WAKTU

JEDA

Senin, 09 Mei 2011

Kado Pernikahan

Kado


Istriku memberitahu bahwa sudah waktunya membuka-buka kado pernikahan kami berdua yang baru berlangsung kemarin. Menurut Istriku jika tidak segera dibuka kamar pengantin kami yang kecil ini akan kelihatangan sumpek. Setidaknya ada sekitar 50 kado yang berserakan di lantai kamar kami. Bertumpang tindih dengan kardus berisi baju, sprai baru, dan buku bacaan koleksi kami berdua.

Dari sekian banyak kado itu hanya ada satu kado yang tidak tertera siapa pengirimnya. Bungkusnya pun aneh. Berwarna hitam. Aku membolak-balik kado itu. Sangat ringan. Ketika kukocok terdengar bunyi dug...dug..dug..

”Alah....paling isinya seperti punya Beny ini nich,...” ujar Istriku sambil mengacung-acungkan satu bungkus kondom setelah membuka kado Beny, teman sekampusku. Aku hanya tersenyum. Beny masih saja suka iseng meski anaknya sudah tiga, batinku.

Tapi kado bersampul warna hitam ini terus saja mengaduk-aduk rasa penasaranku. Dari siapakah gerangan? Kuamati hampir semua kerabat dan teman dekat membubuhkan namanya di Kadonya. Sebagian besar sudah dibuka Istriku. Ada si Indri, teman waktu SMA, dia kasih sprai berwarna pink. Ada Doni, sepupuku, dia kirim handpone baru. Tapi kado hitam ini? Warna hitam bukankah identik dengan kematian. Atau jangan-jangan; BOM!

”Sudah buka saja, tidak mungkin BOM, kok.” sergah Istriku seakan mampu membaca pikiranku.

Benar, juga sih. Lagipula buat apa orang kirim BOM padaku. Aku bukan presiden atau Menteri atau anak Jenderal korup yang layak dihancurkan dengan BOM. Juga bukan aktivis pergerakan progresif macam Widji Thukul dan Munir yang selalu dikuntit intel sampai akhirnya dihilangkan paksa karena keberaniannya mengungkapkan kebenaran. Aku juga bukan aktivis Islam radikal atau tokoh utama fundamentalis yang sedang sumpek pikirannya karena berjuang bertahun-tahun tak menang-menang akhirnya menyebar terror. Aku hanya pemuda tambun yang baru saja melangsungkan pernikahan sebagaimana pemuda lainnya pada umumnya. Jadi tak ada istimewanya mengirimi aku BOM.

Tapi....aku kembali ragu-ragu. Bukankah aku tinggal di perkampungan yang dekat sekali dengan pasar kumuh yang sejak dulu selalu digusur paksa tetapi tak pernah berhasil itu karena gigihnya perlawanan warga? Jika kado ini benar kado ini berisi BOM dengan daya ledak mencapai radius 1 kilometer bukankah tidak menutup kemungkinan semua masyarakat perkampungan dekat rumahku ini akan rata dengan tanah. Dan sebagaimana peristiwa yang sudah-sudah, setelah perkampungan kumuh luluh dan pasar tradisional luluh lantak, entah oleh kebakaran atau bom misalnya agenda berikutnya selalu saja sama: pembangunan Mall dan plasa atau paling tidak perumahan mewah. Kepentingan kapital.

Bahkan jika sasarannya justru perumahan mewah dan hotel berbintang yang berjarak 1 kilometer dari tempat tinggalku yang kerap dilakukan oleh kaum fundamentalis kalap dan sakit sarap itu, TNT yang misalnya ditanamkan dalam kado ini dengan daya ledak radius 10 Kilometer itu akan mewujudkannya. Tapi mengapa tidak pernah ada bom yang dikirimkan ke pejabat korup misalnya? Kenapa? Tiba-tiba istriku menepuk punggungku.

”Hey..kalau mas memang takut ayo kita buka bersama. Toh kalau benar BOM kita juga akan mati bersama. Seperti cerita di film-film itu.” ujar Istriku menggelayut manja di punggungku. Sambil sesekali mencium bibirku mesra.

”Eh, siapa takut!?Baik! Baik, akan aku buka. Bismillah,”

Aku merobek-robek kertas hitam itu. Dengan menggunakan silet aku potong perekat di kedua penutup dos kado itu. Ternyata di dalamnya masih terdapat kotak kardus berukuran lebih kecil tapi kini bersampul merah. Kembali aku robek-robek kertas kodo berwarna merah itu. Dan dengan sedikit tergesa aku robek kardus tersebut. Tapi lagi-lagi. Kardus yang bersampul merah tadi didalamnya ternyata berisi kado bersampul hijau. Kembali aku merobek-robek sampulnya dan menarik paksa kardus bersampul hijau itu.

”Apa sih isinya, Mas?”

”Ah, ternyata hanya sebuah buku dan sepucuk surat,” Aku menyodorkan buku berkaver putih berjudul Selaput Dara Lastri*) itu pada Istriku. Sedangkan suratnya masih kupegang.

”Dari siapa, sih?” Tanya Istri sambil tiba-tiba ia memagut bibirku cukup lama. Begitu dalam. Begitu membakar.

”Entah,” jawabku. Ketika aku hendak membukanya tiba-tiba perutku melilit-lilit tiada terkira. Entah apa yang membuat perutku tiba-tiba sakit begini. Apakah karena terlalu banyak makan sambal dan sate kambing itu? Ataukah karena kecapean? Dan aku bergegas ke kamar mandi. Buang hajat. Kutinggalkan surat bersampul putih yang sudah separuh terbuka itu tergeletak di ranjang

***
Leny yang sedari tadi menemani suaminya membuka kado pelan-pelan membuka surat yang sudah separuh terbuka itu. Dan ia mulai membacanya:

Mas Masfur,

Sungguh aku sangat bahagia akhirnya mas menikah. Sungguh aku tak menyangka bisa secepat ini mas menikah. Aku sendiri mendengar kabar ini pun dari Arnas, teman Mas yang tinggal tak jauh dekat rumahku. Itupun setelah aku paksa-paksa. Karena itulah aku tak sempat memilihkan kado apa yang baik buat Mas. Hanya buku itu yang bisa aku berikan. Semoga Mas tidak lupa denganku. Tapi siapakah yang bisa menghapus kenangan? Siapa yang bisa melupakan kenangan? Ia kekal dalam pikiran bukan?

Buku “Selaput Dara Lastri” itu sengaja aku kirim, karena dalam kumpulan cerpen itu ada kisah kita. Kisah percintaan kita. Bukan, bukan untuk mencoba menghancurkan pernikahan Mas dengan perempuan lain. Aku bukan tipe perempuan macam itu. Waktu itu bukankah aku sendiri yang memilih untuk pergi. Ya aku memilih pergi. Aku memilih jalanku sendiri. Jalan lain yang menurutku baik. Dan baik juga buat kehidupan mas di masa yang akan datang.

Tapi saya berharap Mas sudah berubah. Ketika mendengar mas menikah dengan perempuan lain aku berharap Mas sudah berubah total. Aku tak mau ada lagi perempuan lain selain aku yang turut jadi korban. Cukup aku saja. Cukup aku saja yang mengalami penderitaan itu. Makanya sengaja aku sebarkan aib keluargaku sendiri pada semua orang. Pada orang-orang yang Mas kenal dan juga aku kenal. Bukan untuk apa. Bukan untuk mengumbar dendam. Tapi agar kita bisa mengambil pelajaran dari semua peristiwa itu. Mas khususnya bisa bercermin diri untuk berubah. Berubah. Aku mohon jangan ada perempuan lain yang jadi korban.

Saya tak sanggup membayangkan kejadian yang aku alami menimpa perempuan lain. Belum lepas dari pikiranku, Mas (bahkan tak akan bisa lepas) ketika aku masuk ke kamar pengantin kita malam itu. Malam ketika aku pulang dari rumah ibu. Malam ketika aku ingin memelukmu karena kesedihanku ditinggal ayah (yang juga mertuamu) untuk selama-lamanya juga karena rasa capekku didera pekerjaan. Tapi betapa kagetnya aku. Ketika di ranjang kita itu kau sedang bersetubuh dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu yang ternyata pamanku sendiri. Kau memeluknya begitu mesra seperti kau memeluk aku. ackh…..aku tak bisa membayangkan kejadian itu.

Dan semoga Mas sudah berubah sekarang. Menjadi laki-laki yang sejati. Tidak lagi menyakiti perempuan dengan hubungan biseksual. Saya tak tahu apa yang terjadi pada psikologis Mas waktu itu, aku terlalu marah untuk memahami itu. Itulah mengapa aku pergi. Dan semoga istri mas yang sekarang bisa begitu tabah menerima mas. Dan juga tahu kehidupan mas di masa lalu. Semoga Mas tidak lagi berbohong atas semua hidup Mas.

Selamat menikmati hidup baru, Mas. Semoga sejahtera dan panjang umur. Dan terakhir aku sertakan puisi yang pernah aku kirimkan padamu lewat email itu. Puisi pertama dan terakhir yang pernah kutulis untukmu:

PERPISAHAN*)

berapa banyak airmata untuk mengobati kepedihan?

suara klakson. suara deru motor. suara denting mangkok pedagang bakso
teriakan lantang penjual lahang.
berderap berpacu dengan suara detak jantung
kepedihan

belum juga separuh jalan kita tempuh
tapi begitu cepat hati merapuh
ketika mata bertemu mata
retak itu terus menganga

o, betapa sakit perpisahan. Betapa sakit perpisahan
kita bersitatap, sekali lagi. kemudian melepas genggaman tangan.
dua punggung menjauh
dan airmata jatuh.

berapa lama manusia sanggup melupakan yang pergi dan tak kembali?



Salam hormat,

Lastri

***

“Apa Sih isi Suratnya, Sayang?” teriakku dari depan pintu kamar usai dari kamar mandi membuang hajat tadi. Tapi Istriku tak menjawab. Ia melempar surat itu ke ranjang. Ia berbegas ke Kamar Mandi. Kulihat matanya berkaca-kaca. Kulihat pancaran kesedihan di wajahnya.

“Surat dari siapa sih, Sayang?” Teriakku ketika Istriku masuk ke Kamar Mandi.

”Baca aja sendiri,” teriaknya dari kamar mandi. Lamat-lamat kudengar isak tangisnya semakin keras. (*)