WAKTU

JEDA

Selasa, 10 Oktober 2017

PERJUMPAAN TERAKHIR

Perjumpaan Terakhir
Oleh: Edy Firmansyah

Her, di tanah kelahiranku ini, kenangan berlompatan dari kepalaku tentang kalimat terakhir yang kau ucapkan padaku, ketika untuk terakhir kalinya kita bertemu.
            ”Aku ingin kuliah di Jember. Aku ingin kuliah di Jember” ucapmu dengan tatapan kosong. Hari itu pertengahan Februari 2003.
Aku memelukmu. Tapi kau menepis tanganku. Kemudian kau menarik taplak meja dan melemparkannya sehingga semua benda di atasnya pecah membentur dinding ruang tamu. Segalanya berantakan di lantai ruang tamu rumahmu. Termasuk harapanku.
Ibu dan kakak perempuanmu kemudian memegangmu. Menarikmu ke kamar. Merebahkanmu di ranjang. Kemudian menguncimu dari luar. Aku terharu melihat itu. Aku terharu. Aku bayangkan kau sendirian. Membawa pikiranmu mengelana ke negeri entah yang sulit dijangkau pikiran manusia yang merasa dirinya waras. Kau dipasung di dalam. Aku mengalami kesedihan di luar. Dunia ini kadang memang tidak adil buat sebuah kisah tentang persahabatan.
Masih kuingat dulu, bagaimana akhirnya kau harus menanggalkan cita-citamu sekolah di SMA dan terpaksa masuk STM. Tante Las pernah cerita bahwa ia punya saudara yang bekerja di pabrik otomotif di Jakarta yang menangani bidang personalia dan sumber daya manusia. Rencananya setelah lulus kau akan dititipkan padanya. Dan STM adalah sekolah paling ideal agar kau punya ketrampilan di bidang permesinan. Saat itu aku sepenuhnya setuju dengan Tante Las. Sementara kau kecewa dengan keputusan Ibumu. Meski akhirnya kau terima kenyataan yang pahit itu.
Dari hari ke hari perjalanan sekolahmu, lambat laun kau lupakan peristiwa itu. Kau semakin menikmati bersekolah di STM. Membawa buku hanya satu yang kau selipkan di saku belakang celana abu-abumu. Menjadi remaja paling depan (berbekal sabuk berkepala gir dan pentungan besi) saat tawuran.
Hari hari terus berganti. Waktu bersalin waktu. Tapi hari depan gampang sekali meleset dari ramalan manusia. Sebuah keadaan yang tak pernah bisa diprediksi masyarakat awam datang menerjang. Tahun 1998. Dollar melonjak menekan rupiah dengan angka yang hampir tak bisa dinyana ekonom. Harga kebutuhan pokok melambung. Krisis ekonomi. Kuku-kuku orde baru perlahan-lahan retak. Kemudian ambruk pada Mei 1998 digilas kaki-kaki jutaan massa dan mahasiswa.
Ekonomi nasional limbung. Perusahaan-perusahaan besar melarikan modal dan labanya ke negeri luar. Buruh-buruh jadi korban. PHK massal menorehkan angka yang tak terperikan. Dan Pamanmu, saudara Ibumu itu, juga menjadi tumbal krisis ekonomi yang terus menggila. Ia di PHK. Dan harapanmu mendapatkan gaji pertama di perusahaan otomotif di Jakarta kandas pula. Sejak lulus STM tahun 1999, di jidatmu sahih mendapat stempel paling keji; pengangguran.
”Aku ingin kuliah di Jember. Aku ingin kuliah di Jember.” Kau terus berteriak-teriak dari kamarmu. Kau menerjang pintu dari pohon mahoni itu berkali-kali. Kemudian senyap. Senyap. Airmata jatuh dari dua bola mata ibumu. Isak bergema dari pita suara kakak perempuanmu.
Sambil menangis Tante Las bercerita bahwa sebelum hilangan ingatan kau punya keinginan untuk kuliah ke Jember bersamaku. Tapi Tante Las menolak. Karena biaya kuliah tidaklah murah. ”Bahkan untuk membiayai adiknya saja yang SMA saya kadang mengeluh.” Kenang Ibumu. Aku terdiam. Lama sekali. Sementara Tante Las terus bercerita entah apalagi sampai akhirnya aku mohon diri. Pamit. Dan itu adalah pertemuan kita yang terakhir.
Her, di tanah kelahiranku ini, kenangan denganmu menyingkap tabirnya kembali. Mengajak ingatanku berjalan-jalan  ke masa lampau, saat kau berlari tergopoh-gopoh menuju rumahku, masuk tanpa salam (sehingga Ibuku marah hebat dan sempat mendugamu sebagai pencuri)  ke kamarku. Kau membangunkan aku yang tidur dengan masker bengkoang, hanya untuk bercerita kau baru jadian.
Kulihat kau bercerita dengan mata berbinar-binar penuh semangat. Pacarmu itu, anak SMKK bernama Titin itu, telah berhasil kau ajak ke Camplong dan kau menggandengnya sepanjang jalan pantai yang terletak di Desa Taddan, Sampang, Madura itu. Dan ketika kau mengantarkannya pulang, kau ceritakan juga dengan lugu bahwa keningmu telah diciumnya. Keningmu yang kini mungkin tinggal rangka tengkorak itu (atau mungkin abu), untuk pertamakali dalam hidupmu, disentuh oleh bibir seorang perempuan selain Ibumu. Aku terpingkal mendengar ceritamu. Bukan, bukan karena saat itu pengalaman cintaku lebih baik darimu, tapi karena kau menganggap ia satu-satu perempuan yang bakal jadi jodohmu.
”Men, jangan terlalu naïf dengan hubungan seperti pacaran. Nikmatilah dan yakinlah pada akhirnya segala hanya akan jadi mantan” ujarku dengan nada sedikit bercanda dan menggurui.
Tapi kau bergeming. Kau menganggap ciuman itu adalah takdir jodohmu. Padahal mestinya kau percaya, jodoh itu di tangan Tuhan, sementara ciuman paling indah itu di tangan mantan. Kau terus mencari pembenaran atas pikiran naifmu sendiri. Aku tak tahu sudah berapa dukun yang telah engkau datangi untuk mengikat cintamu pada Titin agar supaya Titin tidak pindah ke lain kening. Yang aku tahu, sejak kau jatuh cinta itu, parfummu berganti minyak senyongnyong yang kadang aku tak tahan baunya ketika kau berkeringat.
Belakangan baru aku tahu bahwa hubungan cintamu tak akan lama. Kau membangun hubungan itu dengan fondasi yang rapuh: kebohongan. Dari Titin aku dengar bahwa kau mengaku telah bekerja sambil nyambi kuliah di Surabaya padahal kenyataannya kau hanyalah pengangguran belaka. Kau juga mengaku anak seorang guru padahal kau hanyalah yatim seorang prajurit AD dan ibumu hanyalah ibu rumah tangga yang kerap menjual apa saja yang berharga saat uang pensiunannya tak cukup untuk makan sebulan. Kau sering pinjam motor ayahku untuk ngapel ke rumah Titin dan kau katakan itu motormu.
Apa susahnya jujur pada diri sendiri? Apa susahnya? Kadang aku sering menyesal mengapa aku tak pernah menasehatimu soal itu. Kadang aku marah mengapa kau ditakdirkan sebagai yatim yang nyaris tak punya kepercayaan diri untuk mengakui keadaan ekonomi keluargamu yang remuk itu.
”Aku takut dikasihani. Aku pada rasa iba. Aku takut dimanfaatkan” ucapmu suatu ketika.
Ya Setiap manusia punya rasa takut. Seperti juga setiap manusia punya keberanian. Tapi aku takut kehilangan kau, Her. Aku takut tak punya lagi tempat berbagi tawa saat aku pulang menghabiskan liburan kuliah. Aku takut kesepian di kampung halaman. Aku takut pada segala yang bakal retak meski waktu mengajarkan bahwa segalanya pasti retak. Termasuk kita. Dan aku tak pernah berani menyatakan itu padamu.
Mestinya aku berani mengatakan itu padamu sehingga ketakutan itu tak terus menghantuiku. Sebab ketakutan yang dipelihara kerap menjadi kenyataan. Tapi aku terlambat. Sangat terlambat.
Malam itu, 05 Maret 2003, hapeku berdering. Panggilan dari Ayahku. Aku mengangkatnya. Dan Ia mengabarkan berita yang benar-benar membuatku berlinang airmata. Kau meninggal. Malam itu hidupku jadi sunyi sendiri di antara hiruk pikuk diskusi tentang neokapitalisme di Indonesia di sebuah forum kelompok diskusi. Kawan-kawan menghiburku. Tapi tak ada yang sanggup menghiburku kecuali isak tangisku sendiri.
Her, di Tanah kelahiranku ini, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) itu, saat Aku membersihkan pusara ayahku pada H-2 menjelang lebaran tahun 2014, kenangan tentangmu berlompatan dari kepalaku. Sebab tanpa pernah Aku sangka, di depan pusara Ayahku, berdiri sebuah nisan dengan sebuah nama bercat hitam; Heru Setio Widodo (28 Agustus 1980-05 Maret 2003).
 Tenang-tenanglah di sana kawan. Pada akhirnya kematian milikku juga. Dan kita akan kembali bersama.

Madura, Desember 2014-Januari 2015

*Edy Firmansyah adalah penulis buku kumpulan cerpen "Selaput Dara Lastri" (IBC, Yogyakarta, 2010) dan buku puisi “Ciuman Pertama” (Gardu, Yogyakarta 2012). Pernah menjadi jurnalis Jawa Pos (2005-2006). Sekarang, menulis untuk senang-senang. Sesekali mengedit berita, menjadi jurnalis paruh di tengah kesibukannya jadi skrup produksi di institusi negara.

Jumat, 28 April 2017

TAK ADA DUNIA LAIN

TAK ADA DUNIA LAIN



tak pernah ada dunia lain
segala bising adalah sunyi yang lain
suara langkah pagi bergema
kata-kata menyala
dalam pelukan

cinta adalah bayangan
di bawah cahaya
dan menjadi segala yang pernah menyentuh kita
dalam gelap

angin meninggi dalam tujuh mata ingin
dingin lantai
henpon yang bergetar
kipas angin berputar
kematian orang-orang lapar
dilindas pembangunan
demi nasib baik pengeruk laba
bising.sunyi. deru pompa air
lalu listrik mati.

dan aku masih tak mengerti
terbuat dari apakah sejatinya kesunyian ini?
aku tak mampu menyentuhnya. tapi ia menyentuhku
menyentuh sesuatu yang tak bisa kusentuh
menyentuhmu saat aku menyentuh dan tak menyentuhmu

lalu mengapa aku ingin menyentuhmu setiap waktu?

berapa kata yang lahir dari kesunyian?
membakar satu kontainer ganja di istana presiden
kucing kucing kampung masih pulas tertidur di beranda
penjual sayur bermotor menyalakan klakson
aku harus berangkat kerja
tapi aku masih ingin menyentuhmu
menyentuh kekosongan ruang dan waktu
seperti henpon buatan Cina
yang bergetar
di saku kita

APAKAH AKAN ADA

APAKAH AKAN ADA

apakah akan ada
ataukah tidak ada
nama kita
pada sekon pertama
saat tulah itu
mencekik kita

 

dalam selubung kesedihan itu
desah nafasmu turun
begitu lembut, teramat lembut
di tengkukku
bagai angin surgawi
berembus perlahan
di pagi pertama
hari kebangkitan

sambil menarik selimut kau berkata;
"kita akan tua"

"tapi kita tak harus bersedih" ujarku

"kita akan mati"

"tapi tak ada alasan untuk
tak berbahagia"

seketika cahaya menghambur dari balik jendela
menyusun semesta dalam gelas waktu
desah nafasmu turun di bahuku
kini berat, teramat berat
di bekuk asma

apakah akan ada
ataukah tidak ada
nama kita
pada sekon pertama
saat tulah itu
mencekik kita

aku memelukmu
dan berkata:
"nama kita ada atau tidak ada
cinta akan menyentuh segala
yang berbahagia"
lalu pasir dalam gelas waktu
menghambur ke arah kita

2017

MOGOK




MOGOK




“Kalian tahu kalian dianggap apa? Kotoran! Sampah! Mereka pikir kalian bisa diperas, dikunyah. Mereka, tuan tanah itu, mengambil keuntungan dengan memeras darah dan keringat kita. Dan para polisi? Mereka cuma babi. Babi pemodal. Mereka menendang kita, mematahkan gigi kita agar kita tunduk pada tuan tanah. Kalian masih mau bekerja pada orang yang menyiksa kita?”

Belum usai Jay, salah seorang pekerja pemetik apel itu, berorasi, sebuah tembakan meletus. Entah berasal darimana. Jay terhuyung, bersimbah darah dengan dada berlobang. Ratusan pekerja pemetik apel yang berkerumun, histeris. Pekerja perempuan berteriak ketakutan. Beberapa yang lain kalap dan mulai mendorong barikade polisi. Beberapa lainnya lagi berlari hendak menangkap tubuh Jay agar tak terjerembab di tanah. Namun, belum sempat mereka menangkap orang tua itu, sebuah tembakan menyalak lagi. Dan Jay benar-benar tersungkur di tanah. Mati. Bersimbah darah.

Jay adalah salah satu penumpang kereta api yang membawa ratusan pekerja pemetik apel pengganti di Torgas Valley, California, sebab ratusan pekerja sebelumnya menuntut kenaikan upah. Saat tiba di pemberhentian kereta, rombongan Jay sudah disambut ratusan pekerja sebelumnya. Mereka berorasi agar para pekerja pengganti itu turut serta dalam perlawanan. Sial bagi Jay, kakek tua anggota kelompok radikal itu. Orasinya yang berapi-api membuatnya dihujam timah besi hingga mati. Tak jelas siapa yang menembak. Seperti kebanyakan kisah pemerintah di belahan negara manapun yang menganut kapitalisme, buruh mati sama sekali tidaklah berharga. Dan penembaknya tak pernah tertangkap.

Tahun itu tahun 1933. Di tahun 1930an, Amerika sedang dilanda depresi ekonomi parah. B
encana kekeringan akut melanda negeri Paman Sam. Akibatnya, gagal panen merebak. Di Oklahoma Barat dan Texas, misalnya, produksi pertanian sekarat. Daerah ini telah banyak mengalami penanaman berlebihan oleh petani gandum di tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama. Tanah mengalami rusak parah. Ekonomi macet. Keluarga tercerai-berai, bisnis bangkrut, pemerintahan kacau dan bank banyak menyita aset-aset keluarga karena tak mampu membayar utang. Dunia seakan telah berakhir dan runtuh saat itu. Hampir seperempat penduduk Amerika menganggur. Mereka yang beruntung mendapatkan pekerjaan justru tak kalah menderita. Bekerja dengan waktu yang lama, kondisi kerja yang kumuh dan upah yang tidak layak. Di Torgas Valley, California, tempat perkebunan apel menghampar luas, para pemetik apel yang dijanjikan dibayar 10 dollar perhari hanya dibayar 5 dollar perhari. Dari hari ke hari gaji mereka terus digunting oleh pemilik lahan apel dengan dalih efisiensi. Hingga hanya 1 dollar perhari. Kondisi para pekerja memprihatinkan; kucel, kumal, miskin dan terjerat utang.

Mula-mula mereka menganggap tak ada pilihan, kecuali menerima takdir sebagai buruh pengembara. Mengembara melintasi lembah demi lembah mencari bayaran meski amat murah dan kadang disiksa dengan menyakitkan. Beberapa kelompok radikal menyusup dalam kelompok buruh itu mempengaruhi mereka dan berupaya memberikan perlawanan pada pemilik lahan apel untuk menaikkan upah dengan cara mogok!

Sebenarnya sebelum Jay datang dengan kereta api bersama para pekerja pengganti itu, Mac Mcload dan Jim Nolan yang satu kelompok dengan Jay telah lebih dulu menyusup dalam komunitas para pekerja pemetik apel dan berhasil meyakinkan sebagian besar diantaranya bahwa buruh punya hak menuntut upah layak dan berhak diperlakukan layak sebagaimana warga negara amerika merdeka. Sebagian yang lain ragu akan nasib baik mereka dan menganggap mogok adalah kesia-siaan belaka.

Tapi kematian Jay benar-benar membangkitkan semangat mereka. Keragu-raguan melakukan mogok tiba-tiba berubah jadi bara api semangat yang menyala-nyala. Mogok dimulai. Para pekerja pengganti yang sejatinya untuk melancarkan laju produksi malah berpihak pada buruh. Ikut mogok. Tuntutan mereka adalah; 3 dollar sehari dan kami takkan lari.

Itulah tema utama film In Dubious Battle garapan James Franco. Sebuah film yang diadaptasi dari novel John Steinbeck berjudul sama yang baru saja saya tonton via streaming. konon, pembuatan film yang memakan waktu kurang lebih enam bulan ini mengambil lokasi syuting di Atlanta, termasuk Southeastern Railway Museum di Duluth, Georgia. Termasuk juga berlangsung di Bostwick, Georgia, dan Yakima, Washington dengan biaya sekitar $15,000,000. Franco sendiri memercayakan urusan naskah pada Matt Rager. Tak hanya itu, Franco juga memasukkan banyak bintang dalam film ini, diantaranya: Robert Duvall, Selena Gomez, Ed Harris, Vincent D’Onofrio.

Berfokus pada penceritaan tentang Jim Nolan (diperankan Nat Wolff) seorang pemuda, dan juga aktivis yang mengatur segala macam bentuk aksi protes, demi mendapatkan keadilan untuk para buruh. Dari film ini kita bisa merasakan betapa tidak mudah mengorganisir aksi mogok kerja.

Bagian terberat dari aksi mogok adalah saat negosiasi mengalami jalan buntu. Saat kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah. Para pekerja menuntut kenaikan upah. Sementara pemilik lahan bersikeras membayar hanya satu dollar sehari, dengan komprosi tambahan 20 sen saja. tak ada kesepakatan politik. Kesabaran menunggu adalah musuh terberatnya. Belum lagi tekanan-teknan psikis dan politik yang dilakukan para tuan tanah terhadap para pekerja yang mogok. Mulai dari intimidasi, kekerasan, membayar pekerja untuk jadi pengkhianat gerakan, membakar lumbung makan para peserta mogok, menuduh terlibat komunis hingga memanipulasi fakta dengan membayar media massa untuk menggiring opini publik bahwa pelaku mogoklah yang membuat kondisi ekonomi makin pelik dan tak berkesudahan.

Menyaksikan film berdurasi 1 jam 50 menit ini seperti menyaksikan sebuah peristiwa yang dekat dengan kita. Aksi penolakan pembangunan pabrik semen oleh petani Kendeng. Aksi penolakan penambangan Freeport di Papua oleh masyarakat Papua. Pola-pola intimidasi yang dilakukan kaum pemilik modal terhadap para pekerja, para investor kepada petani masih saja sama sebagaimana yang digambarkan dalam film yang diangkat dari novel yang ditulis John Steinbeck pada tahun 1930an yang berhasil membawa penulisnya mendapatkan Pulitzer ini.

Kita tahu tak terhitung jumlah perlawanan serupa seperti yang digambarkan dalam film ini. Hanya untuk mendapatkan perlakuan yang adil. Kebanyakan gagal karena lemahnya organisir dan rendahnya daya tahan perlawanan. Beberapa dari para pekerja yang melawan itu berakhir dengan dibunuh, disiksa, dipenjara. Seperti kasus Marsinah, seorang buruh arloji, yang mati disiksa tentara karena menuntut kenaikan upaya di media tahun 90an.

Tapi semua perlawanan sekecil apapun pasti punya hasil. Sejak mogok kerja tahun 1930an itu, berlangsung banyak pemogokan serupa dari tahun ke tahun. Dan pada akhirnya, tahun 1935 kongres mengeluarkan wagner act yang menjamin para pekerja bersatu, menawarkan secara kolektif dan mogok. Pada tahun 1938 Presiden Roosevelt menandatangani Fair labor Standard act yang menetapkan upah minimum regional, upah lembur dan 40 jam kerja seminggu.

Lantas apa tujuan mogok apa tujuan perlawanan sejenis di berbagai tempat di belahan dunia lain yang terus terjadi hingga hari-hari ini? Banyak orang mengira banyak mereka ingin kekayaan atau kekuasaan. Padahal itu salah. Mereka hanya ingin hidup mereka dihargai. Memegang kendali atas hidup mereka sendiri. manusia tak pantas memperbudak manusia lain hanya karena manusia lain itu tak punya apa-apa. Dan itu semua demi generasi berikutnya agar hidup lebih aman di dunia yang akan kita tinggali. Itu pesan moral yang disampaikan John Steinbeck dalam novelnya yang kemudian diangkat dalam film oleh James Franco dengan judul sama; In Dubious Battle. Perlawanan penuh keraguan.

Bagi saya sih ini sentimentil. Meskipun Franco kurang dalam menggali karakter tokoh Jim Nolan dan durasi waktunya film bertema buruh dengan kompleksitasnya yang rumit terlalu pendek. Sementara yang digarap menjadi film adalah novel John Steinbeck, peraih nobel sastra 1962 itu yang karyanya sangat kaya detail dan menyentuh. Entah kamu.


Tapi lepas dari semua itu, In Dubious Battle adalah film menarik diantara banyak film tentang perjuangan buruh di seluruh dunia. Bahwa kekuataan massa adalah niscaya. Satu hal kecil saja, tanpa demo-demo buruh kita takkan pernah merasakan nikmatnya libur 1 Mei yang dirayakan sebagai hari buruh dunia.

Rabu, 12 April 2017

Sedikit Bento dalam Kong

SEDIKIT BENTO DALAM KONG

Sejak pertamakali diproduksi Hollywood pada tahun 1933, film King Kong garapan Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack segera menarik perhatian. Tidak hanya bagi penonton, tetapi juga bagi industri layar lebar dengan laba yang dihasilkan dari pemutaran filmnya. Makanya tak heran jika film dengan tokoh monyet raksasa itu sempat memiliki sejumlah sekuel sekaligus diulangbuat beberapa kali. Taruhlah misalnya, King Kong garapan John Guillermin pada tahun 1976 silam Dan King Kong garapan Peter Jackson yang dirilis 2005.

Dua film dengan tokoh monyet raksasa yang disebut di atas itu memiliki alur cerita yang sama dengan film tahun 1993. Seekor monyet raksasa penguasa pulau Skull Island jatuh cinta pada seorang aktris bernama Ann Darrow (tahun 1933 diperankan Fay Way, tahun 1976 diperankan Jessica Lange dan tahun 2005 diperankan Naomi Watts) yang sedang menghadapi maut ketika hendak dipersembahkan pada si monyet sebagai tumbal oleh penduduk setempat. Dari situlah ketegangan-ketegangan dimulai. Yach mirip-mirip kisah Beauty and the Beast milik Disney.

Nah, tahun 2017 ini Jordan Vogt-Roberts kembali mencoba membuat ulang film Kong itu. Dengan efek yang lebih bagus dan alur cerita yang berbeda. Berbeda? Iya, dengan naskah cerita yang digarap bersama oleh Dan Gilroy (Nightcrawler, 2014), Max Borenstein (Godzilla, 2014) dan Derek Connolly (Jurassic Park, 2015).

Hasilnya, tidak ada lagi monyet raksasa yang jatuh cinta pada perempuan. Yang ada adalah Kong si penjaga pulau. Pelindung kehidupan hutan. Si mahkluk raksasa penjaga harmoni alam. Perhatian Kong pada karakter Mason Weaver hanya sebuah tribut pada konflik klasik di film King Kong terdahulu. Bukan cerita utamanya.
Juga tidak ada lagi penduduk primitif yang buas dan jahat, yang ada adalah penduduk hutan yang ramah dan melindungi dan memuja Kong sebagai dewa, bukan sebagai monster yang meminta tumbal manusia secara berkala. Tidak ada lagi plot kapal besar yang ditumpangi sutradara gagal dan aktris gagal yang mencoba membuat film di pulau asing. Tak ada lagi adegan membawa Kong ke kota untuk dipertontonkan pada manusia modern.

Kali ini yang hadir dalam Kong garapan Jordan Vogt-Roberts adalah sekelompok pasukan helikopter yang dipimpin Lieutenant Colonel Preston Packard (Samuel L. Jackson) dan seorang mantan pasukan elit militer Inggris, Captain James Conrad (Tom Hiddleston). keduanya dipekerjakan oleh agen pemerintah Bill Randa (John Goodman) untuk mengawal ekspedisinya dalam memetakan sebuah pulau asing di Samudera Pasifik yang selama ini dikenal sebagai Skull Island. Perjalanan itu juga diikuti oleh jurnalis foto, Mason Weaver (Brie Larson), yang mencurigai bahwa ekspedisi ilmu pengetahuan tersebut hanyalah sebuah samaran bagi sebuah operasi militer rahasia yang sedang dijalankan pemerintah. Setibanya di Skull Island, pasukan helikopter yang dibawa Bill Randa mulai menjatuhkan rentetan bom yang digunakan untuk mengetahui kondisi tanah di pulau tersebut. Tanpa disangka, satu sosok monyet raksasa penghuni Skull Island yang merasa terganggu atas kedatangan kelompok tersebut lantas melakukan serangan mematikan. Menyerang dan menghancurkan helikopter. Tindakan tersebut tidak lagi sebuah tindakan membabi buta, melainkan upaya melindungi pulau dari kebangkitan kull Crawler – seekor kadal raksasa yang dikisahkan pernah membunuh keluarga Kong dan menjadi musuh utama bagi para penghuni Skull Island.

Mau tak mau Captain James Conrad dan kawanannya yang selamat dari serangan pertama, harus bertahan hidup di pulau tersebut sebelum pasukan penyelamat datang tiga hari kemudian.

Pada menit-menit pertama, saat menonton Kong: Skull Island garapan Jordan Vogt Roberts, saat lagu The Hollies--band pop rock asal Inggris era 60an--mengalun, kontan saya berteriak dalam hati: Bento nih. Bento. Pasalnya, instrumen lagu berjudul Long Cool Woman in a Black Dress itu mirip banget dengan instrumen musik salah satu lagu Iwan Fals yang terkenal itu. Bento.

Memang Vogt-Roberts sepertinya sengaja memasukkan deretan lagu-lagu rock popular di tahun ‘70an ke dalam banyak adegan film penuh makhluk gigantis itu. tapi serasa tidak terlalu mengesankan jika dibandingkan dengan soundtrack, misalnya, Guardians of the Galaxy (James Gunn, 2014) yang sukses menjadikan setiap lagu klasik dalam adegan filmnya sebagai pendukung suasana pengisahan atau Soundtrack film Dead Poll, deretan lagu dalam jalinan kisah Kong: Skull Island terasa hambar.


Namun efek visualnya patut dijempol. Dengan sentuhan efek visual sekaligus dukungan penampilan motion capture dari aktor Terry Notary yang memerankannya, penampilan Kong tampak sangat meyakinkan. Konon ukuran Kong dibikin Jauh lebih besar dari Kong milik Peter Jackson. Kera berukuran gigantis itu digambarkan memiliki tinggi 100 kaki. Di tangan sutradara film drama The King of Summer ini, Kong bahkan memiliki kepribadian yang jauh lebih berwarna dari kebanyakan karakter manusia yang mengisi jalan cerita film. Dengan lain kata, film Kong: Skull Island seakan hendak menggiring penonton justru agar fokus pada karakter Kong dan kehidupan yang berada di sekitarnya. Hutan, pulau dan ekosistem alam di dalamnya. Sehingga seakan-akan karakter-karakter manusia dalam jalan penceritaan film ini menjadi sama sekali “tidak berguna” kehadirannya.

Pertempuran Kong dengan kadal raksasa yang bringas dan buas adalah fokus utama film ini. Kita akan disuguhkan efek pertarungan raksasa baik melawan raksasa jahat. Manusia hanya cukup menonton dan menyelamatkan diri. Pertarungan hidup mati pada paruh akhir penceritaan Kong: Skull Island menghadirkan puncak ketegangan maksimal bagi jalan cerita film dan mampu tereksekusi dengan sangat baik.

Akibatnya, seakan tak satupun diantara karakter tersebut yang memiliki pendalaman kisah yang cukup berarti. Kebanyakan diantara mereka malah hanya dihadirkan sebagai korban keganasan raksasa-raksasa penghuni Skull Island dengan deretan dialog yang cukup menggelikan. Para tentara-tentara yang kalah perang dalam perang Vietnam jadi terlihat makin konyol. Kecuali karakter Hank Marlow yang diperankan oleh John C. Reilly dan digambarkan sebagai sosok mantan anggota pasukan militer Amerika Serikat yang telah terdampar di Skull Island selama 28 tahun memiliki deretan kisah yang membuat karakternya begitu menarik. Begitu pula dengan karakter Lieutenant Colonel Preston Packard yang diperankan Jackson. Terutama saat dia berteriak: “aku ajarkan padanya kali ini raja diraja bumi ini adalah manusia”. Angkuh di tengah kerapuhannya pada maut. Meskipun hadir terlalu terbatas, karakteristik antagonis itu mampu diterjemahkan dengan baik.

Namun, lepas dari semua itu, Kong: Skull Island berhasil meyakinkan saya bahwa memang manusia itu cuma elemen kecil dalam semesta. maka tidak pantaslah menjadi perusak alih-alih demi nasionalisme. Menonton Kong: Skull Island, saya terbayang-bayang begitu banyaknya penolakan penduduk adat dan hutan pada eksploitasi alam atas nama tambang. Seakan-akan penolakan itu seperti raksasa yang bangkit melindungi harmoni alam. Dan akan terus membesar. Seperti Kong.

Jumat, 13 Januari 2017

ROMANTIS

ROMANTIS
.
Tidak mudah menjadi seorang Henry Roth. Seorang play boy kelas bantam itu tiba-tiba jatuh cinta pada seorang perempuan montok yang kerap duduk di kafe dekat tempatnya bekerja sebagai dokter hewan. Di kafe itu, Perempuan itu kerap duduk di meja dekat jendela. Perempuan itu bernama Lucy Whitmore. Bagi Henry Roth menaklukkan perempuan bukan perkara sulit. Sudah banyak kali perempuan yang ia kencani dan semua perempuan tak sanggup melupakannya. Beberapa diantaranya merengek-rengek minta ia nikahi. Tapi dasar play boy, selalu saja ada alasan untuk melarikan diri.
.
Tapi Lucy Whitmore berbeda. Lucy terkena amnesia anterograde. Asal muasalnya karena mengalami kecelakaan mobil parah. Akibat penyakit itu, tidak ada memori baru yang bisa masuk ke dalam otak Lucy. Ingatan di kepalanya hanya berkisar pada hidup sebelum kecelakan itu terjadi. Dalam sehari, ia bisa bertemu siapa saja dan melakukan apa saja. Namun, esoknya ia akan lupa. Dan jatuh cinta pada Lucy membuat Henry Roth memutar otak begundalnya berkali-kali.
.
  Butuh setidaknya 50 kencan pertama untuk membuat Lucy jatuh cinta padanya. Berkali-kali. Meski akibatnya Henry benar-benar mencintai Lucy. Sampai akhirnya keluarga merestui hubungan mereka dan memasrahkan hidup Lucy pada Henry. Henry memutuskan menikahi Lucy. Meski demikian, penyakit itu tak kunjung sembuh. Bahkan hingga Lucy tua pun, Henry mesti terus mengingatkan kembali tiap pagi soal apa yang telah terjadi, tentang kecelakaan itu dan asmara mereka. Namun Henry terus berusaha menyembuhkan Lucy. Dan Henry makin jatuh cinta pada perempuan yang punya penyakit lupa ingatan itu.
.
Kisah yang saya tulis dengan tergesa di atas itu bukanlah kisah nyata. Itu hanya cerita fiksi dari film 50 first dates, sebuah film komedi romantis Amerika tahun 2004 yang disutradarai oleh Peter Segal dan ditulis oleh George Wing. Henry Roth dibintangi oleh Adam Sandler. Sedangkan Lucy diperankan oleh artis montok cantik kelahiran Culver City, Amerika, bernama lengkap Drew Blythe Barrymore. Yach, kalau pernah menonton The Notebook, film drama romantis Amerika Serikat yang dirilis pada tahun yang sama ( disutradarai oleh Nick Cassavetes dan diproduseri oleh Lynn Harris dan Mark Johnson, yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karangan Nicholas Sparks), atau pernah menonton film Korea berjudul A Moment to Remember yang dirilis di tahun yang sama, 50 first dates itu versi komikalnya.
.
Itu tadi sekedar diketahui saja. Tapi bukan itu poin saya kok. Poin saya adalah memang tidak mudah menaklukkan hati perempuan yang lupa ingatan. Tapi jauh lebih tidak mudah lagi membuat perempuan yang kita cintai bisa jatuh cinta berkali-kali. Melakukan romantisme yang sama justru akan terkesan klise. Apalagi bagi pasangan yang telah menikah. Dan parahnya, kebanyakan laki-laki yang sudah menikah cenderung tidak romantis.
.
Kebanyakan lelaki menganggap cinta sebagai medan pertempuran hanya pada saat mendekati perempuan dan berusaha menaklukkan hatinya untuk dijadikan pacar. Di saat-saat itu, lelaki menunjukkan dirinya seperti ksatria berkuda yang siap melibas siapa saja dengan gagahnya demi menjemput putri yang melambaikan tangannya dari menara kastil. Betapa menyenangkan masa-masa itu. Apalagi jika menjadi pemenang. Sang putri diperlakukan layaknya bidadari. Dipuja dan diagung-agungkan. Di saat-saat itu mantan-mantan berguguran. Seiring tegaknya kuade pelaminan.
.
Dan setelah itu semuanya jadi sunyi. Seakan kisah ksatria berkuda dengan pedang dan baju besinya menggendong seorang perempuan telah berakhir. Layar telah diturunkan. Segalanya telah selesai. Menikah dianggap sebuah bukti cinta. Menikah dianggap sebagai tahapan tertinggi dari ungkapan perasaan cinta. Setelah menikah tak ada lagi. Maka, yang kita saksikan kemudian sebuah kisah biasa, kehidupan rumah tangga biasa. Tak ada lagi romantisme masa pacaran. Yang ada kesumpekan. Tak ada lagi ciuman selamat pagi atau sapaan cinta, yang ada kebosanan. 

Kadang bersikap romantis pada istri/suami dianggap kekanak-kanakan. Dan bukan suatu yang penting. Usia pernikahan yang makin menua membuat pasangan jadi mekanis. Kemudian enggan bersikap romantis. Sudah tua, dan semua romantisme itu cuma basa-basi.
.
Beberapa lelaki menunjukkan romantismenya hanya ketika hendak bersenggama. Beberapa yang lain menganggap hubungan intim itu adalah romantisme itu sendiri. Akhirnya, begitu usai ejakulasi, segalanya jadi hening. Tak ada ucapan terima kasih atau pelukan. Yang ada hanya dengkuran. Dan esoknya hidup berderak seperti mesin. Laju, laju. tapi membosankan.
.
Tak perlulah mengutip teori cinta Eric Fromm sampek John Lee kalau cuma mengatakan betapa pentingnya romantisme dalam perkawinan. Terutama bagi perempuan. Perempuan bukan mesin sex yang perlu anda tekan tombol on-nya ketika malam jum’at atau anda sedang ingin meluapkan konak. Perempuan adalah bumi di mana dari seluruh elemen hidupnya tumbuh kehidupan lain bagi keberlangsungan jagat raya. Tanpa sentuhan kasih sayang, lambat laun ia akan jadi tanah kering, yang keras, retak dan tak lagi bisa ditanami. Dalam keadaan begitu, jika seorang perempuan itu adalah seorang istri dan ibu dalam keluarga, maka sebuah keluarga hanya akan mengalami kekeringan panjang dan sebentar lagi siap terbakar atau dibakar.
.
Ada paparan yang cukup mencengangkan bahwa angka perceraian di Indonesia telah mencapai rekor tertinggi se-Asia Pasifik. Dalam situs BKKBN, ditulis detikdotcom, dikatakan jumlah perceraian di Indonesia per tahunnya telah mencapai lebih dari 200 ribu kasus. Salah satu diantara penyebabnya karena pasangan tersebut meninggalkan romantisme dalam kehidupan mereka. Romantisme hanya terjadi di awal-awal mereka mengadakan honeymoon. Setelah itu hanya rutinitas rumah tangga yang kadang menjemukan seperti mesin absensi perusahaan.
.
Kita tidak mau bukan memperpanjang angka perceraian di negeri ini, dan hubungan asmara kita berakhir di meja judi, eh, meja hijau? Di luar sana, setelah ketok palu hakim menggema di ruang sidang, sedang menunggu orang-orang yang siap memeluk suami/istri anda dengan mesra, memberikan romantisme yang tak pernah lagi anda berikan pada pasangan anda, dan pada akhirnya anda akan dilupakan atau dikenang sebagai pasangan yang membosankan. Dan sungguh jika itu terjadi, kita akan benar-benar menyesal.
.
Maka beruntunglah pasangan yang hidupnya penuh dengan romantisme meski usia pernikahannya telah menua dan telah menimang anak cucu. Pasangan yang demikian niscaya selamat dari incaran tetangga atau teman atau mantan yang butuh teman ranjang dan sedang kesepian. jangan sampai ada keluh kesah; kau yang berjuang, tetangga yang menikmati.
.
Romantis itu sebenarnya nggak harus mahal. Juga tak perlu jadi play boy macam Henry Roth. Cukup anda berani membisikkan kata I Love You pada kekasih anda tiap bangun pagi itu sudah membuat dunia jadi lebih indah. 

Jadi kapan terakhir anda bersikap romantis pada istri/suami anda?


Madura, 13 Januari 2017. satu jam sebelum iqomah sholat jum'at berkumandang