WAKTU

JEDA

Senin, 28 September 2015

RAHASIA

buat: Nurfa Rosanti


mestinya
kau tak perlu tahu
hal ini

karena aku mencintaimu
tiapkali aku menghirup udara pagi
dan angin gigil mengerutkan pori-pori
aku seakan menghirup aroma tubuhmu
yang bercampur wangi softener soklin
semesta pagi adalah tubuhmu
nafasku bertukar nafasmu
tubuhku menyentuh tubuhmu
menyalakan hari
mempersiang segala yang redup
di hidupku

namun jika kau menjauhkan cintamu dari cintaku
maka cintaku akan belajar memunggungimu
kemudian melenyap di tikungan jalan

jika kau menyakiti cintaku
ia akan memaafkan
tapi tak satu incipun melupakan
setiap kepedihan
jadi jangan pernah mencarinya lagi
ia akan menghilang bersama airmata
yang mengering di tangan

mungkin ini menyedihkan
tapi tak akan ada yang lebih menyedihkan
jika sepasang lengan tanganku
mencabut semua akar-akarnya dari pinggangmu
kemudian cintaku tumbuh di hati lain
di nama dan jiwa lain
selain dirimu
karena kau berhenti mencintaiku
dan aku pelan-pelan melupakan cintamu

cinta barangkali ibarat biji tumbuhan
ia akan hidup di tanah manapun
yang rela memberinya kehidupan

tapi jika setiap saat cintamu menyala untuk cintaku
percayalah
cintaku adalah api tanah yang tak mati
cintaku adalah benih yang tak henti bersemi
di keningmu
di bibirmu
di pinggangmu
di semua detail tubuhmu
yang pernah menyentuh tubuhku

cintaku tak akan berhenti memeluk cintamu
bahkan di sepanjang jalan
kematianmu

mestinya
kau tak perlu tahu
hal ini

tapi di hari ulang tahunmu ini
kau berhak tahu
untuk jadi rahasia
kita berdua

Madura, 26 Agustus-01 September 2015

Senin, 14 September 2015

PESTA KECIL


antara hari lalu dan hari depan
bergelombang pesta kecil hari ini
cinta mengibas-kibaskan ekornya
di bibir angin september
saat fajar terbuka
hari ini lebih bermakna dari hari lain
meski usia berguguran
dalam hening


hari ini,
segalanya terlihat begitu dekat
cinta di tubuhmu
berbunga di tubuhku
dan nafas anak-anak yang tersengal-sengal
dalam mimpi malam mereka yang lugu
menjelma kebun putih di rambutku
namun yang dekat
tak selamanya bisa disentuh tapak tanganku

sebab waktu berdenyut
tidak selalu untukku

setiap waktu berdenyut
hariku menipis

dan akan tiba masanya
manakala hari pesta kecil
ulang tahunku
datang lagi
rumah ini, kamar ini,
rak buku ini, tumpukan buku ini
lampu tidur ini
akan terasa dingin
dingin dan asing

ketika setiap denyut waktu
kita hanya bisa saling bersentuhan
dalam pesta kecil ingatan
dengan sepasang mata bola
berlinang


14 September 2015

Senin, 07 September 2015

MASIH ADAKAH SASTRA INDONESIA?

Oleh: Edy Firmansyah*)

Ditetapkannya penyair gimbal asal Medan, Saut Situmorang sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik karena diskusi di fesbuk terkait dengan terbitnya buku “33 tokoh sastra paling berpengaruh” yang di dalamnya memuat Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra di dalam buku tersebut, membuat saya bertanya; masih adakah sastra Indonesia?

Tentu kalau yang kita bicarakan adalah banyaknya karya-karya sastra yang terbit dan beredar di pasaran buku, kita boleh saja menjawab bahwa sastra Indonesia itu masih ada. Dan saya terlalu berlebihan bertanya soal itu. 

Tapi dalam kemerdekaan menggunakan elemen-elemen bahasa sebagai alat komunikasi sastrawan baik dalam berkarya maupun dalam berdiskusi di ruang publik, pertanyaan saya jadi penting diajukan. Bermula dari kata bajingan, Saut Situmorang kemudian dituntut dengan pasal karet pencemaran nama baik. Awalnya dipanggil kepolisian sebagai saksi. Kemudian statusnya dinaikkan sebagai tersangka. Dan status tersangka itu tidak menutup kemungkinan penyair yang lama tinggal di Jogya itu akan menghadapi hari-hari panjang pengadilan yang bisa menyeretnya meringkuk dalam penjara.

Pelapornya, seorang perempuan yang mengaku juga sastrawan yang juga penyair bernama Fatin Hamama. Merasa tak tahan dengan ledekan dan sindiran, karena terus menerus membela buku Denny JA yang dikritik Saut Situmorang (dan kawan-kawannya) Fatin Hamama, melaporkan Saut Situmorang dan Sutan Iwan Sukri Munaf dengan tuduhkan “pencemaran nama baik.” Pelaporan itu kerena menurut sang karib Denny JA itu, dalam dunia Sastra, bahasa yang dipakai para pengkritik tidak pantas, tidak sopan, tidak tahu aturan dan sebagainya. Karena menurut pandangannya, dunia sastra itu santun, kemayu, unyu-unyu, kayak manten jawa. Kuat dugaan, tindakan pelaporan itu hanyalah upaya mengalihkan isu atas cacat akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang terus dibeberkan para pengkritik Denny JA. Belakangan, Iwan Sukri Munaf akhirnya harus tunduk pada kemauan Fatin Hamama. Ia memilih jalan damai. Didampingi pengacaranya, Ia meminta maaf pada Fatin Hamama secara terbuka. Meski ia selamat jadi cengkeraman pasal karet itu, tapi tindakannya mendapat cibiran banyak pihak. Tapi tiap orang punya daya tahannya sendiri dan punya keputusannya sendiri. 

Sementara, Saut Situmorang? Sangat tidak mungkin menekuk penyair yang sudah bicara dengan Tuhan itu. Kalau Fatin Hamama ingin Saut bertindak seperti Iwan Sukri Munaf, saya yakin itu hanya terjadi dalam mimpi indah diantara mimpi-mimpi buruk tidur malamnya. 

Soalnya sederhana, apakah kata bajingan adalah tindakan melanggar hukum dalam dunia sastra? Nyatanya tidak. Sarkasme masih menjadi bagian dalam majas. Ia diajarkan di bangku sekolahan bahkan sejak bangku sekolah kelas menengah pertama. Sebagai bagian dari gaya bahasa, sarkasme diijinkan digunakan siapa saja dan pada siapa saja baik secara verbal maupun tekstual. Alegori juga begitu. Ia juga masih diajarkan di bangku sekolahan sebagai bagian dari majas. Penggunaan kata seperti lonte tua yang tak laku juga tidak muncul begitu saja seperti kengawuran orang mabuk di sudut pasar. Dan Saut Situmorang tentu tidak menggunakannya dengan kengawuran anak sekolah yang baru belajar beladiri. 

Lantas mengapa persoalan macam begini harus berakhir di ranah hukum? Tentu banyak kemungkinannya. Bisa jadi Fatin Hamama memang tidak serius menjadi sastrawan apalagi penyair sehingga soal majas begini saja ia harus kebakaran jilbab dan perlu main polisi. Sangat mungkin pula tindakan pelaporan itu hanyalah upaya mengalihkan isu atas cacat akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang terus dibeberkan para pengkritik Denny JA. Dengan demikian buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" bisa berlenggang kangkung di pasaran buku, dimamah dan dipercaya anak sekolahan sebagai buku ajar sastra Indonesia meski menyesatkan. Atau Fatin Hamama ingin sekali ikut terkenal seperti Denny JA. Dan “menggebuk” Saut Situmorang adalah kunci? Entahlah.

Tapi kalau memang yang terakhir yang dicari Fatin Hamama, kayaknya dia salah pilih jalan. Fatin Hamama gagal menjadi penyair besar, cita-citanya sejak kecil (menurut pengakuannya sih) itu. Dia belum matang secara mental memasuki jagad yang penuh para pendekar. Terbukti, baru diledek bajingan aja sudah main lapor polisi. Susah memang kalok anak rumahan yang mainnya kurang jauh dan pulangnya kurang malam masuk dunia sastra yang di dalamnya bukan hanya pendekar kata-kata, juga pendekar bogem mentah nan digjaya. 

Sebab, kalau mau jujur, dunia sastra nyatanya juga penuh ledekan dan cacian. Perkelahian. Pukulan. bahkan tonjokan. Tapi berkat itu semua seseorang bisa lantas terkenal sedemikian lama dan jadi populer serta berpengaruh di dunia sastra. Bukan hanya tingkat nasional pengaruhnya. Tapi bisa sampai nginternasional. Karena bukan cuma kecerdasannya teruji, mentalnya juga teruji.

Saya ambil contoh satu saja. dari Amerika Latin. Sebenarnya banyak sih, tapi satu saja biar tulisan ini tak panjang-panjang amat. Kalau di Indonesia kita tahu bagaimana HB. Jassin pernah menonjok muka Chairil Anwar karena meledeknya saat main teater. atau Idrus yang meledek Pramoedya Ananta Toer sebagai tukang berak, bukan penulis. Seandainya Chairil melaporkan Jassin ke polisi dan Pram menanggapi Idrus dengan main lapor aparat, kita tak mengenal Chairil dan Pram sebesar sekarang. 

Nah yang di Amerika Latin begini ceritanya. Gabriel García Márquez dan Mario Vargas Llosa sahabat karib. Keduanya sastrawan besar Amerika Latin. Sama-sama peraih nobel sastra. Tak jelas ujung pangkalnya kemana kemudian keduanya bermusuhan hebat. Puncaknya, di sebuah bioskop di Meksiko pada 1976, dalam acara pemutaran perdana film karya René Cardona La Odisea de los Andes, begitu Vargas Llosa bertemu García Márquez, peraih nobel sastra asal Peru itu langsung melayangkan tinjunya ke muka García Márquez. Mata kiri García Márquez bengkak. Dan aneh bin ajaib bagai dalam novel-novel realis magisnya, seorang teman lari ke toko daging dekat situ, mengambil seiris daging, lalu menaruhnya di mata García Márquez yang lebam sebagai kompres! 

Tapi Garcia Marquez tak pernah melaporkan sahabat karib yang sekaligus musuh bebuyutannya itu ke polisi. Dan hingga kini karya keduanya sama-sama dikagumi dan disegani dengan caranya masing-masing. Bahkan tanpa mereka, sastra Amerika Latin, bahkan sastra dunia, takkan menjadi seperti adanya kini. 

Kembali ke soal sastra Indonesia. Oke, nasi sudah jadi bubur. Saut Situmorang sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal pencemaran nama baik. Soalnya adalah apakah kemerdekaan menggunakan majas sebagai gaya bahasa dalam bahasa indonesia yang besar itu sudah tidak ada lagi? Sedemikian suramkah kemerdekaan kita berpendapat dan mengkritik orang menggunakan gaya bahasa yang sah dan diajarkan secara legal di bangku sekolahan hingga harus berakhir di tangan polisi? kalau menyaksikan bagaimana Ahok, Gubernur DKI itu dengan enteng menggunakan seribu satu caci maki dalam merespon banyak persoalan kita sangsi. Tapi sepertinya yang boleh mencaci hanya orang yang punya kuasa. Bukankah sudah tidak terhitung orang yang kena jerat pasal pencemaran nama baik? Dan kini pasal itu coba menekuk seorang penyair. Menekuk karena dia benar. 

Tentu kita tak ingin kehilangan kemerdekaan itu. Kita yang bangga pada sastra dan bahasa Indonesia tak ingin bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dikerdilkan sedemikian rupa hanya karena memilih menggunakan majas sarkasme dan alegori sebagai gaya bahasa. 

Kalau persoalan begini didiamkan begitu saja, barangkali sastra Indonesia telah selesai. Selesai ditekuk kuasa uang. Selesai ditekuk orang-orang kerdil dan punya uang untuk mengobrak abrik jejak sejarahnya demi mendongkrak popularitasnya. Dan kita akan terus menjadi bangsa yang seolah-olah santun tapi munafik. Munafik pada kenyataan sosial. Kalau sastrawan ya sastrawan yang lembek dan gampang patah kalau sudah dikukus sama dollar. Dan Saut Situmorang akan mendekam juga di balik jeruji penjara. Selanjutnya, mungkin kita. 

Selamat beraktivitas. jangan lupa sisa kondomnya dibuang, nanti ketahuan.


*) Edy Firmansyah, penyair unyu-unyu dan petani melon.

Rabu, 05 Agustus 2015

Tentang Kretek: Dari Sehat Tentrem Sampai ke Divine



Di saat kampanye anti tembakau kian gencar menyerang membabi buta, di saat industri kretek makin takluk dengan kebijakan pemerintah untuk memasang warning (baik gambar maupun kata-kata) tentang bahaya mengisap tembakau, ada jenis kretek yang tak peduli dengan itu semua. Bahkan menantangnya.

Jenis kretek yang saya maksud adalah kretek Sehat Tentrem dan Divine. Kretek Sehat Tentrem adalah kretek produksi rumahan sebuah Ponpes di Jombang. Sementara Divine klobot adalah garapan Dr. Greta Zahar lewat klinik Griya Balur. Merokok salah satu dari dua jenis kretek ini tak akan membunuhmu. Sebaliknya, bakal menyehatkanmu.

Divine klobot, misalnya. Rokok ini diciptakan seorang pakar nuclear science bernama Dr. Greta Zahar. Ia mengelola klinik kesehatan dengan terapi tembakau. Kliniknya telah membantu ratusan orang yang sudah tidak bisa ditangani oleh rumah sakit. Asap tembakau merupakan salah satu elemen penting dalam penyembuhan. Tidak hanya diisap, asap tembakau itu dimasukkan melalui hidung, telinga, dan anus. Asap tembakau dipercaya bisa membantu mengeluarkan radikal bebas dari dalam tubuh. Radikal bebas adalah zat yang dapat menimbulkan penyakit berbahaya di tubuh. Dengan mengluarkannya, tubuh bisa dengan optimal menciptakan antibodi dan melakukan regenerasi untuk menyembuhkan penyakit.

Rokok yang dinamai Divine Klobot itu mengandung asam amino. Tembakaunya diambil langsung dari petani tanpa perantara. kemudian diproses sedemikian rupa sehingga bukan hanya bebas dari radikal bebas tetapi juga mengandung asam amino. Fungsi asam amino adalah memecah radikal bebas dalam tubuh menjadi partikel yang berukuran jauh lebih kecil. "Dengan terapi asap, radikal bebas yang keluar dari tubuh akan berukuran kecil, sehingga pasien tidak perlu mengalami siksaan seperti luka-luka yang besar dan basah atau aroma tubuh yang sangat mengganggu", kata Dr. Gretha dalam sebuah wawancara. Proses penyembuhan melalui asap tembakau menjadi jauh lebih cepat, bahkan selama proses pengobatan pasien bisa tetap menjalani kehidupan normal tanpa diet khusus, asalkan ia bersedia secara teratur, merokok!

Sayangnya Divine klobot tidak dijual bebas. Saya pernah mencoba hendak membeli via online melalui email resmi Griya Balur. Namun, Prof. Sutiman B. Sumitro, guru besar Unibraw, mitra kerja Dr. Greta, membalas email saya;

"Maaf, kami tidak menjual rokok" ujarnya. Untunglah ada teman yang menjadi 'member' Griya Balur sehingga saya bisa menikmati Divine Klobot.

Divine yang saya nikmati adalah kretek nomor 2 dan 19. Divine klobot memang punya nomor di tiap bungkusnya. Tiap nomor memiliki fungsi berbeda untuk mengobati penyakit. Kretek nomor 2 dan 19 adalah kretek standar.

Kalau dilihat dari bungkusnya, orang awam tak akan percaya bahwa Divine klobot punya khasiat luar biasa bagi kesehatan. Divine hanya dibungkus plastik bening. Tanpa tulisan apapun. Rasanya juga hambar, mirip rokok putihan, karena hanya berisi tembakau murni tanpa tambahan apapun di setiap batangnya.

Berbeda dengan kretek Sehat Tentrem. Kretek produksi Majmaal Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman - Shiddiqiyyah Jombang itu dibungkus dengan baik layaknya rokok komersil. Bedanya dengan rokok komersil, bungkus Sehat Tentrem tanpa gambar mengerikan akan bahaya rokok dan tanpa cukai. Kalimat peringatan "merokok membunuhmu" di rokok komersil diganti dengan kalimat provokatif yang bikin siapapun yang membacanya bakal tersenyum; "rokok ini dapat menyebabkan kesehatan"

Rasanya gurih. Sama gurihnya dengan Dji Sam Soe. Hanya asapnya lebih ringan. dan sedikit terasa sejuk seakan-akan terdapat campuran mint di dalamnya. Hisaplah dan tahan sebentar asapnya di paru-paru, maka anda yang baru pertama merokok Sehat Tentrem akan dibuat pening dan mengeluarkan keringat di kening.

"Tanda khasiat sehat tentrem sedang bekerja" ujar Taufik, salah satu penjual Sehat Tentrem asal Bangkalan yang saya hubungi via telepon.

Dari berbagai testimoni yang saya baca di fanpage fesbuk Sehat Tentrem, rokok kretek tak berfilter berbungkus coklat dengan hiasan batik itu juga berhasil menyembuhkan beragam penyakit. Mulai yang ringan hingga berat. Mulai dari maag sampai stroke. Mulai dari hepatitis hingga sirosis. Di yutub malah ada testimoni anggota TNI yang lumpuh karena stroke selama 13 tahun sembuh setelah rutin merokok Sehat Tentrem.

Pengakuan Istri saya Nurfa Rosanti yang mengidap asma sejak usia belia, tiap kali menghirup asap Sehat Tentrem kala saya merokok dan kebetulan nafasnya mulai berat karena asmanya kambuh karena udara dingin, mengaku lebih plong dan merasa lega.

Sama dengan Divine Klobot, Sehat Tentrem juga memiliki klinik kesehatan yang menggunakan tembakau sebagai terapi menyembuhkan penyakit. Nama kliniknya Assyifa'. Letaknya di Jalan Raya Ploso, Jombang, Jawa Timur. Baik klinik Griya Balur maupun klinik Assyifa' juga memroduksi kopi sebagai rangkaian terapi pengobatan selain tembakau. Pasien yang datang ke klinik tersebut ditangani oleh dokter bukan dukun. Juga diberi resep obat. Tapi bukan pil atau sirup, melainkan kretek dan kopi.

Harga per bungkus Divine maupun Sehat Tentrem juga tak jauh beda. Divine nomor 2 dan 19 bisa ditebus dengan uang sebesar Rp. 25.000,- Sedangkan Sehat Tentrem per bungkus dijual seharga Rp. 35.000,-. Bedanya, Divine tidak dijual bebas, sedangkan Sehat Tentrem dijual bebas untuk Indonesia Raya.

“Semua rokok sama saja. Asapnya mengandung penyakit. Tak ada rokok yang menyehatkan” ujar Risol, salah satu perawat di Rumah Sakit Umum Bangkalan. Risol percaya apa yang dikampanyekan Kementerian Kesehatan tentang bahaya rokok benar adanya. Pernyataan Risol didukung Slamet Riyadi, seorang PNS yang hampir 10 tahun telah berhenti merokok. PNS yang lima tahun lagi akan menghadapi pensiun ini mengaku berhenti setelah diagnosa dokter bahwa paru-parunya kena. Nikotin dalam rokok sangat mematikan bagi manusia.

Herannya meski Risol mendukung kampanye antirokok Kementerian Kesehatan, ia seorang perokok. Dia mengaku ia tak sendiri. Banyak pegawai rumah sakit tempatnya bekerja juga tak sedikit yang perokok. Termasuk beberapa dokter senior dan dokter muda yang tengah magang di tempatnya bekerja.  ”Dokter yang ngerti kesehatan juga ada yang merokok loh, Mas.” Ujarnya ketika bertandang ke rumah saya lebaran 2015 kemarin. Risol adalah sahabat karib adik bungsu saya.

            ”Jadi merokok itu tidak berbahaya dong, jika civitas kesehatan juga merokok?” saya balik bertanya. Risol hanya tertawa. Kemudian kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.

Nikotin adalah senyawa kimia organik kelompok alkaloid yang dihasilkan secara alami pada berbagai macam tumbuhan, terutama suku terung-terungan (Solanaceae) seperti tembakau dan tomat. Nikotina berkadar 0,3 sampai 5,0% dari berat kering tembakau berasal dari hasil biosintesis di akar dan terakumulasi di daun. Nikotin memiliki daya karsinogenik terbatas yang menjadi penghambat kemampuan tubuh untuk melawan sel-sel kanker, akan tetapi nikotin tidak menyebabkan perkembangan sel-sel sehat menjadi sel-sel kanker.

            ”Yang penting tahu penetralnya” kilahnya. Dia kemudian mengatakan bahwa penetral nikotin dalam tubuh adalah olah raga yang teratur dan menjaga pola makan. Risol sejak dua tahun lalu menurut penuturannya memang aktif ikut Gym. Dulu tubuhnya kerempeng. Namun sekarang badannya terbentuk bagus.
            Sementara itu, Erika Hidayanti, Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta, menjelaskan lebih jauh tentang penetralisir nikotin dalam tubuh. Selain berolah raga, mengonsumsi air mineral 8-12 per hari efektif untuk mereduksi nikotin dalam tubuh. Bukan hanya nikotin saja, namun, zat-zat lain yang tak menguntungkan tubuh bisa keluar.

            “Makanan lain yang dapat mentralkan nikotin adalah wortel, jeruk nipis dan pisang. Wortel kaya akan vitamin A, B, C, D, E, dan K. Kandungan vitamin yang lengkap ini membuat wortel mengandung nutrisi dan antioksidan yang tinggi sehingga mampu mereduksi nikotin. Sementara jeruk nipis kaya akan antioksidan dan vitamin C sehingga dapat membantu pengeluaran nikotin yang mengendap dalam tubuh. Sedangan pisang mengandung vitamin B6 dan B12 yang bisa menjadi peluruh nikotin dalam tubuh.” Ujarnya dalam artikelnya yang dimuat di www.komunitaskretek.co.id

            Seorang dokter spesialis paru-paru di salah satu Rumah Sakit Umum di Madura punya cara lain menetralisir bahaya nikotin. Yakni dengan asap daun mentol atau mint. Ia seorang perokok. Di sakunya selalu tersedia dua rokok. Satu bungkus rokok kretek biasa, satu bungkus lagi rokok mentol.

            ”Tiap lima batang rokok yang dihabiskan, usahakan untuk merokok satu batang rokok mentol. Ini untuk mengurangi kelebihan nikotin dalam tubuh,” ujar dokter paruh baya itu yang enggan disebut namanya.

            Meski demikian, beberapa riset terbaru di bidang medis justru menunjukkan manfaat nikotin. Berdasarkan siaran pers perusahaan “Reasearch Indicating That Nicotin Holds Potential for non surgical Heart by-pass procedures Honored by American Collage Cardiology pada 17 Maret 2000 silam, dijelaskan bahwa agen nikotin mampu menghasilkan pembuluh darah baru lebih banyak pada urat nadi yang tersumbat dibandingkan faktor penumbuh lain manapun yang dikenal.

            “Bahkan suatu hari nanti nikotin bisa menjadi alternatif yang mengejutkan untuk menangani bentuk-bentuk tuberkolosis yang membandel. Sebab berdasarkan penelitian, senyawa nikotin mampu menghentikan pertumbuhan tuberkolosis dalam uji laboratorium, bahkan ketika dipakai dalam jumlah kecil.” Ujar Saleh Nasser, salah satu anggota asosiasi profesor microbiologi dan biologi molekuler di UCF sebagaimana yang dikutip Wanda Hamilton dalam bukunya, Nicotine War. Pendapat Saleh Nasser seakan-akan mendukung divine kretek yang terus dikembangkan Dr. Greta Zahar dan kawan-kawannya.

            ”Sebenarnya tembakau sudah dimanfaatkan sebagai obat oleh penduduk pribumi di daratan Amerika jauh sebelum warga pendatang tiba dari Eropa. Apa yang kami lakukan hanya melanjutkan tradisi yang maha kaya itu” ungkap Dr. Greta.

                Jadi, masih percaya dengan kampanye anti rokok? Kalau masih, berarti mainnya kurang jauh dan pulangnya kurang malam.






Kamis, 30 Juli 2015

Mati Karena Berita

Seandainya ia sedikit bersabar dengan segala tekanan batin yang menggempur pikirannya hingga ambruk, ia tak harus ditulis dengan kisah yang muram. Seandainya ia mau bersabar menunggu buku Noam Chomsky terbit, ia mungkin akan tersenyum dan menikmati hari-hari penuh bunga bersama istri dan tiga anaknya dengan bintang jurnalistik berkilau di dadanya. Tapi siapa yang dapat menghapus ingatan? Tak banyak orang yang sanggup bertahan dari stigma buruk yang terus diberondongkan padanya seperti senapan mesin dalam setiap detik kehidupannya. Dan Gary Webb merupakan salah satu dari banyak orang yang bertekuk lutut dihantam masa silam. Mati karena berita.

Tahun 2004, Gary Webb, seorang wartawan media lokal bernama The San Jose Mercury News, ditemukan terkapar bersimbah darah di lantai apartemennya dengan dua luka tembak di kepala. Ia mati karena depresi berat, kemudian bunuh diri.

Semua bermula dari sebuah hubungan telepon dengan seorang perempuan bernama Coral Baca, seorang narasumbernya. Setelah telepon itu, Gary Webb menemui Coral di sebuah café. Coral membagikan sebuah dokumen rahasia milik CIA. Dokumen tersebut berisi catatan tentang perdagangan kokain di Amerika. Tentu bukan perdagangan narkotika biasa. Dokemen tersebut mencatat keterlibatan pejabat-pejabat penting di Amerika (khususnya pejabat CIA, kejaksaan, kepolisian dan militer) dalam perdagangan kokain. Sangat kontradiktif dengan kampanye pemerintah Amerika yang berniat memerangi narkotika. Tak hanya itu saja. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa uang-uang hasil skandal busuk pemerintah Amerika dengan mafia narkoba Amerika Tengah justru digunakan untuk membiayai peralatan perang paramiliter Contra bentukan CIA untuk memerangi Sandinista, gerilyawan berhaluan komunis yang menentang pemerintang Samoza di Nikaragua. Pemerintahan boneka bentukan AS. Maklum, meski tembok berlin telah runtuh sebagai penanda akhir perang dingin, komunismephobia Amerika ternyata tak sembuh-sembuh. Segala bentuk negara yang berbau komunis harus jatuh.

Webb yang beberapa waktu sebelum mendapat dokumen rahasia tersebut memang sedang tekun meliput tentang peredaran narkoba di wilayahnya seakan mendapat durian runtuh. Terlebih dalam dokumen tersebut dinyatakan pemerintah Amerika justru terlibat dalam peredaran narkotika. Inilah liputan investigasi pertama sekaligus terakhir yang dilakukan Webb. Webb melacak semua nama yang disebut dalam dokumen tersebut. Bahkan ia rela terbang ke penjara Tipitapa, Nikaragua, dengan biaya sendiri untuk menemui Manasess, seorang mafia narkoba besar yang menjadi agen CIA dalam memasok persenjataan dan kebutuhan pokok pada paramiliter Contra.

Dari Manasess, Webb mendapatkan nama Freid Weil, seorang agen CIA yang menjadi penghubung gelapnya. Webb menemui Weil di Washington DC, dan kebenaran dari dokumen tersebut makin terang mengenai keterlibatan negara dalam peredaran narkotika. Meski demikian, Weil memperingatkan Webb mengenai ancaman besar jika investigasi dia diterbitkan. nyawanya bakal terancam. Webb mulai ragu.
Keragu-raguan Webb runtuh ketika CIA memanggilnya secara khusus setelah mengetahui kerja investigasinya. Webb diancam. Bukannya surut, Webb balik mengancam. Investigasinya bakal tayang.
Dan benar, begitu berita Webb tentang keterlibatan pemerintah dalam perdagangan narkoba dan pembiayaan peralatan tempur dalam perang ilegal, khalayak Amerika gempar. Media-media besar seperti Washington Post, New York Times, L.A Times seakan tertampar. Berita besar tentang skandal negara AS itu justru terbit di media lokal jauh dari hiruk pikuk pusat Amerika.

Terbitnya investigasi Gary Webb membuat ia laksana bintang jatuh. Dia tiba-tiba menyala sebentar, tetapi kemudian lenyap ditelan langit malam. Pujian demi pujian melayang padanya. Tapi itu tak lama. Hari-hari kelam kemudian menantinya.Pemerintah AS, di tengah masa-masa kampanye pemilihan presiden tahun 1998 kalap.

Sebuah konspirasi jahat dijalankan untuk membungkam Webb. Media besar pesaing koran tempat Webb bekerja mulai membuat berita tandingan. Termasuk mulai membuat opini mengenai betapa meragukan validitas berita Webb. Tak hanya itu saja. Berita gosip mengenai skandal perselingkuhan Webb di masa silam dengan seorang reporter bernama Barbara juga diungkap. Rumah Webb terus diawasi orang tak dikenal. Teror demi teror terhadap Webb dan keluarganya terus terjadi.

Belakangan, semua narasumber Webb yang pernah ia wawancarai tiba-tiba mengaku tak pernah bertemu dan diwawancarai Webb. Imbasnya The San Jose Mercury News mendapatkan teguran dan dituntut minta maaf atas berita 'palsu' hasil liputan Webb. Webb menolak menulis permintaan maaf.

Atas kerja jurnalistiknya itu Webb mendapat anugerah jurnalistik terbaik. Sejak itu ia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja, kemudian benar-benar gantung pena. Sampai kemudian setelah tujuh tahun mengundurkan diri dari tempatnya menjadi kuli tinta ia ditemukan terkapar bersimbah darah di lantai apartemennya dengan dua luka tembak di kepala. Bunuh diri. Beberapa pendapat lain meragukan Webb bunuh diri dengan dua luka tembak. Webb dibunuh. Namun sebuah penelitian yang dilansir wikipedia menyebutkan dalam 138 kasus bunuh diri 5 diantaranya (3,8%) bunuh diri dengan dua tembakan di kepala. bahkan pernah dilaporkan sebuah bunuh diri dengan empat tembakan di kepala.

Film yang diadaptasi dari kisah nyata kerja jurnalistik Gary Webb itu mengingatkan kita bahwa memang tak mudah mengungkapkan kebenaran. Apalagi jika skandal kejahatan melibatkan negara. Di negeri ini kita punya kisah muram yang tak jauh beda dengan Gary Webb. Kita punya Munir yang diracun dalam penerbangannya menuju Belanda dan hingga kini bahkan aktor intelektual yang paling bertanggungjawab atas kematiannya tak pernah merasakan dinginnya jeruji penjara. Kita punya kisah pedih Marsinah yang mati disiksa dengan kemaluan rusak berat karena disodok laras senjata hanya karena menuntut Haknya sebagai buruh. Kita juga punya Udin, wartawan Bernas yang ditembak orang tak dikenal karena liputannya tentang korupsi Bupati Bantul dan hingga detik ini pelakunya tak juga tertangkap. Kita punya Widji Thukul yang dihilangkan negara karena puisinya menggedor tembok kekuasaan yang retak. Kematian orang-orang yang saya sebutkan itu, hanyalah contoh kecil dari banyak kematian di negeri ini yang suka tidak suka juga melibatkan tangan-tangan keji kekuasaan. Negara terlibat.

Berdurasi 111 menit, film yang dibintangi Jeremy Renner benar-benar menjadi film yang layak ditonton. Meski bergerak dengan datar tapi ketegangan demi ketegangan yang dibangun dalam film yang diadaptasi dari buku karangan Nick Svhou berjudul sama dengan film tersebut dan buku berjudul Dark Alliance karya Gary Webb sangat terasa bahkan jika dibandingkan dengan film True Story yang punya tema sama; tentang wartawan. Kita bisa menyaksikan betapa melelahkan dan penuh bahaya mengungkap kebenaran melalui kerja investigasi.

Sudahlah, saya terlalu banyak basa-basi. Ini film bagus. Pilihan hidup memang memiliki resikonya masing-masing. Mau jadi penulis atau mau jadi petani, jika sudah berhadapan dengan pemerintah korup dan keji resikonya sama saja; disiksa dengan keji sampai mati atau ditembak di rumah sendiri. Film ini tayang perdana pada 10 Oktober 2014 silam. Tentu sudah banyak yang nonton. Saya saja yang terlambat menontonnya. Anda sudah?

Selasa, 12 Mei 2015

Mereka yang Menghabiskan 80 Juta Rupiah dalam Setengah Jam

Kasus tertangkapnya AA dalam bisnis pelacuran kelas atas bikin heboh publik. Bukan karena penggerebekannya yang dramatis, tetapi karena tarifnya. Bayangkan saudara, untuk sekali crot seorang pria hidung belang harus merogoh kocek 80 juta rupiah. Bukan angka yang sedikit untuk ukuran saya. Uang segitu udah cukup buat beli mobil murah merek Ayla atau Agya yang sampai saat ini bahkan untuk membeli rodanya, saya masih mikir duakali. Apalagi untuk ukuran seorang Tuki, tukang becak motor di kampung saya.

Sebenarnya soal gerebek pelacuran satuan polisi pamong praja dan kepolisian memang paling jago. Cuma levelnya masih kelas coro. Pinggiran. Pelacuran kelas teri. Yang bahkan bagi seorang pelacur kelas pinggir jalan itu, untuk dapat 10 juta saja, mungkin harus rela kerja selama tiga bulan nonstop tanpa prei. Sementara yang ini, kelas elit. Padahal, ya, nikmatnya vagina masih begitu begitu juga. Cuma mungkin beda sensasi aja. Duh...pusing pala babi.

Bagaimana nggak pusing, uang sebanyak 80 juta hanya dibuat untuk memuntahkan sperma usai bergesekan dengan vagina yang barangkali hanya perlu waktu paling lama setengah jam. Waktu sependek itu membuat uang 80 juta sudah harus rela berpindah tangan. Orang macam apa yang begitu gampang melepas duit yang kalau dibelikan cendol itu bisa memenuhi dua kolam renang? Toh vagina perempuan di mana-mana sama saja. Masih vertikal. Tidak horisontal. Masih terus ditumbuhi bulu bukan ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit. Masih licin kalau terangsang tidak keras seperti moncong senapan atau kenalpot telo. Jadi, laki-laki macam apakah gerangan yang mau menghabiskan uang untuk hal yang tak masuk akal bagi orang kebanyakan itu?

Pertama, jelas orang kaya yang penghasilannya sebulan bisa satu miliar sehingga angka 80 juta rupiah seperti sekedar uang dua puluh ribu di saat saya gajian. Begitu enteng dikeluarkan dan diberikan pada ponakan atau sepupu yang pulang kampung. Atau lebih tegasnya orang kaya yang sombong, sehingga uang 80 juta rupiah hanya dihabiskan hanya untuk short time main dengan pelacur. Kalaupun bukan orang kaya yang sombong, tentu kelas menengah yang stress berat, sehingga uang 80 juta yang bertahun-tahun ia tabung dengan laku hidup hemat akhirnya dihabiskan cuma buat ngasah keris tumpul di gua garba habis kehujanan. Tapi senekat-nekatnya kelas menengah, jelas susah ditemukan kebenarannya untuk menghabiskan tabungan 80 juta hanya untuk sekali crot.

Kedua, jelas orang kaya yang buruk rupa, yang di masa mudanya tak pernah bisa berkencan dengan perempuan yang cantik jelita dengan cara yang normal. Normal dalam artian, pacaran, tunangan, sampai akhirnya menikah. Sehingga untuk memuaskan obsesinya mengencani cewek-cewek jelita ciptaan bapak dan ibunya itu harus rela menghamburkan uang sedemikian banyaknya. Sebab orang-orang tampan macam saya tak perlu harus merogoh kocek sampai segila itu untuk hanya sekedar mengencani cewek cantik. Cukup tebar pesona dan pasang senyum, para perempuan yang tertarik pasti akan segera meminta tukeran nomor telepon.

Ketiga jelas orang kaya yang sadar betul bahwa adagium hidup kaya raya dan mati masuk surga bukanlah takdir dirinya. Mereka sadar takdirnya hidup kaya raya dan matinya disiksa dalam neraka. Karena duit sebanyak yang dia punya tak didapat dengan cara halal, melainkan dengan cara haram; menindas orang, merampas hak orang lain,menipu buruhnya sendiri, hingga korupsi. Akhirnya, daripada sama sekali tidak bisa menikmati peluk cium dan desah berahi para bidadari di surga maka ia memutuskan untuk menikmati bidadari-bidadari dunia. Terserah berapapun harga yang harus dibayarnya. Pokoknya ia harus menikmati sebanyak-banyaknya bidadari dunia yang mampu memuaskan syahwat liarnya sebelum ajal menjemputnya.

Buat mereka yang mengejar surga dan masih punya harapan untuk mendapat surga setelah kiamat, buat apa menghabiskan uang sebanyak itu untuk mengumbar syahwat. Mending diamalkan ke masjid atau mushalla. Atau buat menyantuni anak yatim dan orang miskin. Sebab balasannya jelas, surga. Dan orang-orang macam begitu boleh membayangkan bahwa memek bidadari di surga tentu lebih nikmat dari memek bidadari di dunia. Dan halal. Kecuali tidak digerebek FPI atau perlu stempel halal MUI.
Jadi nikmat apalagi yang hendak kau dustai wahai sodaraku?

Sabtu, 11 April 2015

Rumah Kaca Orwell



Judul              : 1984
Penulis            : George Orwell
Penerbit          : Bentang Pustaka, Jogyakarta
Cetakan          : I, 2014 (edisi II)
Nomor ISBN  : 978-602-291-003-9
Tebal              : vii + 392 halaman

Kabut cemas masih menggantung di hampir seluruh belahan dunia meski perang dunia kedua telah reda. Tahun itu, 1949. Gema genderang perang baru, yang ditabuh dua tahun lalu masih terdengar nyaring di telinga; perang dingin. Ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan dunia Komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet di bawah Stalin beserta sekutu negara-negara satelitnya, terus memanas. Ekonomi dunia bergerak seperti siput. 
Pada tahun penuh ketidakpastian dan rasa takut, sebuah penerbit bernama Secker and Wardburg yang bertempat di London, Inggris, meluncurkan sebuah novel distopian berjudul 1984. Penulisnya bernama George Orwell yang belakangan baru diketahui merupakan nama pena dari Eric Arthur Blair, seorang bekas opsir polisi Kerajaan Inggris kelahiran India.
Novel itu membuat masyarakat eropa yang terbelah dalam arus perang dingin berguncang. Mereka seakan mendapatkan sokongan tenaga melawan otoritarianisme yang terus mencakarkan kuku-kuku tajamnya. Tak lama setelah novel yang terdiri dari tiga bagian dengan satu lampiran khusus mengenai kaidah bahasa newspeak itu tebit, istilah orwellian jadi semacam kosakata baru untuk menunjukkan  pengebirian pendapat, kebebasan berpikir dan pemelintiran berita yang dilakukan kekuasaan yang otoriter. Istilah  “Tuan besar sedang mengawasimu” jadi jamak digunakan masyarakat eropa untuk mengolok-olok negara yang anti kebebasan berpendapat.
Apa pasal? Masyarakat Eropa terpengaruh dengan tokoh Winston Smith dalam novel tersebut. Dalam novel tersebut diceritakan, Winston bekerja di kantor kementerian kebenaran. Tugas utamanya adalah menulis ulang artikel koran masa lalu agar sesuai dengan garis kebijakan partai. Agar setiap ucapan dan isi pidato partai dan tuan besar (sang ketua partai} yang berhubungan dengan prediksi masa depan dapat terdokumentasi kebenarannya. Meskipun semuanya hanyalah hasil rekayasa belaka. Kerja orang-orang di belakang meja yang bertugas melakukan pemalsuan sejarah tingkat tinggi hingga tak seorangpun dapat menemukan bukti bahwa sejarah dan kebenaran telah dipalsukan (hal.46-58).
Sejatinya novel yang ditulis Orwell enam bulan sebelum ajal menjemputnya merupakan kritik satir atas otoritarianisme Stalin di Uni Soviet yang berimbas pada partai buruh dimana kala itu tengah berkuasa di Inggris. Dan barangkali banyak orang setuju Stalin memang pantas dikritik. Kalau perlu dikutuk dan dicaci-maki. Di bawah kakinya cita-cita revolusi Lenin untuk menciptakan masyarakat sosialis tanpa penindasan luluh lantak. Marxisme jadi ‘kitab suci’ yang tak dapat ditafsir ulang. Satu-satunya yang berhak menafsir pemikiran-pemikiran Karl Marx hanyalah partai komunis. Masyarakat Uni Soviet hidup dalam ketakutan. Mereka seakan tersedot dalam labirin kegelapan yang mengerikan. Kebebasan berpendapat dibungkam. Pengkritik dilenyapkan. Leon Trotsky merupakan contoh bagaimana nasib pengkritik kekuasaan Stalin. Diburu habis-habisan, hingga akhirnya kepalanya dikapak mata-mata Stalin yang menyamar jadi pembantu Trotsky di persembunyiannya di Siberia. Sastrawan Maxim Gorky juga mengalami nasib serupa meski tak setragis Trotsky. Diasingkan. Pembabatan total pada orang-orang yang dianggap makar pada kekuasaan Stalin dilakukan. Kuburan massal jadi pemandangan yang mencekam.
Dalam novelnya, Orwell menggambarkan kesepian, kegetiran dan ketakutan orang-orang yang hidup dalam kungkungan negara diktator melalui tokoh Winston Smith. Meski Winston bekerja di departemen milik negara dimana partai Sosing berkuasa, tapi dalam pikirannya Winston selalu memberontak. Pemberontakannya terhadap segala kebijakan tuan besar partai sosing yang despotik dan manipulatif itu ia tuangkan dalam buku hariannya dengan cemas. Cemas karena di negara Oeceania tempatnya tinggal terpasang teleskrin di mana-mana. Sebuah alat yang memantau semua gerak gerik warga. Bahkan termasuk mimik muka dan gestur. Juga terdapat polisi pikiran yang bertugas menyelidiki pikiran warga. Sehingga privasi hanyalah fantasi di negeri Oceania. Negara berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang membangkang, terpaksa diuapkan. Yang paling mengerikan, sebelum diuapkan para pembangkang dikirim ke kamp-kamp penyiksaan untuk menjalani serangkaian kebiadaban bernama alat siksa. Karenanya novel ini sengaja bergerak dengan alur lambat dengan penggambaran suasana mencekam untuk mengajak pembaca merasakan hidup berkalang ketakutan dalam pengawasan penuh negara.
Cara Orwell menggambarkan bagaimana negara otoriter mengawasi masyarakatnya mengingatkan saya pada novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer. Pram menulis Rumah Kaca untuk menggambarkan bagaimana kolonialisme mengawasi gerak-gerik para aktivis kemerdekaan. Dalam novel tersebut yang diawasi ketat adalah Minke. Bedanya dengan 1984-nya Orwell, jika orwell menggambarkan bentuk pengawasan ketat negara otoriter terhadap segala tindak tanduk warganya melalui novel futuristik, Pram justru menggambarkan bagaimana cara perumahkacaan negara kolonial melalui novel epik. Sementara tokoh Winston Smith adalah tokoh rekaan Orwell, sedangkan tokoh Minke justru diadaptasi Pram dari tokoh nyata bernama RM. Tirto Adisurjo, pendiri harian Medan Prijaji. Berkat novel 1984 dan Animal Farm, nama Orwell melambung sebagai sastrawan penting eropa. Sementara Pram terus duduk di kursi kandidat nobel sastra dunia. Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan Pram yang menjungkirkan ide Orwell dalam 1984 menjadi Rumah Kaca, mengingat 1984 terbit lebih dulu dibandingkan novel terakhir dari tetralogi pulau buru itu. Meskipun demikian, kedua sastrawan besar tersebut memiliki muara yang sama; menolak tunduk. Dan karya mereka adalah jalan perlawanan, jalan menuju kemerdekaan.
Pertanyaannya kemudian, masih relevankah membaca 1984? Bukankah perang dingin telah usai dan Uni Soviet sudah runtuh? Di Indonesia sendiri—negara yang dulu sempat menganggap novel 1984 sebagai novel berbahaya—kekuasaan Soeharto yang mirip dalam novel 1984 sudah lama jatuh? Bukankah tahun 1984 telah lama berlalu dan kini kita tengah berjalan di tahun 2015? Jawabannya tentu saja masih.
Hari-hari ini, di tengah gema teriakan revolusi mental di segala lini di negeri ini, kita menyaksikan bagaimana negara terus melakukan kebohongan-kebohongan dan pemelintiran berita. Alih-alih menurunkan harga BBM, negara justru menaikkannya lagi. Alih-alih mensejahterakan rakyat, negara justru membiarkan harga kebutuhan pokok terus melambung dan membiarkan tarif dasar listrik melonjak. Alih-alih memberikan kebebasan berpendapat, pemolisian para pengkritik negara hingga pemblokiran situs-situs yang dianggap radikal terus dilakukan.
Sementara itu, para aktivis-ativis pergerakan yang dulu pernah merasakan nyerinya disiksa di ruang penyiksaan orde baru, pernah merasakan ganasnya sepatu lars dan peluru tentara, seakan tutup mata atas penderitaan rakyat. Malah sebaliknya, menjadi bagian dari kekuasaan. Menjadi pengurus partai penguasa, menjadi komisaris utama dan staf ahli negara. Mereka terlihat persis seperti Winston. Setelah mengalami siksaan bertubi-tubi puluhan tahun, akhirnya Winston keluar. Airmatanya jatuh. Siksaan yang memedihkan itu ‘merusakkan’ otaknya. Ia sadar telah melakukan kesalahpahaman besar. Sekeluarnya dari kamp penyiksaan itu ia merasa meraih kemenangan atas dirinya. Menang, karena keinginan memberontak dan perasaan takut disiksa lagi dengan amat mengerikan saling bertarung. Winston jadi linglung. Ingin rasanya dirinya ditembak mati saja. Tapi ia tak dilenyapkan sebagaimana para pemberontak yang lain. Ia dibebaskan. Sekeluarnya dari kamp penyiksaan, Winston merasa sangat mencintai bung besar,  sang penguasa otoriter itu.
Sungguh novel yang layak dibaca bagi mereka yang ingin mengetahui dari dekat seperti apa hidup dalam pengawasan ketat negara. Lupakan bahwa Orwell mungkin sedang mengikuti angin anti komunisme yang sedang dihembuskan CIA lewat lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF), yang tujuannya menjauhkan kaum intelektual maupun sastrawan (awalnya Eropa Barat, tapi kemudian mendunia) dari Marxisme dan Komunisme. Suka tidak suka, Lu Tsun, sastrawan Cina itu benar, karya sastra adalah propaganda, tapi tak semua propaganda adalah sastra. Propaganda Orwell lewat 1984 bisa dibilang berhasil. Sejak pertamakali terbit, novel ini telah memberikan banyak pengaruh bukan hanya masyarakat eropa, tapi juga pada kesusastraan Inggris. Karenanya tak heran jika majalah Time menjadikan novel ini sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sejak 1923-2005. Demikian besarnya pengaruh Orwell, malah masyarakat Burma/Myanmar banyak memanggilnya sebagai ‘sang nabi’, karena ramalan dalam novel 1984 masih relevan hingga hari ini.
 

cover buku 1984 terbitan Bentang Pustaka

cover buku 1984 terbitan tahun 1960an

Surat Terbuka Buat Shania Twain


Apa kabar Kak Shania Twain? Apakah kakak baik-baik saja di Canada sana? Saya di Madura baik-baik saja kak. Saya membeli kaset kakak pertama dan terakhir kali di album "Come On Over", sekitar akhir tahun 1998. Tentu saja cukup terlambat sejak album itu diluncurkan tahun 1997. Tapi lebih baik terlambat khan daripada tidak beli.

Ketika membeli kaset itu usia saya masih 18 tahun. Usia kakak? Hem, 33 tahun. Sekarang usia saya 34 tahun. Pasti usia kakak sekarang 50 tahun. Lebih muda 5 tahun dari ibu saya dong. Tapi dulu saya kok bisa naksir kakak ya? :d

Hari ini saya mendengarkan lagu album "Came on Over" dari yutub. Pake headset nokia yang saya jepitkan batu di tombolnya, karena jika tidak begitu suaranya jadi cempreng. Dan ingatan saya kembali ke masa ketika usai mengikuti UMPTN dan hari keberangkatan meninggalkan Madura kian dekat. Saya mau kuliah di Jember, kak, waktu itu. Dan saya nampak jadi sangat cengeng.

Saya anak sulung yang nyaris tak pernah keluar kota sendirian. Kota paling jauh yang saya kunjungi cuma Surabaya. Kakak tahu Surabaya? Kalau nggak, main-mainlah ke Indonesia kalo sempat, nanti saya ajak keliling surabaya dan menginap di Madura. Nah, tiba-tiba, saya harus ke luar kota sendirian. Ke Jember. Kuliah. Sendirian. Sedih tentu saja. Ingin rasanya hari itu tak pernah tiba, hari dimana saya harus berpisah dengan ibu dan bapak saya di terminal untuk waktu yang lama. Bukan hari, tapi bulan. Bahkan tahun. Anak sulung yang baru pertama keluar kota sendirian. Tapi makin ditahan-tahan, yang namanya waktu, seakan bergerak secepat kuda pacuan. Dan hari itu tiba juga. Lagu "You’ve Got a Way" dan "Whatever You Do, Don’t!" baru saja lewat, kak. Saya pergi juga. Dan lagu kakak masih terngiang-ngiang di kepala kala itu.

Sedih saya meninggalkan kampung halaman. Bukan saja karena berpisah dengan orang tua, tapi pacar saya, kak, pacar saya yang waktu itu masih kelas III SMP juga terpaksa saya tinggal. Nggak mungkin khan saya bawa serta. Emang mau saya kasih makan apa di Jember coba? Cinta? Senggama? Aih…meski cengeng saya nggak sekacau itu sih dulu. Saya hanya meninggalkan dia dengan sepucuk surat. Semacam perpisahan. Prolognya? Syair pertama di lagu "You’re still The One". Picisan? Ya eyalah, Kak, namanya juga anak SMA. Dan saya nggak bilang kalok itu saya ambil dari lagu kakak. Biar nampak keren dan jago enggres. grin emoticon

Saya ndak tahu dia sedih atau tidak. Tapi saya sedih. Di bis patas Madura-Surabaya malam menjelang dini hari itu saya membayangkan dia terus. Kami bakal tak pernah bertemu lagi setelah itu. Hape? Belum punya hape kala itu kak. Ericson T10 itu mahalnya minta anjing. Kantong orang tua saya nggak cukup buat membelikan hape itu.

Sialnya, sampai di terminal Bungurasih, saya kecopetan. Nah, nasib anak sulung yang baru keluar kampung, begitu mentas langsung dicopet. Untung dompet selamat. Hanya uang duapuluh ribu lenyap. Tapi namanya apes tetap apes. Kecopetan. Lagu "When" baru saja selesai.

Saat mengetik paragraf ini lagu "Honey, I’m Home" baru saja di mulai. Awalnya saya kos di jalan Manggar, Jember, bersama seorang kawan. Kemudian saya pindah ke jalan Jawa ke kosan bernama Al-Cartoon (soal Al-Cartoon ini akan saya ceritakan terpisah kalo sempat). Saya masih cengeng. Tetap selalu ingin pulang. Sementara kawan saya dari kampung yang awalnya berangkat bersama ke Jember sudah pindah kampus. Ia mengadu nasib ke Malang. Mungkin kesepian atau mengejar cintanya yang kadung dianggap kekal. Memang di Malang lebih menggiurkan sih. Teman-teman sekelas saya waktu SMA numpuk kuliah di sana.

Tapi saya bukan remaja yang nekat. Juga bukan pelawan arus yang tangguh. Jadi pasrah saja. Tapi juga bukan mahasiswa yang baik. Begitu selesai ujian dan nilai IPK keluar, semester pertama, alhamdulillah, IPK saya tembus 2,1. Keren ya. Masih keren dong daripada nggak dapat nilai. Dan kakak masih sering saya dengarkan kalau lagi jalan-jalan ke Matahari. Lagu "come on over" baru saja dimulai. Suara kakak dari awal saya mendengarkan album "Come on Over" dari yutub masih seksi saja. Apakah setelah kepala 5 sekarang masih seseksi ketika album "come on over" terbit? Entahlah, semoga kakak sehat selalu.

Nasib saya mungkin lebih beruntung. Nasib para penunggu angin dan pengikut ke mana air mengalir memang begitu, mungkin. Kawan sekampung saya yang ketika pertamakali ke jember bersama-sama hancur karir pendidikan tingginya di Malang. Beberapa kali pindah sekolah nggak selesai semua. Sementara cinta yang ia kejar yang telah membuat hatinya jadi pelawan arus nasib paling garang justru pindah ke lain hati. Memilih menikah dengan guru. Kalau kemudian dia bertahan hingga sekarang, mungkin karena mental pelawan arusnya yang tak usai-usai. Dia telah berkeluarga sekarang. Saya juga. Semoga dia baik-baik saja dan terus bercahaya. Lagu "Don’t be Stupid" baru saja kelar ketika paragraf ini saya selesaikan.

Kakak mau tahu dari semua cerita panjang lebar di awal tadi sebenarnya apa tujuan saya menulis surat ini? Tentu saja saya kangen kakak. Semoga surat ini bisa kakak baca, kalau nggak ya saya sarankan kakak kursus bahasa indonesia. Sebab enggres saya masih belepotan kayak mulut balita yang baru belajar makan sendiri. Ngomong-ngomong, kapan kita bisa ketemu kak? Makan malam di warung sate atau kencan di warung Pak Dje. Maukah kakak jadi pacar saya?

Jangan dijawab dengan tergesa kak. Dipikir-pikir aja dulu. Lagu "Black Eyes, Blue Tears" telah usai. Saatnya pulang. Selamat tinggal.

Dari penggemarmu

Peluk cium lewat kenangan selalu

Selasa, 31 Maret 2015

'Tubuh' Madura dalam Tiga Kacamata*)



Judul              : Sosiologi Tubuh; Membentang Teori di Ranah Aplikasi

Penulis          : Ardhie Radtya, M.A

Penerbit        : Kaukaba Dipantara, Yogyakarta

Cetakan         : Pertama, Agustus 2014

Tebal              : xxxvi+312 halaman

ISBN               : 978-602-1508-52-7

Peresensi      : HN. Amrif**)


APA jadinya jika ‘tubuh’ Madura dibedah melalui kacamata sosiologi tubuh? Buku berjudul Sosiologi Tubuh: Membentang Teori di Ranah Aplikasi karangan sosiolog muda Madura bernama Ardhie Raditya ini memberi jawabannya. 

Dengan menggunakan tiga kacamata sebagai obyek bantu menelisik soal madura itulah buku ini bergerak. Kacamata pertama memandang Madura melalui tubuh perempuannya. Kacamata berikutnya, memandang  Madura dari kacamata tubuh para jagoannya. Para preman Madura. Kacamata terakhir, melihat ‘tubuh’ Madura dari klasifikasi para tukang pijat tradisional Madura.

Dalam kacamata tubuh perempuan madura, dosen tetap di jurusan Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini memaparkan bahwa perempuan Madura tidak hanya ditindas oleh budaya patriakat saja. Perempuan madura, terutama perempuan dumeh (perempuan kelas bawah) ditindas oleh sesama perempuannya, yakni perempuan dari golongan parjejih (baca: priyayi). Menggunakan konsep pertentangan kelas ala feminisme marxis, kajian ini bergerak pada pandangan tentang posisi subaltern, yakni subyek yang tertekan dan tertindas. Berada dalam posisi inferior karena tersubordinasi oleh struktur dominan, yakni dominasi perempuan priyayi terhadap perempuan dumeh. Yang ditawarkan kemudian sebuah dekonstruksi untuk mensejajarkan posisi antara priyayi dan dumeh dalam segala lini kehidupan masyarakat. (hal. 259-265).

Dalam kacamata berikutnya, yakni tubuh Madura melalui para premannya, penulis buku ini menjelaskan bagaimana para preman Madura menafsir ulang tentang sehat dan sakit. Penulis buku ini memaparkan bagaimana para blater Madura menjaga kualitas tubuh mereka dari sakit. Baik sakit karena lemahnya fisik, maupun sakit karena berhasil ditembus senjata supranatural (baca: santet). Melalui cara menafsir ulang definisi sakit dan sehat ala blater madura, penulis kemudian menklasifikasi para blater bedasarkan tubuh mereka. Para preman Madura yang berhasil menjaga tubuhnya tetap prima baik dalam aspek mental (puasa berahi), ekonomi (sanggup puasa materi), dan kultural (menggendalikan supranatural) maka akan dianggap sebagai jagoan rajeh (kelas atas dalam dominasi jagoan Madura). Begitu juga sebaliknya. Yang gagal menjaga tubuhnya dianggap jagoan keni’ (preman kelas teri) (hal. 269-299). Cara mengklasifikasi para jagoan berdasarkan konstruksi tubuh dan kuasa tubuh atas sehat dan sakit tergolong unik dalam banyak penelitian atas jagoan Madura. 

Tapi, di samping dua kacamata diatas dalam memandang tubuh Madura, ada kacamata lain yang dipakai untuk mengupas budaya madura melalui sudut pandang sosiologi tubuh. Yakni, tentang tukang pijat Madura. Melalui analisa sosiologi tubuh, alumni UGM ini, mengklasifikasi berbagai jenis dukun pijat di madura. Termasuk darimana asal usul tukang pijat tersebut mendapatkan ilmu pijat. 

Bagi para penikmat budaya Madura, kajian ‘tubuh’ Madura dari tiga aspek diatas tentu menarik perhatian. Sebab hingga saat ini kebanyakan madura masih dipandang melalui aspek antropologi dan budaya semata. Sementara jarang sekali peneliti melakukan kajian dengan aspek sosiologi, apalagi sosiologi tubuh. Dan buku ini setidaknya menjadi angin segar bagi makin luasnya kajian tentang masyarakat Madura.

Hanya saja, kajian tentang Masyarakat Madura dalam buku ini tidaklah mewarnai keseluruhan buku ini. Kajian tentang Madura dengan tiga kacamata itu hanya ada di bab terakhir. Sedangkan mengenai tubuh Madura melalui sudut pandang tukang pijat berada di Bab I dan hanya diulas sekitar empat halaman saja (hal. 89-95). Padahal jika tiga tubuh Madura itu menjadi inti dari buku ini tentu akan menjadi lebih menarik bagi banyak orang, mengingat buku-buku mengenai Madura memang memiliki segmentasi yang jelas.

Sejatinya buku ini adalah buku mengenai teori sosiologi tubuh. Hal ini bisa dilihat dari sebagian besar isi buku ini yang mengulas dan mengutip berbagai teori dan pendapat tentang sosiologi tubuh. Tepatnya buku ini lebih identik sebagai buku diktat kuliah sosiologi dilihat banjirnya kutipan dan teori di sana-sini. Hal yang menguatkan lainnya bahwa buku ini merupakan diktat kuliah sosiologi adalah kata sambutan dan epilog yang ditulis oleh Dekan FISIKUM Unesa dan Rektor Unesa yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi pembaca. 

Buku setebal 300an halaman yang dikata pengantari Prof. Yusraf Amir Piliang, seorang guru besar kajian budaya pop di ITB dan penulis buku best seller berjudul “Dunia Yang Dilipat” ini, terdiri dari empat Bab. Bab pertama mengurai tentang sejarah dan teori-teori tentang sosiologi tubuh (hal.1-143). Bab kedua mengurai tentang tubuh hubungannya dengan globalisasi dan teknologi (hal.151-209). Bab ketiga memaparkan tentang tubuh dan media massa (hal. 213-266). Dan terakhir, pada bab empat, mengurai tentang tubuh dalam aras lokal (hal.269-300). 

Sebenarnya, bagi sosiolog kontemporer kajian soal tubuh bukanlah barang asing. Sejak revolusi industri menggerus masyarakat dalam gilda-gilda ekonomi kapitalis, sejak itu pula sosiologi tubuh menjadi alat untuk mendekonstruksi kesadaran masyarakat akan tubuh di bawah kungkungan kapitalisme. 

Dalam pandangan sosiologi tubuh, tubuh memiliki relasi kuasa dengan sistem sosial yang ada. Tubuh bisa menjadi objek eksploitasi kekuasaan dan sekaligus bisa juga menjadi subjek dalam eksploitasi terhadap tubuh lainnya. Dalam kondisi macam ini, selama relasi kuasa dan eksploitasi tubuh tak tuntas didekonstruksi, maka tubuh jadi bagian paling empuk dihajar tajam kuku kapitalisme. Dan ketika tubuh ambruk, maka masyarakatpun bakal limbung dan terpuruk.

Melalui sosiologi tubuh, para sosiolog mengungkap selubung gelap tubuh di bawah bengis tapak kaki kapitalisme untuk menyadarkan masyarakat betapa tubuh begitu berharga dan punya kuasa untuk melawan segala tindasan budaya terhadap dirinya. 

Sayangnya, buku bersampul wajah perempuan yang terbelah ini, terlalu sedikit membahas ‘tubuh’ Madura. Sebaliknya, justru buku ini menjenuhkan jika dilihat dari definisi, teori dan kutipan dari berbagai pemikir yang disusun bertumpuk-tumpuk termasuk istilah-istilah ilmiah yang bikin pembaca awam mengernyitkan dahi. Namun bagi mereka yang ingin menekuni sosiologi tubuh, terutama mahasiswa, praktisi dan akademisi masalah sosial yang ingin mengetahui bagaimana sosiologi tubuh bekerja membedah tubuh Madura dalam aplikasi penelitian di lapangan buku ini pantas dibaca. Termasuk mereka yang ingin mengenal masyarakat madura lewat sosiologi tubuh. 

*) Resensi ini dimuat di Harian SUARA MADURA, 31 Maret 2015 

**) HN. Amrif adalah alter ego Edy Firmansyah, seorang jurnalis partikelir, penyair dan penulis cerpen. Pernah bekerja di JAWA POS selama satu tahun (2005-2006). Menulis resensi di banyak media  nasional, media daring dan lokal.

Senin, 16 Maret 2015

Kamar, Penulis dan Hal-hal yang tak Terduga

Kamar, Penulis dan Hal-hal yang tak Terduga

Dulu, saya berpikir, semampang orang tidak buta huruf, tentu ia bisa menulis. Kalau bisa menulis tentu bisa menjual tulisannya ke media massa. Pandangan itu ada benarnya, tapi dalam perjalanan waktu saya salah besar.
Suatu hari kawan sekampus saya, L, datang ke kos saya. Dia ingin belajar menulis. Ingin tulisannya nongol di koran, seperti saya. Saya menyanggupi. Lalu kami belajar bersama. Dan sepertinya serius sekali dia. Sekitar tiga bulan kami berbagi pemikiran soal penulisan, hampir tiap malam. Sampai akhirnya ia memutuskan mengirim tulisannya ke koran.
Dan dimulailah hari-hari penuh tarikan nafas panjang itu. Yakni ketika mengirim ke koran, sebelumnya harus menarik nafas panjang kemudian berdoa dan klik send di pojok kanan bawah email. Kemudian hidup dalam debar dalam penantian panjang akan kepastian dimuat tidaknya sebuah tulisan. Hingga tulisan ini saya buat, L, kawan saya itu tak pernah sekalipun tulisannya nongol di koran. Namanya tak pernah dimuat. Saya sendiri heran. Apa dia kurang produktif atau salah strategi.
Belakangan baru saya tahu, Ia memang tak berhasil menjadi penulis koran. Tapi ketika saya bertandang ke rumahnya di Kediri beberapa tahun silam, Ia adalah penulis skripsi yang produktip. Bukan skripsi sendiri tentu saja. Tapi skripsi orang. Ia membuka jasa pembuatan skripsi. Bukan hanya skripsi. Tapi juga desertasi dan tesis. Saya tak bisa membayangkan ketika dia cerita sudah menyelesaikan ratusan skripsi. Waw…
Berapa omzetnya? Silahkan anda terka-terka sendiri. Setidaknya ketika pulang dari rumahnya, saya ditraktir tiket pergi pulang. Tiket kereta api. Kediri-Surabaya. Dan sebuah amplop berisi uang duaratus ribu.
”Makasih sudah mengajari saya menulis dulu. Kalo tidak, saya mungkin sudah kelimpungan jadi pengangguran.” Ujarnya. Saya yakin ia terlalu melebih-lebihkan pernyataannya ini.
Selain membuka jasa pembuatan skripsi, dia juga punya warnet dengan delapan unit komputer yang buka 24 jam. Kadang saya berpikir, nasib orang memang tak bisa diterka. Gak berhasil nembus Koran, justru berjaya buka jasa bikin skripsi orang. Setidaknya hasil skripsinya nembus perpustakaan kampus. Meskipun bukan nama sendiri. istilah kerennya sekarang; ghost writer.
Di waktu yang lain, saya juga mengajari dua adik saya menulis. Satu adik saya kerap nongol di media, sekarang menjadi dosen dan telah menerbitkan dua buku ilmiah sesuai bidang akademiknya. Adik bungsu saya, ternyata tak seberuntung saya dan adik saya. Sekali namanya pernah nongol di koran nasional. Puisi. Setelah itu sepi. Akhirnya, ia malah banting setir buka jasa pembuatan skripsi di kampung. 
Kini kawan saya yang lain, kawan sekolah saya waktu SMP dan SMA meminta saya mengajarinya menulis. Saya meyanggupi meski tidak terlalu serius menanggapi, mengingat ia kini sudah beranak dan beristri. Menulis di masa tua? Hem, toh ia belajar juga.
 ”Saya suka cerpen.” Begitu terangnya ketika saya meminta memilih genre penulisan. Kini dia menulis cerpen. Dan ingin sekali tulisannya dimuat di Koran. Saya memberikan beberapa saran yang mungkin penting buat dirinya. Minimal bisa menulis bahasa indonesia dengan benar. 
Pasalnya sederhana saja, hari ini saya satu mobil dengan kawan saya yang punya jasa pembuatan skripsi itu. Mobilnya itu mobil sendiri. Meski kredit. Dan telah berjalan tiga tahun kredit tanpa nunggak. sambil nyetir, Ia cerita.
”Ternyata tidak gampang jadi penulis koran. Juga tidak terlalu sulit cari rejeki kalau punya keahlian. Dulu saya yakin bisa jadi penulis Koran, lalu jadi wartawan. Ternyata saya keliru. Itu berkaitan dengan nasib. Toh belajar nulis ada gunanya juga. Setidaknya bisa buat skripsi orang dan nggak bingung kalau anak minta diajari cara mengarang.” Ujarnya.
Saya tersenyum. Bukan saja senang. Sekaligus malu. Ia dulu saya ledekin sebagai mahasiswa yang lambat menyerap ilmu. Pikirannya ke mana-mana dan gampang gumonan. Eh, ternyata bisa berjaya. Dari tulisan. meski jasa pembuatan skripsi (warnet juga tentunya). Sementara saya, masih saja menulis hal remeh-temeh macam begini dan kemana-mana naik motor. Malah sekarang, hujan-hujan begini numpang mobil teman. Dan ditraktir makan di ayam goreng kalasan, Surabaya.
Apa boleh buat orang yang bisa menulis belum tentu bisa menjual tulisannya. Seorang jurnalis belum tentu bisa nyicil mobil dari hasil nulisnya. Tidak banyak orang yang pandai melihat peluang. Kawan saya itu, yang kini sedang mentraktir saya itu, orang yang pandai melihat peluang. Sementara saya, orang hanya pandai meluangkan waktu dengan menulis. 
Manusia dan nasib memang punya kamarnya sendiri. Sekali anda salah kamar, lekaslah balik lagi, selagi masih ada waktu. Sekali tersesat anda susah balik lagi. Seperti kawan saya yang lain. Tak pernah ingin profesi lain selain guru. Berkali itu tes CPNS gagal. Akhirnya ia menjadi makelar. Makelar meloloskan orang untuk menjadi guru. Saya tahu itu menipu. Herannya hingga sekarang, masih saja ada yang percaya. Buktinya, kemarin bawa SK guru atas nama adik mertua saya yang kebetulan kerja serabutan. untuk menebusnya cukup 80 juta. Saya tahu itu SK palsu. tapi dia ngotot itu asli. logikanya, kalo benar bisa bikin SK asli, mengapa dia nggak pake namanya sendiri buat jadi guru. Aneh. Tapi kadang perlu ada hal macam demikian, kalau nggak mau lekas kiamat.
Semoga kawan saya yang sekampung dengan saya itu berhasil menjadi penulis cerpen, dan kalo gagal tidak banting setir membuka biro jodoh menjadi penulis surat cinta. Emang laku di tengah banjir mensen dan tagar cinta seperti sekarang? Hehehe…saya hanya bercanda kok. Tapi kalau membuka percetakan khusus surat yasin dan tahlil mungkin masih menjanjikan.
Demikian. Mari baca surat al-fatehah.


Senin, 09 Maret 2015

LAYAR TANCAP*)


Oleh: Edy Firmansyah

Fuad hanya terpaku ketika Ripin, bapaknya, dimasukkan ke dalam liang lahat. Matanya sembab. Pikiran berkecamuk. Mengapa Tuhan memanggil bapaknya dengan cara keji begitu? Seandainya ia menuruti bapaknya untuk tak nonton layar tancap malam itu, mungkin pagi ini ia masih bisa membuatkan bapaknya kopi. Tapi takdir berkehendak lain. Bapaknya mati. Tuhan begitu kejam. Fuad terus membatin. Fuad tak tahan. Fuad tak sanggup sendiri.
”Bapak…bapak…!” orang-orang terus memegangnya erat.
”Jangan sampai lepas. Nanti dia nekat” teriak yang lain sambil terus mencangkul.
Pelan-pelan jasad bapaknya yang dibalut kafan yang sebagian memerah karena darah tak kelihatan lagi. Ditimbun tanah. Fuad menangis sejadi-jadinya diantara gemuruh langit dan lafal doa.
***
Fuad baru saja melompat ke sungai, ketika kawan-kawannya bergegas naik dan meninggalkannya. Meski tak puas menikmati sejuk air sungai, Fuad menepi juga. Mengenakan celananya, tanpa sempat mengenakan baju, lalu berlari mengejar kawanannya ke lapangan. Bajunya ia pegang di tangan.
”Mobil itu datang. Mobil itu datang.” Teriak kawannya, Kharis, yang berlari paling depan.
Mobil yang dimaksud adalah mobil jenis van berpengeras suara dan digantungi poster besar berbagai jenis film. Mesin mobil itu bergerung memecah kesunyian lapangan di terik siang di tengah kampung. Suara mesin yang tumpang tindih dengan suara pengeras suara membuat soundtrack iklan KB terdengar buruk. Bergemerisik dan kerap membuat gendang telinga gatal.
Kawanan itu terus berlari mendekati mobil berwarna biru buram dengan beberapa bagian cat terkelupas itu kemudian membuntutinya dari belakang. Kharis berhasil melompat ke belakang van sambil terus tertawa jumawa. Yang lainnya masih terus berlari di belakang mobil van itu sambil bersorak sorai kegirangan.
Fuad terus berlari agak jauh tertinggal di belakang. Sambil berlari ia kenakan bajunya yang sedari tadi digenggamnya. Sebenarnya Fuad ingin terus mengikuti kawan-kawannya berlari dan biasanya berhenti di samping sekolah dasar di sisi lapangan tempat mobil van itu juga berhenti. Fuad memang terpesona dengan segala peralatan bioskop keliling itu. ia heran mengapa bisa dari proyektor film dan gulungan pita itu keluar gambar di layar putih yang ditancapkan di belakang gedung SD itu. Tapi pikiran anak-anaknya belum juga nyampek. Fuad hanya melongo. Heran. Kemudian berdecak kagum dalam hati.
Tapi kali ini ia urungkan niatnya mengejar kawanannya. Fuad kemudian memutuskan berbelok, berlari lekas-lekas menuju rumahnya. Dari pengeras suara mobil van itu ia dengar nanti malam akan digelar misbar. Layar tancap. Akan diputar lima filem. Dua film horor, dua film silat dan satu film komedi. Tutur tinular dan koboi cengeng adalah dua film favoritnya. Dan ia harus memberi tahu bapaknya, Ripin, bahwa ia akan nonton misbar sampai malam. Misbar adalah singkatan dari gerimis bubar. Dinamakan demikian karena layar tancap yang diputar akan dihentikan jika gerimis turun. Sebab peralatan itu bisa rusak jika terkena air.
Sudah hampir satu tahun bioskop keliling itu tak mampir ke kampungnya memberi hiburan. Biasanya hampir tiap bulan misbar itu digelar. Dan orang-orang kampung akan berduyun-duyun datang ke lapangan. Duduk bersila sampai larut malam menyaksikan film-film yang barangkali hanya bisa dinikmati di gedung-gedung biokop di Kabupaten.
Ripin sedang mengasah batu akiknya di ruang tamu, ketika Fuad tiba-tiba berlari masuk menuju dapur, menyambar kendi dan menenggak isinya, kemudian kembali ke ruang tamu.
”Ada apa kok ngos-ngosan begitu. Seperti dikejar demit aja.” Ujar bapaknya sambil menimang-nimang bacan yang baru saja digosoknya.
Dengan nafas tersenggal-senggal Fuad menceritakan keinginannya nonton misbar di lapangan seusai mengaji di surai haji Tholib malam nanti. Ia meminta sejumlah uang jajan. Tapi Ripin menggeleng tanda tak setuju. Fuad terus merajuk. Tapi Ripin terus menggeleng sambil menimang-nimang akiknya.
”Bapak tak bisa antar. Nanti malam bapak ada perlu ke rumah Haji Romli.ngurus acara sholawatan.”
”Pak, Fuad bisa pergi sendiri. Nanti berangkat ramai-ramai sama teman.”
”Bahaya pulang malam-malam. Sekarang banyak pembunuhan dan anak hilang.”
Ripin tahu bahwa ia memang terlalu keras pada anak semata wayangnya itu. banyak melarang ini itu. terutama aktivitas anaknya pada malam hari. Tapi apa boleh buat. Ia tak mau anaknya bernasib seperti dirinya. Jadi anak jalanan, kemudian jadi preman. Ia ingin anaknya tumbuh seperti anak normal lainnya. Sekolah, mengaji, membantu orang tua, setelah lulus bisa cari kerja. Kalo bisa jadi pegawai negeri atau guru ngaji.
Masih lekat dalam ingatan Ripin hari terakhirnya bertemu ibu dan bapaknya. Malam itu, karena tak tahan dipukuli terus sama bapaknya, emaknya akhirnya memilih minggat dari rumah. Membawa serta Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Tapi tanpa tujuan pasti. Emaknya berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin yang waktu itu masih sekecil Fuad sempat kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Enaknya. Sedangkan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Emak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah bergumam, Emak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Emak  menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Emak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian
Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Emaknya, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa Emaknya ditinggalkannya tergolek di atas jalan. Terengah-engah, di depan rumah, Ripin mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, Ripin melihat bapaknya sedang menjambak rambut Emak dan sedang menghantamkan kepala Emak yang kecil itu ke arah dinding. Melihat itu, Ripin kemudian berlari menjauhi rumah, menuju pasar malam dan tak pernah kembali.
Beruntung Ripin diambil anak seorang guru ngaji. Dan kemudian jadi pedagang ayam. Hidupnya tak lagi susah seperti waktu masih kecil. Ia tak harus menjadi preman seperti bapaknya hanya sekedar untuk cari makan. Sekali waktu, setelah tahu nasib emaknya, ia datang ke kuburnya. Membersihkan nisan Emaknya dan memanjatkan doa agar Emaknya tenang selalu di alam kubur. Sementara bapaknya sendiri ia tak tahu. Setelah mendengar cerita kalau bapaknya ditembak petrus, Ripin tak pernah tahu di mana kubur bapaknya.
Karena itu Ripin tak mau Fuad seperti dirinya. Cukup dia saja yang mengalami hidup sebatang kara dan sempat jadi anak jalanan dan pencopet. Fuad jangan. Samasekali jangan.
Fuad menghentikan rajukannya. Ketika bapaknya menyebut tentang maraknya pembunuhan dan orang hilang, bayangan tentang  seonggok mayat mengapung di kali tempat ia biasa mandi melintas. Mayat itu perutnya sobek, isinya terburai. Kata orang, mayat itu orang jahat. Mati dibantai ramai-ramai karena suka mengguna-gunai orang. Mengerikan. Mayat yang mengapung di kali itu membuat ia dan kawan-kawannya tak pernah lagi mandi di kali untuk beberapa waktu lamanya.
Tapi Fuad lekas-lekas menghapus bayangan itu. Ingatan tentang misbar menempel lagi dalam kepalanya. Fuad merajuk lagi. Kali ini dengan nada keras dan mulai merengek sambil menangis. Tapi bapak bergeming. Menggeleng dan ngeloyor pergi ke kamar mandi, berwudhu, lalu berjalan ke mushalla Haji Romli, meninggalkan Fuad yang terus sesegukan di ruang tamu, sendirian. Beberapa saat kemudian terdengar suara bapaknya mengumandangkan adzan dhuhur dari toa mushalla.
Tangis Fuad makin keras. Ia membayangkan seandainya ibunya ada di sampingnya, ia akan merajuk pada ibunya untuk meluluhkan hati bapaknya agar bisa menonton misbar. Tapi apa daya, ibunya tak akan pernah membelainya untuk meredakan tangisnya. Ibunya sudah di surga bersama adiknya. Ibunya mati saat hendak melahirkan adiknya. Sementara adiknya hanya bertahan seminggu di dunia kemudian juga menyusul ibunya menuju surga. Fuad kini berdua dengan bapaknya.
Malam begitu bersahaja dengan beribu bintang dan bulan berbentuk perahu di langit. Angin membawa gigil udara ke dalam kulit. Ripin sedang duduk diberanda sambil menghisap kretek dan memutar tasbih ketika Fuad pulang mengaji.
”Cuci tangan, cuci kaki. Setelah itu tidur” perintah Ripin.
Fuad melengos masuk rumah. Langsung naik ke tempat tidur tanpa menuruti perintah bapaknya. Memejamkan mata. Tapi tak bisa tidur. Ia membayangkan kawan-kawannya sedang berlarian di lapangan sambil makan ancang menunggu misbar dimulai. Ia membayangkan aroma sedap kacang rebus dan gulali menyeruak ke dalam hidungnya.
Beberapa saat kemudian Fuad mendengar langkah kaki bapaknya menuju kamar. Fuad lekas-lekas merapatkan matanya. Pura-pura tertidur lelap. Dirasakan tangan bapaknya membelas rambutnya. Didengarnya suara shalawat keluar dari mulut bapaknya sebaliknya tiga kali. Kemudian dirasakan tiupan dari mulut bapaknya di ubun-ubunnya. Fuad terus merapatkan matanya. Tapi tak bisa tidur. Bayang-bayang misbar masih menerkam pikiran kanak-kanaknya.
Rumah hening. Suara dengkur Ripin bersautan dengan suara jangkrik di luar. Dingin menyergap ke dalam sumsum ke dalam tulang. Fuad pelan-pelan membuka mata. Melihat ke arah bapaknya yang rebah di sampingnya. Berkali-kali mengguncangkan tangan bapaknya pelan untuk memastikan bapaknya tertidur pulas. Setelah yakin, ia pelan-pelan beringsut dari ranjang menuju dapur. Menaiki lemari dan mengambil kaleng tempat bapaknya menyimpan uang hasil jualan ayam. Selembar uang seribu ia kantongi, lalu menuju pintu belakang, membuka grendel dan bergegas berlari menuju lapangan. Nonton misbar.
Saat Fuad sampai di lapangan, film koboi cengeng baru separuh jalan. Film komedi yang diperankan Ateng, Iskak dan Dartok Helm kesukaannya. Fuad segera duduk di kerumuman kawan-kawannya sambil menikmati kacang rebus yang baru saja dibelinya. Ia terpingkal-pingkal bersama kawannya tiap melihat adegan lucu di film itu. Ia ngakak seakan lupa bahwa siang tadi ia menangis hebat.
Sementara itu, saat Fuad tertawa lepas menonton layar tancap, sebuah mobil jenis station wagon berhenti di depan rumah Ripin. Tak lama kemudian kabel listrik diputus. Listrik padam. Tiga orang berbadan tegap dan bertopeng ala ninja menerobos masuk ke rumah Ripin dengan mendobrak pintu. Tanpa kesulitan mereka menemukan Ripin tengah terlelap tidur. Tanpa banyak komentar mereka mengeluarkan pisau dan pedangnya. "Cras...crasss" Ripin langsung bersimbah darah dan meninggal. Lehernya nyaris putus digorok.
Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah. Dilemparkan ke pinggir jalan.  Beberapa orang sempat melihat station wagon itu. Berpenumpang empat orang berambut cepak dan selalu menenteng handy talky. Orang-orang merubung mayat Ripin. Desas-desus beredar, Ripin mati dibunuh ninja.
Fuad masih tertawa terpingkal-pingkal tiap berlangsung adegan lucu dalam koboi cengeng.


Madura, 2015

*) Cerpen ini dimuat di harian RADAR SURABAYA, 08 Maret 2015