WAKTU

JEDA

Jumat, 31 Oktober 2008

Menggali Neonasionalisme Kaum Muda

Dimuat di RADAR SURABAYA, 26 dan 28 Oktober 2008




Menggali Neo-Nasionalisme Bagi Kaum Muda
Oleh: Edy Firmansyah


Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari Sumpah Pemuda yang memasuki perayaan ke-80 adalah semangat nasionalisme yang memuat empat prinsip, yaitu kemandirian, kemerdekaan, kesetaraan dan identitas. Sumpah itu yang kemudian menjadi cikal bakal konsep Indonesia merdeka. Mengutip Benedict Anderson, bahwa Indonesia merupakan komunitas terbayang (Imagined Communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama. Pembayangan itu merupakan hasill hubungan lintas golongan, agama, dan ras dengan ikrar satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; Indonesia.

Cita-cita tersebut terpatri kuat dalam benak kaum muda karena pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh bangsa kolonial Belanda. Dengan lain kata, nasionalisme Indonesia merupakan sebuah penegasan akan identitas diri versus kolonialisme-imperialisme. Segala bentuk penindasan akan mendapat perlawanan sengit dari kaum muda. Dan semangat itu tak sia-sia. Akhirnya negeri ini berhasil memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Sayang, ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadi sebuah ancaman, rasa nasionalisme kaum muda kian hari kian pudar. Mereka tenggelam dalam konsumerisme dan hedonisme hasil rekayasa kapitalisme global. Mereka lebih hafal nama deretan artis Hollywood, VJ MTV, atau film produksi warner Bros daripada nama pahlawan atau teks proklamasi. Dalam fenomena semacam ini, apakah nasionalisme Indonesia di mata kaum muda telah luntur? Pertanyaan ini relevan untuk didiskusikan kembali pada perayaan Sumpah Pemuda ke-80 ini.

Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis.(Sulfikar Amir, 2005). Yakni sebagai kapasitas yang mampu memobilisasi dan menyatukan massa melalui janji-janji kemakmuran. Dengan kata lain nasionalisme akan terus tumbuh dan bersemi selama ada musuh bersama dalam sebuah nation.

Setidaknya ada empat hal yang bisa menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, terutama bagi kaum muda. Pertama, spirit berupa kemenangan. Misalnya, keberhasilan para siswa kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika di tingkat regional dan internasional, keberhasilan atlet menjadi juara dunia (tinju), bulu tangkis, bola kaki, dan sebagainya. Kemenangan-kemenangan tersebut secara tak langsung akan menumbuhkan Eforia nasionalisme. Bahwa Indonesia tak bisa lagi dipandang sebelah mata oleh dunia internasional.

Kedua, dengan motivasi terbalik. Motivasi terbalik itu dimaksudkan sebagai bentuk penggugah semangat untuk menjadi lebih baik tetapi dengan menunjukkan kelemahannya. Misalnya, pengalaman dicemoh dan direndahkan sebagai bangsa terkorup, sarang teroris, bangsa pengekspor asap terbesar, salah satu negara penyebab pemasan global, dan sebagainya, seharusnya memicu perubahan supaya kita bisa tampil sebagai bangsa terpandang.

Karenanya transparansi media massa menjadi penting. Tentu sebagai media penyampai informasi tentang kondisi sosial-politik dan ekonomi bangsa baik berita buruk maupun berita yang menyenangkan. Bukankah dalam hadist telah ditegaskan bahwa sampaikan kebenaran walaupun pahit?

Ketiga, bersikap pluralistik. Kita tahu bahwa negara Indonesia sangat plural. Terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan agama. Membrikan kebebasan dan rasa aman pada semua kelompok untuk menejawantahkan kebudayaannya sesuai etniknya masing-masing mampu membangkitkan rasa kepedulian terhadap bangsa.

Sebaliknya, Masyarakat akan cenderung bersifat sektarian manakala negara gagal menjamin kebebasan beragama—termasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan di hadapan hukum, hak mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya. Dan biasanya kegagalan mengelola soal pluralisme akan berujung pada konflik berdarah.

Yang terakhir adalah membangun keberpihakan terhadap kelas terbawah dalam masyarakat. Artinya semangat neo-nasionalisme haruslah digali dari harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat di tingkatan grass-root. Hal tersebut memungkinkan ideologi nasionalisme meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Misalnya dengan memberikan pendidikan gratis, pengobatan gratis untuk masyarakat miskin.

Sehingga semangat anti-kolonialisme bisa dialihkan menjadi spirit perlawanan terhadap kemiskinan, penderitaan dan penindasan dari sebuah sistem. Dengan begitu saya yakin nasionalisme lambat laun akan kembali bergelora dalam jiwa masyarakat kita. Karena—meminjam sudut pandang deterministik Gellner—bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Membebaskan Masyarakat Dari Kemiskinan

Dimuat di BALI POST, 20 Oktober 2008

Membebaskan Masyarakat Dari Kemiskinan
Oleh: Edy Firmansyah


Kemiskinan di negeri ini memang memprihatinkan. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Angka diatas belum termasuk masyarakat miskin baru yang terus bertambah seiring dengan kenaikan harga BBM sebesar 26,8 persen beberapa waktu lalu. Dengan kenaikan BBM harga seluruh komoditas (yang sebelumnya telah merambat naik) menjadi semakin tak terjangkau. Akibatnya transaksi antarkota, antar propinsi dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang dagangan tak akan mampu bersaing karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga akan naik.

Dengan kondisi tersebut jelas banyak usaha yang gulung tikar. Sehingga PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15, juta jiwa.

Kondisi diatas semakin diperparah dengan sikap pemerintah yang menggunakan sudut pandang konservatif mengenai penanggulangan kemiskinan. Kaum konservatif dengan tokoh August Comte atau Emile Durkheim berpendapat, kemiskinan terjadi akibat kultur dan mentalitas orang miskin yang tidak bisa beradaptasi dengan tatanan sosial yang ada. Kaum konservatif selalu memandang positif struktur sosial yang ada. Karena itu bagi kaum konservatif, kemiskinan bukan masalah yang serius.

Buktinya, hingga kini belum terlihat gelagat politik pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang benar-benar pro masyarakat miskin baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, terutama dalam upaya mencerdaskan dan menyehatkan warga negara dan pendampingan menyeluruh pada kaum miskin.

Lihat saja, mereka makin susah sekolah dan tak bisa dirawat di RS karena tak bisa membayar uang muka, tak ada air bersih dan tak punya rumah. Sebagian yang lain banyak terkena gangguan jiwa. Benar memang ada bantuan yang dikucurkan negara untuk menjawab masalah kemiskinan. Misalnya, ketika harga BBM melonjak, pemerintah mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sekitar 3 Trilyun rupiah. Untuk menelamatkan daya beli (baca: konsumsi) masyarakat

Namun jawaban tersebut terkesan instan. Bukannya menuntaskan kemiskinan itu sendiri, justru kita saksikan masyarakat mendaftarkan diri menjadi pengemis. Kaum miskin (dan orang-orang yang pura-pura miskin) rela antre sembari ‘menengadahkan tangan’ sebagai pesakitan guna mendapatkan talangan dana dari pemerintah.

Ironisnya, meski secara tidak langsung pemerintah mengajari kaum miskin menengadahkan tangan dan mengharap iba dari negara melalui BLT, sikap pemerintah justru terkesan amat paradoksal ketika menyikapi pengemis, pengamen jalanan, tukang semir dan PKL yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Kaum miskin itu justru dihadapkan pada penggusuran dan operasi yustisi dengan alasan merusak keindahan kota.

Kebijakan Pro Poor
Karena itu kemiskinan tidak akan banyak berubah jika hanya mengandalkan aksi turun ke jalan selama pemerintah tidak memiliki political will yang kokoh untuk mengubah paradigma kemiskinan yang konservatif menjadi paradigma penanggulangan kemiskinan yang radikal. Yakni upaya penanggulangan kemiskinan dengan memberikan pendidikan politik, menekan diskriminasi disegala lini dan memberikan ruang gerak yang lebih luas pada kaum miskin untuk bangkit dari keterpurukannya.

Negara yang telah memberikan kedudukan yang sama pada warga negaranya, memberikan pelayanan yang sama pada warganya (tanpa membedakan kaya atau miskin), memberikan kesempatan kerja yang sama pada semua masyarakatnya, memberikan penghargaan yang sama pada warga negaranya, tentu akan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kreativitas dan semangat kerja tingkat tinggi. Dengan demikian mampu mendongkrak ekonomi dan pendapatan perkapita negerinya. Misalnya saja; petani di desa bisa dengan santai melakukan penelitian di laboratorium kecilnya untuk menemukan penangkal hama sambil menunggu hasil panen tanpa harus khawatir harga gabah bakal anjlok di pasaran. Atau PKL di Rawasari bisa terus mengembangkan kreativitasnya dengan membuat kramik-kramik bernilai seni tinggi tanpa harus resah pada penggusuran.

Sebagaimana yang diutarakan Pramoedya Ananta Toer, orang yang terbebas dari kemiskinan sebenarnya adalah orang yang bisa mengembangkan pekerjaannya, tanpa ancaman dan tanpa gangguan, apapun pekerjaan yang digelutinya. "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri." (Bumi Manusia, Hal. 39). Sebab kerja adalah kodrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya dengan bekerja manusia dapat mempertahankan eksistensi dirinya sebagai manusia sejati. Dan sudah menjadi tugas negara sebenarnya—sebagaimana termaktub dalam UUD—untuk menciptakan pekerjaan yang layak bagi warga negaranya sebagai wujud keseriusannya menyatakan perang terhadap kemiskinan.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pekerja di Badan Pemberdayaan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Kamis, 23 Oktober 2008

Catatan Kematian untuk Ayahanda Seorang Kawan

To: Nilam Ramadhani


Barangkali hari Kamis, 16 Okotober lalu, adalah hari paling sunyi. Tak ada telepon untuk saya. Juga tak ada sms. Padahal biasanya ada saja kawan-kawan yang iseng telp ke Hp untuk sekedar say hallo, kirim sms lucu atau sms porno. Tapi hari itu benar-benar sepi. Hanya ada satu sms masuk. Dari kawan SMA. Itupun bernada duka.”Innalillahi wainna Ilaihi Rojiun. Telah meninggal Ayahanda Tercinta Eddy Margono pada 16 Oktober 2008. Jika ayah saya ada salah mohon dimaafkan,”

Terkejut. Jelas. Kalau tidak salah tiga bukan lalu saya dan keluarga beranjangsana ke rumah kawan saya itu. Sempat pula ketemu dengan kedua orang tuanya. Keduanya kelihatan masih sehat. Padahal usianya sudah sekitar 50 tahun keatas. Sebagaimana pensiunan PNS umumnya. ”Kematian itu misteri. Dia bisa datang kapan saja,” ujar istri saya ketika saya ceritakan kabar duka itu.

”Mirip mantra Jalangkung, ya!?. Datang tak dijemput, pulang tak diantar,” celetuk saya. Istri saya langsung sewot. ”Kematian kok dibikin main-main,” sergahnya lalu ngeloyor pergi ke dapur.

”Siapa yang main-main?” batin saya. “Kematian adalah alamiah. Ketika syarat-syarat untuk hidup suatu mahkluk terputus karena berbagai sebab, maka matilah ia. Jadi tak bisa dibikin main-main,” saya nyerocos terus tapi dalam batin.

Kemudian saya ambil Hp dan mulai membalas sms kawan saya itu. ”Saya dan keluarga turut berbela sungkawa. Saya usahakan hadir pada prosesi pemakaman,”

***
Barangkali karena kematian itu alamiah, saya tak pernah mengikuti prosesi pemakaman orang-orang dekat saya yang meninggal dengan khikmat. Saya berangkat ke makam, menyaksikan jasad orang-orang dekat saya ditumbun tanah, berdoa hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Agar masih dianggap punya rasa sosial. Yang hidup ya pasti mati, yang mati nggak mungkin hidup lagi. (kecuali dalam film horor).

Tapi pada prosesi pemakaman ayah kawan saya itu, saya justru merenung. Seandainya saya yang sedang dimasukkan dalam liang lahat itu, apakah orang-orang yang datang itu berdo’a dengan ikhlas untuk saya atau berdoa untuk dirinya sendiri? Sekedar menggugurkan kewajiban atau sekedar mengisi waktu luang? Adakah diantara mereka yang masih menyimpan dendam pada saya ketika saya berbuat salah semasa hidup? Tidak ada yang tahu.

Sama seperti ketidaktahuan kita tentang apa-apa yang terjadi setelah jasad ditimbun tanah. Apakah almarhum sedang diinterogasi malaikat disertai disiksa sebagaimana polisi menginterogasi maling ayam, ataukah Almarhum sedang diskusi dengan malaikat tentang kondisi sosial politik di alam kubur sembari menyeruput cappucino khas alam kubur, tak ada yang tahu.

Tapi kata hikayat pengadilan di alam kubur tak seperti pengadilan di dunia. Barangkali di dunia koruptor bisa saja lolos dari jeratan hukum dengan membungkam para hakim dan jaksa dengan segebok uang, tapi di alam kubur tak berlaku hukum uang. Yang berlaku adalah rekam jejak ketika hidup di dunia. Kalau di dunia kelakuannya busuk, misalnya menilap uang rakyat, mengobral janji-janji kala kampanye, tetapi ketika terpilih ingkar, ngemplang duit proyek, maka ia akan jadi sansak gada malaikat.

”Siapa yang tahu? Tak ada yang tahu to? Jadi kalau sama-sama tidak tahu mbok jangan nyerocos terus. Buang-buang energi!” celetuk batin saya. Glek. Saya jadi keki. Bisanya Cuma garuk-garuk kepala sambil nyengir kuda.

Tak terasa liang kubur telah tertutup tanah. Manusia yang berasal dari tanah kini kembali ke tanah. Dan doapun dipanjatkan. Saya larut dalam hening, berdo’a dengan bahasa saya sendiri.

Tuhan, saya sejatinya tidak kenal betul dengan Om Eddy Margono ini semasa hidupnya. Satu-satunya kenangan saya dengan Om Eddy Margono ini ketika saya bertandang pada kawan saya itu. Saya ingat tiap kali memanggil kawan saya, ia selalu menyebutnya ’adik.’ Barangkali itu sapaan sayang buat anak bungsunya itu. Dari sapaan itu saya berkesimpulan bahwa kepala keluarga ini adalah orang yang penuh bahasa kasih. Ia membesarkan putra-putranya tidak dengan bentakan atau hardikan, tapi dengan bahasa sayang. Buktinya, kedua putranya adalah pemuda yang cukup bisa menjadi kebanggan keluarga. Si sulung seorang dosen di Jogyakarta. Si Bungsu juga Dosen. Saya yakin Om Eddy Margono ikhlas kembali ke asal-mulanya.

Tuhan, anak adalah proyeksi orang tua. Si bungsu adalah kawan saya sewaktu SMA. Ia begitu baik pada saya. Kita sering terlibat diskusi-diskusi panjang tentang banyak hal. nada bicaranya datar, tak ada sifat sombong. Yang ada kemauannya yang besar untuk belajar banyak hal. Saya yakin Om Eddy Margono adalah juga pria yang gigih di masa mudanya. Ia bekerja pantang menyerah, banting tulang hanya untuk menyaksikan anak-anaknya sukses di masa depan. Dan barangkali salah satu cita-citanya itu telah tercapai. Saya yakin do’a kedua putranya itu tak akan putus-putus dilantunkan siang dan malam untuk keselamatan Ayahanda tercintanya.

Jadi Tuhan, jika ada dosa-dosa almarhum yang masih menempel dalam raganya ikhlaskanlah. tegakah engkau melukai seorang kepala keluarga yang amat dicintai keluarganya ini hanya karena dosa-dosa yang sejatinya bisa kau hapus dengan kekuatanMU itu? Mengingat kerja kerasnya, jasa-jasanya, kegigihannya untuk membahagiakan istri, putra-putranya tak bisa terhitung nilainya. Ketulusan cinta terhadap istri dan anak-anaknya tak bisa digantikan dengan apapun.

Jadi tuhan, terimalah ia seperti kau menerima para syuhada. Jangan ada siksa kubur. Karena cara-cara kekerasan hanya dilakukan oleh orang-orang yang lemah jiwanya. Bukankah kau tak mau ’digugat’ mahklukMU karena tergolong Dzat yang lemah?


Surabaya-Madura, 20 Oktober 2008

Rabu, 15 Oktober 2008

Melawan Post Power Syndrome Pasca Pensiun

Dimuat di DUTA MASYARAKAT, 12 Oktober 2008



Melawan Post Power Sindrom Pasca Pensiun


Judul : Pensiun Bukan Akhir Segalanya; Cara Cerdas Menyiasati Masa Pensiun
Penulis : J Tito Sutarto dan C. IsmulCokro
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xii + 191 Halaman

Peresensi : Edy Firmansyah

Pensiun tampaknya menjadi momok tersendiri bagi para pegawai-karyawan seperti; pegawai negeri sipil, guru, karyawan perusahaan, karyawan bank, LPND, BUMN, tentara dan polisi. Betapa tidak, disaat seseorang memasuki masa pensiun, berarti ia kehilangan kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, atau mungkin juga harga diri. Ia bagaikan mengalami kekalahan terbesar karena harus telelinimasi, tersingkir keluar dari lingkungan yang telah mapan. Mereka seakan memasuki wilayah serba asing dan tidak menentu.

Bagi para pesiunan yang tidak memiliki persiapan yang matang, tidak menutup kemungkinan akan mengalami tekanan jiwa. Awalnya tekanan jiwa akibat post power syndrome (PPS). Namun jika dibiarkan berlarut-larut, tekanan jiwa tersebut bisa bertambah berat dan bisa menyebabkan kegilaan.

Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki persiapan, masa pensiun justru menjadi masa paling berbahagia dalam menikmati hidup. Tentu saja kebahagiaan yang diperoleh seseorang ketika pensiun sangat ditentukan oleh persiapan dan kesiapan jauh hari sebelum masa pensiun tiba. Hasil penelitian Universitas Michigan yang meneliti para pensiunan menunjukkan bahwa sebanyak 75 persen pekerja yang membuat persiapan sebelumnya akan menikmati masa pensiun dengan lebih bahagia dibandingkan 25 persen lainnya yang tidak membuat persiapan (hal. 11).

Nah, buku ini memberikan metode praktis dan temuan berharga yang memiliki nilai pembelajaran self-help sebagai modal mempersiapkan dan menjalani masa pensiun dengan cerdas. Penulis buku ini mencoba mendekati masalah pensiun dan lansia melalui pencerahan pikiran, emosi, sosial dan ilmu pengetahuan. Post power syndrome (PPS) yang dihadapi para pensiunan dicegah dengan siasat ”jangan pernah pensiun.” Stress yang dialami dilawan dengan: Jangan pikirkan siapa anda di masa lalu. Jangan juga pikirkan jabatan dan kejayaan anda di masa lalu! Pikirkan apa yang anda kerjakan sekarang ini. Karena setiap pensiunan berhak mengalami hidup bahagia dan sejahtera di masa tuanya.

Pemikiran tersebut sebenarnya berangkat dari siklus kehidupan paling dasar. Bahwa semua yang hidup akan mengalami proses penuaan sampai akhirnya kembali ke asalnya (mati dan kembali ke tanah). Begitu juga dengan pekerjaan yang dilakoni seseorang. Tak seorangpun akan terus dipekerjakan dan memiliki jabatan dan profesi seperti saat ini. Semua akan tiba pada akhirnya: pensiun—atau memilih pensiun. Dari presiden sampai tukang ebun, dari panglima sampai prajurit, dari top manajemen sampai office boy, semuanya harus pensiun.

Sebab layaknya sebuah stomm wheel, pensiun sangat dibutuhkan oleh siapapun, entah perusahaan, birokrasi pemerintahan atau pribadi, dalam rangka menyukseskan ’roda kehidupan’ yang tidak bisa dihentikan siapapun.(hal. 2).

Bagi sebuah perusahaan atau birokrasi pemerintahan atau organisasi politik, memberlakukan pensiun pada pegawainya penting untuk menghasilkan kinerja dan gerak langkah yang lebih, cepat, dinamis guna menyesuaikan diri dengan persaingan pasar. Karenanya diperlukan regenerasi secara kontinyu untuk menjawab tantangan tersebut. Selain itu juga tenaga kerja muda yang telah banyak jumlahnya perlu diakomodasi.

Sedangkan bagi pribadi pensiun sebenarnya merupakan kesempatan untuk menjalani hidup bebas, melawati hari-hari dengan menjadi tuan atas diri sendiri. Tidak ada lagi yang memerintah, tidak ada lagi yang diperintah. Kini andalah yang menentukan hidup anda. Tentu saja untuk melewati masa pensiun dengan lebih bahagia dan menyenangkan diperlukan persiapan-persiapan yang matang.

Tanpa persiapan masa pensiun akan dilalui dengan kesepian yang panjang dan melelahkan. Jika kondisi yang demikian dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan para pensiunan akan mengalami tekanan jiwa. Awalnya tekanan jiwa akibat post power syndrome (PPS). Namun jika seseorang tidak segera keluar dari kondisi, tekanan jiwa akibat PPS tersebut bisa menyebabkan kegilaan.

Setidaknya ada empat kebutuhan utama yang ditawarkan buku ini sebagai persiapan ketika memasuki masa pensiun; pertama, kesiapan materi finansial. Kedua, kesiapan fisik. Ketiga, kesiapan mental dan emosi. Dan terakhir kesiapan seluruh keluarga. Jika keempat hal tersebut sudah bisa disiapkan dengan matang niscaya masa pensiun akan dilalui dengan menyenangkan. Namun yang terpenting—mengutip pernyataan Winston Churchill, ”never, never, never retire; change careers, do something entirely different, but never retire.” (Jangan pernah pensiun; alihkan profesi, kerjakan apa saja biarpun berbeda, tapi jangan pernah pensiun!)

Mengapa Winston Churchill berkata seperti itu? Karena para pensiunan yang terus bekerja atau memiliki kegiatan tertentu rata-rata mencapai usia lebih panjang lebih sehat, lebih sejahtera di masa tuanya. Jauh dibandingkan mereka yang setelah pensiun tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan dan cenderung berada di kursi malas sepanjang hari dalam menghabiskan sisa hidupnya.

Bentuk kegiatan tersebut biasa apa saja. Misalnya, membuka jasa katering, warung makan, wartel, fotokopi, rental trasnportasi, membuka tempat kost, beternak, budidaya tanaman hias, dan seribu macam kegiatan lainnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Sungguh buku yang begitu menyentuh dan penuh dengan hikmah kehidupan. Karena ditulis berdasarkankan pengalaman pribadi penulisnya yang notabene merupakan pensiunan. Bahkan buku ini bukan hanya layak dibaca oleh para pensiunan. Tetapi juga dapat dinikmati oleh semua kalangan dari berbagai profesi sebagai bekal menjalani hidup di masa tua. Setidaknya dengan membaca buku ini kita sudah bisa berani berkata; pensiun, siapa takut?

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Direktur pada People Education Care Institute (PECI) Surabaya. Alumnus Kesejahteraan Sosial Unversitas Jember.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Gangguan Jiwa dan Pendidikan Nir Kekerasan

Dimuat di Harian RADAR SURABAYA, 11 Oktober 2008

Gangguan Jiwa dan Pendidikan Nir Kekerasan
Oleh: Edy Firmansyah



Tujuan utama memperingati Hari kesehatan Jiwa Dunia yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober adalah mengatasi masalah gangguan kejiwaan yang melanda manusia di dunia khususnya di Indonesia. Pasalnya, masalah gangguan-gangguan kesehatan jiwa dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2001, paling tidak satu dari empat orang di dunia atau sekitar 450 juta orang terganggu jiwanya. Parahnya lagi, di negara-negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, gangguan kejiwaan yang kerap menjangkiti masyarakat adalah masalah psikotik yang salah satu bentuknya adalah skizofenia, yaitu gangguan pada proses pikir, emosi dan prilaku dengan gejala kemunduran di bidang sosial, pekerjaan dan hubungan interpersonal. Gejalanya adalah maraknya tindak kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pencopetan yang disertai dengan kekerasan bahkan penghilangan nyawa.

Di Jawa Timur saja misalnya, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini kasus kriminalitas berupa pembunuhan rata-rata mencapai diatas 150 kejadian. Selain pembunuhan, kasus penganiayaan berat yang sering mengakibatkan korbannya mengalami luka permanent atau cacat mencapai lebih dari 1.000 kasus. Yang paling gres adalah tragedi pembunuhan berantai yang dilakukan Very Idam Henyansyah alias Ryan, si Jagal dari Jombang. Ia dengan begitu sadis tega menghabisi 10 nyawa hanya demi mengejar status ‘kaya’.

Sebelum kasus Ryan terkuak, publik Jatim juga pernah dikejutkan kasus terbunuhnya satu keluarga yang dilakukan Sumiarsih dan keluarnya serta pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan Astini di Surabaya. Banyak kalangan yang menuding faktor ekonomi yang kerap menjadi pemicu terjadinya pembunuhan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil tes psikologis yang menyatakan Ryan dalam keadaan sehat tanpa gangguan jiwa. Artinya apa yang dilakukan Ryan tak lebih karena faktor ekonomis. Dengan kata lain, Semakin tinggi biaya hidup membuat banyak orang menghalalkan segala cara untuk menutupi kebutuhan. Dan masyarakat yang terjepit secara ekonomi adalah yang paling mudah melakukan kekerasan. Terlebih lagi, ditengah kondisi serba sulit seperti saat ini masyarakat terus saja dibanjiri iklan-iklan bernada konsumtif yang memaksa alam bawah sadar seseorang untuk terus berbelanja.

Faktor Psikologis
Tetapi ada yang luput dari perhatian publik manakala menganalisa maraknya kasus kejahatan yang berakhir dengan pembunuhan di masyarakat, yakni faktor psikologis. Manusia-manusia yang memiliki psikologis yang stabil tidak akan berbuat tindakan nir kemanusiaan separah apapun kondisi hidup menekannya. Bahkan mereka terus mencari cara keluar dari belitan ekonomi. Sebaliknya, manusia dengan psikologis yang labil cenderung menjadi destruktif manakala dihadapi pada tekanan hidup.

Meski demikian tak semua masyarakat miskin cenderung memiliki psikologi yang labil. Banyak orang-orang miskin yang berhasil meraih kesuksesan ditengah himpitan ekonomi. Kisah inpiratif dalam novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, merupakan sedikit bukti betapa masyarakat miskin ternyata mampu menjawab tekanan ekonomi dengan semangat dan kerja keras.

Apa yang membuat mereka mampu menjawab tantangan hidup dengan gemilang? Pendidikan orang tua. Orang tua yang sejati adalah orang tua yang berhasil menanamkan kejujuran, kebersahajaan, kasih sayang dan harapan pada anak-anaknya ditengah berbagai tekanan hidup. Sehingga anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, dan mampu mempertahankan hidup dengan cara yang manusiawi bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun. Anak-anak yang telah memiliki pijakan psikologis yang mapan akan terus berusaha tak kenal menyerah. Bukan hanya sekedar mempertahankan hidup, melainkan juga terus mengasah semangat agar tetap hidup.

Kondisi yang demikian akan melahirkan anak-anak yang memiliki ketenangan batin yang matang. Dan ketenangan jiwa sangat penting bagi sebuah penemuan dan proses kreatifitas. Pribadi yang kreatif ialah jiwa yang berani berhadapan dengan diri sendiri dan melakukan penjelajahan. Hal itu tentunya hanya bisa dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, kreatif dan reflektif, bukannya pribadi-pribadi yang tergesa-gesa dan dalam keadaan tegang, atau dalam keadaan terhimpit oleh tekanan-tekanan akibat dari metode pendidikan orang tua yang menekan.

Menciptakan Generasi Nir Kekerasan
Menghasilkan anak-anak yang tangguh secara psikologis tak bisa dilakukan dengan pendidikan yang otoriter, sadis dan kurang humanis. Pernyataan Dorothy Law Nolte berikut ini setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana membangun manusia-manusia yang nir kekerasan;

Jika anak dibesarkan dengan celaaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan perlakukan yang baik, maka ia belajar berlaku adil
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan menemukan cinta dalam kehidupannya.
Begitulah anak selalu belajar dalam kehidupannya.

Melalu pernyataan Dorothy Law Nolte diatas setidaknya dalam memberikan gambaran bahwa orang dewasa yang pernah menjadi korban penyiksaan di masa kecilnya mungkin saja melampiaskan rasa frustasinya kepada lingkungan sosialnya atau kepada orang-orang yang pada awalnya ia cintai. Prilaku sadis yang dilakukan Ryan, Sumiarsih bahkan Astini kalau mau ditelisik lebih jauh menggunakan psikoanalisa akan terkuak bahwa mereka hidup mereka ketika kanak-kanak amat tidak menyenangkan dan penuh amarah. Sebab dalam analisa Freud, ahli psikologi analis, pengalaman traumatis yang dialami seseorang akan tersimpan jauh di alam bawah sadar seseorang dan dalam kondisi tertekan akan menciptakan prilaku menyimpang melebihi dari efek trauma yang pernah dialaminya.

Karena itu menciptakan masyarakat nir kekerasan harus dimulai melalui pendidikan. Pendidikan yang tidak diskriminatif, yang tidak membeda-bedakan peserta didik berdasarkan status sosial dan anti segala bentuk kekerasan merupakan cerminan dari pendidikan bermutu. Selama pendidikan tidak bersikap humanis maka masyarakat kita akan terus dikelilingi orang-orang dengan gangguan jiwa.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Membaca Anomali Sosial Kemiskinan

Dimuat di SUARA KARYA, 10 Oktober 2008


Membaca Anomali Sosial Kemiskinan
Oleh: Edy Firmansyah



Masalah kemiskinan di negeri ini kian hari kian memprihatinkan. Tengok saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Juni 2007 angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Bahkan, dengan dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,6 persen, beberapa waktu yang lalu, yang berdampak pada melonjaknya harga seluruh komoditas, itu jelas menambah deretan panjang kemiskinan. Sebab, dengan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, transaksi antarkota, antarprovinsi, dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan bisa berhenti total.

Imbas dari semua ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Angka kemiskinan pun hampir bisa dipastikan meningkat tajam. Inilah kenyataan yang terjadi pada saat ini.

Kondisi sosial ekonomi semacam ini merupakan faktor utama terjadinya anomali sosial. Menurut Durkhaem, anomali sosial timbul akibat tidak imbangnya kondisi sosial ekonomi di masyarakat, yakni antara pendapatan dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi tidak seimbang. Di tingkatan gunung es, anomali sosial mulai dapat kita saksikan. Misalnya, perampokan yang mulai marak. Perampokan itu adakalanya disertai kekerasan fisik. Tragedi pembagian zakat yang menewaskan setidaknya 21 orang di Pasuruan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu adalah bagian dari dampak kemiskinan.

Masalahnya bisa menjadi makin rumit ketika kaum miskin itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama menjelang pemilihan Presiden oleh para pialang politik yang berwatak Machiaveli. Yakni, dengan memberikan penyaluran energi bagi kaum miskin untuk menghalalkan segala cara demi suksesnya perebutan kekuasaan, termasuk dengan menciptakan kekerasan, peperangan, dan anarkisme. Dengan demikian, hal itu cenderung melahirkan konflik politik yang makin besar.

Dalam kondisi masyarakat yang demikian tertekan, jangan heran jika hanya dengan kabar angin saja, masyarakat akan langsung tersulut untuk melakukan tindak kekerasan. Tanpa ba-bi-bu masyarakat akan membentuk kerumunan, kemudian melakukan kekerasan dan anarkisme sebagai bentuk eskapisme sosial sebagai wujud ketidakmampuan mendorong perubahan ekonomi-politik di pusat kekuasaan. Hal itu tentu saja membahayakan integritas bangsa.

Karena itu, permasalahan kemiskinan ini harus segera mendapatkan perhatian serius, terutama oleh pemerintah. Meski demikian, elemen masyarakat yang kompeten seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan partai politik juga harus dilibatkan guna menuntaskan masalah kemiskinan.

Mengakhiri kemiskinan tentu saja tidak melulu memberikan bantuan uang atau menyediakan lapangan pekerjaan semata. Yang terpenting saat ini, di masa krisis seperti sekarang ini adalah menciptakan kreativitas dan daya tahan ekonomi yang kukuh untuk terus bertahan hidup. Semangat semacam itulah yang semestinya dipupuk dalam benak masyarakat.

Karena itu, penting untuk memberikan pelatihan-pelatihan gratis mengenai bagaimana menggali potensi diri. Dengan mengetahui potensi itu, masyarakat bisa dibimbing untuk menghasilkan suatu yang kreatif dan menghasilkan uang.

Bakat itu menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Ronaldo mungkin diam-diam dimiliki seorang penganggur yang tinggal di Rusun Penjaringan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang mengais sampah di pinggiran sungai. Atau, salah seorang anak pengemis di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zubin Mehta. Dan, hal ini perlu juga melibatkan para psikolog dan para motivator ulung untuk melejitkan potensi kaum miskin.

Dengan begitu, upaya mengentaskan kemiskinan bisa dilakukan dengan menggali potensi diri untuk menghasilkan pekerjaan yang kreatif. Perniagaan, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, seni dan sastra, olahraga, dan pelayanan sosial, misalnya, bisa dikelola "sesuai kemampuan" untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai jual.

Di samping itu, penting juga kiranya membangun mental progresif para elite politik, birokrat, dan pejabat untuk peduli pada nasib kaum miskin. Selain itu, perlu juga menahan diri untuk melakukan korupsi, penggusuran, perampasan tanah, kebohongan lewat kampanye politik, dan politik uang dalam upaya menempa diri menuju kepemimpinan sejati.

Pemimpin yang sejati tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan. Ia berkuasa tetapi tidak menguasai; kaya tetapi tidak memiliki; jujur tetapi rendah hati; berbicara melalui kerja; termasyhur tetapi berlaku biasa. Terakhir, ia terpanggil untuk memimpin karena hati nurani dan jeritan kebutuhan rakyatnya sendiri (Jacob Sumardjo, 2003). Dengan begitu, kemungkinan untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan makin terbuka lebar.

Tentang Penulis
Penulis adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Research Social, Politic and Democracy), Jakarta

Senin, 06 Oktober 2008

Mewaspadai Anomie Urbanisasi

Dimuat di SURABAYA POST, 3 Oktober 2008


Mewaspadai Anomie Urbanisasi
Oleh: Edy Firmansyah



Urbanisasi merupakan salah satu permasalahan kota besar menjelang dan pasca lebaran selain meningkatnya angka kriminal. Angka urbanisasi tiap tahun selalu meningkat tajam.
Di Surabaya misalnya, berdasarkan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Surabaya, dengan menggunakan metode sampling, laju pertumbuhan urbanisasi pasca lebaran 2007 mencapai 1,8 persen dari total penduduk 2,8 juta jiwa atau sekitar 50.400 jiwa. Sampel tersebut diambil dari responden pendatang yang masuk ke Surabaya melalui enam titik utama, yaitu Terminal Purabaya, Terminal Oso Wilangun, Stasiun Pasar Turi, Stasiun Gubengm Stasiun Wonokromo dan Pelabuhan Tanjung Perak Zamrud. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data laju urbanisasi tahun 2006 yang dicatat Badan Pusat Statistik, yakni hanya mencapai 32.912 jiwa. (Kompas Jatim, 10/09/08). Dan sebagaima fenomena gunung es, tidak menutup kemungkinan angka diatas bisa saja bertambah dua kali lipat atau lebih.

Padahal menurut Emile Durkheim, jika kondisi ini dibiarkan maka akan menimbulkan anomie, yakni suatu keadaan dimana nilai lama ditinggalkan demi meraih nilai baru yang belum mengakar kuat di masyarakat. (Arif Budiman dalam Nurdin, 1982). Yang terjadi kemudian sebuah kehancuran. Barangkali dalam benak masyarakat urban, berbondong-bondong pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya guna meraih harapan dan cita-cita untuk memperoleh pekerjaan demi mencapai masa depan kehidupan yang lebih baik. Namun, tak pernah dipikirkan bahwa desa kehilangan sumber daya manusia untuk mengelola sawah dan ladang, sehingga tanah menjadi kering dan tak bisa lagi dijadikan tempat bergantung hidup.

Sedangkan kota mulai kelebihan penduduk yang berakibat semakin mudah terjadi konflik. Betapa tidak, dengan membengkaknya masyarakat urban itu tak heran jika kondisi perkotaan di Surabaya semrawut. Rumah-rumah berdempet-dempet, kendaraan bermotor bertambah drastis. Makanya jangan heran jika kebakaran dan macet selalu menjadi fenomena yang tidak asing di Surabaya. Belum lagi masalah perumahan-perumahan kumuh, PKL, anak jalanan dan prostitusi yang tak kunjung tuntas.

Sebenarnya apa yang memaksa masyarakat urban itu berbondong-bondong ke kota? Padahal cerita soal kegagalan masyarakat urban mengais rejeki di kota besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan cerita sukses masyarakat urban. Tak henti-hentinya media cetak dan elektronik menayangkan betapa kejamnya kota besar. Jumlah pengangguran kota besar yang kian membengkak, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya adalah sekilas gambaran kehidupan kota besar.

Karena tak heran jika Sastrawan sekaliber Pramodya Ananta Toer melarang keras masyarakat daerah mengadu nasib ke Jakarta. Dalam esai panjangnya berjudul Djakarta Pram memberi warning pada masyarakat yang hendak melakukan urbanisasi. “…Jangan mengadu nasib ke Jakarta (baca: kota besar) jika tidak memiliki kemampuan lebih. Karena kalian hanya akan menjadi kuda. Menjadi roda kota besar. Dan ketika kembali ke kampung halaman, kalian akan menjadi sampah. Sampah-sampah itu jumlahnya bakal lebih banyak dari korban revolusi,…”

Tapi siapa peduli. Urbanisasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Inilah yang disebut Yusraf Amir Piliang (dalam Idi Subandy Ibrahim, 2004) sebagai ’ketidaksadaran massa.’ Ketidaksadaran massa ini lahir dari perkembangan kapitalisme tingkat tinggi yang merasuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat. Melalui kotak ajaib bernama televisi, masyarakat digerakkan untuk percaya bahwa segala yang berasal dari ’desa’ adalah sesuatu yang usang. Dan merupakan hukum sejarah bahwa yang usang itu akan diganti yang baru, yang modern. Nah, kota-lah yang kini menjadi pusat segala modernitas itu.

Untuk bisa menjadi manusia modern, kota adalah pilihan satu-satunya. Gambaran tersebut sengaja dibenamkan kapitalisme lewat tayangan sinetron dan cerita indah para selebritis. Untuk apa? apalagi jika bukan untuk percepatan laju produksi dan konsumsi. Semakin banyak massa mengambang di kota besar, semakin mudah barang-barang produksi menguap.

Di samping itu, kondisi serba sulit yang dihadapi masyarakat desa semakin mempercepat terjadinya proses ketidaksadaran massa tersebut. Cerita sedih soal tanaman padi yang diserang hama, gagal panen karena kekeringan, harga pupuk yang mahal, dan banjir yang menghancurkan tembakau sudah menjadi berita sehari-hari para petani di desa. Sehingga wajar jika banyak diantara kaum tani berpendapat; ”apalagi yang bisa diharapkan hidup di desa?” ditengah keputusasaan itulah urbanisasi dijadikan solusi memperbaiki nasib.

Sayang, fenomena inilah yang luput dari perhatian publik terutama pemerintah. Pemerintah masih menggunakan paradigma lama dalam menganalisa urbanisasi. Bahwa satu-satu pemicu adalah kesenjangan ekonomi. Sehingga solusi yang diambil seakan tak mampu membendung arus urbanisasi. Misalnya, salah satu solusi yang diambil Pemerintah Kota Surabaya untuk membendung arus urbanisasi adalah memperketat syarat pengajuan Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS). Yang diantaranya akan memuat persyaratan jaminan tempat tinggal dan pekerjaan bagi pemohon. (Kompas Jatim, 10/09/08). Hanya saja siapa yang bisa menjamin adanya manipulasi data dan kongkalikong dengan petugas capil. Bukankah semakin membludaknya pemohon SKTS justru menjadi ’proyek’ bagi petugas capil untuk menambah penghasilan mereka?

Sampai disini saya sepakat dengan Pram bahwa cara membendung urbanisasi adalah memberikan rasa aman bagi masyarakat desa untuk menyambung hidup mereka. Misalnya, distribusi bibit, irigasi dan pupuk lancar, serta memberikan bekal kemampuan dalam penguasaan teknologi tepat guna. Dan yang diperlukan untuk itu adalah tenaga-tenaga muda yang ahli dibidang sosial, politik, ekonomi dan tehnologi. Sehingga desa mampu menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja.

Inilah yang disebut pembangunan bebasis lokalitas. Karena itu, penyebaran pendidikan, kesehatan, teknologi, serta informasi harus berimbang antara kota dan desa. Artinya fokus pembangunan kota dan desa harus merata, tak ada diskriminasi. Sehingga kualitas SDM sebagai ujung tombak mengelola sumber daya alam desa lebih maksimal. Sehingga nantinya masyarakat desa tak perlu lagi berbondong-bondong ke kota hanya untuk sekedar mencari sesuap nasi.

Hanya saja masalahnya, pembangunan yang digalakkan pemerintah masih saja menjadikan kota sebagai pusat segala. Dan inilah yang menjadikan kaum urban dan kota besar ibarat gula dan semut.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.