WAKTU

JEDA

Jumat, 25 November 2016

LEGALISIR SELALU


LEGALISIR SELALU

Nasib punya misterinya sendiri. Juga jodoh. Setiap orang boleh berhubungan asmara dengan manusia paling keren di planet ini. Tapi jika tidak berjodoh, segalanya akan berantakan. Segalanya akan berakhir dengan status mantan.

Saya mengalami banyak sekali hubungan asmara. Dimulai sejak SMP. Namun hubungan asmara dengan lawan jenis yang serius baru dimulai ketika 17 tahun. Saat duduk di bangku SMA. Ada tiga hubungan asmara serius di masa SMA. Satu diantaranya berakhir buruk. Sangat buruk. Saya untuk pertamakalinya mengenal betapa pedihnya sakit hati. Betapa perihnya dikhianati. Putus itu merah, jenderal. Beruntung saya tidak sampai membakar sekolah atau membakar diri. Cukup puas memeras airmata. Sagitarius memang tidak cocok dengan virgo dalam kasus saya. 


Namun saya tidak kapok. Setelah itu, saya lebih siap untuk sakit hati. Namun seperti halnya hubungan pertama, dua hubungan asmara berikutnya juga tidak mulus. Kami berpisah baik-baik. Karena alasan-alasan yang prinsipil yang membuat hubungan itu tak lagi bisa diteruskan. Kalaupun dipaksa-paksa ke tahap lebih tinggi, tentu akan makin kacau. Kita akan terus saling melukai. Tentu melukai adalah seburuk-buruknya cinta.

Satu dari dua hubungan itu berakhir karena makin ke depan, kami bukan makin banyak mesranya, malah makin banyak kelahinya. Hanya karena urusan telat menjemput saja, kami bisa kelahi berhari-hari. Tiap kali berkelahi selalu berakhir dengan menghancurkan sesuatu. Bagi saya ini mengerikan. Pacar saya yang ini Libra. Libra memang cenderung mendominasi virgo yang kalem dan simpel. Saya nggak tahan. 


Sedangkan yang terakhir sebenarnya tidak ada masalah. Pacar yang ini lagi-lagi Sagitarius. Masalah baru muncul ketika hubungan masuk ke tahap LDR. Pacar saya tidak siap. Saya berkali-kali menawarkan banyak opsi agar hubungan tetap berlanjut, tapi ditolak. Akhirnya saya menyerah. Tidak baik memaksakan kehendak. Harus ada yang berkorban. Harus ada yang dikorbankan demi kebahagiaan bersama. 


Saya ingat betul saat-saat terakhir itu. Saya mengulurkan tangan saya tanda kita berpisah. Ia menyambutnya, lalu menarik saya. Ia memeluk saya sambil menangis. Saya tak tahu harus berbuat apa. Perasaan saya hampa. Ketika mengantarkannya pulang ia belum berhenti tersedu. Sebelum lenyap ditelan mulut gang, ia mencium saya dan berkata. "maafkan aku. Terimakasih atas semuanya".


Belakangan saya bertemu lagi dengannya. Kemudian berkomunikasi lagi. Beberapakali bertemu dan dua kali kencan. Tak dinyana, ia minta balik. Tapi saya merasa dengannya telah selesai. Saya paham waktu bisa merubah seseorang. Tapi saya tidak siap disakiti orang yang sama duakali. Lagipula saat itu saya sudah bertunangan. Cowok Virgo orang menghargai komitmen. Biarlah keledai yang masuk ke lubang yang sama duakali. Saya nggak. Saya bukan keledai. Saya jangkerik. 


Saat kuliah saya jadi cowok merdeka. Jomblo. Nyaris satu semester. Hingga kemudian bertemu seorang perempuan manis di sebuah 'reuni' kecil teman SD. Beberapakali kami jalan bersama. Berkali-kali berkunjung ke rumahnya. Berkali-kali nelpon. Tanpa banyak cakap, saya menembaknya. Entah apa yang merasuki saya waktu itu. Mungkin jenuh sendirian. Mungkin sumpek. Mungkin juga kena santet. Dan dia menerimanya. 


Sebenarnya bukan dia target saya. Saya menyukai temannya. Tapi entah mengapa saya belum benar-benar siap melakukannya. Di hadapannya nasib asmara saya nggak jelas. Kata orang pemburu yang baik harus sabar menunggu. Namun saya sedang malas bersabar. 


Kami menjalani hubungan LDR. Bintang kami sama-sama virgo. Kami tak pernah berniat berhubungan sampai ke pelaminan. Malah saya menargetkan hubungan ini akan bertahan tak lebih dari dua tahun. Sebab hubungan ini hanya bermula karena kami butuh bahu untuk bersandar sebab sudah terlalu lama bersandar di tiang listrik. tentu bukan hubungan yang mulus. di saat kami berjauhan, dia justru berpacaran lagi di belakang saya. nyesek sih.


Tapi siapa yang bisa menerka nasib. Siapa bisa menerka masa depan di garis tangan. Jodoh tetap di tangan mantan. Gak ada mantan, nggak ada pelaminan. Jadi beginilah jadinya kita. 1 tahun pacaran, 4 tahun bertunangan, 11 tahun menikah. Bukan hubungan yang pendek. Juga tidak sepenuhnya mulus. Kami bukan jalan tol. Meski begitu kami belum kepikiran untuk selesai. saya tepatnya. tiapkali melihat wajahnya saya melihat ketulusan. tiapkali melihat matanya saya merasa tenang dan damai. apa yang hendak diraih manusia di dunia ini ditengah deraan ambisi duniawi dan kerakusan tiada henti selain ketenangan dan kedamaian. bersamanya, saya merasa menemukan banyak sekali keajaiban yang belum penah saya dapatkan bersama perempuan lain selain dia. dan saya tak ingin berhenti. 


Mungkin kalau nanti kepikiran bercerai, saya akan bikin pesta perceraian dan ditayangin di tv, kalian semua saya undang. Termasuk Jokowi. sebab pesta perkawinan sudah terlalu mainstream. 


Hari ini adalah hari ke-11 tahun kami resmi menjadi anggota KUA. Punya akte nikah. Jadi, Selamat hari KUA. Legalisir selalu.

20 November 2016

Apakah Cinta? Apakah?

Apakah Cinta? Apakah?
(bagian kedua dari dua tulisan. Untuk yang pertama: Klik di sini )

Karena tahun 2222 berdasarkan ramalan Jihan Fahira bakal kiamat, dan di akherat kemungkinan tak ada sinyal wifi, ada baiknya juga aku lanjutkan saja apa yang sudah aku mulai kemarin, hari ini.

Apakah aku mencintai Nurfa Rosanti? Sungguh jawaban yang rumit. Cinta memang tak mudah didefinisikan dengan tepat. Tapi jika pertanyaannya diganti dengan; apakah aku rindu istriku? Iya, selalu. Soalnya begini. Aku hidup bersama dengannya cukup lama. 1 tahun pacaran, 4 tahun bertunangan, 11 tahun menikah. Bukan usia yang pendek dalam hubungan asmara. Tak sedikit orang yang tahan hidup dengan pasangannya selama itu. Beberapa diantaranya memilih berpisah. Yang lainnya ada yang bunuh diri. Yang lainnya lagi, berpisah, menikah lagi, berpisah lagi, lalu mati. Aku termasuk beruntung. Masih tahan sampai sekarang. Meskipun sejak mula bersamanya, tak pernah berpikir bisa bersama selama ini.

Kami sama-sama virgo. Sebisa mungkin kami akan saling mengalah satu sama lain jika ada persoalan. Jika marahan, kami cuma diam-diaman, sampai salah satu diantaranya menyerah dan mulai membuka pembicaraan dengan; maaf.

Di awal-awal kami berpacaran, aku tak pernah memintanya meninggalkan pacarnya. Dia mengambil keputusannya sendiri untuk bersamaku. Persoalan itu buat dia punya rumitnya sendiri. Aku tak pernah paham seperti apa rumitnya. Dan aku tak pernah mau tahu. Karena memang nggak tahu.

Di awal-awal aku menikah dengannya, aku tak pernah tertarik membahas soal masa lalu itu. Meskipun hari-hari ini kita sering membicarakannya sambil lalu, itu pun cuma buat mengisi waktu. Menikmati keluguan kita dulu sambil tertawa bersama melintasi hari-hari yang sibuk dan kadang bikin remuk.

Ada masa-masa kami bersama, melakukan banyak hal bersama. Tapi ada juga masa-masa kami harus berjauhkan karena tugas-tugas yang tak bisa ditolak. Pada saat berjauhan itulah, Melakukan sesuatu yang biasa dilakukan bersama sungguh betapa sangat kesepian.

Aku pernah ditinggal dia selama setengah bulan karena dia mendapat tugas ke luar kota. Aku dititipi anak-anak di rumah. Dua anak lelaki. Anak dia. Bukan anak tetangga. Anakku juga sih sebenarnya.
Hari pertama dia pergi, segalanya baik-baik saja. Aku bisa mencuci piring. Aku juga bisa mencuci baju. Mencuci, menyapu, menjaring air dan memasak indomie goreng sudah sering aku lakukan di rumah orang tuaku dulu, bahkan ketika aku belum mimpi basah malah. Bukan pekerjaan yang gawat. Setelah pekerjaan rumah selesai. Aku bermain dengan anak-anak. Makan siang bersama. Lalu tidur. Nggak ada masalah.

Begitu maghrib tiba, barulah “malapetaka” itu datang. Mengajari ngaji, membantu mengerjakan tugas sekolah, kadang anak-anak berkelahi, susah diajak makan, merengek, menangis. Pada saat-saat begitu, bayangan istriku muncul. Aku rindu dia ada di sampingku. Di tangannya, semua urusan didik mendidik anak jadi sedikit lancar. Tidak terlalu gaduh. Ajaib betul. Keadaan jadi rumit hingga menjelang tidur malam. Dan hari kedua dan seterusnya, rumah makin berantakan. Buku-buku yang aku baca ada di mana-mana. Mainan anak-anak ada di mana-mana. Aku tak lagi sempat membereskannya. Semuanya jadi berantakan. Untunglah ada pemadam kebakaran bernama mertua yang membereskan.

Tapi tetap saja, kegaduhan demi kegaduhan muncul dan meluas. Dan aku kangen istriku cepat pulang.
Jadi poinnya apa sih? Tanpa ada hubungannya dengan cerita di atas, ada satu hal yang rumit dari cinta; melupakan. Sampai saat ini aku tak bisa melupakan wajah istriku. Senyumnya, pelukannya, ciumannya dan segala hal yang telah kami lewati bersama. Aku masih ingin terus bersamanya. Melalui hari-hari bersamanya. Banyak anak, banyak mimpi, tak apa-apa. Banyak rejeki kalau diijinkan semesta, banyak istri kalau nggak ketahuan. Asal jangan banyak utang. Aku tidak pernah berharap ia menjadi perempuan yang sempurna. Kesempurnaan itu cuma kekurangan-kekurangan yang tak tampak. Menjadi diri sendiri saja sudah lebih dari cukup.

Sungguh aku tak bisa membayangkan ada perempuan lain yang sanggup menghadapi rumitnya diriku, kecuali dia dan super girl. Tapi aku nggak mungkin pacaran sama super girl. Bisa marah besar Jerro si putra duyung atlantis dan brainiac 5. Bisa gaduh komik Marvel nanti.

Aku mencintainya. Aku tak paham benar sejak kapan mulai benar-benar mencintainya. Mungkin sejak untuk pertamakalinya aku berani menggandeng tangannya. Aku selalu merindukannya. Dan yang jelas jasanya begitu besar buat hidupku hingga sekarang. Tanpa dia status panjang ini tak akan pernah ada. Dia yang mula-mula mendorongku belajar menulis, mengantarku jadi jurnalis. Tanpanya mungkin aku sudah disekolahkan ke sekolah sipir penjara dan hari ini mungkin sedang bengong, bermain kartu dengan taruhan uang honor lembur sambil menunggui sel dan para napi sebagaimana dicita-citakan bapakku.

Besok hari pernikahan kami yang ke-11 tahun. Tahun lalu aku membelikannya jam tangan couple G-Shock&baby G. Lumayan mahal untuk dompetku. Tapi tidak sampai menjual genteng rumah. Tahun ini aku belum memikirkan sebuah hadiah untuknya di hari pernikahan kami. Lagipula hari pernikahan sebenarnya tidak sakral-sakral amat dirayakan. Bukankah banyak pasangan di kolong-kolong jembatan, di bantaran sungai di kota-kota besar hidup serumah tanpa pernikahan, toh, langgeng juga. Sampai bercicit-cicit. Itupun masih digusur-gusur pula.

Namun untuk pelipur lara, yang bisa kulakukan hanya menulis sebuah surat sederhana saja, sebagaimana dulu aku sering menulis surat padanya untuk membunuh rindu. (tapi jarang dia balas. Seingatku dari puluhan surat yang aku tulis, hanya dua kali dia membalas suratku. Untung level kesabaranku masih 78%. Seandainya lobet, aku akan benamkan wajahnya ke dalam mesin fotokopi. Huh, dasar pemalas).

Ehm, begini aja dech isinya;
"Selamat hari pernikahan kita ya, Mok. Aku nggak bawa kue tar. Nggak ada lilin untuk ditiup bersama. Kita meniup abu pembakaran sampah saja ya? 

Cium jauh. Cium dekatnya nggak usah bilang-bilang sama anak-anak fesbuk. Nanti kepo. Nanti baper. Nggak usah pakai swafoto ato selfie. Nanti dikira menebar pornografi. 

Sudah makan, Mok? Kalo belum, nelen batu ginjal atau batu empedu saja dulu, gih, buat ganjal perut. Jangan batu vulkanik. Nanti mati. Kalau kamu mati, aku susah. Dan sedih sungguh. Sebab aku sudah lupa doa dan cara memandikan jenazah yang diajarkan waktu madrasah dulu. 

Ntar aku pulang, aku traktir indomie goreng dan telor mata sapi. Oya, hanimun kita di terminal Purabaya saja, ya. Ingat khan, tempat itu adalah tempat saat kita pertamakali ciuman. Kita berciuman seperti sepasang kekasih yang hendak berangkat perang. Padahal, ya, cuma mau menemui pacar cadangan, Eh, Kuliah. 

Sayang selalu, dari pacarmu". 


Dan barangkali sebuah puisi di bagian penutupnya. Seperti ini:

Aku tak punya kado spesial untukmu di hari pernikahan kita
terlalu banyak kado berarti terlalu banyak pengeluaran.
uangku tidak cukup untuk hidup dalam pemborosan.
negeri ini telah menuntut terlalu banyak
buat konsumsi yang kadang menghancurkan nalar
aku hanya ingin menulis surat, sekali lagi, padamu,
seperti bertahun-tahun lampau
saat aku dirundung rindu.

Awalnya aku ingin menulis surat yang unik.
menukil lagu Grace Simon berjudul “Sayonara, Sayangku.”
judul lagu itu akan aku tulis di balik salah satu foto mantanmu.
tidak, aku tak butuh syair lagunya, aku hanya butuh judulnya saja.
kemudian di belakang foto itu, di bawah judul lagu itu,
aku akan menulis namamu.
berikutnya sebuah kalimat sederhana
yang di antara kalimat-kalimatnya
ada judul lagu itu:
Bersamamu, hanya dua kata yang
tak pernah sanggup aku tulis atau aku ucapkan
dua kata, satu kalimat itu; Sayonara, Sayangku.

Tapi aku tidak jadi melakukannya
sungguh aku tak sanggup melakukannya
mantan adalah kita
lagipula ngapain nulis puisi cinta di foto mantan coba?
Nggak ada kerjaan banget. Mestinya nulis surat yasiin.

Jadi biarlah aku menuliskannya begini saja
di foto pernikahan kita yang menurutmu jelek itu
(kamu sih yang jelek, aku nggak merasa jelek kok):
aku masih ingat betul saat pertamakali mencium bibirmu.
perasaan nyaman itu mengalir dari lidahmu ke dalam lidahku.
menjalar terus ke kepala dengan hawa panas yang menyala.
saat mataku terpejam karena hangat bibirmu,
segala kenangan yang bukan engkau
terbakar
lalu jatuh berguguran.
dan aku jatuh cinta.
Sejak saat itu, hingga hari ini,
tiapkali kau menyentuhku,
aku merasa muda dan selalu jatuh cinta
lagi dan lagi,
padamu.

Romantis ya?! Biasa aja. Aku melakukannya sebagai ritual agar tidak dirasuki jin Ifrit dan mengalami mimpi buruk. itu saja.

19 November 2016

APAKAH KAMU MENCINTAIKU

(bagian pertama dari dua tulisan. )


Apakah kamu mencintaiku? Entah mengapa, akhir-akhir ini, istriku Nurfa Rosanti suka sekali mengajukan pertanyaan itu. Pertanyaan klise khas anak-anak unyu yang baru pacaran. Asu tenan memang. Herannya, meski kadang mencoba menghindar untuk menjawab pertanyaan nggak penting itu dengan mengalihkan topik pembicaraan, tetep saja istriku itu menuntut jawab.

Saking seringnya pertanyaan itu ia ajukan, aku sendiri kadang bingung, kenapa dia tiba-tiba menanyakan pertanyaan macam itu sekarang. Kok nggak dari dulu-dulu waktu pacaran. Keterlaluan. Dulu waktu kami pacaran, untuk mengatakan i love you padaku, susahnya seperti orang sembelit. Aneh, setua ini masih juga bertanya soal cinta. Mungkin lagi puber kedua.

Tapi jika aku sedang sendirian dan dia sedang tak ada, aku kadang merenungkan pertanyaan dia dengan bertanya pada diri sendiri; apakah aku mencintainya?

Lalu aku membayangkan pertemuan pertama kami dulu. Dalam film-film romantis pertemuan pertama seringkali digambarkan di tempat-tempat keren; perpustakaan, toko buku, museum, gerai seni atau bisa juga di hutan seperti pertemuan Rosa dan Roco, dua pemeran utama dalam film Tarzan X. Tapi aku tidak begitu. Kami, aku dan dia, bertemu untuk pertamakalinya di rumah seorang teman perempuanku yang juga temannya. Rumahnya di dekat pasar, di pinggir jalan raya, Di sebuah siang yang terik yang aku sendiri lupa hari, bulan dan tanggalnya. Hanya ingat tahunnya, 1999. Tak ada yang istimewa dari pertemuan itu. Ia hanya teman SDku dulu hingga kelas 3 (sampai kemudian aku pindah ke kota lain). Kesan pertamaku, Ia perempuan yang biasa-biasa saja. Wajahnya mudah sekali dilupakan. Senyumnya dipaksa-paksakan sehingga bibirnya nampak manyun dan kedodoran. Status dia; berpacaran.

Mungkin karena status dia itulah, inilah kesan pertama dia ketika bertemu aku. Aku adalah lelaki yang jelek dan mudah sekali dilupakan. Kurus, sedikit gundul dan berjerawat. Tidak ada satupun alasan yang paling keren dalam pikirannya untuk menggantikan pacarnya dengan aku. Satu-satunya yang penting tentang aku dalam dirinya hanyalah aku teman sekelasnya waktu sekolah dasar dulu. Selebihnya tidaklah terlalu penting. Tapi satu-satunya yang penting tentang aku waktu itu, menurut aku sendiri tentu saja, aku punya pacar yang wajahnya hampir mirip Nike Ardilla. Keren? Nggak. Wong aku naksirnya sama Shania Twain.
(Tiapkali dia bercerita tentang kesan pertama dia waktu ketemu aku dulu, rasanya ingin melempar mulutnya dengan granat)

Ganjil bukan? Dua manusia berbeda jenis memulai pertemuan pertamanya sambil saling mengolok-olok satu sama lain di dalam hati bisa kemudian saling mencintai. Tapi hidup ini memang sudah ganjil sejak Adam belajar mengendarai onta.

Baiklah, lewati saja soal kencan-kencan buta kami. Saya menelpon dia lebih sering dari operator telkom memberitahukan nominal tagihan telepon. Saya menemuinya lebih kerap dari pertemuan ibu-ibu Dasa Wisma. Tapi kencan itu cuma proses. Dan akhir kisah percintaan bukan sebuah formula instan atau tips buat mencari pacar. Langsung aja ke intinya. Akhirnya kami berpacaran. Yee...pacaran. itupun bukan karena motif yang amat sakral, untuk berakhir di pelaminan, misalnya. Menikah? Halah belum sempat berpikir ke arah situ waktu itu. Malah yang aku pikir soal menikah saat itu adalah; bermula dari menikah itulah, Adam dan Hawa jadi bersekongkol makan Khuldi dan membuat kita jadi homo sapiens di bumi.

Jadi beginilah ceritanya. Kami berpacaran cuma karena iseng aja. Tidak ada alasan khusus. Kisah asmara dia dengan pacarnya sedang mengalami krisis. Dan mungkin akan ambruk dalam waktu dekat dan dia akan menyandang status; mantan untuk kali pertama dalam hidupnya (segalanya akan jadi mantan pada waktunya). Konon, menurut sumber yang tidak bisa dipercaya, dia ditikung pacarnya. Aku sendiri sudah putus sejak pengumuman UMPTN tayang di koran, hanya karena pacarku tidak siap diajak LDR. Klop.

Mulus? Tidak. Yang mulus cuma kulit buraq, bukan hidup. Kami berpacaran jarak jauh. Sangat jarang sekali bertemu. Jember-Surabaya PP. Persis seperti rute bus AKDP. Meski begitu tiap kali kami bertemu bukan berarti dunia ini serasa jadi milik kami berdua. Di saat aku tidak berpacaran dengannya, dia berpacaran dengan yang lain. Tiap malam minggu di saat aku menelponnya, pacarnya sedang menunggu dia di kursi tamu kostannya sampai telepon ditutup dan melanjutkan kencan mereka. Jadi kalian pikir LDR itu apa? Long Distance Relationship? Salah. LDR itu; Lho Dirimu Diselingkuhi Rek.

Jadi apa yang romantis dari hubungan macam begini? Apa menariknya berhubungan dengan perempuan yang sama sekali tidak menghargai komitmen? Ya, menariklah. Minimal, seandainya aku tahu bahwa semasa berpacaran denganku dia menjalin hati dengan yang lain, aku akan daftarkan dia jadi peserta liburan gratis ke Jepang, naik pesawat VVIP untuk dikirim jadi kelinci percobaan kedasyatan ledakan reaktor nuklir.
Tapi serius, seandainya aku tahu dia punya pacar lagi saat berpacaran denganku, aku akan jadi orang pertama yang akan melepasnya. Aku virgo. Dia virgo. Kami berdua sepersusuan bintang. Karena itulah aku tidak sanggup melihat pacarku bersedih karena bingung memilih jodohnya dalam sholat istiharoh jika hubungan macam begitu terus berlanjut dan aman. Aku tidak mau keinginan-keinginan pribadi justru mengerangkeng dia untuk berkembang. Tentu saja pahit kenyataan begitu. Tentu sakit. Hanya orang bodoh atau punya kelainan fungsi saraf-saraf sensorik yang bilang putus cinta dan patah hati rasanya biasa saja. tapi apa boleh buat. Sebuah keputusan harus diambil dalam hubungan macam begitu.

Dalam ilmu kesehatan, penting membuang racun dalam tubuh. Detoksifikasi berguna agar kesehatan kita tetap prima. Dalam percintaan juga begitu. Penting melepas orang yang kita cintai jika hubungan itu justru terus menjadi duri. Dalam percintaan, bisa jadi kita adalah racun bagi pasangan kita. Jika memahami keadaan itu, kita semestinya tidak berhak mengerangkeng seseorang untuk terus bertumbuh dan berkembang atas nama cinta hanya karena takut kehilangan dan terluka.

Tapi, ya, sudahlah, ambil hikmahnya saja. Toh semuanya cuma masa lalu. Seperti kata Mario Teduh; Kalo pacarmu selingkuh kamu nggak usah sedih. Mestinya bahagia. Bersyukur. Setidaknya kamu nggak salah pilih. Ia menarik bukan saja buatmu, tapi juga buat orang lain. Sebaliknya, jika setelah pacarmu jadian sama kamu, nggak ada orang lain yg mencoba mendekatinya, kamu mestinya mulai mikir. Jangan-jangan pacarmu emang nggak laku. Tapi, ya, kalau terus-terusan selingkuh, ada baiknya kamu mulai mengatur rencana untuk berpaling atau mengirim pacarmu ke Palestina. Siapa tahu dihajar mortir.

Jadi, beginilah akhirnya. Kami masih berpacaran, teruss, teruss seperti anak kecil di pasar malam yang menyukai komedi putar. Karcis komedi putarku masih banyak. Aku tak bisa menikmati hiburan lain di pasar malam ini selain komedi putar. Meskipun aku tahu yang kunaiki bukan kuda asli dan masih berputar-putar di tempat yang itu-itu juga: marah, sakit hati, bermesraan, berpelukan, marah lagi, saling berdiam-diaman, tertawa, menangis, marah lagi. Selalu begitu dan akan terus begitu. Dengan orang yang sama.

Sampai di sini sebenarnya yang namanya jatuh cinta itu nggak perlu dianggap terlalu serius. Apalagi sakral sampai mandi kembang tujuh rupa dan membakar dupa. Sebab alurnya sebenarnya sederhana. Biarkan hatimu terbuka agar seseorang masuk ke dalamnya. Setelah masuk, kau jaga dia agar betah dan sehat. Kau rawat, kau perhatikan gizinya, kau peluk, kau cium seperti bayi yang lahir dari rahimmu sendiri. Tapi untuk membangun hubungan langgeng sampai mati, sungguh tidak cukup hanya bermodal cinta. Selesai? Tidak.

Bersambung tahun 2222.