WAKTU

JEDA

Senin, 20 Februari 2012

Aku Bercermin

Aku Bercermin

aku bercermin pada
akuarium tanpa air dimana
perempuanperempuan berwajah bir
tersenyum pada lakilaki di bangku terakhir

wajahku mengabur
diantara kerlapkerlip lampu LED panca warna
asap rokok dan bau parfum
house music berdentum

hidungkukah itu?
lakilaki dengan dada berbulu
menepuk pantat perempuan berlingerie ungu
sambil berseru; "astafirullah, sebab dadamu itu
anuku jadi sekeras tugu"

matakukah itu?
lakilaki berpeci haji
memangku perempuan berrok mini
sambil berbisik: "puaskan aku nanti"

pipikukah itu?
yang menjelma mucikari berseragam batik
yang berteriak pada pejalan kaki:
"80 ribu bos. bisa karaoke dan main duakali"

aku bercermin pada
akuarium tanpa air
dan seperti ada yang menghambur dari kening
waktu seorang perempuan
dengan rambut di cat pirang
digandeng lelaki berbau menyan
masuk kamar

dan wajahku jadi dolly. wajahku jadi dolly

tapi tataplah dengan mata terpejam
wajahku menjelma ibu
di sayap kupukupu
dan malam menangis
mengutuki waktu

Minggu, 19 Februari 2012

Telepon Dari STORY

Telepon Dari Story

Saya hempaskan tubuh saya yang kurus dan letih ke atas ranjang. Sore itu saya memang pulang terlambat ke rumah. Adzan maghrib baru saja usai. Dari kaca jendela kamar yang gordennya belum sepenuhnya dirapatkan, Saya lihat delapan burung kuntul terbang ke timur, terbang berbaris membentuk ujung panah ke arah matahari bangun. Di ranjang itu di sebelah tumpukan bantal ada setidaknya lima buku yang berserakan. Saya sambar buku kumpulan cerpen berjudul “Matilah Baik-Baik, Kawan” karya Martin Aleida. Saya baca daftar isinya, lalu saya buku halaman 111 berjudul “Ratusan mata dimana-mana”. Belum habis tiga paragraf saya baca, tiba-tiba henpon saya berdering. Sebuah panggilan dari Nomor 021-58359xxx.

“Nomor Jakarta?” batin saya. Tapi dari siapa? Tidak mungkin dari paman saya. Bukankah tidak pernah paman saya telepon pakai nomor rumah apalagi nomor kantor. “Atau jangan-jangan dari media cetak?” saya membatin lagi. Tapi dalam bulan-bulan ini saya tak pernah mengirimkan tulisan dalam bentuk apapun. “Atau jangan-jangan tulisan lama yang hendak dimuat?” ya. Ya mungkin itu, batin saya. Bergegas saya angkat telepon.

”Hallo. Selamat petang. Kami dari Majalah STORY. Apa betul ini dengan bapak Edy Firmansyah” kata suara perempuan di ujung telepon sana.

“Yap. Betul sekali.” Rasa letih saya tiba-tiba berkurang. Seakan suara perempuan di ujung telepon sana itu menjadi sedikit obat keletihan saya yang sedari pagi hingga petang berjibaku sama kerjaan. Akan ada karya saya yang dimuat. Saya yakin. Dan setiap karya yang dimuat pasti ada kompensasinya. Honor. Saya membayangkan minimal 300 ribu dan maksimal 500 ribu akan masuk rekening saya. Saya memang pernah mengirimkan karya ke majalah tersebut. Beberapa puisi cinta dan cerpen. Bayangan untuk melunasi hutang-hutang pada teman yang kerap saya pinjami terlintas. Bayangan bakal dapat membeli buku-buku baru dari honor majalah remaja itu sudah terbayang.

Memang sih, jika belum pernah melihat dengan kepala sendiri bahwa tulisan terpampang di media jangan terlalu banyak berharap. Dulu sewaktu kuliah dan produktif menulis artikel saya pernah ditelepon sebuah media nasional terbitan Jakarta yang mengabarkan bahwa tanggal tertentu (redaktur yang menelponnya menyebutkan tanggal. Tapi saya lupa) bahwa artikel saya akan dimuat. Seingat saya dua hari lagi tulisan saya akan dimuat. Begitu pesan dari telepon itu. Wuihh...girang betul saya waktu itu.
Usai menerima telepon dari mas redakturnya, saya bergegas keluar dari kosan. Menghubungi beberapa teman lewat sms: traktiran. Malam itu setidaknya saya mentraktir empat orang teman. Makan nasi dengan lauk ayam krispi. Minumnya susu soda. Sebuah menu makan malam yang cukup mewah bagi saya. Biasanya sih Cuma pecek tempe. Atau telor dadar lauknya. Keempat teman saya itu saya belikan rokok. Masing-masing orang satu bungkus.

Tapi pada hari dan tanggal yang disebutkan itu tak ada artikel dan nama saya itu. Berkali-kali saya bolak bali koran yang saya beli itu. Tapi nama saya tak ada. Esoknya juga begitu. Saya sekali lagi membeli koran yang redakturnya menelpon saya malam itu. Tapi nama dan artikel saya yang disebut-sebutnya waktu telepon itu tak pernah ada.

Tapi itu koran. Dan yang telepon saya sekarang ini Majalah. Begitu saya menguatkan batin. Konon katanya majalah ini terbit dengan komposisi lebih banyak memuat cerpen daripada berita selebritis remaja. Ketika di launching pertama kali pada bulan Juli 2009, Majalah "Story" berisi 80 persen fiksi. 20 persen non fiksi. Acara launchingnya dihadiri penulis-penulis sekelas Kurnia Effendi, E. Sati, Bambang Sukmawijaya, Kurniawan Junaedi, Ganda Pekasih, dan masih banyak lagi. ada si "Lupus", yakni Hilman Hariwijaya, Gusur Adhikarya dan Boim Lebon. Diantara penulis tersebut malah kabarnya turut serta menjadi redakturnya. ”Dijamin dech. Redakturnya selektif dan bertanggung jawab.” Ujar seorang teman ketika mengenalkan majalah STORY pada saya yang menurut dia merupakan ‘reinkarnasi’ dari majalah Anita Cemerlang yang sudah tutup itu. Saya sendiri memang tak pernah ngecek siapa redakturnya. Tapi saya pernah baca satu dua edisi yang kebetulan dibeli kakak Ipar saya, salah satu redakturnya tamunya ada Gus Tf. Sakai.

Namun batin saya kembali mengendor kala ingat sebuah pengumuman di majalah Story edisi 19/Th.II/25 Februari 2011-24 Maret 2011 yang sempat saya baca—lagi-lagi dari majalah Story yang pernah dibeli kakak Ipar saya—isinya kurang lebih begini: Setelah melakukan penelusuran berdasarkan informasi yang masuk, cerpen Kasih Ibu yang ditulis Prisa Adinda dan dimuat dalam rubrik Cerpen Seleb Story edisi 17, 25 Desember 2010, ternyata memiliki banyak kesamaan dengan cerpen Hati Ibu milik sdri Desi Sommalia. Agar polemik ini tidak berkepanjangan, maka dengan ini Story menyatakan pencabutan cerpen Kasih Ibu yang ditulis Prisa Adinda dan menyatakan bahwa cerpen tersebut tidak pernah dimuat Story. Demikian pemberitahuan ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Redaksi.

Sekedar diketahui Prisa adinda merupakan salah satu selebritis Indonesia. Nama lengkapnya Prisa Adinda Arini Rianzi atau lebih dikenal dengan Prisa (lahir di Jakarta, 6 Januari 1988; umur 24 tahun). Dia anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Rianzi Julidar dan Lydia Arlini Wahab, yang merupakan wakil Indonesia di ajang Miss Universe 1975. Prisa membuat video klipnya pada bulan September 2007 dengan judul lagu Kau Curi Lagi yang dinyanyikan oleh J-rocks dari album Spirit. Dia merupakan anggota dari grup musik Vendetta sebelumnya ia pernah membentuk grup musik Zala. Pada Mei 2008 ia meluncurkan albumnya yang berjudul Prisa.

Dan pengumuman itu tak membuat Desi Sommalia, pengarang asal padang, yang tulisannya di Plagiat itu tenang. Malahan dia menuding Story terkesan setengah hati menyikapi aksi plagiasi yang dilakukan Prisa Adinda terhadap cerpennya dan kebetulan dimuat di kolom cerpen seleb yang memang disediakan khusus untuk para selebritis yang ‘ditantang’ menulis cerpen di Story. “Story seolah ingin kesalahan tersebut dimaafkan dengan hanya mencantumkan pemberitahuan yang sama sekali tidak tegas, tidak menyatakan bahwa karya Prisa itu adalah karya plagiat. Dikatakan tidak tegas karena pemberitahuan yang dimuat majalah Story tersebut hanya mengatakan dua cerpen tersebut memiliki banyak kesa¬maan, dan sama sekali tidak mengatakan bahwa Prisa Adinda Arini Rianzi memplagiat karya Desi Sommalia Gustina,” ungkap Desi lewat tulisan bantahannya yang dimuat di Haluan edisi 27 maret 2011.

”Ah, mungkin kali ini Story ingin tidak menjadi seperti keledai. Terjerumus di lubang yang sama. Tentu dengan menelpon setiap penulis yang karyanya bakal dimuat.” Begitu saya kembali menguatkan batin. Bayang-bayang karya saya nampang di Story dan mendapatkan honor makin di depan mata. Uang mungkin memang kerap jadi jawaban atas segala kerja yang dilakukan manusia. Sekali lagi mungkin.

”Sekedar konfirmasi aja. Apakah betul bapak pernah mengirimkan cerpen berjudul Saatnya katakan cinta?” begitu kata perempuan di ujung sana melanjutkan pembicaraan.

Saya berpikir cepat. Mengingat-ngingat judul cerpen yang pernah saya buat dan dikirimkan ke majalah STORY. Sepanjang ingatan saya setidaknya ada dua cerpen yang pernah saya kirimkan ke majalah Story. Pertama cerpen berjudul “Brigadir Kepala Sulaiman hasbi.” tapi seingat saya ketika cerpen itu dikirim satu bulan kemudian redaksi STORY mengirimkan balasan email yang isinya seperti ini: “Sebenarnya cerpen anda bagus. Tapi maaf, kami majalah ber-genre remaja. Jadi cerpen anda belum dapat dimuat. Semoga tetap berkarya dan menulis untuk majalah STORY dengan genre remaja.” Cerpen itu memang tak dimuat di Story. tapi ketika saya iseng kirimkan ke surabaya post, ternyata dimuat. meskipun saya sedikit kecewa. sebab saya berharap cerpen itu dimuat pada 1 Juli 2010 ketika Polri ulang tahun. ternyata malah dimuat di akhir Juli.

Kedua cerpen berjudul “Saatnya katakan Cinta” tapi bukankah cerpen itu saya kirimkan setahun lalu. Setidaknya pada medio maret 2010 saya mengirimkan kedua cerpen itu ke majalah Remaja itu. Memang cerpen ini tidak mendapatkan konfirmasi sejak pertama kali dikirimkan. Tapi mengapa baru sekarang telepon? Bukankah tenggat waktu sebuah majalah biasanya 3 bulan setelah pengiriman, jika tidak ada konfirmasi dinyatakan tidak dimuat? Saya biarkan pertanyaan itu menggantung dalam pikiran. Saya buru-buru menjawab pertanyaan perempuan dari majalah STORY itu.

“Ya, betul. Saya pernah mengirim cerpen berjudul itu.”

“Apakah cerpen itu tidak pernah dikirimkan ke media cetak lain?” tanya perempuan itu lagi. Lama-lama saya dengar suara perempuan itu makin seksi aja.

“Seingat saya belum pernah.”

”Yakin?”

”Sangat yakin. Seyakin telinga saya mendengarkan suara mbaknya. (sebenarnya mau ngomong seksi, tapi ndak berani)”

”Juga belum pernah dimuat di majalah atau media cetak?” saya rasakan suara perempuan itu berubah. Barangkali di ruang kerjanya itu dia sedang tersenyum manis ketika saya godain.

“Dikirim ke media lain aja belum, apalagi dimuat. Hanya ke STORY saya kirimnya.”

“Apakah pernah di posting di jejaring sosial seperti fesbuk, misalnya. Atau blog?”

“Pernah!” Jawab saya jujur."Bahkan...."

Belum selesai saya menyudahi penjelasan, perempuan di ujung telepon sana menjawab. ”Sayang sekali. Padahal cerpen bapak bagus sekali. Malah kami hendak memuatnya pada edisi bulan ini.”

Padahal saya ingin mengatakan bahwa selain di fesbuk, cerpen itu juga saya posting di blog. Malah sudah sempat saya bukukan dalam kumpulan cerpen “selaput dara lastri’ pada oktober 2010 lalu.

”Tidak apa-apa kok, Mbak! Terimakasih sudah menelpon”

Namun belum sempat kata terimakasih itu terdengar perempuan dari Story itu, hubungan terputus. Diluar suara hujan terdengar berlarian di atas genting. Saya meletakkan Henpon. Lalu melanjutkan membaca cerpen “Ratusan mata dimana-mana” karya Martin Aleida. Entah mengapa pikiran saya begitu damai. Sayup-sayup terdengar suara Adzan Isya’ menerobos suara gaduh hujan yang berderap bersama angin kencang. Dan saya tertidur.

Madura, 30 Januari 2012.

Sabtu, 18 Februari 2012

Cerita Rumput

Cerita Rumput


kami adalah rumput liar yang kau injak.
tapi kami terus tumbuh dan menyebar.
jadi padang kering.
padang merah. padang darah.

kau bangun gedung-gedung
kau rampas tanah
alat alat berat melindas kami
paku-paku bumi
semen setebal sepuluh senti
mengubur kami

tapi kami biasa hidup dengan penderitaan
kami adalah benih segala macam kesakitan
kami adalah semesta. kami adalah cinta
yang dikoyakkoyak luka

dan kami berbiak di sisisisi gedung
yang suram dan lembab
yang tak bisa kau jangkau
dengan tangan
dan isi kepalamu yang kejam

kamilah rumput liar
sanggup jadi padang kering.
padang merah. padang darah.
padang api
mengepungmu
menghancurkanmu

sebab bumi ini
milik kami!


*) dimuat dalam antologi bersama "Bima Membara" (Halaman Moeka Publishing, Jakarta 2012)