WAKTU

JEDA

Minggu, 30 Maret 2008

Ketika Anak-Anak Menulis Buku (DIMUAT DI SURYA, Senin 24 Maret 2008)


Ketika Anak-Anak Menulis Buku
Oleh: Edy Firmansyah


Dunia karang-mengarang di negeri ini memang Paradoks. Ditengah dunia akademis—yang notabene menjadi garda depan dunia menulis—dicemari oleh prilaku plagiasi, ghost writers, jual beli skripsi, tesis dan desertasi akibat kemalasan literasi, kita justru disuguhi kisah kemunculan penulis cilik di tanah air.

Di toko buku mudah sekali kita jumpai buku karya penulis cilik, semisal, Sri Izzati, yang menulis sejak umur 8 tahun (2003). Novelnya, Kado Buat Ummi, ditulis dengan cukup jernih. Seakan-akan kita tidak sedang membaca Novel karya anak kecil. Kemampuannya dalam mengolah kata-kata itu yang kemudian membuat penerbit DAR Mizan bandung (2007) berani menerbitkan novel keduanya, Powerfull Girl ( www.ruangbaca.com ).

Di samping Sri Izzati, ada penulis cilik lain yang tidak bisa dikesampingkan dalam jagad perbukuan. Misalnya, Quratul Aini, bocah berusia tujuh tahun ini membuat karangan berjudul Nasi Untuk Nenek dan dan Putri Salsa dengan karya My Candy yang ternyata disambut cukup baik oleh pasar.

Fenomena ini tentu saja ’aneh.’ Bukankah ditengah kepungan tayangan televisi dan hiburan serba instan yang disebar kapitalisme cenderung mematikan kemampuan imajinasi dan menciptakan kemalasan untuk berkreasi? Tapi yang terjadi justru ada anak-anak ’ajaib’ ini mampu membebaskan diri dari itu semua. Mereka rela berlama-lama di depan komputer, mengasah imajinasi hingga melahirkan buku.

Sementara itu, kebanyakan para mahasiswa, guru, dosen justru masih berputar- pada budaya instan, tanpa pernah menciptakan satupun karya, baik artikel, esai bahkan buku. Sebenarnya ada apa dengan semua ini?

Setidaknya ada dua tiga hal yang bisa menjelaskan itu semua. Pertama, memang selama ini rendahnya kegiatan kepenulisan dikalangan akademisi di-mahfumi hanya bersumber pada ketidakmampuan seseorang terhadap skill teknis menulis. Misalnya, rendahnya kemampuan bahasa tulis, resam bahasa, tidak memahami kaidah jurnalistik, dan sebagainya. Betul, bisa jadi seseorang kesulitan menulis disebabkan oleh faktor-faktor teknis tersebut, tapi ada satu faktor lagi—dan menurut penulis jauh lebih penting—yaitu faktor nonteknis, berupa keinginan untuk menulis (willingness to write) itu sendiri.

Sebagai human being, setiap manusia mempunyai tiga peranan (role), yaitu sebagai makhluk diri, makhluk organisasi/masyarakat, dan makhluk Tuhan. Oleh Tuhan, manusia diberi sebuah anugerah paling unggul, yakni kebebasan untuk berkehendak yang dalam bahasa Ali Syariaati disebut sebagai free to will atau kebebasan untuk mengungkapkan eksistensi guna memaknai keberadaan diri. Dan anak-anak diatas adalah mereka yang mampu memasuki ranah ini. Dengan keluguan, keceriaan, dan dibalut rasa ingin tahu mereka mengeksplorasi imajinasi mereka menjadi sebuah buku.

Kedua, suasana sosial politik yang melingkupi setiap zaman. Generasi tua adalah generasi yang hidup dalam zaman orde baru. Di zaman tersebut budaya literasi justru ditekan sedemikian rupa. Memang pemerintah waktu itu kerap memasang slogan-slogan di berbagai pusat keramaian dan sudut kota untuk menumbuhkan minat baca seperti: Budayakan membaca buku, Buku adalah jendela dunia, Biasakan memberi hadiah buku, dan lain sebagainya. Tapi dorongan untuk menumbuhkan minat baca tersebut seringkali kontradiktif.

Mau bukti? Sekitar tahun 1988, tiga pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi. Alasannya sederhana. Mereka memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka kemudian dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun pada usia mereka yang belum genap 30 tahun (1000 Tahun Nusantara, Editor: J.B. Kristanto, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2000; 545–546).

Akibatnya, upaya mengeksplorasi imajinasi sebagai bagian dari pengungkapan eksistensi diri masyarakat terpaksa dipendam untuk menghindari tekanan dari pemerintah yang anti terhadap ide-ide baru. Sehingga lambat-laun matilah imajinasi masyarakat. Kondisi ini semakin diperparah dengan tayangan-tayangan televisi berupa sinetron, reality show yang membuat kita semakin malas membaca (apalagi menulis). Nah, kondisi ini masih berlangsung hingga saat ini.
Ketiga, perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Melalui revolusi sistem syaraf canggih bernama internet, anak-anak kini sudah dapat menjelajah keberbagai dunia, membaca pengetahuan-pengetahuan baru, bertemu dengan teman-teman dari berbagai peradaban lain dan berbagi pengalaman. Sehingga curiocity mereka tersalurkan dan imajinasi bisa dieksplorasi hingga ke titik kulminasi. Hasilnya, adalah inovasi-inoasi baru brupa karya-karya dengan bahasa yang jernih.

Tentu dengan mahakarya yang gemilang itu, kita sebagai orang dewasa layak angkat topi. Tapi yang jadi pertanyaan adalah; mengapa itu bisa dilakukan oleh anak-anak? Tidak malukah kita yang terus saja menjadi penonton? Masa kalah dengan anak-anak?***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Penulis Lepas media lokal maupun Nasional.





Minggu, 23 Maret 2008

Puisi-Puisi Koe (Dimuat di HARIAN SURYA, Minggu 23 Maret 2008)


PUISI-PUISI Edy Firmansyah*)



Ketika Rintik Menabuh Gendang Tanah

Pagi tak bisa kaukutuk sunyi
ketika rintik menabuh gendang tanah
basah berkeciprat tanpa henti
sehingga menghanyutkan segala mimpi pada matahari

Jangan kau selimuti bisu dengan amarahmu
karena hujan telah menyuarakan deras hingga ke sudut lamun
dan sekarung sajak ketakutan telah jadi pesta srigala-srigala fajar

Jadi, Percuma sadarmu kau bungkam dengan dangdut atau ska
Karena ia akan mandi dan bergegas menulis puisi

Madura, Februari 2008

---------

Kupikir Kau Menyusui Bulan

Kupikir kau telah menyusui bulan
yang sedari tadi merengek-rengek pada malam
sambil mencambukkan temaram pada traffict light dan halte tua
ketika seluruh kota membisu dalam kegelapan yang menjelaga

nyatanya kau sibuk menyeret-nyeret gerbong-gerbong susu
menuju lingkaran payudara yang menghujamkan puting didadamu

lalu apa yang membikin bulan nyenyak dalam pendar?
seorang laki-laki tua memilin kota menjadi penis berwajah boneka

Madura, Februari 2008
---------

Tentang Puisi

Sudah lama puisi-puisi hidup dalam penjara
berharap kata-kata akan datang membawa gergaji
memutuskan rantai dan jeruji besi keterasingan yang
menjadikan puisi hanya sekedar sabun cuci

tapi mengapa katakata selalu saja membawa kado dengan pita merahmuda
untuk para petugas penjaga?

Sementara aku hanya penyair yang selalu saja kehabisan titik dan koma
Bahkan sebelum tiba di pintu gerbang tandabaca.

Haruskah puisi mati bunuh diri?

Madura, Februari 2008
-----------

Maka Akulah Doa

Maka akulah doa yang terpahat dari batu terkutuk.
Malam jatuh pada suara mantraku
Lalu tumbuh dusundusun tanpa penghuni ketika bulan memilih sabit
Dan kalelawar membangun sarang di gedung pencakar langit


Kudendangkan lagi koor gereja tua
Seperti Isa yang terombang ambing angin diatas tiang bendera
Sayupsayup terdengar suara sangkakala
Dan kematian pun hinggap diujung senyum

Maka aku pun bersiap dibaca ribuan jiwa
hingga tiba di perisitirahatan terakhir
lalu menjelma menjadi bunga hitam di batu nisan

maka akulah doa. Kau percaya?

Madura, Februari 2008
-------

Diam-Diam kau catat Kesunyianmu

Diam-diam kau catat kesunyianmu
Di ujung senja Pantai itu

tak ada lagi kenangan yang tercecer
butiran pasir telah menyimpan jejakmu
pada kantong matahari yang menggantung di retinamu

”mungkin aku bintang jatuh
Yang ingin hidup dalam 1000 harapan,” bisikmu
Mengadop sebait puisi

Diam-diam kau baca lagi kesunyianmu
Hingga kita lupa menghitung hari

Madura, Februari 2008
--------

*) Puisi-puisi ini dimuat di HARIAN SURYA, Minggu 23 Maret 2008


Tentang PENULIS
Edy Firmansyah. Adalah Esai dan Penyair. Pengelola SBK (Sanggar Bermain Kata) Madura. Puisi dan Sajaknya Pernah dimuat di; Harian Kedaulatan Rakyat, Harian SURYA, majalah PRIMA, http://www.cybersastra.net/ dan juga dalam antology puisi bersama ON/OFF “Dian Sastro for Presiden#3” (Insist, 2005).

Kamis, 20 Maret 2008

Hilangnya Pamor Agen Perubahan (Dimuat di KORAN PAK OLES Edisi 149, 15-30 Maret 2008)



Hilangnya Pamor Agen Prubahan
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era
Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Yogyakarta (Ar-Ruzz Media Group)
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 184 Halaman

Kaum muda (baca: Mahasiswa) selalu diperhitungkan keberadaannya oleh sejarah dimanapun. Sebab mahasiswa merupakan variabel penting yang berperan dalam segala proses perubahan. Ini terbukti ketika kita melihat beberapa babakan sejarah, gerakan kaum muda telah memainkan peranan penting menjadi barisan terdepan yang selalu meneriakkan tuntutan atas berbagai perubahan dan keadilan sosial. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat mulai dari berdirinya Budi Oetomo, ikrar sumpah pemuda 1928, hingga yang masih mengemuka saat ini adalah gerakan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru pada tahun 1998. Jadi, merupakan sebuah kewajaran seseorang kemudian bangga menjadi mahasiswa.

Namun yang terjadi saat ini justru kebalikan dari semua itu. Mahasiswa Indonesia tidak lagi bercitra sebagai kaum intelektual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Yang ada justru mahasiswa yang berpikiran prakmatis-oportunistik. Dimana dalam benak mereka menjadi mahasiswa berarti sebuah jalan lempang mendapatkan pekerjaan. Titik. Sehingga ketika ditanya tentang bagaimana dengan nasib masyarakat yang terus didera penderitaan, mulai dari melambungnya harga kebutuhan pokok, pendidikan mahal, kesehatan mahal, hingga fenomena gizi buruk, pengangguran serta kemiskinan yang makin meluas? Jawabannya sungguh menyakitkan. “Persetan dengan mereka semua!”

Parahnya lagi, maraknya berita mengenai keterlibatan mahasiswa dengan narkoba, tawura antar mahasiswa, hingga prilaku sex bebas dikalangan mahasiswa menambah daftar panjang keterpurukan mahasiswa di negeri ini.
Adalah kekuatan kapitalis yang membuat mahasiswa kehilangan pamornya sebagai agen perubahan. Lewat kisah sinetron, opera sabun dan juga acara reality show, misalnya, mahasiswa digambarkan tak lebih sebagai kaum muda yang hanya sibuk mengejar urusan ’cinta’ dan pergaulan saling berburu pasangan dengan dramaturgi yang berlebihan. Dalam kisah sinetron, misalnya, kampus hanya menjadi aktivitas kisah ’cinta sempit’ yang bernama ’pacaran’ dengan warna gaya hidup yang menonjolkan syahwat.

Dengan lain kata, tugas dan peran berat mahasiswa dalam pusaran sejarah sebuah bangsa mulai dikaburkan dan kemudian digantikan dengan citra sebagai segelintir kaum muda yang eksklusif dengan hidup yang penuh suka ria. Sedangkan kampus tak lebih sebagai menara gading kekuasaan pasar (modal) dimana aktivitas mahasiswa hanya berkutat pada kuliah, makan, belanja, kencan dan Seks.

Karenanya sungguh sulit rasanya mencari misalnya; mahasiswa Antrologi yang memiliki cita-cita membuat field work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang mahasiswa sosiologi yang bercita-cita menjadi organisator masyarakat lokal dalam upaya membendung arus induatrialisasi. Atau mahasiswa hukum yang memiliki ide-ide yang sarat rule of law.

Kondisi inilah yang menjadi bahasan utama Buku Nurani Soyomukti ini. Sarjana Sospol Universitas Jember ini menilai apa yang menerpa mahasiswa saat ini sebenarnya mengingkari sejarah. Pasalnya, sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial (Hal.76).
Dengan mengggunakan analisa marxis, Soyomukti mengurai rantai kapitalisme yang membuat mahasiswa kehilangan elan vital dan predikatnya sebagai mahasiswa sejati. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan melakukan penindasan kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan, dan pengetahuan dijauhkan, siapapun akan menjadi rombongan mahkluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai, dan ditindas demi kepentingan segelitir elit (modal) yang memegang kekuasaan (hal. 24).

Nah, jika keadaan ini dibiarkan tentu akan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini. Pasalnya, mahasiswa masih menjadi ujung tombak bagi masa depan, karena ditangan merekalah tongkat estafet bangsa ini disematkan.
Karenanya Soyomukti mengatakan penting untuk segera menancapkan pendidikan multikulturalisme sedini mungkin sebagai dasar pembuatan kebijakan dan cara memandang persoalan. Multikultralisme yang ditawarkan dalam buku ini adalah Multikulturalisme budaya dan ekonomi. Dalam budaya, ketika dihadapkan dengan berbagai macam etnik, agama dan aspek kutral masyarakat yang beragam, pendidikan mampu menciptakan manusia yang menghargai perbedaan. Sedangkan dalam multikuturalisme ekonomi, pendidikan juga harus mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan dan mengentaskan mereka menuju keadilan dan kesejahteraan.
Tanpa itu semua maka mahasiswa akan terus berada dalam kubangan lumpur kapitalisme tanpa pernah tahu bagaimana cara membebaskan diri. Buku yang layak dibaca bukan hanya bagi mereka yang masih menyandang gelar mahasiswa, tetapi bagi mereka yang peduli terhadap masa depan generasi muda.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy)

Minggu, 02 Maret 2008

Nasib Penulis (Muda) Indonesia (Dimuat di Harian SURYA, 1 Maret 2008)

Nasib Penulis (Muda) Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah

Jangan sekali-kali berpikir dapat kaya dengan menjadi penulis di Indonesia. Terlebih bagi para penulis pemula. Sebab menulis di Indonesia belum bisa diandalkan sebagai penghasilan utama.

Taruhlah anda kini telah menyelesaikan sebuah naskah, entah fiksi maupun non fiksi. Kalau anda ‘beruntung’ menemukan penerbit, maka paling banyak buku anda akan dicetak 3000 eksemplar. Dari situ, anda akan memperoleh honorarium 15 persen dari hasil bersih penjualan buku tersebut. Tentu saja setelah dipotong pajak. Honorarium itu tidak bisa diambil sekaligus, melainkan dibayar tiap tiga atau enam bulan sekali. Tergantung banyaknya buku yang terjual. Dalam keadaan biasa hasil penjualan buku tersebut akan menghasilkan uang kurang lebih 200 sampai 300 ribu saja. Dengan uang sebesar itu, dalam kondisi ekonomi yang serba sulit sekarang ini, jelas tidak cukup untuk membiayai istri dan seorang anak.

Belum lagi ketika memperoleh penerbit yang tidak jujur. Yang enggan membayar karya kita dengan berbagai alasan. Biasanya itu dikarenakan buku belum banyak yang laku. Keadaan akan semakin rumit—terutama oleh penulis pemula—manakala berhadapan dengan penerbit yang cenderung “pilih kasih”. Artinya dengan pertimbangan untung rugi, penerbit akan selalu mengutamakan karya dari penulis terkenal daripada karya penulis pemula. Akibatnya karya yang dikirimkan ke penerbit semakin tidak jelas akan diterbitkan atau tidak.
Sehingga jarang sekali ditemukan karya-karya kreatif anak negeri. Kebanyakan karya-karya penulis terkenal yang hanya berupa kumpulan tulisan yang pernah diterbitkan di majalah dan surat kabar. Paling banter hasil penulisan ulang sebuah skripsi atau desertasi. Sebab hasil ekonomis dari menulis tidak ada arti sama sekali.

Berbeda dengan di Negara-negara maju. Profesi penulis sangat dihargai. Buktinya setiap karya tulis yang dihasilkan akan dibayar mahal. Sebuah novel karya penulis pemula, dapat dicetak puluhan ribu, hingga ratusan ribu eksemplar. Apalagi kalau menjadi buku laris. Bahkan seorang penulis kolom pun dapat mengandalkan hidup keluarganya dari profesinya itu. Dengan kondisi demikian penulis, dapat dipacu kreativitasnya agar mampu menghasilkan karya tulis yang benar-benar baru, menarik dan berarti bagi pembacanya.

Makanya jangan heran jika dalam sebuah polling di Amerika mengenai profesi apa yang paling diminati masyarakat; profesi menulis berada diurutan kedua, setelah profesi dokter. Sedangkan profesi yang paling tidak diminati adalah menjadi pegawai negeri dan tentara.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah profesi menulis di sebuah negeri bisa begitu dihargai terkait erat dengan kegemaran membaca di masyarakatnya. Di negera maju kegemaran membaca telah menjadi tradisi panjang. Kegemaran membaca sudah dimulai sejak kanak-kanak. Dan hampir semua kalangan gemar membaca. Sehingga semua waktu luang di Negara maju dihabiskan dengan membaca. Bahkan ketika buang hajat di toilet, mereka tidak lepas dari bahan bacaan.

Karena masyarakat telah terbiasa memperoleh informasi melalui bacaan, maka keragaman jenis bacaan juga berkembang. Ada buku fiksi dan non fiksi., keduanya mempunyai penggemarnya sendiri-sendiri. Sehingga peluang untuk sukses dengan berprofesi menjadi penulis sangat besar.

Berbeda dengan Indonesia. Kebudayaan membaca hanya berkembang pada segelintir golongan yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan; yakni kaum intelektual, pelajar, mahasiswa dan sarjana. Sedangkan mayoritas masyarakat masih berkubang dalam budaya lisan. Kondisi semacam ini masih diperparah dengan prilaku kebanyakan pelajar, mahasiswa dan sarjana yang malas membaca. Mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan hura-hura ketimbang membaca buku. Sehingga semakin sedikitlah orang-orang di negeri ini yang gemar membaca. Makanya, tak heran jika pekerjaan yang paling diminati di negeri ini adalah Pegawai Negeri dan Tentara. Karena kedua pekerjaan itu minim sekali berhubungan dengan bacaan.

Padahal betapa besar manfaatnya jika kita bisa menulis. Baik secara pribadi maupun secara nasional. Hairston dalam Nursisto (2000) mendiskripsikan manfaat menulis untuk diri sendiri, di antaranya sebagai sarana menemukan jati diri, dapat memunculkan ide baru, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Sedangkan dalam sekala nasional menulis adalah tugas idealisme bangsa. Sebuah bangsa tanpa idealisme adalah bangsa yang mekanis dan hedonis. Dan jika kondisi itu dibiarkan maka—mengutip Pramoedya Ananta Toer—negeri ini akan digilas oleh sejarahnya sendiri.***

**Tentang PENULIS
Edy Firmansyah Adalah Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK).