WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Desember 2008

Lingkaran Setan Kekerasan Guru Terhadap Murid

Dimuat di RADAR SURABAYA, 18 Desember 2008



Lingkaran Setan Kekerasan Guru Terhadap Murid
Oleh: Edy Firmansyah

Daftar Kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid kian hari kian panjang. Beberapa waktu lalu di Jember kita dikejutkan oleh tindak kekerasan oknum kepala sekolah terhadap muridnya. Sang kepala sekolah tega memukuli 5 muridnya hingga mengalami luka agak serius. Di Tapanuli, seorang guru Matematika tega menghajar muridnya hingga babak belur. Ironisnya perbuatan tersebut berhasil direkam kamera ponsel.

Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang paruh pertama tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak (baca: murid) mengalami peningkatan tajam, yakni 39 persen dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan anak lainnya. Data tersebut belum termasuk perlakukan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis ini dimasukkan presentasinya akan kian tinggi.

Fenomena diatas jelas sebuah ironi. Pasalnya Sekolah (baca: Pendidikan) sejatinya merupakan sarana untuk membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan, penipuan serta penindasan. Sekolah yang menggunakan kekerasan dalam belajar–mengajar hanya akan merusak masa depan peserta didik secara psikologis.

Sayangnya banyak guru sering berpikir keliru soal masa depan anak. Para guru menganggap tindak kekerasan terhadap anak lazim dilakukan sebagai bentuk agak berlebihan sekolah dalam menjalankan ’hak’ mereka guna mendisiplinkan anak-anak didiknya. Tujuannya sederhana, semakin disiplin manusia, maka semakin mudah meraih kesuksesan.
Padahal yang terjadi bisa kebalikan dari itu semua. Dalam pandangan Freud kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid akan terekam dalam alam bawah sadarnya. Dan sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya. Ini bisa dilihat misalnya, ada murid yang tega membunuh temannya sendiri hanya karena rebutan buah kersen (cheri), tawuran antar pelajar, maraknya seks bebas di kalangan siswa hingga peredaran narkoba dikalangan pelajar merupakan sedikit bukti dari ekses kekerasan terhadap murid.

Pertanyaan yang kemudian layak diajukan mengapa guru tega melakukan kekerasan terhadap siswanya? Tidakkah mereka berpikir—mengutip Khalil Gibran, penyair Lebanon —bahwa Anak didikmu bukanlah anakmu. Mereka adalah kehidupan. Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunyai pikiran sendiri. Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tidak melalui mimpimu.

Pertama, rendahnya intelektualitas guru. Yang berimbas pada rendahnya metode mengajar. Jamak diketahui bahwa menjadi guru—yang notabene PNS—adalah pilihan banyak orang di negeri ini. Maka berbondong-bondonglah masyarakat menempuh pendidikan guru. Artinya, mereka memilih sekolah tersebut bukan karena bercita-cita menjadi guru. Melainkan karena peluang untuk mendapat pekerjaan di dunia pendidikan ini memang jauh lebih besar.

Akibatnya ketika diterima dan mulai mengajar, mereka tak mau ambil pusing dalam proses belajar mengajar. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Mereka tak akan menerapkan psikologi pendidikan atau menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan kharakteristik siswanya. Guru yang tidak paham psikologi pendidikan akan mengajar serampangan dan kerap bertindak diluar nalar kemanusiaan manakala tertekan.

Kedua, adanya hegemoni sistem pendidikan yang ada selama ini. Dimana hanya pejabat yang berkuasa yang berhak memberikan tafsiran atas realitas pendidikan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan kepala sekolah, guru pengajar, guru bantu, dan guru tidak tetap hanya diminta patuh melaksanakannya. Misalnya ketika, anggaran pendidikan hanya dipatok 20 persen dari total anggaran APBN yang kemudian berimbas pada rendahnya gaji guru. Guru ‘dipaksa’ diam. Pun ketika gaji mereka yang rendah itu dikenai potonngan di sana-sini. Mereka tetap diminta loyal mengajar sembari memenuhi kebutuhan ekonomi yang kian melangit dan biaya pendidikan anak-anak mereka yang kian tak tersentuh.

Imbas dari itu semua kemudian muncul prilaku emosional yang destruktif dan violence. Mengajar asal-asalan dan sesekali diringi dengan tindak kekerasan. Sasarannya siapa lagi Sasarannya, siapa lagi kalau bukan anak-anak di rumah serta siswa-siswinya disekolah sebagai strata paling bawah.

Karena itu pemerintah harus segera mengambil tindakan mengatasi semua itu. Langkah yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki seleksi rekruitmen guru. Menyeleksi secara ketat para calon guru mutlak dilakukan, baik kapabilitas keilmuan dan unsur psikologisnya. Karena bekerja menjadi guru bukan hanya berdasarkan paradigma gaji saja. Sebab yang dihadapi para guru adalah generasi penerus bangsa.

Hanya saja SDM yang baik dan mumpuni tidak cukup menunjang jika tidak didukung sistem pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Artinya, selain menjamin kesejahteraan guru, penting kiranya merombak kurikulum yang kerap memberatkan anak, menjadi kurikulum yang lebih ’nyeman’. Terakhir, menindak segala bentuk kekerasan sekecil apapun dalam sekolah adalah keputusan bijak. Karena sangat tidak mungkin murid bisa mengembangkan kratifitas dan membuat inovasi baru sementara mereka belajar dalam represifitas.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Hitam Putih Dunia Remaja

Dimuat di KPO Bali Edisi 165, 15-31 Desember 2008


Hitam Putih Dunia Remaja


Judul : A Young Girl’s Diary (Catatan Harian Gadis Belia)
Penulis : Grete ”Rita”Lainer von Lainsheim
Penerjemah : Fauzia Wardhani
Penerbit : Visi Media, Jakarta
Cetakan : I, April 2008
Tebal : x + 286 Halaman
Peresensi : Edy Firmansyah

Masa Remaja adalah masa yang paling menentukan dalam pembentukan karakter manusia. Pada usia sekitar 11-14,5 tahun, selain mengalami masa pubertas, kaum remaja akan mengalami berbagai romantika dalam persahabatan, percintaan serta pasang surut hubungan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Jika masa tersebut berhasil mereka lalui dengan gemilang, maka ketika dewasa mereka akan mudah menumbuhkambangkan pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude) dan ketrampilan (know-how, skill) sebagai bekal bertahan hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat.


Sayangnya, masih banyak orang tua dan masyarakat yang tidak paham dengan karakter remaja ketika memasuki masa pubertas. Buktinya sebagian besar anak-anak kita berada dalam posisi sub-altern. Yakni, sebuah keadaan dimana manusia kehilangan suara kemanusiaannya. Mereka dibungkam. Dibuat tunduk dan takluk pada peraturan tertentu. Kasus pernikahan Lutfiana Ulfa, Gadis belia berusia 12 tahun dengan Syech Puji alias Pujiono yang hingga kini terus menuai kontroversi adalah sedikit bukti tentang posisi subaltern anak-anak. Seolah anak adalah hak milik orang dewasa yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orang tua masuk akal. Sehingga ketika dewasa nanti anak-anak akan menjadi harapan orang tua.

Padahal menurut Gibran, penyair Lebanon dan pengusung humanisme universal; Anak bukanlah milik orang tua. Mereka adalah kehidupan. Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunyai pikiran sendiri. Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tidak melalui mimpimu.

Seperti apa sebenarnya kehidupan anak-anak pada masa belia? Buku yang berisi catatan harian seorang gadis belia (muda) bernama Grete ”Rita” Lainer Von Lainsheim) dari kelas sosial menengah atas di Wina, Austria barangkali mampu memberikan gambaran yang utuh tentang masa pubertas yang penuh gejolak itu. Dalam buku ini, Rita (begitu orang-orang dekatnya memanggilnya) menceritakan bagaimana ia mengungkapkan perasaannya yang berkembang menuju kearah kematangan. Bagaimana dia memaknai perasaan bahagia, cinta, benci dan marah. Bagaimana dia menjalin hubungan dengan orang tua, saudara dan sahabat hingga bagaimana awal dia menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga menjadi hubungan yang serius terungkap detail dalam catatan harian ini. Bahkan tanpa tedeng aling-aling Rita juga menceritakan tentang kebingungan-kebingungannya soal seks. Sampai akhirnya ia menguak rahasia-rahasia kehidupan menurut pemahamannya sendiri.

Membaca catatan harian ini seakan kita berada di belakang Rita dan mengikuti setiap gerak geriknya dan masuk dalam perasan-perasaannya. Ditulis dengan cukup memikat dan runut dengan kepolosan khas gadis belia. Karena tak heran jika Sigmund Freud, sang penemu Psikologi Analis itu memuji catatan harian ini. ”Catatan harian ini laksana sebuah intan. Saya yakin, tidak pernah ada sebelumnya suatu karya tulis yang mampu membuat kita melihat sedemikian jelas ke dalam jiwa seorang gadis belia, selama menjalani tahun-tahun perkembangan masa puber. Karena catatan harian ini wajib diterbitkan.(hal. iv).

Setidaknya ada dua hal mengapa pendapat Freud diatas patut diamini bermasa. Pertama, secara sosiologis catatan harian ini berhasil mendudukkan tiga macam kekuatan eksternal yang mempengaruhi kehidupan sosial. Pertama, lingkup keluarga (family power). Kedua, lingkup masyarakat (Society Power) Ketiga, lingkup negara (State power). Dan perlu diketahui bawah karakter manusia dipengaruhi oleh tiga kekuatan tersebut. Jika salah satu dari tiga kekuatan tersebut timpang, maka yang lahir adalah generasi timpang. Kedua, secara psikologis Rita melalui catatan hariannya berhasil melewati masa belia dengan gemilang. Artinya, ia mampu mengungkapkan setiap seluk beluk kehidupannya dengan lancar. Tanpa ada tindak kekerasan, tanpa ada intervensi. dan menariknya, itu semua dilakukan dengan menulis.

Sebab dalam teori dasar psikologi dijelaskan bahwa energi seseorang yang tidak tersalurkan melalui kegiatan (baik fisik maupun intelektual) akan cenderung menjadi destruktif. Beberapa kasus semisal tindak pemerkosaan, pelecehan perempuan di jalan, pemerkosaan bocah perempuan oleh pemuda atau kakak lelaki hingga mengandung merupakan bukti tersumbatnya saluran sublimasi psikologis.

Dengan menulis catatan harian, Rita berhasil melepaskan penumpukan trauma masa kecil dalam alam bawah sadar yang bisa menyebabkan seseorang bertindak banal. Dan mestinya cara menyalurkan energi muda yang penuh gejolak ini adalah dengan menulis dan mengembangkan imajinasi sebagaimana dilakukan rita dan catatan hariannya.

Karenanya buku ini wajib dibaca orang tua dan para guru agar bisa mengerti perasaan anak-anak dan murid-muridnya yang seusia dengan Rita sehingga bisa memberikan perhatian dan pendidikan yang tepat. Tepat juga dibaca para remaja, baik laki-laki maupun perempuan atau semua orang yang ingin memahami karakter dan pola pikir para ABG (Anak Baru Gede) pada umumnya.


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Pustakawan di Sanggar Bersastra Kita (SBK) Madura.

Senin, 15 Desember 2008

Proletarisasi Spiritual Dalam Kurban

Dimuat di LAMPUNG POST, 09 Desember 2008




Proletarisasi Spiritual Dalam Kurban
Oleh: Edy Firmansyah



Merayakan Idul Adha (Hari raya Kurban) yang kali ini jatuh pada 8 Desember 2008 bukan sekedar sholat Idul Adha di pagi hari dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ritualitas semata. Lebih daripada itu, perayaan hari raya Idul Adha harus dijadikan momentum untuk membela nilai-nilai kemanusiaan.

Perintah Tuhan terhadap Nabi Ibrahim untuk mengurbankan anak semata wayangnya, Ismail, dan dipenuhi sepenuh hati oleh Ibrahim, janganlah dimaknai sebagai sebuah tanda legalnya tindak kekerasan atas nama agama sebagaimana yang diamarkan Rene Girard.

Sebaliknya, praktek kurban justru merupakan peletakan fondasi humanisme di atas segala hasrat dan egoisme pribadi. Sebab menurut Ali Syariati, dalam bukunya berjudul Hajj, ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail, lalu Tuhan menggantikannya dengan seekor kampung, merupakan sebuah bentuk penghapusan tradisi kuno masyarakat di zaman Nabi Ibrahim yang suka mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan para dewa dan roh suci yang mereka yakini. Dengan kata lain, melalui praktek qurban, Tuhan hendak menyerukan; hentikan tindak kekerasan antar manusia.

Karena itu setiap tetes darah hewan kurban yang jatuh ke bumi, dimaknai sebagai bentuk penghancuran sikap individualistik dan prilaku culas manusia digantikan dengan solidaritas sosial dan sikap kemanusiaan terhadap sesama tanpa pamrih. Dan itulah yang menjadi bekal seorang itu menjadi muslim sejati. Sebagaimana yang diungkapkan Sayyid Qutb bahwa Islam adalah sebuah perlawanan yang bertujuan menghancurkan segala bentuk hubungan manusia yang menuhankan sebagian diatas sebagian yang lain. Segala ritual keagamaan dalam Islam haruslah menjadi sumber kekuataan hukum dalam melawan segala bentuk kesewenang-wenanganan sebagai bentuk ego pribadi manusia. dan tindakan penuhanan manusia atas manusia tersebut (dalam Prasetyo, 2007).

Pasalnya nafsu ego pribadi yang tak jarang menyebabkan penderitaan dan kemiskinan umat manusia dengan dibungkus pengalaman spiritual. Banyak orang enteng membelanjakan ratusan ribu rupiah untuk membeli hewan untuk disembelih dengan harapan memperoleh pahala dan rejeki berlimpah dari Tuhan, tapi malas mengeluarkan puluhan ribu rupiah bagi pembebasan kebodohan dan penderitaan orang lain.

Padahal kita tahu bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.
Kondisi diatas jelas sangat berbahaya. Bukankah dalam hadist telah disebutkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran. Dan kufur dalam hal ini bukan saja merupakan sikap berpaling pada keesaan tuhan tetapi juga berpaling pada kemanusiaan. Lihat saja, tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan. Dan angka kemiskinan diatas tidak akan tuntas bahkan sampai hari kiamat jika hanya mengandalkan pembagian daging kurban setahun sekali. Dengan kata lain, konflik, kekerasan, teror, tindak kriminal akan terus mewarnai perjalanan kehidupan masyarakat negeri ini. Jika kondisi ini dibiarkan, jelas negeri ini sedang menuju kehancurannya.

Karenanya perayaan Idul Adha dapat dijadikan sebagai pembuka kunci pemecahan masalah yang tengah dihadapi seandainya ada keberanian para elit politik dan keagamaan negeri ini untuk mulai mengorbankan gengsi jabatan, kekayaan dan keagamaan bagi pemulihan spirit kemanusiaan yang telah lama pudar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan mengurbankan anaknya, Ismail.

Tapi masalahnya, praktek kesalehan keagamaan manusia negeri ini masih dimaknai sebagai bentuk penumpukan pahala, bahkan menguasai tuhan bagi dirinya sendiri, serta menutup peluang bagi orang lain memperoleh posisi serupa. Akibatnya, praktek ritual keagamaan seperti hampa manfaat duniawi dan fungsi sosial-ekonomi produktif. Pemeluk agama berlomba-lomba mengumpulkan pahala, tanpa pernah peduli ritual kegamaannya itu bermanfaat bagi publik (terutama kaum mustadla’ afin) atau tidak.

Bahkan dengan cukup lihai kapitalisme telah membungkus ritual perayaan keagamaan yang individualistik tersebut hanya sebagai ajang belanja baju-baju koko dan mukenah mewah di plasa-plasa, dan mal-mal ternama dengan diskon besar. Sehingga timbul kesan bahwa perayaan keagamaan bukanlah momentum untuk perlawanan terhadap sikap antikemanusiaan, melainkan perayaan sebuah pesta. Karena jangan heran jika korupsi semakin menggila ditengah kemiskinan yang merana hanya untuk memenuhi kaidah pasar.

Nah, pertanyaannya siapa yang bakal memulai? Tentu saja kita semua yang sadar bahwa Islam dengan segala hari besar keagamaan didalamnya adalah wujud dari pembebasan semua umat manusia dari penderitaan dan penindasan. Dan yang paling penting adalah kepedulian para elit politik, birokrat dan ulama keagamaan—meminjam kata-kata Ali Syariati—untuk tidak berlaku pasif atas ketidakadilan dan kesengsaraan orang yang tidak berdaya dan tertindas.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pemerhati Masalah Keagamaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).


Melepas Belenggu Diskriminasi Kaum Difabel

Dimuat di RADAR SURABAYA, 05 Desember 2008



Melepas Belenggu Diskriminasi Pada Kaum Difabel
Oleh: Edy Firmansyah


Tak banyak yang tahu jika tanggal 3 Desember kerap diperingati sebagai hari Difabel (singkatan; Different Ability) atau Penyandang Cacat Internasional. Padahal kaum difabel di negeri ini masih terus mengalami diskriminasi di segala bidang.

Bahkan perhatian negara terhadap kaum difabel masih sangat minim. Benar memang pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk kaum difabel. Diantaranya, Undang-Undang (UU) 4/1997 tentang Penyandang Cacat; Peraturan Pemerintah (PP) 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Namun penerapan di lapangan atas undang-undang tersebut masih jauh panggang daripada api.

Dalam hal mengakses fasilitas umum, misalnya, nyaris tidak kita temukan fasilitas pendukung bai kaum difebel seperti lift dan ramp bagi pemakai kursi roda serta guilding block bagi penyandang tunanetra di gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan kantor pemerintahan di negeri ini. Padahal jumlah difabel yang ada saat ini tidak bisa dikatakan sedikit.

Berdasarkan laporan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos), terdapat enam juta orang atau sekitar 3% difabel dari 200 juta penduduk Indonesia (pada saat itu). Sementara itu menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar 10 juta difabel di Indonesia.

Data yang diperoleh itu belum sepenuhnya valid, mengingat masih banyak keberadaan difabel yang disembunyikan oleh keluarga karena masih dianggap aib. Kuantitas data tersebut masih perlu direvisi dengan mempertimbangkan keadaan Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, yang dipenuhi berbagai bencana. Bencana yang terjadi telah membuat jumlah difabel bertambah. Bencana tsunami Aceh 2005, gempa di Yogyakarta 2006, dan sederet bencana lain yang menimpa seluruh pelosok Nusantara, membuat jumlah difabel bertambah banyak. (Ida Puji astuti, Suara Merdeka, 02/12/08)

Dalam upaya mendapatkan pekerjaan yang layak, keadaannya lebih memprihatinkan lagi. Walaupun keputusan Menteri tenaga Kerja Nomor 205/Men/1999 tentang pelatihan kerja dan penempatan Kerja Difabel yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa setiap 100 pekerja di sebuah perusahaan harus ada satu pekerja difabel belum juga terpenuhi hingga saat ini. Lihat saja dalam persyaratan pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu syarat yang membuat kaum difabel harus ’gigit jari’ dalam upaya mendapatkan kesempatan kerja adalah dicantumkannya syarata bahwa seorang pelamar harus ’sehat jasmani dan rohani.’

Bahkan untuk mendapatkan pendidikan kaum difabel terpaksa harus dimasukkan dalam sekolah luar biasa, yang sejatinya bersifat ’mengucilkan’ kaum difabel daripada memberikan pencerahan. Padahal menurut John Dewey, pendidikan sejati merupakan jalan untuk melahirkan manusia yang merdeka yang saling bergaul satu sama lain dalam kesetaraan.

Dalam wacana difabel ini pandangan Deway ada benarnya. Kaum difabel juga manusia biasa, sebagaimana manusia normal umumnya. Sebagai manusia, mereka juga punya hak yang sama dengan warga negara lainnya. Hanya saja kemampuan mereka yang berbeda. Ada yang dibatasi dengan kemampuan gerak, bicara, mendengar atau mental. Meski demikian kaum difabel juga mampu berpikir dan merespon fenomena yang terjadi. Bahkan tidak sedikit para difabel yang mampu memanfaat indera yang lain secara optimal melebihi manusia normal.

Siapa yang tidak kenal dengan Franklin Delano Roosevelt dan KH Abdurrahman Wahid? Meski memiliki keterbatasan fisik mereka mampu mengoptimalkan pemikirannya sehingga menghantarkan mereka menjadi pemimpin negara. Bahkan Gus Gur—sapaan KH. Abdurrahman Wahid—dikenal sebagai salah satu intelektual Indonesia yang sulit dicari tandingannya. Siapa yang tidak kenal musisi handal, Ludwig van Beethoven? Meski tuli Beethoven mampu menciptakan komposisi nada klasik yang hingga saat ini masih dinikmati banyak orang.

Fakta diatas menyatakan bahwa sejatinya para difabel bisa mengembangkan diri dan mengasah potensi dirinya hingga ke taraf maksimal jika diberi kesempatan. Artinya deretan kaum difabel yang mampu membawa harum negeri ini bisa bertambah panjang seandainya pemerintah memberikan peluang sebesar-besarnya pada mereka untuk berkreasi, berinovasi di segala bidang tanpa diskriminasi. Dengan mengakomodasi potensi dan memberikan kesempatan pada para difabel untuk terlibat dalam berbagai kerja-kerja kreatif tanpa diskriminasi, bisa jadi dari kaum difabel akan lahir seorang penulis sekaliber Karl May, atau Ernest Hemingway. Atau seorang tunanetra ternyata memiliki kemampuan komposer serta Zubin Zehta.

Jujur saja, tak pernah lahir kaum difabel Indonesia yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang diimbangi dengan tidak hanya kemampuan IQ, melainkan juga perpaduan dengan EQ (interaksi sosial) dan SQ (kematangan rohani) yang memadai, jika segala akses untuk mengembangkan diri justru dikunci rapat-rapat. Sebab energi positif yang ada di dalam diri para difabel akan dihabiskan untuk mendobrak diskriminasi yang ada. Yang lahir kemudian ketidakpercayaan pada pemerintah dan berujung pada ’perlawanan. Lagipula sebuah bangsa dikatakan besar bukan hanya karena pesat secara ekonomis, melainkan juga mampu menghapuskan diskriminasi di segala lini dan menyediakan rasa aman bagi semua warga negaranya tanpa terkecuali.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Iklan Politik, Swing Voters dan Titik Balik Demokrasi

Dimuat di Surabaya Post, 02 Desember 2008



Iklan Politik, Swing Voters dan Titik Balik Demokrasi
Oleh: Edy Firmansyah



Kehidupan demokratis tidak bisa lepas dari political marketing. Political marketing merupakan rangkaian kegiatan memasarkan cita-cita politik untuk mendapatkan dukungan publik. Salah satu rangkaian penting dari political marketing adalah iklan politik. Karenanya jangan heran jika akhir-akhir ini kita kerap menyaksikan calon presiden, parpol dan para caleg muncul di televisi, di lembaran koran atau tersenyum di baliho pinggir jalan.

Iklan politik dianggap paling efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik mampu membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi medioker dengan standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi. Ya, sebab iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai polihan yang tepat. Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Bagi masyarakat pengkonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Dengan demikian para pengelola iklan politik—yang notabene adalah para politikus—bisa menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan.

Dan yang paling lemah dihadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih ini belum memiliki pijakan politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg, capres maupun partai politik manapun melalui iklan.

Kelompok pemilih yang berentang usia 17-21 tahun ini adalah mereka yang berstatus pelajar, mahasiswa serta pekerja muda. Berdasarkan proyeksi dari populasi penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, jumlah penduduk muda (usia dibawah 40 tahun) sekitar 95,7 juta jiwa pada tahun 2009. jumlah tersebut setara 61,5 persen dari 189 juta penduduk usia pemilih. Di antara penduduk usia muda, paling banyak (22,3 persen) adalah mereka yang pada tahu ndepan berusia 22-29 tahun. Mereka merupakan kelompok penduduk yang baru berpengalaman satu atau dua kali mencoblos dalam pemilu sebelumnya. (Kompas, 24/11/08).

Padahal pandangan akibat hipnotisme iklan politik jelas membahayakan. Bukan saja karena iklan politik berpengaruh besar terhadap nasib dan masa depan bangsa, melainkan juga karena ancaman ironi politik justru di depan mata. Artinya, mereka yang bekerja keras, yang mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dengan mereka yang populer. Akibatnya, rakyat yang mendambakan pemimpin yang mampu membebaskan mereka dari segala penderitaan akibat kemiskinan dan penindasan hanya bisa gigit jari.

Sebab yang lahir dari itu semua adalah para elite politik, pemimpin dan presiden yang menghamba pada pasar. Mereka berlomba-lomba untuk menguasai segala sumber daya kapital hanya untuk kepentingan pribadi(memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dan dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Benar memang perilaku pemilih yang lebih rasional semakin meningkat di tengah derasnya semangat keterbukaan yang berkembang selama 10 tahun terakhir. Artinya, masyarakat sudah lebih mampu menilai performa pemimpin dan partai politik. Tapi peningkatannya masih kalau jauh dengan peningkatan para pemilih pragmatis, yang memilih hanya karena dibayar sejumlah uang atau diimingi-imingi jabatan atau pekerjaan. Tentu kita tak ingin para pemilih pemula menjelma menjadi pemilih yang pragmatis.

Yang kita butuhkan untuk terus mengawal demokrasi adalah para pemilih radikal. Siapakah pemilih radikal itu? Menurut Fadjroel Rachman (2004; 130-131) Pemilih radikal adalah pemilih yang dihasilkan melalui pendidikan pemilih radikal (radical voters education). Mereka berdiri pada kriteria demokrasi paling dasar yang merupakan prasyarat demokrasi yang dapat memandu kita menuju demokrasi ideal, yaitu, (1) Penegakan HAM; (2) Penegakan hukum konstitusional-demokratis yang adil dan tidak memihak; (3) Supremasi sipil; (4) pemisahan kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang memungkinkan dilakukan check and balance; (5) kemakmuran ekonomi dengan jaminan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Karena itu untuk memaksimalkan pemilih radikal ini, peran aktivis dan mahasiswa progresif diperlukan. Para mahasiswa progresif harus mulai turun gunung, bergerilya ke basis-basis massa dan mulai memberikan pendidikan politik radikal tingkat dasar pada semua lapisan masyarakat. Terutama masyarakat kelas bawah. Sehingga manipulasi politik para politisi busuk dapat ditekan seminimal mungkin.

Dengan pendidikan radikal maka mereka akan memilih caleg berdasarkan kriteria berikut. Pertama, tidak terlibat pelanggaran HAM. Kedua, tidak terlibat KKN di masa pemerintahan lalu (Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan SBY). Ketiga, tidak pernah menjadi mesin politik atau terlibat langsung dalam institusi bentukan orde baru. Keempat, bertempat tinggal di daerah pemilihannya. Sehingga memungkinkan terpraktekkannya perwakilan politik. Karenanya, misalnya, caleg dari PDI-P Guruh Soekarnoputra, Adik Megawati Soekarno Putri, mesti ditolak menjadi caleg DPR Propinsi Jawa Timur karena berdomisili di Jakarta. Kelima, berpihak pada caleg perempuan dan pemuda untuk menuntaskan regenerasi kepemimpinan politik. Karena tanpa perubahan generasi, demokrasi tak ubahnya tari poco-poco.

Dengan standar tersebut, nantinya tidak ada lagi istilah memilih kucing dalam karung. Rakyat tidak lagi ragu menentukan pilihan. Dan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) pada pemilu 2009 akan berjalan lancar tanpa intervensi. Semoga!

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember


Selasa, 09 Desember 2008

Politik Perempuan Sebagai Jalan Pembebasan

Dimuat di harian PELITA, 02 Desember 2008

Politik Perempuan Sebagai Jalan Pembebasan
Oleh: Edy Firmansyah


Hari anti kekerasan terhadap perempuan yang jatuh setiap tanggal 25 November masih diperingati dengan kondisi memprihatinkan oleh perempuan negeri ini. Kampanye-kampanye antikekerasan terhadap perempuan yang kerap dilakukan para artis, aktivis perempuan bahkan istri pejabat belum cukup efektif mendudukkan perempuan sejajar dengan kaum adam.

Betapa tidak, perempuan Indonesia masih ibarat katak dalam tempurung. Mereka lebih memilih tenggelam dalam kabut patriakat daripada tampil dalam kancah politik. Dalam pandangan patriakat, perempuan tak lebih hanya sekedar perhiasan semata. Mereka lebih layak berada dalam etalese domestik; dapur, kasur, sumur. Kodratnya sebagai kholifah (baca: pemimpin) dan berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Artinya perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah.

Padahal sejarah negeri ini telah membuktikan bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin. Misalnya saja, di Aceh kita kenal pemimpin perempuan Cut Nyak Dien. Di Maluku kita pernah memiliki Martha Tiahahu. Bahkan kita punya Kartini sebagai perempuan pertama pelopor pencerahan.

Ironisnya, kaum perempuan sendiri justru ragu tentang kapabilitasnya sebagai pemimpin. Pasalnya, perempuan dikenal dengan prilakunya yang lemah lembut dan lamban dalam mengambil keputusan. Jika kaum perempuan menjadi pemimpin kemungkinan gerak politik kekuasaan akan berjalan lamban. Sifat tersebut justru dituding sebagai penghambat pembangunan dan politik. Pandangan ini jika tidak segera diluruskan akan menimbulkan gelombang ketidak percayaan publik pada gubernur terpilih dan hal ini jelas bakal menghambat laju pemerintahan.

Sebenarnya pandangan tersebut sebenarnya berangkat dari watak maskulinitas yang telah mengakar kuat di negeri ini. Maskulinitas kekuasaan artinya penyelenggaraan kekuasaan secara keras, macho dan top down. Kekuasaan maskulin ini termanifestasikan dalam bentuk-bentuk militerisme, otoritarianisme maupun feodal konservatif dan antikritik. Dan kekuasaan model demikian kental kental dengan sifat kelaki-lakian, karenanya secara personal kekuasaan haruslah didominasi laki-laki.

Ideologi maskulinitas itu dapat kita saksikan pada kebijakan-kebijkan pemerintah yang cenderung menindas. Lihat saja, demi keindahan kota, pemerintah melalui Sat Pol PP dengan tanpa rasa iba menggaruk pada PKL dan Gepeng, menggusur pemukiman kumuh tanpa solusi yang jelas. Bahkan demi kalkulasi kapitalisme tega memiskinkan buruh dengan menekan UMR serendah mungkin.

Sejatinya maskulinitas sebagai ideologi akan tetap ada walaupun secara personal kekuasaan tersebut dipegang perempuan. Artinya pergantian pemimpin dari laki-laki pada perempuan hanyalah pergantian kepemimpinan belaka, sementara watak dan ideologi maskulinitas masih terus mengakar kuat.

Karenanya perempuan haruslah berani tampil dalam politik untuk mengeliminasi maskulinitas kekuasaan yang cenderung menindas terutama pada masyarakat kecil. Artinya sebagai kepemimpinan perempuan haruslah menjadi spirit feminitas dan mengelola kekuasaan secara ramah dan humanistik.

Feminisme menurut Vandana Siva merupakan ideologi yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Artinya dengan ideologi feminisme diharapkan segala sumber daya politik dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tidak dioperasikan secara keras dan menindas. Dengan kebijakan yang berbasis feminisme akan tercipta hubungan anatar manusia (baik masyarakat dengan negara dan negara dengan masyarakat) secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.

Hal tersebut lambat laun akan menciptakan sebuah demokrasi yang ideal. Demokrasi ideal menurut Menurut Fadjoel Rachman demokrasi yang ideal adalah (1) terciptanya penegakan HAM, (2) penegakan hukum konstitusional-demokratis yang adil dan tidak memihak; (3) supremasi sipil, (4) pemilu berskala bebas, dimana mayoritas penduduk ikut memilih dan dipilih (baik memalui partai maupun independen), (5) kemakmuran ekonomi dengan jaminan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Sebenarnya dalam upaya menciptakan demokrasi yang ideal dengan semangat feminisme kekuasaan baik pemimpin laki-laki maupun pemimpin perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengoptimalkan pola kekuasaan tersebut. Dengan kata lain siapapun mampu membangkitkan feminitas dalam kekuasaan. Tinggal bagaimana seorang pemimpin mampu mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang lemah lembut, ramah dan antikekerasan. Hanya saja kepemimpinan yang ada selama ini justru menerapkan pola-pola kepemimpinan maskulin. Karenanya pemimpin perempuan memiliki peluang besar untuk mengembangkan hal tersebut.

Dan inilah sebenarnya yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk mendudukkan posisinya sebagai kholifah. Artinya, pandangan agama bahwa manusia adalah kholifah di muka bumi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum adam semata. Melainkan juga bagi kaum hawa. Dan perempuanlah yang sejatinya harus mengakhiri hegemoni budaya patriakat yang melilitnya. Hanya dengan tampil dan berjuang secara politik pula kaum perempuan bisa melepaskan dirinya dari penindasan baik secara fisik, mental maupun kebudayaan dari kaum patriakat. Ditangan patriakat perempuan tak lebih sebagai pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, 2006).

Mendudukkan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki di kancah politik bukan hanya sebagai upaya pembebasan perempuan semata. Melainkan sebagai upaya memperjuangkan pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketertindasan. Dan hal itu bisa optimal dengan menumbuhkan feminitas dalam kekuasaan.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.