WAKTU

JEDA

Jumat, 29 Mei 2009

Mengkaji Ulang Pelaksanaan UN



Mengkaji Ulang Pelaksanaan UN
Oleh: Edy Firmansyah


Seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini masih saja diwarnai kecurangan. Kecurangan tersebut seakan merata di seluruh tanah air. Ironisnya, justru para guru yang sejatinya merupakan pilar utama pendidikan yang melakukan kecurangan tersebut.

Di Kabupaten Bengkulu Selatan, misalnya, 16 Kepala Sekolah, delapan guru serta Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan dan Olah Raga Bengkulu Selatan ditangkap polisi karena tertangkap basah membocorkan soal UN di Kabupaten Bengkulu Selatan. Di Medan, Sumatera Utara, dugaan kecurangan dalam UN juga terjadi. Pengawas menemukan lembar jawaban di tangan siswa. Akibatnya sebanyak 20 siswa peserta UN dilaporkan ke kepolisian dengan tudingan melakukan kecurangan dalam UN. Menurut pengakuan siswa jawaban itu mereka peroleh dari guru sekolah.

Di Pamekasan, Madura juga tak jauh beda. Peredaran jawaban UN juga marak terjadi. Bahkan Beberapa siswa yang sempat saya tanyai mengaku tak lagi takut tak lulus. Pasalnya, semua mata pelajaran UN sudah ada jawabannya dan dibagikan oleh pihak sekolah melalui sms.

Pertanyaannya mengapa tiap kali pelaksanaan UN selalu saja diwarnai kecurangan? Dimanakah nurani para guru yang sejatinya menjadi ujung tombak penjaga nurani peserta didik? Mengapa para pahlawan tanpa tanda jasa itu tega menjerumuskan para peserta didiknya dengan memberikan jawaban UN, yang artinya mengajari peserta didik berlalu curang dan korup?

Boleh jadi hal tersebut dilakukan karenan jumlah angka ketidaklulusan UN terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 angka ketidaklulusan hampir 15 persen di seluruh Indonesia. Bahkan di Aceh mencapai 50 persen. Pada tahun 2006, sekitar 9 persen siswa SMP gagal lulus UN. Pada tahun 2009 ini, pemerintah kembali menaikkan standar kelulusan UN sebanyak 0,25. Jika tahun lalu peserta UN SMP dan SMA dinyatakan lulus dengan memiliki nilai rata-rata 5,25, maka tahun ini mereka harus memiliki nilai rata-rata 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan.

Sementara itu bobot soal UN tidak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di seluruh tanah air tidak merata. Artinya kebanyakan soal-soal dalam UN masih berdasarkan kualitas pendidikan Jakarta. Sehingga ketika sampai ke tangan siswa di pelosok daerah, mereka kelimpungan ini bisa dilihat dari hasil try-out UN yang selalu jemblok dari tahun ke tahun.

Sementara itu sudah jadi rahasia umum bahwa kelulusan 100% menjadi patokan baku bagi setiap sekolah. Sebab mutu sebuah sekolah selalu dinilai dengan menghitung berapa persen siswa sekolah tersebut yang mampu lulus ujian UN. Bisa dibayangkan, jika dalam satu sekolah hanya ada satu dua orang siswa yang lulus UN jelas masyarakat akan menjustifikasi sekolah itu sebagai sekolah gurem.

Dampaknya citra sekolah menurun dan sekolah akan sepi peminat. Para orang tua tentu saja tak sudi memasukkan anaknya ke sekolah yang angka ketidaklulusan UN-nya tinggi. Dan itu artinya berkurangnya sumber penghasilan bagi guru dan kepala sekolah. Tah hanya itu. Guru dan kepala sekolah bisa mendapatkan ’teguran’ dari Dinas Pendidikan setempat atau Bupati/Walikota jika tidak berhasil meluluskan peserta didiknya hingga 100 persen. Bahkan tidak jarang dari mereka yang dimutasi karena kegagalan tersebut.

Pandangan inilah yang disebut Foucault sebagai The Complex of Power Knowledge. Artinya, negara (mereka yang berkuasa, red) yang memiliki andil untuk mengontrol wacana. Artinya pemerintah yang berhak memberi tafsiran yang terjadi di masyarakat. Sehingga kelanjutannya masyarakat akan terhegemoni dan pada akhirnya secara tak langsung terekam dalam alam bawah sadar dan menjadi rujukan hidup. Sehingga mereka yang berkuasa dapat terus melanggengkan kekuasaannya.

Kaitannya dengan pendidikan adalah, bahwa pendidikan kita masih berorientasi pada pasar. Artinya peserta didik tak lebih sekedar dimaknai sebagai sekrup produksi untuk melanggengkan hegemoni kapitalis. Ini terlihat dengan masih bertumpunya pendidikan kita pada nilai-nilai akademis (kognitif) dan mengesampingkan nilai-nilai (kecerdasan) yang lain Artinya peserta didik yang dianggap berhasil adalah mereka yang mampu memenuhi standar nilai dan aturan baku kurikulum tanpa sekalipun membangkang. Mirip buruh dalam sebuah pabrik. Dan UN adalah tolak ukurnya.

Mengorbankan Siswa
Benar memang dalam pelaksanaan UN juga melibatkan tim independen dan petugas keamanan. Namun entah mengapa baik pengawas, tim independen maupun petugas keamanan justru mandul. Masih saja ditemukannya praktek kecurangan pelaksanaan UN yang dilakukan sejumlah guru di berbagai daerah adalah indikasi betapa pengawas dan tim independen hanyalah sekedar ’pemanis’ atau pelengkap saja dalam pelaksanaan UN. Atau bisa jadi mereka tahu kecurangan itu, tapi diam seribu bahasa.

Dengan kata lain, lewat pelaksanaan UN pendidikan kita gagal menjalankan proses memanusiakan manusia dan mengembangkan potensi manusia muda sehingga mampu menjadi manusia yang mandiri, berpengetahuan luas, bermoral, berjiwa sosial dan beruhani. Pasalnya, anak-anak ’dipaksa’ untuk membenarkan kecurangan sebagai jalan meraih kelulusan. Cara ini juga mendidik anak untuk mencapai tujuannya dengan menghalalkan segala cara. Sekolah yang idealnya menjadi wadah untuk mengajarkan kejujuran, membebaskan diri dari penipuan, kebodohan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) justru menjadi tempat berlangsungnya kebohongan.

Karena itu selama masih dilaksanakan dengan nuansa kecurangan dan rekayasa, maka UN tidak pernah akan menghasilkan siswa berkualitas. Jika UN benar-benar serius dilaksanakan, maka seluruh pihak pendidikan harus melaksanakannya dengan murni hasil kerja siswa. Tanpa manipulasi, tanpa rekayasa. Sehingga bisa dijadikan instrospeksi untuk membenahi sistem pendidikan yang ada selama ini.

Lagipula bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda? Membiarkan siswa belajar menerima kenyataan pahit, berarti mendidik siswa agar kepribadiannya matang ketika dewasa nanti. Banyak contoh kasus para orang terkenal yang hidupnya dimulai dengan kegagalan. Thomas Alfa Edison misalnya. Edison kecil adalah seorang anak yang dianggap bodoh dan lamban dalam mempelajari apa pun? Dia juga dianggap sebagai murid bebal yang sulit diatur. Hampir semasa hidupnya Edison menderita pendengaran lemah. Meski begitu, dia lebih dari sekedar dapat mengatasi hambatan itu dengan kerja kerasnya yang mengagumkan. Ia percaya bahwa kesuksesan itu adalah 10% bakat dan 90% kerja keras.

Tak jauh beda dengan Albert Einstein. Pada masa kecilnya Einstein adalah anak yang bodoh? Einstein belum dapat berbicara sampai ia berusia 4 tahun dan tidak bisa membaca sampai berusia 7 tahun. Gurunya menggambarkan Einstein seorang yang lamban ingatannya dan seorang pengkhayal yang selalu terlena dalam lamunan-lamunan yang tolol. Karena ketololannya Einstein kemudian dikeluarkan dari sekolah tempat ia belajar. Namun vonis bodoh itu tak membuat Einstein patah arang. ia terus berusaha dan belajar. Hasilnya, ketika dewasa Einstein menjadi seorang tokoh yang hebat, terutama dalam bidang ilmu fisika. Ia berjasa karena teori relativitasnya. Einstein terkenal sebagai seorang jenius dengan berbagai penemuan dan penghargaan yang didapatinya.

Karena itu, Sekali lagi, biarkan UN dengan nilai asli siswa. Tanpa harus didongrak dengan cara culas. Biarkan pengalaman menjadi guru yang pahit bagi civitas pendidikan mulai dari birokrat pendidikan, kepala sekolah, guru, orang tua dan siswa. Bukankah tidak lulus bukan berarti dunia telah berakhir? bagaimana menurut anda?


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.




Kamis, 21 Mei 2009

Mengenal Eksotisme Batik Madura

Mengenal Eksotisme Batik Madura



Ketika menyebut Madura, yang terlintas di benak sebagian orang adalah “sangar.” Maklum saja, selain perawakan orang Madura yang rata-rata tirus, gempal, kaku, berkulit legam dengan logat bicara yang temperamental (seperti orang marah), salah satu stereotip miring soal Madura adalah carok. Peristiwa carok di tanah kelahiran Jokotole ini selalu menjadi pembicaraan serius banyak kalangan. Mulai dari orang awam sampai antropolog.

Tapi jangan salah. Tak semua tanah Madura berwarna darah. Sama seperti laut, tak semua laut penuh dengan badai dan gelombang. Jauh di dasar laut yang keras itu, pasti tersimpan mutiara yang tak ternilai Indahnya. Begitu juga Madura.

Madura juga penuh dengan eksotisme. Barangkali yang paling eksotis dari Madura bagi sebagian orang adalah karapan sapi. Tiap kali even karapan sapi piala presiden, tak sedikit turis yang rela turun ke pulau garam ini. Kesenian-kesenian lain seperti daol, saronen, tayup, dan tari-tarian lainnya juga mulai jadi referensi para wisman untuk menjelajahi keunikan Madura. Soal oleh-oleh khas Madura? Tak perlu risau, ada camilan khas Madura dan Batik.

Tapi Tulisan ini tak akan berbicara semua eksotisme Madura. Melainkan hanya akan mengulas panjang lebar soal Batik.

Hingga saat ini batik Madura yang dikenal luas oleh para pelancong adalah Batik Tanjung Bumi, Bangkalan dan Batik Banyumas Pamekasan. Dalam beberapa kali pameran UKM nasional dua jenis batik itu yang paling ditonjolkan. Motif dari kedua batik itu beragam. Bahkan disinyalir bisa mencapai ratusan motif. Mulai dari motif aslinya maupun kombinasi satu sama lain dari motif aslinya. Diantara motif yang banyak dikenal (dan diminati) diantaranya; Sessek, Ramok, Rawan, Carcena, Memba, Panji, Napasir, Katupat, Kembang Pot, Pereng Basa, Truki Melati, dan Okel.

Sebenarnya apa yang membuat Batik Madura mempunyai citra estetik tinggi? Pertama, aroma lilinnya (malan) yang khas. Pasalnya campuran malan batik kerap dicampur dengan Madu. Dengan campuran sari bunga yang dikumpulkan lebah itu, bau karbon yang menyengat pada malan jadi netral. Bahkan baunya jadi unik. Berikutnya, cipratan warnanya yang bukan hanya terkesan sangar tapi juga magis. Warna batik Madura biasanya dididominasi oleh kesan warna yang ‘berani’ (merah, kuning, hijau).

Pemilihan warna itu tentu saja tidak tanpa alasan. Sekedar diketahui, kebudayaan Madura sejatinya adalah titisan kebudayaan Majapahit. Warna merah dipilih karena panji Majapahit adalah warna merah dan putih (itu pula yang menjadi cikal bakal bendera Indonesia). Warna hijau, karena berhubungan dengan religi. Masa kejayaan Majapahit adalah masa kejayaan agama Hindu. Dalam hindu Pepohonan termasuk bagian dari pemujaan terhadap para dewa. Sementara kuning dipilih sebagai pembatisan terhadap bulir-bulir padi sebagai penopang ekonomi masyarakat agraris. Dengan lain kata pemilihan warna itu sebenarnya hendak bercerita tentang akulturasi kebudayaan Majapahit-Madura.

Ketika awal-awal perkembangan batik di zaman Majapahit, motif-motif batik hanya didominasi oleh motif binatang dan tumbuhan. Itu menunjukkan betapa kuatnya spiritualitas Majapahit( baca hindu). Dari kedua motif itu, motif binatang paling banyak diminati dibandingkan tumbuhan. Bahkan motif burung garuda menjadi motif paling sakral karena hanya boleh dipakai oleh tentara Bhayangkara yang dikomandani oleh Patih Gajah Mada.

Awalnya busana batik hanya dikenakan raja, punggawa kerajaan dan tentara majapahit. Namun sering dengan perkembangan waktu serta semakin meningkatnya kemajuan ekonomi kerajaan majapahit, aktivitas membatik dan mengenakan busana batik mulai diikuti masyarakat di sekitar kerajaan. Bahkan dari situpulalah muncul para perajin batik, yang bersanding dengan para perajin keris yang pada masa itu juga tak kalah larisnya. Begitulah, terus menerus hingga kini home industri batik juga mulai merambah di berbagai penjuru hingga akhirnya sampai juga ke tanah Madura. Dan kini juga mulai menggeliat lagi seiring dengan mulai tumbuhnya usaha pariwisata berbasis lokalitas di negeri ini. Tentunya dengan berbagai variasi motif yang beragam.

Satu hal yang tidak bisa disangsikan dari keunikan batik Madura adalah proses pembuatannya. Tradisi membatik di Madura salah satunya yang terkenal dengan Batik Genthongan. Disebut genthongan karena proses pewarnaanya terlebih dahulu direndam dalam wadah mirip gentong. Konon katanya kain direndam selama dua bulan, kemudian lembaran kain batik disikat untuk menghilangkan sisa lilin/malamnya. Proses macam ini, selain untuk membuat warna batik lebih awet, juga memunculkan warna terang dan gelap pada kain batik. Batik Genthongan cukup dikenal luas karena kekuatan warnanya yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Karenanya jangan heran jika batik ini cukup mahal harganya dibandingkan dengan batik biasa. Selain bahan kainnya dipilih yang terbaik, juga pewarnanya menggunakan pewarna alami. Yang diracik dari sari tumbuhan pilihan. Soga alam khas Madura berasal dari Mengkudu dan Tingi untuk menghasilkan warna merah. Hijau berasal dari kulit Mundu ditambah tawas, Daun Tarum digunakan jika ingin memberikan efek warna biru.

Kesemuanya itu diramu oleh tangan-tangan terampil dengan imajinasi seni tingkat tinggi sehingga menghasilkan motif batik yang beragam dan unik, khas pulau Madura. Jadi tidak terlalu berlebihan jika batik Madura menjadi pilihan bagi mereka yang menyukai busana-busana bernuansa etnik tapi tidak kampungan. (Raden Achmad Maghfur/Edy Firmansyah) COPY RIGHT BUTIK MIRABIRUH, JAKARTA.

Rabu, 20 Mei 2009

Titik Nadir Budaya Baca Kita

Dimuat Di RADAR SURABAYA, 18 Mei 2009

(Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei )
Titik Nadir Budaya Baca Kita
Oleh: Edy Firmansyah

Tiap kali memperingati hari buku Nasional yang jatuh setiap tanggal 17 Mei, perbincangan publik yang kerap mengemuka adalah mengenai rendahnya minat baca masyarakat Indonesia . Pemerintah boleh saja gembar-gembor soal angka buta aksara yang terus menurun drastis, tapi soal membaca, kita memang harus mengelus dada.

Apa pasal? Masyarakat kita belum membaca secara benar, yakni membaca untuk memberi makna dalam dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan (Ajidarma; 2005;133).

Bahkan Taufik Ismail sang penyair yang dokter hewan itu menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat kita justru tak pernah menamatkan satu judul buku-pun. Makanya jangan heran jika berdasarkan data Unesco , Indonesia hanya mampu menerbitkan buku sebanyak 0,000009 persen dari total penduduknya. Dengan kata lain, 9 judul buku baru untuk setiap sejuta penduduknya. Hal ini sangat jauh bila dibandingkan dengan rata-rata 55 ( lima puluh lima ) judul buku baru persejuta penduduk bagi Negara berkembang.

Padahal kalau kita mau menilik sejarah awal kebangkitan bangsa ini, minat baca masyarakat kita ternyata tidak separah yang kita bayangkan sekarang. Pada awal kebangkitan nasional minat baca masyarakat juga tak kalah menakjubkan. Douwes Dekker mencatat setidaknya ada 34 majalah terbitan bangsa Indonesia. Dan pada tahun 1923, ketika diadakan survei terhadap ”pers pribumi Hindia Belanda” ternyata jumlah majalah meningkat jadi 107 macam! Bisa dibayangkan betapa tinggi minat baca dan hasrat menulis bangsa kita waktu itu.

Karenanya tak berlebihan jika Eka Budianta, salah satu budayawan negeri ini menyatakan bahwa sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar lewat tulisan. Negeri ini ada dan eksis hingga kini hanya karena secarik kertas proklamasi. Pluralisme bisa tumbuh dan berkembang berkat tiga baris sumpah pemuda; penyelenggaraan negaranya bertumpu pada UUD 1945. Bisa dibayangkan jika semua itu tidak diejawantahkan dalam bentuk tulisan. Mungkin Indonesia kita ini hanya tinggal cerita dongeng belaka.

Nah, yang jadi pertanyaan mengapa budaya membaca kita saat ini merosot drastis bahkan sedang mencapai titik nadir? Ini karena sikap pemerintah yang seringkali paradoks dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat. Benar memang pemerintah gencar melakukan program pemberantasan buta aksara. pemerintah juga kerap memasang slogan-slogan di berbagai pusat keramaian dan sudut kota untuk menumbuhkan minat baca seperti: Budayakan membaca buku, Buku adalah jendela dunia, Biasakan memberi hadiah buku, dan lain sebagainya. Tapi dorongan untuk menumbuhkan minat baca tersebut seringkali kontradiktif.

Mau bukti? Sekitar tahun 1988, tiga pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi. Alasannya sederhana. Mereka memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka kemudian dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun pada usia mereka yang belum genap 30 tahun (1000 Tahun Nusantara, Editor: J.B. Kristanto, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2000; 545–546). Tak hanya itu. Bahkan hingga kini pelarangan terhadap buku karya Pramodya Ananta Toer oleh Jaksa Agung belum juga dicabut.

Padahal Tertalogi Pulau buru (Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) adalah bacaan sejarah wajib bagi pelajar di manca negara untuk mengetahui kehidupan nusantara di era kolonial. Ironisnya, di negerinya sendiri buku berharga itu justru dilarang..

Parahnya lagi, pemerintah juga memangkas anggaran untuk perpustakaan sebagai dampak dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen. Akibatnya, bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat sebesar sektiar Rp. 41 miliar di 33 proponsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga terancam batal. Sedangkan pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya yang sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya. (Kompas, 21/0408).

Padahal perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki perpustakaan yang lengkap dan megah hingga ke pelosok desa. Karena mereka tahu inti peradaban adalah buku. Dan rumah dari buku-buku adalah perpustakaan.

Sejarah telah membuktikan betapa perpustakaan mampu melahirkan orang-orang besar. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Gusdur, tak akan mungkin memiliki pemikiran brilian yang mampu memberikan perspektif baru dalam kemajuan bangsa jika tidak ditunjang oleh buku-buku. Bahkan Eka Budianta , salah seorang budayawan Indonesia, dari kecil sudah biasa nangkring di perpustakaan umum Kota Madya Malang, meskipun harus bersepeda 5 kilometer.

Tapi yang terjadi di negeri ini justru kebalikan dari semua itu. Bukan rahasia umum kalau perpustakaan umum dan daerah yang sudah ada justru tak terurus dan terkesan diterlantarkan. Koleksi bukunya sudah usang, tempat penyimpanan tidak representatif dan nyaris tidak ditemukan buku-buku baru. Toh, meskipun ada buku baru, biasanya buku dengan sampul dan isinya masih mulus (karena tak tersentuh) tapi terbitan lama. Pengunjung setianya pun bisa dihitung dengan jari.

Akibatnya bisa ditebak. Dengan buku-buku yang amat terbatas dan pembaca yang amat terbatas pula kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Hal-hal yang bisa dipelajari atau diketahui dengan cepat lewat pembacaan buku-buku yang lengkap, terpaksa dihubung-hubungkan sendiri dengan pengorbanan energi dan waktu yang tidak sebanding hanya karena kemiskinan buku.(Wahib, 2003;311). Dan jika kondisi semacam ini terus dibiarkan, upaya negeri ini untuk membangkitkan budaya membaca yang kemudian meningkat menjadi budaya menulis sebagai sebuah kekayaan bangsa akan sia-sia belaka.



TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Direktur Eksekutif People Education Care Institute (PECI) Surabaya.