toko buku di Indonesia. Mereka yang berminat harus memesannya lewat akun twitter @indiebookcorner atau melalui situs www.bukuindie.com yang kabarnya saat meluncurkan buku BP ini situs tersebut diserang hacker. Meski demikian, buku tersebut telah melanglang buana ke benua eropa (Belanda, Jerman dan Prancis) dibawa salah satu redaktur BP, Saut Situmorang, dalam perjalanan sastranya pada akhir November 2012 lalu.

*) Tulisan ini dimuat di KORAN MADURA, 13 Desember 2012 [ http://issuu.com/koranmadura/docs/koran_madura ]

TIGA PUISIKU

TIGA PUISIKU*)

Malam Palestina

 

malammu, Palestina
malam batu batu
malam keringat
dalam angin menderu

malam yang terbit dari pusarmu
malam seribu peluru
mendesing dan mendesing
menembus padang udara
padang kabut hati kita
yang sobek dan terluka

o, dingin yang jatuh
udara bergema
aroma kiamat
dalam kamar tidur kita

anak-anak gamang membaca peta
angin tiada
lalu cinta
meledakkan dirinya

malammu, Palestina
malam batu-batu. Malam tanah
malam api. Malam lolongan
seperti badai hantu padang pasir
memanggilKu



------

Pada N
ulang tahun kita adalah sebuah dunia yang meledak
diantara dua nasib yang berlari
dalam cincin yang disematkan pada jemari

serpihannya menjelma sepasang kursi pelaminan yang sedih
kertas krep yang terluka dan darah di setiap warna doa

"seberapa jauh kita akan berlari dengan kedukaan ini?"

sejauh angin
membawa pinisi ke laut sepi
tempat segala kepedihan
membersihkan diri
lalu sepasang camar keluar dari telapak tangan kita
lalu lautan menjelma sekeping uang logam
dan langit tiba-tiba terbakar!

seekor camar, rubuh!
seekor camar lain menabrakkan tubuhnya
pada karang-karang duka

kita melihatnya dengan tangan bergandengan dan mata terpejam
"Seberapa jauh kita akan melewati semua ini?" engkau kembali bertanya

sejauh cinta mengembalikan dirinya ke dalam cinta
dengan atau tanpa metafora

-----------------

Airmata Anak-Anak Gaza

airmatamu adalah tangis yang melahirkan tank-tank dari rahim perempuan
dan defile tentara putih dari langit

sedih apakah yang hendak kau kabarkan
dari merpati yang terbang sendirian dan hinggap di pelupuk matamu?
"Rudal-rudal terus jatuh. gedung-gedung terus rubuh.
dan kematian adalah udara"

barangkali puisi hanya angin menderu
dari heli apache yang melintas itu
maka kubasuh muka dengan airmatamu
lalu kulihat;
sepasang tangan tengadah ke langit
memanggil hantu-hantu gurun
hantu-hantu laut. Hantu-hantu gunung
Mmmbelah maghrib di matamu
        yang tertidur

airmatamu adalah tangis yang melahirkan tank-tank dari rahim perempuan
dan suara pembebasan terus menderu

sampai hari kebangkitan itu tiba
koral-koral ungu berkerlip dari matamu yang merah
menjelma hamparan gandum sepanjang laut tengah
dan kita berpelukan dengan airmata bahagia


Madura, 2012


*) puisi-puisi diatas dimuat di Harian Radar Surabaya, 09 Desember 2012

Jumat, 07 Desember 2012

Buku Dunia Tanpa Hak Cipta


Perang Melawan Hak Cipta*)
Oleh: Edy Firmansyah


Judul        : Dunia Tanpa Hak Cipta
Penulis        : Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel
Penerbit    : Insistpress, Yogyakarta
Cetakan    : I, Oktober 2012
Halaman    : xx + 167
Peresensi    : Edy Firmansyah

Airmuka Deni Aryasa, seorang perajin asal Bali, diselimuti kesedihan tiapkali mengenang peristiwa tahun 2008 silam kala ia harus berurusan dengan pengadilan. Ia dituding menjiplak dan menyebarluaskan salah satu motif fleur atau bunga milik perusahaan perak asal Kanada, PT Karya Tangan Indah. Dalam sidang yang berlangsung pada medio September 2008 lalu itu, ia dituntut dua tahun penjara. Bahkan Deni sempat ditahan selama 40 hari di LP Kerobokan Bali. Dan sempat pula menjalani tahanan rumah. “Saya mungkin satu-satunya orang yang dituntut melanggar hak cipta yang pernah ditahan selama 40 hari,” kenang Deni Aryasa.

 Padahal motif itu adalah salah satu motif tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif serupa dapat ditemui di hampir seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah, ukiran-ukiran Bali, bahkan dapat ditemui sebagai motif pada sanggah atau tempat persembahyangan umat Hindu di Bali.

Ironisnya, motif tradisional Bali ini ternyata dipatenkan pihak asing di Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Republik Indonesia pada tahun 2006 dengan nomor 030376. Pada surat keputusan Ditjen Haki, tertulis pencipta motif fleur adalah Guy Rainier Gabriel Bedarida, warga Prancis yang bermukim di Bali. Sedangkan pemegang hak cipta adalah PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada, John Hardy.

Tak hanya itu saja. Malah, motif fleur ini juga telah dipatenkan di Amerika Serikat. Sehingga kini perajin perak di Bali yang menggunakan motif sejenis bisa terancam pelanggaran hak cipta pula. Berdasarkan catatan Asosiasi Perajin Perak di Bali, sedikitnya terdapat 800 motif perak tradisional Bali yang telah dipatenkan pihak asing di Amerika Serikat.

Selanjutnya baru-baru ini, sekitar November 2012, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) mengadukan bisnis karaoke penyanyi dangdut, Inul Daratista, yang bernama Inul Vizta, ke pengadilan. YKCI menuding Bisnis karaoke penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya itu melanggar aturan pengelolaan hak cipta yang selama ini digunakan untuk kepentingan bisnisnya.

Menurut YKCI, Inul diwajibkan menyetorkan dana sebesar Rp 21 juta per tahun untuk pembayaran royalti dari lagu-lagu musisi Indonesia yang dipakai untuk kepentingan bisnis karaokenya. Kenyataannya, Inul hanya membayar Rp 3,5 juta per tahun. Sementara itu Inul mengatakan bahwa ia sudah memenuhi tanggung jawabnya. ”Masalahnya ada di manajemen baru YKCI. Sebelumnya kita sudah negosiasi dengan YKCI dan munculnya harga 3,5 juta itu dan kami bayar. Tapi manajemen baru justru ingin mengembalikan tarif lama. Lagipula banyak pencipta lagu yang keluar dari YKCI.” Bantah penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya itu.

Dua contoh di atas merupakan contoh kecil dari banyak korban yang berjatuhan akibat perang soal hak cipta. Dan ke depan perang tersebut bukannya kian reda, malah akan makin santer. Salah satu perang yang mengemuka soal hak cipta adalah perang dua perusahaan teknologi besar asal Amerika dengan Korea Selaran, Apple dan Samsung baru-baru lalu.

Nah, bak “dewa” anti perang hak cipta, sepasang ilmuwan politik dan budaya asal Belanda, Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel datang dengan gagasan cerdas melalui bukunya yang berjudul, Dunia Tanpa Hak Cipta. Tidak dengan jalan berdamai dengan perusahaan hak cipta, melainkan menantang perusahaan hak cipta tersebut. Melalui penelitiannya itu mereka menjelaskan bahwa sebuah karya cipta ketika dia sudah dilabeli dengan hak cipta, pasti akan menimbulkan masalah. Sebab pelabelan hak cipta pada sebuah karya tak lebih dari kepanjangan tangan dari neoliberalisme yang salah satu tujuannya melakukan privatisasi atas sebuah karya.

Sebab menurut Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel ketika sebuah karya telah dilabeli hak cipta, karya tersebut seringkali tidak dimiliki oleh si pencipta, melainkan oleh perusahaan-perusahaan besar, para konglomerat global yang bergerak di bidang kebudayaan. Mereka tidak hanya menguasai produksi atas sebuah karya, tetapi juga distribusi dan pemasaran sebagian besar film, musik, teater, karya sastra, dan seni visual. Perusahaan-perusahaan itulah yang nantinya mengontrol semua jenis karya seni yang layak dan tidak layak muncul dan diapresiasi masyarakat. Alasannya sederhana saja, kebudayaan adalah penghasil uang yang luar biasa. Maka hampir tidak mungkin perusahaan-perusahaan raksasa di bidang budaya itu akan menyerahkan dominasi pasar mereka, baik dalam bentuk material maupun digital.

Di sini logika kelas kembali bermain. Sebagai kepanjangan tangan dari kapitalisme, perusahaan-perusahaan hak cipta itu juga yang akan memukul karya seni yang ‘menyerang’ kemapanan kapitalisme dengan dalih penjiplakan dan pelanggaran hak cipta. Menuding karya seni yang tidak dilabeli dengan hak cipta sebagai karya seni ‘sampah.’ Dan masyarakat sebagai penikmat seni akan semakin dirugikan hak-hak demokrasinya. Karena penilaian mereka kemudian dikontrol dengan ketat oleh perusahaan pelabel hak cipta. Pencipta karya juga setali tiga uang. Dibawah bendera label hak cipta mereka tak lebih hanya sebagai buruh yang diperas proses kreatifnya untuk penumpukan laba perusahaan-perusahaan pemberi stempel hak cipta.

Akhirnya, buku yang edisi bahasa inggrisnya bisa diunduh secara gratis (karena tidak dibatasi hak cipta) di http://networcultures.org/_uploads/tod/TOD4_nocopyright.pdf ini sampai pada kesimpulan menghentikan perang dengan perang melawan hak cipta. Hal tersebut untuk memerdekakan para pekerja seni menjual karya mereka dan mendapatkan penghidupan yang layak, tanpa ada lagi dominasi di pasar yang mendesak mereka tersingkir dari mata dan telinga publik; bagaimana masyarakat bisa bebas memilih berbagai jenis ekspresi seni sesuai cita rasa mereka sendiri; dan bagaimana ranah publik dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas seni tidak lagi diprivatisasi, tapi jadi milik bersama (hal. 154). Sungguh buku yang layak dibaca dan didiskusikan bersama.

*) Resensi ini dimuat di Harian KORAN MADURA, Jum'at 07 Desember 2012 ( Link e-paper: http://issuu.com/koranmadura/docs/madura Hal. 9 )

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Kerani di Sanggar Baca Kita (SBK) Madura. Jurnalis freelance dan pegiat jurnalisme warga. Bisa dihubungi melalui akun twitter : @semut_nungging





Senin, 03 Desember 2012

Madura Dalam Ciuman Pertama

Madura dalam Ciuman Pertama*)
Oleh: Fesha AF


Judul            : CIUMAN PERTAMA
Penulis         : Edy Firmansyah
Penerbit       : Gardu (Yogyakarta)
Cetakan       : I, Juni 2012
Tebal           : 108 Halaman
Peresensi     : Fesha AF

Adalah T.S Eliot yang mengatakan bahwa tidak ada penyair yang menyimpan makna lengkapnya sendiri. Artinya, betapapun seorang penyair adalah seorang individu yang bebas kreatif, ia dan karya-karyanya  dibentuk dan dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya. Baik berupa bahasa yang digunakan, maupun tradisi dan sejarah dimana sang penyair hidup atau menjalani hidupnya. Melalui pengaruh itulah gagasan, cita rasa, ideologi, hasrat dan motif penyair bercampur baur saling mengisi untuk kemudian diolah oleh penyairnya menjadi sebuah karya.

Dalam sudut pandang seperti itulah mestinya antologi puisi “Ciuman Pertama” ( selanjutnya disingkat CP) karya Edy Firmansyah dilihat dan diapresiasi. Sebab baik penyair maupun pembaca tidak bisa lepas dari posisinya dalam struktur sosial masyarakat. Ketika menerima dan membaca sebuah buku puisi, misalnya, seorang pembaca tidak bisa tidak akan menimbang berdasarkan posisinya dalam struktur sosial masyarakat tempat ia tinggal.

Barangkali pembaca menduga dengan membaca judul puisi yang ditulis mantan reporter Jawa Pos ini pembaca akan berkesimpulan bahwa isinya soal cinta picisan. Tapi jika membaca buku puisi yang terdiri dari sekitar 68 puisi barangkali pembaca akan menarik ulang kesimpulannya tersebut. Benar memang beberapa puisi di dalamnya mengambil tema soal cinta. Namun cinta dalam puisi CP bukanlah cinta picisan. Beberapa sajak cinta dalam CP justru merekam kisah cinta masa silam. Yang kini tinggal kenangan. 

Sebagaimana dalam sajak Ciuman Pertama sendiri. Yang sajak lengkapnya terdapat di cover belakang antologi ini. Dalam sajak itu berkisah soal sepasang muda mudi yang saking kasmarannya berciuman di kamar mandi masjid. Untuk ukuran pembaca generasi tua sajak ini jelas sajak yang “nekad” dan “kontroversial.” Jika benar aku lirik memotret soal percintaan muda-mudi di Madura, tempat penyairnya besar. Tapi kalau kita mau lebih jujur pada kenyataan sosial, soal ciuman pertama di kamar mandi masjid itu bukanlah soal yang serius jika dibandingkan dengan dekadensi moral yang terus mendera remaja Madura. Taruhlah contoh prilaku seks bebas, misalnya. Bukankah sudah berkali-kali kita dikejutkan oleh pemberitaan media soal peredaran video seks porno di Madura yang direkam sendiri oleh pelakunya yang juga berasal dari Madura?

Tapi sajak ciuman pertama tidak berhenti di situ saja. Ternyata kejadian ciuman pertama itu sudah 15 tahun lalu terjadi dan dilakukan aku lirik (tokoh orang pertama dalam sajak tersebut). Nyatanya setelah itu kedua pasangan muda-mudi yang pernah berciuman itu bertemu lagi di sebuah warung. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa, karena ada dinding tebal yang memisahkan hasrat birahi keduanya. Itu karena aku lirik dalam sajak itu sudah beristri. Bisa kita lihat disini, betapa setianya aku lirik dalam sajak ciuman pertama itu. Bukankah cinta yang paripurna adalah cinta yang setia. Itulah mengapa kesetiaan cinta selalu jadi abadi dalam karya sastra. Mulai dari Romeo dan Juliet-nya Shakespeare, cerita legenda Sampek Engtay di Cina, hingga kisah cinta klasik seribu satu malam. 

Atau barangkali sajak ciuman pertama merupakan sebuah permainan ironi yang hendak didesakkan penyairnya melihat realitas sosial di Madura di mana banyak pejabat-pejabat yang berumur justru masih doyan selingkuh, memelihara dan menumpuk-numpuk istri muda dengan menerabas dinding tebal hati ( metafor dari nurani ) sehingga ‘rela’ menghancurkan jati dirinya sebagai manusia? Entahlah.

     Nyatanya tidak hanya soal percintaan saja yang digarap penyair Edy. Madura sebagai tanah kelahirannya tak lepas dipotret dengan apik dalam buku puisi CP. Namun berbeda dengan penyair Madura lainnya, Madura dalam pandangan Edy Firmansyah justru penuh dengan kepedihan seperti misalnya dalam sajak berjudul “Melintasi Pesisir Pantai Camplong.” Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Madura kini punya akronim baru selain madu dan darah, yakni madunya Negara. Sederhana saja, sebab saat ini sumber daya alam berupa, minyak dan gas di tanah madura tengah dieksplorasi dengan giatnya. Tapi di tengah-tengah maraknya eksplorasi minyak dan gas di tanah garam ini rakyat Madura masihlah rakyat yang miskin. Petani dan nelayan terus berhadapan dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, bahan bakar minyak (BBM) yang terus dicabut subsidinya dan mahalnya biaya kesehatan. Seperti dalam bait “Melintasi Pesisir Pantai Camplong.”: O, ada mata kilang di laju kapal/mengebor dasar laut paling dalam/lautmu/laut yang jadi nadimu/sebentar lagi tak lagi milikmu// Dan yang tersisa hanya segenggam kepedihan seperti kucing yang terluka/dan pada layar sampanmu/angin kematian terus menyapa//

    Selain sajak “Melintasi Pesisir Pantai Campling” saja yang memotret soal kepedihan yang dialami masyakarat marjinal di Madura ditengah keeksotisan dan kekayaan alam Madura yang maha besar. Sajak-sajak seperti; “Madura,” “Ketika di Gardu Tua Blega,” “Di Kilometer 20,” “Tanahku,” “Sajak Pagi,” “Sajak Olle Ollang,” “Senja di Suramadu,” “Kampung Patemon,” “Catatan,” “Sajak Sepi,” dan sebagainya merupakan sajak-sajak yang mengangkat tema soal tempat di Madura dengan berbagai kepedihannya. 

    Dengan lain kata meski puisi merupakan imajinasi kreatif dalam proses penciptaan, tetapi di dalamnya terkandung relasi sosial, gagasan, kesadaran dan ideologi pribadi penyairnya dalam hubungannya dengan masyarakat tempat penyairnya tinggal. Dan Edy Firmansyah seperti hendak konsisten dengan pernyataan TS. Elliot diawal tulisan ini dalam menggarap CP. Sebab merupakan tanggung jawab dan tugas pengarang/sastrawan untuk merespon segala yang terjadi dalam realitas masyarakatnya. Dengan demikian puisi jadi punya makna dan berharga dalam kehidupan penyair dan pembacanya. (*)

*) Resensi ini dimuat di Harian RADAR MADURA, Minggu 02 Desember 2012

Tentang Penulis
Fesha AF merupakan nama pena dari Triya Diansyah. Penulis adalah penikmat sastra. Alumni Bahasa Arab STAIN Pamekasan. Tulisan-tulisannya berupa artikel dan puisi dimuat di berbagai media massa baik cetak maupun internet, misalnya: Radar Madura, Surya, Surabaya Post, Pembelajar.com, dsb. Kini bekerja sebagai pedagang buku sastra.