WAKTU

JEDA

Rabu, 27 Januari 2010

Ferrari One 200



Akhirnya saya memutuskan membeli notebook baru. Tepat di awal Desember 2009. Alasannya sederhana. Rumah baru yang kini saya tinggali belum punya listrik sendiri. Rumah saya—dan empat rumah lainnya—masih numpang daya. Masing-masing rumah mendapatkan jatah 250 watt. Menyalakan komputer desktop jelas tidak memungkinkan. Menyalakan rice cooker di malam hari saja listrik langsung padam. Apalagi komputer desktop yang selalu saya nyalakan hampir sepanjang hari. Sementara kerja tidak bisa berhenti.

Setelah tanya sana-sini soal notebook apa yang layak dengan kantong dan aktivitas saya, akhirnya saya memutuskan membeli Ferrari One 200. Sebenarnya ada kawan saya yang menyarankan untuk meminang HP DV3. Namun setelah saya cek harganya, ternyata masih diatas 10 juta (dengan rate dollar kala itu Rp. 9.410 ). Padahal budget saja tidak sampai segitu.

Produk Acer yang diuncurkan pada kwartal ke-III bulan oktober 2009 itu menurutku memang keren. Bukan hanya logo kuda jingkrak khas Ferrari dan warna merah menyala dengan bahan karbon yang bikin saya memilih notebook ini. Namun karena tipis, ringan, cukup elegan serta performanya lumayan bagus. ” Kalau mau gaya tapi performa tidak mengecewakan ya memang Ferrari pilihannya,” begitu saran Joko Intarto, paman saya.

Dengan processor AMD Athlon X2 Dual Core L 310 1,20 Ghz (1Mb L2 cache), memori 2GB (telah saya upgrade jadi 4 Gb), hard disk 320 Gb, AGP ATI Radeon HD 3200, DVD RW 8x eksternal, dan OS Windows 7 Home Premium original tentu merupakan pengalaman baru bagi saya yang awam dunia IT. Maklum komputer desktop yang saya gunakan sejak 2005 masih menggunakan Pentium 4 dengan OS windows XP Profesional.

Itulah mengapa dua hari sebelum saya memutuskan membeli Ferrari One 200 saya sempat membeli dua majalah IT yang mengulas tentang Windows 7. Karena bagi orang awam yang biasa menggunakan OS Windows XP jelas akan tergagap-gagap ketika menggunakan Windows baru yang dirilis Microsoft.corp itu.

Notebook Bermasalah?
Namun ketika Acer Ferrari One 200 itu pertama kali saya gunakan, saya dibuat kecewa. Semua game bawaan windows 7 seperti; Solitaire, spider, chess Titans, Free Cell, dsb tidak bisa dijalankan. Tiap kali membuka chess titan misalnya, langsung muncul warning di desktop yang kira-kira bunyinya begini; perhatikan driver display anda. Mungkin perlu diupdate. Karena .dll tidak ditemukan. Pastikan driver telah diupdate untuk menjalankan program dengan baik. Membuka slide show untuk gambar juga amat lamban. Restart ulang yang kerap dilakukan ketika komputer bermasalah juga tidak cukup membantu. Semua masalah di notebook itu bisa hilang dengan melakukan Lock off. Namun tiap kali akan menonton film atau mengisi waktu dengan iseng bermain game di notebook ini saya harus melakukan Lock off terlebih dahulu jelas amat mengganggu.

Karena itu saya memutuskan membawa notebook tersebut ke tempat saya membelinya. Solusi yang diberikan; Install ulang. Memang untuk melakukan install ulang Windows 7 tidak serumit XP yang harus menyediakan DVD. Program recovery ini bisa dipanggil hanya dengan menekan tombol Shift+F8 saat booting. Di Vista sebenarnya program recovery ini telah ditanamkan. Namun hanya ada di dalam Vista Bussines dan Ultimate. Di Windows 7 ini Microsoft berbaik hati menanamkannya pada versi murah Windows 7 (home basic dan home premium).

Masalah selesai? Tidak juga. Selama dua hari digunakan usai di install ulang itu, notebook bisa berjalan normal. Namun pada hari berikutnya masalah yang sama muncul lagi. Dan saya lagi-lagi merasa tidak nyaman menggunakan notebook ini. Sayapun kemudian memutuskan untuk menyelesaikan sendiri masalah ini. Sebab saya yakin yang bermasalah hanyalah softwarenya. Sebab ketika saya cek di divice manager, hardware tidak ada masalah.

Cara pertama yang saya lakukan adalah meng-install driver robot versi trial. Program ini bisa secara otomatis mengupdate driver versi lama tanpa harus menginstal satu-satu driver yang telah out of date. Tapi ternyata tak cukup membantu. Masalah tetap muncul.

Cara kedua yang saya lakukan adalah menurunkan versi direct X di windows 7. Windows 7 telah mendukung direct X 11. Jadi saya beranggapan versi teranyar direct X di windows 7 tidak sesuai dengan game-game kecil. Tapi cara ini justru menimbulkan masalah baru. Program windows error. Beberapa aplikasi justru tidak bisa dibuka sama sekali. Akhirnya, saya terpaksa melakukan install ulang lagi.

Kalau tidak salah sudah hampir satu bulan saya memikirkan untuk menyelesaikan masalah di notebook saya (mungkin kalau orang yang paham IT bisa dua jam tuntas). Pernah juga curhat pada kawan yang kebetulan seorang dosen IT. Tapi jawabannya sama; Install ulang. ”Coba diformat ulang hard disk-nya. Mungkin ada masalah di harddisknya,” begitu terangnya.

Saya ikuti sarannya. Tapi hasilnya sama saja. Masalah masih saja ada. Jadi saya memutuskan membaca notebook saya ke Acer Service Center (ASC) di Hi-Tech Mall pada pertengahan Desember 2009 lalu. Saya dilayani oleh Customer Service berinisial G. padanya aku jelasnya masalah di laptop saya, termasuk langkah-langkah yang saya tempus untuk menyelesaikan trobel tersebut. G mencatat penjelasan saya setelah sebelumnya mencatat nomer seri notebook dan biodata saya. ”silahkan bapak kembali dua-tiga jam. untuk mengecek apakah notebook sudah selesai ditangani teknisi,” ujarnya. Sebagai orang yang awam IT Saya manut aja.

Setelah tiga jam saya kembali ke ASC. Notebook sudah selesai. Dan alamak, lagi-lagi install ulang. “teknisi kami terpaksa melakukan recovery,” terang G. Padahal sudah saya jelaskan kalau install ulang tidak menyelesaikan masalah. Beruntung G menyuruh menyalakan notebook untuk mengecek apakah masalah telah selesai atau belum. Notebook saya nyalakan lagi di hadapan G dan saya bisa menunjukkan masalahnya. Ketika game-game yang saya buka tak bisa beroperasi pasca install ulang diam diam. “coba saya bawa ke teknisi lagi,” jawabnya sambil membawa laptop saya ke laboratorium acer tepat di belakang G melayani costumer.

Beberapa menit kemudian G datang dengan senyum ramahnya. Penjelasannya lagi-lagi bikin saya kecewa. “Kami minta maaf. Setelah di cek oleh teknisi, ternyata direct X. 11 tidak berjaalan normal. Jadi direct X-nya terpaksa kami turunkan ke versi lama,” terangnya. Padahal cara itu sudah pernah saya tempus ketika mencoba menyelesaikan masalah tersebut secara mandiri. Dan hal itu sudah saya jelaskan detail pada G. Saya jadi bertanya-tanya apakah kemampuan teknisi Acer sekelas kemampuan kemampuan IT saya yang awam begini? Saya pulang dengan kecewa yang sangat.
Mengupdate Driver ATI

Pada awal bulan Januari 2010 saya mencoba berselancar di google untuk mencari jawaban dari masalah di notebook saya. Dan saya mendapatkan artikel yang sangat memuaskan (dalam versi inggris) di http://laptopuser.blogspot.com. Isi artikel itu kira-kira begini. Barangkali Ferrari one 200 adalah produk paling baik dari Acer tahun ini. Hanya saja penggunaan Grafis Ati Radeon didalamnya kerap menyulitkan pengguna pemula. Pasalnya, rata-rata driver Ati Radeon selalu meminta versi up to date. Tapi anda tak perlu kwatir. Silahkan download di http://game.amd.com/us-en/drivers_catalyst.aspx untuk mendapat driver display terbaru dan catalyst Control Center teranyar.

Kemudian saya download kedua dariver yang disarankan artikel itu. Setidaknya butuh satu jam untuk mendowload kedua software itu dengan Speedy karena masing-masing berkapasitas 56 Mb dan 59,5MB. Setelah itu saya installkan di Ferrari one 200 saya. Dan benar, masalah bisa diselesaikan. Notebook saya kini bisa berjalan normal. Beberapa game berat juga sempat saya coba seperti Counter Strike dan NFS: Shift. Semuanya berjalan normal tanpa tersendat-sendat.

Saya jadi berkesimpulan begini: Teknisi IT itu seperti dokter spesialis. Tak semua dokter spesialis bisa mendiagnosa penyakit dengan benar. Tak sedikit dokter yang melakukan mall praktek bukan? Seperti juga teknisi IT. Dengan mau sedikit belajar dan mencoba-coba sendiri kadang masalah IT bisa diselesaikan sendiri. Meski butuh waktu yang lama. Menurut anda?

Senin, 18 Januari 2010

GANJIL

Buku tak hanya jendela dunia. Dimana setiap kali kita mengintipnya selalu ada pengetahuan, ide, moralitas, dan sejarah disana. Buku juga bisa jadi petaka. Tulislah celoteh, catatan, perasaan, atau dongeng tentang keberpihakan pada yang disingkirkan dan ditindas, maka yang menjelma adalah kegemparan.

Meskipun sebenarnya kegemparan tak pernah lahir dari tulisan. Sebuah kegemparan lahir karena ketidaksiapan menerima sesuatu yang lain. Kegemparan lahir akibat dari keterlenaan pada status quo yang sejatinya rapuh. Ya, rapuh. Karena dunia lahir dan berdiri kokoh dari ketidaksempurnaan. Bumi yang subur adalah bumi hasil akumulasi ribuan jenis tanah aneka warna dan aneka unsur hara. Dan Tulisan hanyalah ‘perlawanan’ terhadap kemapanan makna. Tulisan adalah subversi terhadap keseragaman yang pasi.

Namun bagi republik yang pandir dan pendek berpikir, sebuah tulisan yang subversif kerap dianggap hantu yang menyeramkan. Seram karena tak seragam. Dan ketidakseragaman kerap dituding sebagai jalan lempang kekacauan. Itulah mengapa selalu saja ada buku yang haram dibaca. Itulah mengapa selalu saja ada buku yang dilarang negara. Alasannya sederhana. Agar tidak mengganggu ketertiban umum.

Dan hari-hari ini, dimana kebebasan berpendapat dan berpikir jadi panji-panji tegaknya demokrasi, pelarangan buku masih saja terjadi. Beberapa waktu lalu, menjelang pergantian tahun, Kejaksaan Agung (Kejagung) melarang peredaran 5 buah buku. Buku-buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Kelima buku itu adalah: (1) Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rossa. (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman. (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Namun pelarangan sering menciptakan arus balik. Undang-undang dibuat untuk dilanggar kata sebuah anekdot. Sedangkan pelarangan dilakukan sebenarnya untuk dihalalkan. Ada fetishisme disitu. Karena suka atau tidak suka buku juga bagian dari komoditi kapitalisme. Buku-buku yang diharamkan memang tak lagi beredar di pasaran. Ditarik paksa penguasa. Tapi ia diburu. Dicetak ulang diam-diam. Dibaca di ruang sembunyi. Kemudian dikoleksi dan disimpan di rak buku. Toh pada masa yang akan datang kebanyakan orang akan lupa tentang buku yang dibelenggu penguasa.

Ya, membebaskan diri dari lupa memang perjuangan terberat manusia, pekik Milan Kundera. Sebab dalam sebuah lupa kadang tersimpan cerita orang yang suka menyerang hak-hak orang lain, menjarah harta benda mereka, membuat nilai-nilai tertinggi tampak sebagai kejahatan, dan gemar menebarkan keharuman bagi perangai buruknya sendiri. Sebagian dari kita boleh saja acuh. Namun ada satu hal yang tak bisa dipalsukan atau dikhinati, yakni; ketetapan sejarah yang dipilin dalam tulisan.

Dalam posisi ini sejarah bukan hanya milik mereka yang memenangkan kekuasaan. Sejarah juga milik semua yang berpikir. Sejarah adalah milik mereka yang berani menentukan pilihan berbeda. Dan buku adalah ruang terbuka yang anti kesatuwarnaan. Buku-buku lahir, dibaca hingga mampu membius laku lampah pengarang dan pembacanya karena dibangun dengan multiwarna. Juga multirasa. Dicampur setetes dua keringat, darah dan air mata.

Karenanya buku tak pernah genap. Ia selalu ganjil. Dan keganjilan adalah pintu gerbang harapan. Ia terbuka untuk diteliti. Terbuka untuk dikritik. Terbuka untuk diserang balik. Buku dilawan buku. Kata-kata berhadapan dengan kata-kata. Bertarung di panggung yang sama. Sementara pelarangan tak pernah membuahkan keseragaman. Sebaliknya, pelarangan semakin menyempurnakan keganjilan.

Dan buku yang ganjil selalu berpihak. Berpihak pada yang papa. berpihak pada yang tertindas. Berani berpihak pada sejarah pinggiran, yang nyaris dilupakan atau sengaja dimusnahkan. Buku macam ini semakin riuh menggelar koor di keramaian atau di kuil-kuil sunyi selama ketimpangan semakin dimapankan. Disparitas-disparitas di berbagai fenomena kehidupan yang menyeruak dijalan-jalan adalah obor bagi buku-buku dengan semangat keganjilan.

Lewat keganjilan kita belajar banyak hal. Belajar untuk menerima perbedaan. Belajar untuk tak takluk pada represifitas zaman. Belajar untuk mengembangkan kreatifitas. Belajar untuk bertahan hidup. Dan keganjilan juga mengajari kita untuk selalu berpeluk pada optimisme kehendak. Dengan demikian harapan untuk berdiri di atas kaki sendiri, harapan untuk lepas dari perbudakan modern masih terbuka lebar.

Sebaliknya tunduk pada keseragaman berarti menyerah sebelum perang. Lewat keseragaman zaman memang akan berjalan dengan stabilitas sempurna. Dan keseragaman berarti merampas kehendak untuk merdeka. Dalam keseragaman kita tak lebih seperti bidak-bidak yang digerakkan tangan-tangan tak kelihatan. Dipaksa melaju dengan kecepatan ekonomi tingkat tinggi. Tapi alpa untuk peduli pada ketimpangan-ketimpangan yang diciptakannya sendiri. Kita menjelma—meminjam Herbert Marcuse—manusia satu dimensi yang bergerak mirip mesin-mesin produksi.

Dalam kondisi semacam itulah keganjilan penting untuk terus dilahirkan. Bukankah yang ganjil selalu abadi? Bukankah yang ganjil selalu jadi harapan pembebasan? Bukankah yang ganjil selalu memiliki banyak cara mendobrak kebekuan? Dan buku adalah keganjilan itu. Dan Ia abadi.