WAKTU

JEDA

Selasa, 22 April 2008

Menegakkan Lagi Politik Perempuan (Dimuat di Harian SURYA, 21 April 2008)

Refleksi Hari Kartini 21 April:

Menegakkan Lagi Politik Perempuan
Oleh: Edy Firmansyah*)


Ternyata masih banyak orang yang keliru menafsirkan hari Kartini yang jatuh pada 21 April. Kartini masih ditafsirkan atas dasar identitas kultural. Kartini identik dengan busana Jawa: Kebaya, kain panjang dan gelung. Lewat penafsiran itu, menghormati perjuangan Kartini berarti mengenakan kebaya ’kartini’ sebagai ungkapan terimakasih bahwa atas jasanya kaum perempuan Indonesia sudah terlepas dari kungkungan, kaum perempuan Indonesia sudah merdeka dan sudah mengenyam pendidikan tinggi. Seakan-akan perjuangan Kartini usai sudah.

Padahal nyatanya tidaklah demikian. Menurut Pramodya Ananta Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja perjuangan Kartini belumlah usai. Kartini hanyalah orang pertama dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang mengadopsi aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertamakali muncul di Demak, Kudus dan Jepara. Kemudian diramu, dirumuskan, diperinci dan diperjuangkan untuk menjadi milik seluruh nation Indonesia (hal 14). Dan merupakan tugas perempuan setelah kartini meneruskan tongkat estafet tersebut.

Perempuan Indonesia masih mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya. Perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, 2006). Parahnya lagi, para perempuan tidak sadar bahwa dirinya diekspolitasi. Mereka seakan pasrah saja bahwa keadaan yang menimpa dirinya adalah kodrat.

Dalam pandangan patriakat perempuan tak lebih hanya sekedar perhiasan semata. Mereka lebih layak berada dalam etalese domestik; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Benar memang tak sedikit organisasi perempuan yang tumbuh dan berkembang di masa saat ini. Seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan banyak lagi. Namun gerak politiknya telah dimandulkan. Yang ada dalam organisasi itu adalah arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas yang penuh dengan hedonisme.

Artinya perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Parahnya lagi, media massa yang sejatinya menjadi sarana pencerahan justru membenarkan hal tersebut. Lewat sinetron, iklan, dan reality show perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata.

Padahal sejak pertama perempuan dilahirkan, mahkluk ini memiliki peran besar terhadap peradaban. Kodratnya sebagai ibu yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia di seluruh dunia adalah petunjuk bahwa perempuan adalah ujung tobak revolusi. Melahirkan satu generasi berarti memberikan harapan terciptanya perubahan.

Bahkan dalam masyarakat primitif, perempuan berandil besar dalam kegiatan berburu dan merambah hutan. Nyaris tak ditemukan perempuan yang berada dalam rumah. Semua anggota masyarakat turut serta dalam kerja-kerja survival (Engel dalam The Holy Family). Itu artinya, perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Menstruasi dan melahirkan bukan bukti kelemahan kaum hawa. Malah sebaliknya, ternyata perempuan memiliki energi ekstra dibanding laki-laki.

Beberapa gelintir sejarah dunia menunjukkan hal itu. Dalam sejarah Islam misalnya, Siti Khotijah, Istri pertama Nabi Muhammad, adalah contoh perempuan yang terlibat langsung dalam percaturan politik Islam di masa itu. Sayangnya, keterlibatan Siti Khotijah bagi perkembangan Islam justru jarang diulas panjang lebar dalam berbagai buku sejarah perjalanan Nabi.

Dalam sejarah Kristen Bunda Maria tercatat sebagai perempuan yang mambuka pintu gerbang penyebaran Kristen. Padahal kita tahu membawa misi agama baru dalam sebuah masyarakat sedemikian beratnya. Namun nyatanya di tangan perempuan tugas itu justru membuah hasil.

Di negeri ini kita kenal perjuangan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika serta—yang paling melegenda adalah—perjuangan Kartini. Gadis Jepara itu menjadi tonggak sejarah modern di Indonesia. Dialah pemula yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia lewat tulisan-tulisannya.

Perempuan-perempuan yang disebut diatas hanyalah sekedar contoh. Sebenarnya deretan nama tentang perempuan yang terlibat dalam percaturan politik dunia dan mengambil peran untuk melawan stigma buruk yang ditudingkan padanya bisa sedemikian panjang. Dengan kata lain, perempuan memiliki peluang yang sama untuk menciptakan perubahan.

Dan perjuangan Kartini mestinya menjadi inspirasi bagi para perempuan Indonesia untuk memulai perubahan itu. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. ( Panggil Aku Kartini Saja, hal 67) dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan Kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan. Tanpa kenal lelah, hingga nyawa merenggutnya.

Hanya dengan perjuangan yang gigih perubahan atas nasib perempuan di negeri ini bisa diraih. Bukan sebaliknya tenggelam dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan politik perempuan.

TENTANG PENULIS
*) Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Proses Kreatif Cerpen "Hadiah Istimewa"

Proses Kreatif Cerpen “Hadiah Istimewa”

Menceritakan Proses Kreatif bagi saya jauh lebih sulit daripada saya disuruh menghayal untuk menghasilkan sebuah cerpen. Ibarat tukang sulap saya harus membuka kotak ‘sulap’ saya pada penonton. Sementara saya bukanlah tukang Sulap setenar David Coperpil, Atau Deddi Cobuzier. Kemungkinannya ada dua. Pertama, saya akan dibenci penonton, karena baru punya ilmu sulap sebiji jagung aja sudah menggurui. “Jadi Tukang sulap jalanan saja kok sudah sok,’’ begitu mungkin komentar mereka. Kedua, saya akan kehilangan banyak ‘order’ karena penonton sudah dapat menduga apa isi kotak ‘sulap’ saya. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab atas nasib saya??

Tapi saya terlanjur berjanji. Maka, mau tak mau saya harus menepatinya. Saya sebenarnya tidak cukup jago menulis cerita pendek. Sejak 2005-2008 ini saya hanya menghasilkan 6 Cerpen saja. 4 diantaranya dimuat di Radar Madura, sedangkan sisanya Pernah Dimuat di SURYA. Tapi saya suka membaca cerpen. Salah satu cerpenis yang saya kagumi adalah Seno Gumira Ajidarma. Sejak Kuliah saya sudah mengoleksi Antologi Cerpen Seno; Mulai Dari Penembak Misterius (Galang Press, 2007), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Gramedia, 2003), Pelajaran Mengarang (Penerbit Kompas, 2003), dan cerpen-cerpen lainnya yang sempat saya kumpulkan dari internet.

Entah mengapa saya suka sekali membaca Karya-karya Seno. Bagi saya ini penulis cerpen surealis yang sangat lihai. Pantas Pramodya Ananta Toer mengaguminya, sebagai penulis muda Indonesia yang memiliki karakter. Di tangan Seno sebuah fakta bisa ditelusupkan dalam sebuah cerpen yang paling tidak masuk akal. Dengan cukup cerdas, wartawan Majalah Jakarta-Jakarta itu, mampu menghadirkan fakta tentang kekejaman militer dengan DOM-nya di Timor-Timur lewat cerpen-cerpennya.

Ketika semua data dan fakta mengenai Timor-Timur yang berseberangan dengan orba waktu itu diawasi dengan ketat (termasuk Majalah Jakarta-Jakarta yang akhirya kena warning, karena memuat reportase mengenai Timor-Timur) Seno dengan entengnya menyuguhkan fakta-fakta itu dalam bentu Cerpen. Dan cerpen-cerpen itu lolos dimuat di berbagai media massa. ”Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara,” begitu teriak Pria yang lahir di Boston pada 19 Juni 1958 itu.

Begitulah, karena begitu sering membaca-baca ulang karya-karya Seno itulah seringkali saya mencoba-coba meniru-niru gaya penulisannya. Memang secara kualitas tak bisa secerdas Cerpen-cerpen Seno, tapi saya merasa beberapa diantara cerpen saya yang hanya segenlitir itu cukup berhasil menyusupkan Fakta dalam Fiksi.

Seperti Hadiah Istimewa ini, misalnya. Dalam Cerpen ini sebenarnya yang hendak saya sampaikan pada pembaca bukanlah dialog tentang pasangan selingkuh itu. Bukan. Justru yang ingin saya sampaikan adalah pernyataan Seno Gumira Ajidarma ketika menerima Anugerah SEA Write Award di Filipina.

Seno Mengatakan bahwa; ”Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan. Sementara dalam lingkaran eksklusif kaum intelektual negeri ini, apa yang disebut puisi, cerita pendek atau novel barangkali hanya dianggap mainan saja” (Ajidarma; 2005;133).

Lewat kalimat itu saya hendak menyindir; Istri saya, Ipar saya, Mertua saya, Tetangga saya, Guru bahasa Indonesia saya mulai dari SD hingga SMA, Kawan bermain waktu SMA saya (Maponk, Edi ”Tansil”, Edi ”telah,” Dedet, Subahri ”Police,” Slamet ”day” ) bahkan juga ayah dan Ibu saya. Daripada marah-marah, bukankah cara ini cukup santun mengajak mereka mencintai sastra.

Memang terlepas dari semua itu secara pribadi saya menyukai kalimat tersebut. Karenanya saya kemudian mencoba menuliskannya lagi dalam bentuk cerpen. Saya garap cerpen itu sekitar 5 Jam. Sebuah proses yang cukup lama jika dibandingkan dengan menulis Artikel atau Esai. Jika saya menemukan Prolog yang menurut saya ”mantap” saya bisa menyelesaikan sebuah Artikel dan Esai dalam waktu satu jam saja. Bukan sebuah Prestasi menurut saya. Sebab Kuntowijoyo Bisa menyelesaikan 8 esai hanya dalam kurun waktu 3 jam saja. Dengan mesin ketik manual lagi.

Kembali ke Cerpen saya itu. Saya mencoba menggunakan gaya penuturan Cerpen ”Petai” dalam Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Gramedia, 2003) yang memang menggunakan dialog dua orang untuk menyeret imajinasi pembaca dalam suasana cerpen itu. ’Petai’ bercerita tentang perselingkuhan. Hadiah Istimewa juga bercerita tentang perselingkuhan.

Salah satu kesulitan dalam membuat Cerpen bagi saya adalah membangun Lead. Berkali-kali saya ganti lead cerpen ini. Sampai akhirnya saya menemukan Cerpen di salah satu Majalah Horison edisi XXXX/2006 milik Asep Sopyan berjudul ”Menanti Sebuah Jawaban” yang kayaknya Leadnya cocok untuk Cerpen ”Hadiah Istimewa” saya tiru gaya bahasa leadnya, setelah itu saya mulai melaju sendiri dengan imajinasi saya sehingga lahirlah ”Hadiah Istimewa” itu dan Dimuat di SURYA, 20 April 2008.

Cerita dari Cerpen itu semua hanya fiksi belaka. Murni dari imajinasi saya. Toh, meskipun kemudian ada cerita serupa yang mirip, jujur saya tak hendak menceritakannya pada publik. Meski imajinasi, tanpa sengaja saya juga menyisipkan keluh kesah saya. Seperti dalam dialog;

”Ngomong-ngomong, kau yakin cerpen ini akan dimuat di koran?”

”Tidak!”

Ya. Setiap saya menulis saya tak pernah yakin tulisan saya akan dimuat di Koran A, B atau C. yang saya lakukan hanya menulis dan menuangkan pikiran. Setelah itu saya ikutkan dalam seleksi redaktur Koran. Kalau lolos saya akan merasa senang sekali. Saya bisa dapat honor. Tapi jika tidak, biasanya akan saya bongkar total tulisan itu, dibuatkan gaya penulisan lain dengan angle lain dan dikirimkan ke koran lain. Begitu terus. Sampai Tulisan itu Lolos.

Kalau tidak juga lolos? Tulisan itu akan saya simpan. Siapa tahu berguna bulan depan, tahun depan, atau lima tahun mendatang. Dan sebagaimana penulis pemula, folder di komputer saya memang paling banyak menyimpan tulisan yang tidak lolos daripada yang lolos. He....he....he...(berarti masih penulis kelas kacang mente)

Begitu juga ketika saya menuliskan Cerpen Mimesis (juga dimuat di SURYA media Maret 2005) Waktu itu saya hendak menyindir Prilaku Komsumtif Pacar saya yang benar-benar parah. Sekitar medio Juni 2005, pacar Saya (yang akhirnya kemudian saya nikahi juga) terserang jerawat hebat di seluruh wajah. Dia frustasi dan stress atas penyakit kulit yang dia derita itu.

Maklum wajah dan rambut bagi kaum perempuan dianggap paling berharga dibanding harta. Bukankah banyak orang yang menghambur-hamburkan uang hanya agar dapat memiliki wajah yang cantik??

Entah sudah berapa juta yang ia habiskan hanya untuk membeli obat jerawat dan krim pemulus wajah. Memang jerawatnya akhirnya bisa sembuh dan wajahnya kembali mulus. Tapi kecanduan terhadap kosmetik tak terbendung. Gajinya ia habiskan hanya untuk membeli krim malam, krim siang, pelembab dan pembersih wajah yang jika dikalkulasikan mencapai Rp. 600.000 per bulan. Bagi saya itu pemborosan.

Kebetulan saya pernah membaca buku kawan saya Nurani Soyomukti berjudul Pembunuhan yang selalu Gagal: Modernitas dan Krisis Rasionalitas menurut Daniel Bell karya Kris Budiman (Pustaka Pelajar; 1997). Dalam Buku itu Daniel Bell pernah mengatakan; Dalam pola konsumerisme yang dibentuk kapitalisme manusia tidak lagi mampu membedakan keinginan (need) dan kebutuhan (wants). Bagi perempuan misalnya, segala produk kosmetik dia beli seperti membeli beras untuk kebuhan sehari-hari. Kosmetik baginya telah menjadi gaya hidup yang secara fungsional mewakili status sosialnya. Seperangkat kosmetika tersebut digunakan untuk menyembunyikan cacat dan menutupi keburukan yang ada diwajahnya. Tentu saja dengan anggapan wanita yang tercantiklah yang akan mendapat perhatian khusus dalam komunitas manusia dimanapun.

Karenanya saya hendaknya menyampaikan lagi apa yang diucapkan Daniell Bell itu dalam bentuk cerpen. Dan Jadilah Mimesis. Dalam Cerpen ini saya langsung menggunakan Pacar saya itu sebagai salah satu tokoh. Sedangkan peristiwanya, lagi-lagi semuanya fiksi belaka.
Begitulah, hingga kini pun saya masih seorang penulis yang mencari bentuk. karenanya menempa diri dengan berbagai gaya penulisan bagi saya adalah sebuah liburan yang tak berujung.

Senin, 21 April 2008

Hadiah Istimewa (Dimuat di Harian SURYA, 20 April 2008)

PROLOG.
Sejatinya Saya tidak Bakat menulis Cerpen. Sepanjang karir saya menulis saya hanya membuat 6 cerpen. yakni pada medio 2005 dan 2008 ini. 4 cerpen saya dimuat di RADAR MADURA. Sayang koran lokal terbesar di Madura itu tak memberikan satu rupiah-pun untuk cerpen-cerpen saya itu. Sehingga saya tak lagi mengirim karya-karya saya ke media itu. Bagi saya royalti adalah penghargaan. dan setiap manusia yang berkarya pasti butuh penghargaan.
Pada tahun 2005 itu juga cerpen Mimesis saya dimuat di SURYA. Setelah itu saya tidak lagi menulis cerpen. Karena bersamaan dengan "Mimesis" dimuat, saya diterima sebagai reporter Jawa Pos. waktu itu saya tak bisa membagi waktu antara kerja jurnalis dengan kerja kreatif sebagai penulis nonfiksi. jujur, itensitas kerjanya cukup berat.
Baru pada tahun 2008 ini saya mencoba menulis cerpen lagi. Karena dua alasan. pertama, saya mulai kehabisan ide menulis artikel dan Opini. Kedua, hanya ingin belajar saja bagaimana berfiksi secara benar. Dan ternyata berhasil dimuat di SURYA.
Sebenarnya banyak kawan bertanya bagaimana proses kreatif-nya? Jujur saya tak bisa menjelaskan dengan detail. Tapi pada beberapa email kawan saya itu, saya berjanji menceritakannya dan akan saya posting pada blog ini. Soal nama samaran? ah, saya rasa itu tidak penting. apalah artinya sebuah nama.
------
Hadiah Istimewa
Oleh: Edy Firmansyah/HN. Amrif


Setelah kemarin kuserahkan tubuhku sebagai perayaan perjumpaan kita, kini aku ingin memberikan hadiah istimewa padamu sebagai bukti kesetiaanku. Sesuatu yang mungkin paling berharga dalam hidupku.

Apa itu?

Kau akan menerimanya, khan?

Katakan saja.

Baiklah. Tapi berjanjilah padaku, kau akan menerimanya dan tidak akan membaginya dengan siapapun.

Baiklah, aku berjanji.

Terimakasih. Hadiah itu adalah cinta.

Ha.....ha....ha......

Mengapa tertawa? Tidakkah ini istimewa. Semua manusia lahir atas cinta. Ia hidup dan bahagia bersama cinta. Bahkan bumi hanyalah segumpal angkara tanpa cinta. Akupun berani mengatakan ini juga karena cinta. Tentu dengan segala resikonya.

Maaf. Tidak bermaksud melecehkanmu, tapi bukankah kau sudah beristri? Itu artinya kau akan membagi cintamu. Ini bukan zaman feodal, dimana perempuan hanya kuda tunggangan yang bisa dikoleksi dan dipilih kapan bisa dikendarai. Aku tak mau. Ini pelecehan namanya.

Tapi aku akan memberikan semuanya untukmu.

Lalu Istrimu?

Bukankah dia sudah cukup puas menikmati cintaku 15 tahun lamanya. Aku rasa dia akan menerima jika cintaku kuberikan seluruhnya padamu. Lagipula dia tak akan pernah tahu bahwa tiap aku pulang ke rumah tanpa cinta. Semuanya akan berjalan seperti biasa termasuk juga adegan ranjang.

Artinya aku dapat cinta sisa-sisa, dong. Aku tak mau. Emangnya aku anjing kurap yang mengais-ngais cinta dari tong sampah. Aku tak mau. Aku mau cinta sejati. Cinta suci.

Tapi cintaku suci. Aku sudah mencucinya

Dengan apa?

Dengan dosa-dosa.

Ah, kau memang pandai berpuisi.

Ini bukan puisi, melainkan cerpen.

Terserah kamulah. Mau puisi kek, mau cerpen kek, toh isinya gombal.

Tapi semua yang kutulis ini nyata. kisah tentang percintaan kita. Cupang merah dileherku adalah tandanya.

Kau menulisnya? Apa kau gila? Tidakkah istrimu akan tahu semua yang kita lakukan selama tiga tahun ini. Tidakkah semua orang akan mengutukimu sebagai laki-laki tak bertanggungjawab. Dan itu artinya kau juga menghancurkan aku. Bayangkan saja apa komentar masyarakat tentang aku jika cerpen ini dimuat di koran? Mereka akan menudingku perempuan jalang sepanjang jalan. Bahkan sampai aku masuk kuburan. Padahal semua perselingkuhan selalu laki-laki yang memulai, bukan?

Tak perlu risau sayang. Memang kita berada dalam sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun bisa dipastikan masyarakatnya sebagian belum membaca secara benar, yakni membaca untuk memberi makna dalam dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan. Dalam masyarakat semacam itu, cerpen picisan yang begitu panjang ini pasti menjemukan.
Sok tahu. Kata siapa?
Kata Seno Gumira Adjidarma ketika menerima Anugerah SEA Write Award.

Gombal! Sok intelek.

Adoww! Jangan mencubit dong. Mentang-mentang kusebut penulis favoritmu. Adoww!

Ngomong-ngomong, kau yakin cerpen ini akan dimuat di koran?

Tidak.

Kalau memang tidak, mengapa kau susah payah menulisnya?

Sebagai kenangan bahwa cinta tak selamanya setia. Para kiai dan ulama di kampungku ternyata tak jauh beda. Bedanya mungkin istri kedua, ketiga dan keempatnya dikawin secara agama. Selebihnya hanya nafsu belaka. Mungkin bedanya kalau pernikahan itu pelacuran yang dilegalkan, sementara perselingkuhan murni pelacuran.

Tapi aku bukan pelacur?

Siapa bilang? Kau itu bidadari yang lahir dari perut bumi dan diasuh matahari untuk kemudian dipersunting pangeran disampingmu ini.

Gombal!

Terserah! Adoww!

Hening.

Jadi bagaimana? Kau tulus menerima cintaku setulus hati dan kau biarkan bersemayam di hatimu? Plizz, jawablah aku. Jangan diam dan membisu. Tanpa jawabanmu aku tak bisa mengakhiri cerita ini dan mengirimkannya ke koran. Kalau sudah begitu berarti kau menghambat rejekiku dan bukankah sudah jadi umum bahwa sebuah perselingkuhan tak akan berjalan lancar tanpa uang? Plizz, jawablah aku.

TENTANG PENULIS
*HN. Amrif adalah nama Pena Edy Firmansyah. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Cerpen ini adalah Cerpen kedua yang dimuat di SURYA. Cerpen Pertamanya, berjudul "Mimesis" dimuat pada 20 Juni 2005

Mencari Jalan Lain Melawan Neoliberalisme (Dimuat Di Harian SINDO, 20 April 2008)


Mencari Jalan Lain Melawan Neoliberalisme
Oleh: Edy Firmansyah

Judul : Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan
Penulis : Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xiv + 300 Halaman

Fenomena makin melonjaknya harga kebutuhan pokok dan Bahan Bakar Minyak (BBM) ternyata bukan monopoli Indonesia. Negara-negara berkembang lainnya tengah mengalami krisis serupa. Buktinya antrean masyarakat untuk mendapatkan bahan bakar hingga demo menentang kenaikan harga kebutuhan pokok juga terjadi di Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipinan, dan beberapa negara lainnya.

Bahkan PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia tengah terancam dan berpotensi besar terjadi Perang Dunia III (PD III) akibat kecenderungan kenaikan harga-harga bahan makanan yang sudah terjadi di banyak negara. Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) Jacques Diout, gejala itu sudah terlihat dengan jatuhnya korban dalam aksi massa yang memprotes kenaikan harga makanan. Di Haiti misalnya, lima orang tewas dalam aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung dengan bentrokan.

Pertanyaannya apa yang menyebabkan krisis tersebut terjadi? Menurut Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, penulis buku ini, semua itu disebabkan karena kebijakan pembangunan ekonomi neoliberal.

Memang sejak dekade 1980-an hampir semua negara berkembang menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi mereka ke arah neoliberal dan memberikan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar. Mereka melakukan restrukturisasi peran negara dalam perekonomian untuk meliberalisasi perdagangan domestik, regulasi investasi dan menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara.

Selain pembukaan pasar sebebas-bebasnya, prinsip neoliberalisme lainnya adalah memotong anggaran untuk pelayanan sosial. Misalnya, penabutan subsidi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik (Jalan raya, pembangunan jembatan, bendungan dan sebagainya). Semua anggaran digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan profit. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara maksimal, sehingga mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang menghadang negara-negara dunia ketiga. Seperti kemiskinan, pengangguran, gizi buruk dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk dan sebagainya.

Namun nyatanya, setelah hampir setengah abad sistem pasar ini berjalan, hasilnya justru menyakitkan. Neoliberal membawa masalah baru dan justru memperburuk masalah yang telah ada sebelumnya, seperti meningkatnya kerentanan dunia perbankan, meluasnya krisis finansial, serta semakin lebarnya jurang kemiskinan. Dan parahnya itu terjadi hampir di semua negara yang kini tengah menganut sistem pembangunan berbasis pasar itu.

Karena itu Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku ini menyuguhkan altenatif-alternatif pembangunan yang memungkinkan untuk diterapkan di negara-negara berkembang disesuaikan dengan kondisi suatu negara; seperti sumber daya alam, kelangkaan mata uang asing, kedekatan dengan pasar utama, kondisi sosial politik dan sebagainya. Sebab memasrahkan semua persoalan persoalan ekonomi pada neoliberal adalah kesalahan fatal dan berbahaya (hal. xi)

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yang terdiri dari enam bab mengurai mitos-mitos pembangunan neoliberal yang kerap menjadi pembenar kesuksesan neoliberal di negara maju. Padahal faktanya kebijakan berbasis pasar itu justru menimbulkan malapetaka bagi negara berkembang seperempad abad terakhir ini.

Misalnya saja mitos bahwa negara kaya mencapai kemakmuran berkat komitmen terhadap pasar bebas. Padahal faktanya negara Inggris dan Amerika ketika awal-awal membangun negara justru menerapkan proteksi yang sangat ketat. Bahkan mitos bahwa globalisasi neoliberal tidak dapat dan tidak akan berhenti juga diblejeti oleh Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku ini. Dengan tegas penulis buku ini—mengikuti falsafah Marx—bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan menentang mitos Francis Fukiyama itu.

Pada bagian kedua buku ini menawarkan alternatif sebagai konter bagi neoliberalisme. Setidaknya ada lima alternatif yang disuguhkan dalam buku setebal 230 halaman ini. Sayang buku ini kurang tegas memberikan alternatif kebijakan pembangunan. Benar kita diberi pilihan alternatif tetapi kita tidak disuguhi kendala dan hambatan apa ketika menempuh jalur alternatif itu sehingga ibaratnya kita seperti berjudi dengan sistem ekonomi.

Meski demikian dalam memberikan alternatif, buku ini tidak terkesan menghakimi. Misalnya ketika mencoba memberi alternatif terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) ala neoliberal, penulis buku ini menawarkan dua cara; memanfaatkan ruang dalam sistem HAKI atau menetang sistem itu. Sebab hanya sedikit manfaat ekonomis berkaitan dengan meningkatkan perlindungan HaKI di negara-negara berkembang. Dengan kata lain yang diuntungkan dari HaKI hanyalah para pemilik modal sebagai jalan lempang mempercepat lakunya produksi massal di bidang kesenian dan intelektual berbasis pasar.

Tawaran semacam itu diberikan menurut penulis buku ini karena kelayakan setiap kebijakan tertentu tergantung pada kondisi suatu negara; seperti sumber daya alam, kelangkaan mata uang asing, kedekatan dengan pasar utama, kondisi sosial politik dan sebagainya.

Namun yang paling mendasar menurut saya adalah keberanian para pemimpin negara untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada negara lain. Tanpa keberanian bersikap yang demikian alternatif pembangunan model apapun pasti akan mengalami jalan buntu.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Unversitas Jember.

Jumat, 18 April 2008

Humanisme Radikalistik (Dimuat di KORAN PAK OLES (KPO) Edisi 150, 16-30 April 2008)


Menuju Humanisme Radikalistik
Oleh : Edy Firmansyah


Judul : Revolusi Pengharapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang semakin

Manusiawi
Penulis : Erich Fromm
Penerbit : Pelangi Cendekia, Jakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxv + 223 Halaman


Ada bahaya laten yang tengah membayangi kehidupan manusia. Bahaya itu bukanlah komunisme, bukan pula fasisme, melainkan “masyarakat yang telah sepenuhnya menjadi mesin” (a completely mechanized society) yang mendewakan produksi material dan konsumsi maksimal dibawah pimpinan Komputer. Masyarakat yang demikian pelan tapi pasti dibunuh daya hidupnya dalam kepasifan total akibat kecanduan konsumsi, sehingga menjadi manusia yang nyaris mati rasa.

Itulah warning Eric Fromm dalam bukunya Revolusi Pengharapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang semakin Manusiawi. Ketika manusia sudah semakin mekanis, yang tertinggal hanyalah nafsu menguasai. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, kekerasan kerap dijadikan pilihan. Makanya, jangan heran jika dalam a completely mechanized society kerusakan lingkungan akibat eksploitasi rakus manusia dan konflik antar golongan selalu menjadi masalah yang sulit dipecahkan.

Memang jalan satu-satunya untuk mengakhiri semua itu adalah perubahan. Namun Fromm mengingatkan agar pilihan perubahan tak jatuh pada revolusi radikal (baca: kekerasan). Sebab dengan revolusi tersebut keadaan justru akan bertambah runyam, karena seluruh sistem akan runtuh, dan yang tampil adalah kediktatoran militer atau fasisme. (hal. xiv). Itu artinya penderitaan rakyat semakin panjang karena kehilangan kedaulatan.

Dalam buku ini Erich Fromm menawarkan revolusi humanisme radikal sebagai solusi. Revolusi ini harus melibatkan banyak ideologi yang berbeda dan kelompok sosial. Setidaknya ada tiga tingkatan yang menjadi sasaran perubahan. Pertama, perubahan pola produksi dan konsumsi. Kedua, transformasi manusia, warga negara dan partisipan dalam proses sosial dari obyek-pasif yang secara birokratis termanipulasi menjadi pribadi yangaktif, kritis dan bertanggung jawab. Dan terakhir adalah rebolusi kultural, dimana menghancurkan keterasingan dan kepasifan yang menjadi ciri masyarakat teknologi, yakni dengan menggali potensi cinta dan akal budi sehingga mampu mengatasi fiksasi infantilis.(hal. 196).

Buku ini diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris The Revolution of Hope – Toward a Humanized Technology, merupakan keprihatinan Fromm pada kondisi masyarakat industri modern di Amerika Serikat pada tahun 1968 yang makin tenggelam dalam reifikasi akibat dirasuki kapitalisme. Meski demikian analisa Fromm masih menunjukkan relevansinya, terutama di belahan dunia ketiga dimana dalam banyak hal kondisinya serupa dengan Amerika Serikat pada saat itu.

Kapitalisme yang menjadi sasaran tembak Fromm bukanlah kapitalisme Laisez faire seperti yang disyahadatkan Adam Smith mengenai persaingan bebas. Lebih daripada itu, kapitalisme disini, adalah tahapan lanjut Revolusi Industri, yakni revolusi Industri tahap II. Dimana bukan hanya energi hidup (hewan dan manusia) yang digantikan oleh energi mekanis, tetapi lebih dari itu otak manusia digusur oleh hadirnya otak-otak mesin.

Perkembangan selanjutnya, menurut Daniel Bell adalah proses produksi yang diarahkan pada pembuatan barang-barang yangdiselaraskan dengan hasrat pelepasan dan pemuasan diri tanpa kendali. Artinya semua keinginan manusia dipaksa tunduk pada kaidah pasar. Dalam pasar manusia dipaksa menjadi budak nafsu untuk memiliki apa saja dengan semakin menggila (baca; hedonisme).

Buku ini dibagi dalam enam bab. Bab pertama berbicara tentang masyarakat dalam belenggu industri, konsumerisme dan hedonisme. Bab kedua, bicara mengenai jebakan-jebakan kapitalisme dengan memanipulasi pengharapan manusia. Bab ketiga, Fromm meramalkan munculnya sebuah peradaban baru dengan memanusiakan kaum borjuasi menjadi borjuasi baru yang lebih manusiawi. Bab empat, Fromm bicara tentang hakekat kemanusiaan termasuk juga nilai-nilai dan norma manusia. Dalam bab ini digali secara detail tentang potensi manusia untuk tercapainya sebuah perubahan atau Revolusi pengharapan.

Pada bab lima, Fromm mengajukan strategi taktik menuju masyarakat tekhnologi yang semakin manusiawi. Sedangkan pada bab terakhir, ditawarkan sejumlah perubahan fundamental untuk menyelamatkan manusia dari modernisasi. Mungkinkah? Fromm optimis. Bahwa selalu ada harapan di dunia ini, sebuha harapan yang nyata—tidak utopis, bahwa perlawanan manusia terhadap kapitalisme akan melahirkan masyarakat tehnologi yang lebih manusiawi.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura.

Membangun (Kembali) Imajinasi Indonesia (Dimuat di SINDO Edisi Sore, 17 April 2008)

Membangun (Kembali) Imajinasi Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah


Setiap bulan April kita mengenang dua tokoh Indonesia yang erat hubungannya dengan imajinasi dan pembebasan. Kedua tokoh itu adalah Kartini dan penyair Chairil Anwar. Semua orang tahu 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Tapi hanya segelintir orang saja yang tahu bahwa 28 April diperingati sebagai hari sastra, untuk mengenang kematian penyair Chairil Anwar. Karenanya tak salah kiranya jika Eka Budianta menganggap bulan April ini sebagai bulan imajinasi dan pembebasan.

Berkat imajinasinya yang kuat, Kartini bukan saja berhasil meletakkan cita-citanya ke dasar kehidupan, yakni menghendaki persamaan hak dan kewajiban perempuan dengan pria. Tetapi sosok Kartini lahir sebagai sosok ‘pemberontak’ sejati. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan Kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan.(Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, hal. 67)

Chairil Anwar, dengan berimajinasi melalui sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. tapi jarang orang yang mau menghubungkan puisi Chairil dengan gejolak politik pada masa itu.

Ironisnya tak sedikit masyarakat kita justru menganggap imajinasi sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak memiliki arti di negeri ini. Serta cenderung membahayakan. Pada akhir tahun 60-an, misalnya, kritikus sastra terkemuka HB Jassin diajukan ke pengadilan karena memuat cerpen Langit Makin Mendung, karangan Ki Panji Kusmin. Cerpen itu dianggap ‘menginjak kaki’ banyak orang karena melukiskan pengalaman Nabi Muhammad dalam imajinasi pengarang.

Bahkan ketika Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tetralogi Bumi Manusia, Pemerintah orde baru melalui Kejaksaan Agung mengeluarkan surat larangan atas buku-buku tersebut. Karena buku karangan Pram dianggap berbau Komunisme. Padahal apa yang ditulis Pram tak lebih hanya untuk membongkar Budaya Jawa yang menindas. Bahkan hingga saat ini larangan itu belum dicabut.

Yang terbaru ketika Slank meluncurkan lagu Gosip Jalanan yang salah satu syairnya menyentil kinerja DPR/MPR kontan anggota dewan menyalak dan hendak menuntut Slank karena dianggap mencemarkan nama baik. Meski akhirnya tuntutan itu tak jadi dilakukan, setidaknya niat DPR MPR menuntut Slank merupakan salah satu bukti betapa kita memang phobia imajinasi.

Sistem pendidikan juga tak jauh beda. Pendidikan (baca: sekolah) yang sejatinya menjadi tempat mengasah kreativitas dan mengembangkan imajinasi justru dikebiri hanya sekedar transfer ilmu belaka. Tak ada ruang sedikitpun bagi imajinasi. Murid hanya dianggap kendi kosong yang bisa diisi apa saja oleh guru. Pengajar masih sering menggunakan system pengajaran gaya bank; Yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa. Sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu mengembangkan imajinasi dan bernalar jadi kritis.

Padahal bangunan kebangsaan kita terdiri atas varian-varian kebudayaan (subkultur) yang majemuk. Dan bangunan tersebut bisa berdiri ditengah kemajemukan karena, mengutip Benedict Anderson, merupakan komunitas terbayang (Imagined Communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama.

Sejak berumur belasan tahun Mohammad Hatta, misalnya, ‘mengimajinasikan” Indonesia merdeka. Demikian kuatnya imajinasi itu, sehingga kemudian menjadi cita-cita yang diperjuangkan. Soekarno juga demikian. Pada bulan Maret 1933, sambil berpakansi di Pangelengan, daerah selatan Bandung, Ir. Soekarno berimajinasi pula dan menuangkannya dalam risalah ”Mencapai Indonesia Merdeka.” Imajinasi-imajinasi Sokarno-Hatta dan imajinasi besar lainnya pada akhirnya memupuk bangsa yang tercerai-berai di berbagai pulau dan adat Istiadat menjadi bangsa besar dan bersatu, yaitu Indonesia.(Budianta, 1993)

Karena itu, ditengah gempuran berbagai krisis multidimensi yang tak kunjung usai, ditengah maraknya Korupsi yang dilakukan para birokrat sepertinya kita perlu mengelola kembali imajinasi-imajinasi besar yang ada dalam benak kita menjadi sebuah langkah kongret untuk mengakhiri krisis. Dan sangat potensial sekali jika pengembangan imajinasi dimulai dari sekolah dasar. Karena di tangan anak-anaklah tongkat estafet pembangunan negeri ini disematkan.

Tentu saja imajinasi yang dilandasi dengan cinta, perdamaian, keindahan dan menjunjung tinggi kehormatan. Bukan imajinasi liar yang membuat orang justru saling bermusuhan. Seperti imajinasi yang digarap salah seorang anggota parlemen Belanda, Geerts Wilders berupa film berjudul ”Fitna.” Karena imajinasi macam ini bisa dibeli di jalan-jalan.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta.

Minggu, 13 April 2008

Sisi Lain Perempuan Arab (Dimuat di MEDIA INDONESIA, 12 April 2008)


Sisi Lain Perempuan Arab*)
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : The Princess Sultana’s Daughters
Penulis : Jean P Sasson
Penerjemah : Milfana
Penerbit : RAMALA BOOKS (Ufuk Press Groups), Jakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xvi+386 Halaman


Membicarakan penindasan terhadap perempuan memang tak akan pernah usai. Berdasarkan riset, terungkap fakta bahwa setiap 6 jam terjadi kasus perkosaan seksual terhadap perempuan. Belum lagi kasus yang tidak pernah disadari orang sebagai kasus yakni pelecehan seksual, tampaknya sudah menjadi kegiatan spontanitas yang dilakukan dimana-mana. Daftar penindasan bisa bertambah panjang kalau kita memasukkan kasus perdagangan perempuan sebagai budak seks. Hal ini dikarenakan kentalnya sistem Patriakat yang dianut hampir semua negara di dunia, dimana perempuan tak lebih sebagai pelengkap, baik dalam kehidupan keluarga maupun negara.

Parahnya kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan nyaris di semua negara mengalami hal serupa. Termasuk di Arab Saudi. Benarkah? Sepintas tudingan bahwa Arab Saudi merupakan negeri yang turut serta dalam penindasan terhadap perempuan diragukan. Dalam tradisi Arab, seorang perempuan tidak diperkenankan membuka jilbab (baca:cadar) sejak menginjak masa puber. Nah, Jilbab itulah yang menjadi perisai bagi perempuan dari ’tangan jahil’ laki-laki.

Namun faktanya tidaklah demikian. Menurut Jean Sasson, penuli buku ini, dibalik jilbab yang serba ketat, perempuan Arab justru mengalami penderitaan akibat penindasan dari sistem Patriakat yang tak kalah pedihnya dengan penderitaan perempuan Indonesia yang cenderung pluralis.

Salah satunya nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah sementara atau lebih sebuah ’pernikahan untuk bersenang-senang,” yang biasa dipraktekkan oleh sebagian orang Arab. Pernikahan tersebut bisa terjalin selama satu jam atau bahkan mungkin sembilan puluh sembilan tahun, tergantung kesepakan kedua belah pihak. Jika kontrak selesai, secara otomatis pasangan akan bercerai tanpa formalitas perceraian. Kelompok Islam Suni yang mendominasi Arab saudi memandang pernikahan semacam ini tak lebih sebagai pelegalan prostitusi. Akan tetapi, tidak ada otoritas resmi yang dapat melarang seseorang yang akan melakukan nikah Mut’ah. Bahkan kelompok Syiah kerap mengutip beberapa ayat pendek dan dua atau tiga baris hadis untuk melegitimasi pernikahan ini (hal. 37-38).

Korbannya tentu saja perempuan-perempuan belia yang baru beranjak puber dari keluarga miskin dan tidak terpelajar. Demi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, kebanyakan masyarakat miskin rela menjual anak gadisnya untuk melakukan Nikah Mut’ah dengan orang-orang kaya. Termasuk juga diantaranya para pejabat dan keluarga dekat kerajaan Arab Saudi.

Selain nikah mut’ah satu hal lagi yang membuat hak kaum perempuan Arab dikebiri adalah dibentuknya badan sensor. Pemerintah Arab Saudi bahkan mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk membentuk badan sensor dalam jumlah yang sangat banyak. Dalam badan sensor itu semua pegawainya berjenis kelamin laki-laki. Mereka duduk di kantor-kantor pemerintahan, mengamati apa yang mereka pandang menjijikkan tentang perempuan dan seks di setiap publikasi yang masuk ke Arab Saudi. (hal. 79). Untuk mengontrol sikap dan prilaku kaum hawa, dibentuk juga ’polisi moral’ atau ’polisi agama’, kadang disebut mutawwa. Anggota adalah para laki-laki. Mereka melakukan tugas mengawasi gerak gerik kaum perempuan di seluruh Arab saudi. Polisi ini berpatroli di kota-kota mencari perempuan-perempuan yang tidak bercadar dan memukul mereka dengan tongkatnya atau menyemprotnya dengan tinta merah. Polisi ini juga memiliki hak untuk menahan perempuan yang dianggap melanggar etika moral dan kosopanan.

Pertanyaannya sekarang apakah dengan kontrol yang ketat terhadap kehidupan perempuan sebuah negeri akan hidup dengan damai? Nyatanya tidak. Melalui buku ini Jean P. Sasson hendak mengatakan—Mengutip Durkhaeim—ketika semua bentuk ekpsresi dan penyaluran emosi secara normal terkunci rapat yang lahir justru ketidaknormalan.

Ketika hubungan laki-laki dan perempuan yang belum menikah dilarang bertemu satu dengan lain oleh hukum agama yang terjadi adalah ketegangan seksual di antara sesama jenis menjadi sesuatu yang biasa. Ya, di arab Saudi hubungan homoseksual terus merajalela. Bahkan Putri Sultana, tokoh utama dalam buku ini, yang bernama Maha juga mengalami hal serupa.

Disamping itu, ketidaknormalan lain yang muncul akibat terlalu ketatnya kontrol terhadap kehidupan perempuan adalah lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras. Kelompok ini kerap menggunakan segala cara agar semua peraturan Islam bisa ditegakkan di muka bumi ini. Termasuk juga dengan jalan mencelakai manusia lain. Itu pula yang dialami Amani, putri kedua Sultana.

Sejatinya buku ini merupakan kelanjutan dari buku laris berjudul ”Princess: Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi.” Jika, buku pertama menggambarkan kehidupan masa kecil Putri Sultana, maka buku ini menggambarkan kisah kehidupan anak-anak perempuannya dan perempuan arab lain dalam nuansa ketatnya sistem Patriakat secara lebih personal. Buku ini adalah sebuah kisah nyata yang ditulis dengan cukup memikat dalam bentuk novel sehingga pembacanya dapat merasakan emosi dari masing-masing tokoh dalam buku ini.

Meski menggunakan sudut pandang wanita kerajaan Arab Saudi, setidaknya buku ini masih mampu mewakili betapa kejinya penindasan terhadap perempuan miskin yang dilakukan pemerintahan Arab Saudi. Sungguh buku yang layak dibaca, bukan hanya bagi mereka yang menganggap Arab, tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW itu merupakan negeri ’surga’ yang penuh kedamaian, melainkan bagi siapa saja yang peduli nasib perempuan.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura.
*) Sayang, Ketika dimuat di MEDIA INDONESIA tulisan ini mengalami edit ketat dari Pihak Redaksi. Karenanya di blog ini saya turunkan secara utuh.