WAKTU

JEDA

Sabtu, 31 Januari 2009

Imlek dan Semangat Anti Diskriminasi

Dimuat di RADAR SURABAYA, 27 Januari 2009


Imlek dan Semangat Anti Diskriminasi
Oleh: Edy Firmansyah



Pada 26 Januari 2009 lalu saudara-saudara kita yang berlatar budaya Tionghoa merayakan Imlek ke-2560. Daerah-daerah di nusantara mulai penuh dengan warna merah, lampu lampion dan pernak-pernik imlek lainnya. Namun perayaan imlek di negeri ini masih dipenuhi nuansa keprihatinan. Terutama terkait dengan dikriminasi rasial dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Sampai sekarang masih terdapat puluhan peraturan hukum yang diskriminatif bagi etnis Tionghoa. Setiap orang etnis Tionghoa tetap harus menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) untuk segala urusan administratif, mulai dari tingkat kecamatan, catatan sipil, kantor imigrasi, atau bahkan mengajukan kredit. Tetap dengan biaya lebih tinggi daripada etnis lain. Pada beberapa kantor pembedaan biaya itu dipublikasikan secara terbuka. Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) yang menjadi usul inisiatif DPR RI ternyata juga masih dihambat proses pembahasannya di Departemen Kehakiman dan HAM.

Seperti yang terjadi pada ratusan warga Tionghoa miskin di Jakarta Barat. Mereka masih kesulitan mengurus dokumen kependudukan seperti kartu tanda penduduk dan akte kelahiran. Akibatnya, mereka kesulitan menyekolahkan anak-anak dan kesulitan mencari pekerjaan. Sehingga dengan amat terpaksa mereka membuat KTP ’tembak.” Anehnya lagi, meski tak memiliki KTP ratusan masyarakat Tionghoa tersebut dapat ikut memilih dalam pemilu.(Kompas, Rabu 30/01).

Karena itu kemeriahan imlek kali ini harus dijadikan momentum awal sebuah aksi kemanusiaan dan perlawanan tehadap diskriminasi rasial demi tercapainya masa depan yang lebih baik. Sebab ajaran utama bagi umat Khong Hu Cu, dari sang nabi (Kong Zi) membumikan etika kehidupan bukan hanya bagi umatnya semata melainkan juga sebagai basis bagi persatuan dan kedamaian umat manusia seluruhnya. Makanya jangan heran jika pada saat perayaan Imlek sebuah keluarga berkumpul dan saling menghormati, mengucapkan maaf dan selamat mulai dari yang muda pada yang tua. Kemudian saling bersilaturrahmi antar tetangga, berbagi rejeki dan dilanjutkan dengan bersembahyang dan berdoa di hadapan leluhur.

Tetapi sayangnya ajaran itu masih belum tersampaikan secara luas sebagai bagian dari budaya nasional. Buktinya meski Keputusan Presiden No 6/2000 yang melegalkan perayaan keagamaan dan kebudayaan masyarakat Khong Hu Cu ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dan masyarakat Tionghoa memiliki kebebasan menjalankan agama dan kepercayaannya, diskriminasi rasial masih merupakan hukum positif dan masih jadi bagian dari keseharian masyarakat.

Parahnya lagi, kebijakan terhadap kasus kerusuhan rasial Mei 1998 juga masih terkatung-katung. Di satu sisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencanangkan dibentuknya Tim Adhoc Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM yang berat, namun di sisi lain ternyata pemerintah tidak memberikan dukungan sepenuhnya untuk tim bentukan Komnas HAM itu bekerja maksimal. Para pejabat tinggi TNI dan Polri yang tergabung dalam Operasi Pengamanan Mantap Jaya dengan tenang mengabaikan surat panggilan resmi sebagai saksi di Komnas HAM.

Padahal dalam sebuah perjanjian internasional, pemerintah Indonesia juga menyepakati untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial: " Setiap Negara Peserta akan mengambil tindakan yang efektif untuk meninjau kembali kebijaksanaan pemerintah nasional dan daerah, dan untuk memperbaiki, menarik kembali atau membatalkan undang-undang dan peraturan yang berpengaruh menciptakan atau mengembangkan diskriminasi ras di manapun" (Konvensi Internasional mengenai Pengahapusan segala bentuk diskriminasi rasial, Pasal 2 ayat 1 huruf c).
Tapi mengapa dalam prakteknya diskriminasi tersebut justru masih marak dilakukan? Untuk menjawabnya perlu kiranya merujuk pada sejarah masa lalu. Bahwa kedatangan etnis Tionghoa selain karena praktek perdagangan sebagian besar juga karena praktek koloni. Penjajah Belanda membawa ribuan etnis tionghoa ke Indonesia untuk membuka lahan baru, serta menghambat perdagangan kaum pribumi sekaligus sebagai alat menancapkan kuku imperialismenya.

Tapi apa yang dilakukan penjajah tersebut diabayar dengan ongkos yang mahal. Etnis Tionghoa selalu menjadi kambing hitam setiap ada gejolak dari kaum pribumi menuntut kesejahteraan. Makanya jangan heran, tiap muncul konflik, penjarahan dan kekerasan kerap dilampiaskan pada pemukiman Tionghoa.

Pada era kemerdekaan warisan Belanda tersebut ternyata masih juga diterapkan. Buku “Hoakkiau di Indonesia” karangan Pramodya Ananta Toer yang membahas tentang diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia adalah salah satu bukti betapa terpojoknya posisi kaum Tinghoa tersebut. Bahkan marjinalisasi terhadpa kehidupan masyarakat etnis ini semakin terasa di era orde baru. Puncaknya adalah kerusuhan pada medio Mei 1998, dimana perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa di tempat umum. Dan ironisnya, proses hukum terhadap pelanggaran HAM berat ini terkatung-katung hingga kini.

Karena itu penting kiranya untuk menggiring perayaan Imlek sebagai wacana pembebasan terhadap diskriminasi. Masyarakat Tionghoa harus membuktikan bahwa agama Tionghoa tak jauh beda dengan agama lain yang memiliki tujuan universal, yakni perdamaian umat manusia. Dan musuh perdamaian adalah penindasan, korupsi, kolusi, marjinalisasi, kemiskinan dan kemelaratan. Imlek dapat menjadi jalan tembus batas-batas kemanusiaan, sehingga seseorang bisa bertindak lebih dari sekedar unsur manusiawi; bergerak dan beragama untuk kepentingan orang-orang tertindas tanpa pandang bulu. Bukankah hal itu yang menjadi cita-cita Kong Zi? Gong Xi Fat Coi.***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pengamat Kebudayaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta .

Selasa, 27 Januari 2009

Membangkitkan (lagi) Politik Perempuan

Dimuat di KPO Bali, Edisi 16-31 Januari 2009


Membangkitkan (lagi) Politik Perempuan
Oleh: Edy Firmansyah


Kaum perempuan adalah ujung tombak revolusi. Kodratnya sebagai manusia yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia baru adalah buktinya. Bunda Maria (Ibunda Isa al-Masih), Siti Aminah (Ibunda Nabi Muhammad) serta Siti Khatijah (Ibunda Fatimah az-Zahra), adalah sedikit contoh perempuan-perempuan yang melahirkan generasi revolusioner.

Di Indonesia politik perempuan juga tak kalah heroiknya. Perempuan adalah aktor aktif menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama, pada 22 Desember tahun 1928 di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta adalah buktinya.

Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, kala itu para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa. Dari paparan tersebut tercermin, misi diperingatinya Hari Ibu lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil jender dan feminisme berkembang di negeri ini. Tapi mengapa masih banyak perempuan yang ragu akan kualitas kepemimpinan yang dimilikinya?

Adalah orde baru yang kemudian menggeser pemaknaan hari ibu tersebut. Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “Darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Benar memang tak sedikit organisasi bagi kaum Ibu yang dibentuk orde baru seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan sebagainya. Namun aktivitasnya tak lebih hanyalah mengumbar hedonisme belaka. Memang ada saja kegiatan sosial yang dilakukan. Namun sifatnya sekedar seremonial belaka. Sementara kegiatan yang rutin justru hanya arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas nonpolitis lainnya.

Makanya jangan heran jika perempuan Indonesia mandul secara politik. Hingga saat ini di DPR hanya ada 61 perempuan atau 11 persen dari 550 anggota, 9 persen dari 1.849 orang di DPRD Propinsi, 21 persen dari 128 anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD), 7 persen pejabat di eselon satu sampai tiga di pemerintahan, 2 hakim agung di Mahkamah Agung. Dalam kepemimpinan militer tak jauh beda. Di kepolisian tidak ada perempuan yang menjadi Kapolda dan sepanjang sejarah kepolisian hanya ada 2 jenderal perempuan. Situasi serupa juga terjadi di tingkat kabupaten/kota hingga desa. Kondisi diatas nyaris taberubah meskipun undang-undang politik saat ini menuntut keterwakilan perempuan di DPR Propinsi dan Kabupaten/Kota, di Kepengurusan partai dan jabatan publik sebesar 30 persen.

Ketidakpercayaan akan kemampuan sebagai pemimpin karena perempuan Indonesia masih mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya. Hal itu berangkat dari watak maskulinitas yang masih mengakar kuat di negeri ini. Perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, 2006).

Padahal sejatinya di tangan pemimpin perempuan peluang untuk mengeliminasi maskulinitas kekuasaan cukup besar. Sebab perempuan identik dengan pribadi yang lemah lembut, penuh kasih dan cinta damai. Identitas tersebut selaras dengan ideologi feminisme.

Feminisme menurut Vandana Siva merupakan ideologi yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Artinya dengan ideologi feminisme diharapkan segala sumber daya politik dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tidak dioperasikan secara keras dan menindas. Dengan kebijakan yang berbasis feminisme akan tercipta hubungan anatar manusia (baik masyarakat dengan negara dan negara dengan masyarakat) secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.

Karena itu penting kiranya membangkitkan politik perempuan. Sebab sejarah mencatat dari sekian kali kepemimpinan dipegang kaum laki-laki, mereka justru gagal mengoptimalkan semangat feminisme. Karenanya perempuan dan kaum ibu kini harus berani ambil bagian dalam kepemimpinan alternatif untuk mengembangkan pola feminisme kekuasaan. Tentu saja sebagai upaya memperjuangkan pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketertindasan.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pekerja di Badan Pemberdayaan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Agresi Militer Israel dan Kapitalisme Global

Dimuat di RADAR SURABAYA, 17 Januari 2009


Agresi Militer Israel dan Kapitalisme Global
Oleh: Edy Firmansyah


Agresi militer Israel ke Palestina belum ada tanda-tanda bakal berhenti. Bahkan Israel tak menggubris resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1860 mengenai konflik di jalur Gaza. Israel masih terus menghujani Jalur Gaza dengan Bom dan Mortir. Akibat serangan tersebut, setidaknya sekitar 800 korban tewas sejak penyerangan yang dilakukan tanggal 27 Desember lalu.

Anehnya, presiden Amerika Serikat George Bush bungkam tak bersuara. Presiden Amerika terpilih Barack Obama setali tiga uang. Diam seribu bahasa. Meskipun kemudian Obama berkomentar, komentar tersebut hanya sekedar ungkapan keprihatinan belaka. Amerika yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia dan negara anti terorisme malah tutup mata terhadap aksi terorisme Israel. Bahkan dalam pengambilan keputusan terkait Resolusi PBB Nomor 1860 tersebut, Amerika justru memilih abstain. Perubahan inikah yang hendak diberikan pada masyarakat Palestina? Ada apa dengan Amerika?

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan sikap Amerika Serikat tersebut. Sebagaimana yang diutarakan Almarhum Mochtar Lubis, salah seorang sastrawan Indonesia, bahwa ”Siapapun yang terpilih sebagai presiden, entah dari Partai Republik mapun Demokrat, tak akan mengubah watak Amerika. Jika Republik adalah perampok, maka Demokrat adalah perompak,”

Pernyataan Mochtar Lubis tentu saja bukan tanpa alasan. Bukan rahasia umum kalau Amerika membangun fondasi negaranya dengan ideologi kapitalisme. Kapitalisme selalu bertalian erat dengan imperialisme. Menurut Lenin, imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme adalah jawaban terhadap krisis periodik yang dialami kapitalisme. Kita tahu bajwa Amerika saat ini tengah mengalami krisis ekonomi yang akut. Krisis kapitalisme terjadi selain karena pertarungan antar perusahaan-perusahaan multinasional juga karena penumpukan barang produksi. Untuk keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja dan bahan-bahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. ( Yanuardy dalam Chomsky, hal. xiii).

Imperialisme kerap dilakukan dengan dua metode, yakni lunak dan keras. Imperialisme lunak dilakukan melalui kebijakan-kebijakan utang melalui lembaga keuangan internasional. Dengan dalih menyelamatkan kehidupan dunia ketiga, lembaga keuangan internasional memberikan suntikan pinjaman lunak. Namun dengan konsekuensi negara penerima utang melakukan privatisasi, denasionalisasi dan liberalisasi pasar yang tujuannya tak lain untuk memberi jalan lempang bagi negara imperial melakukan penetrasi dan memasarkan produksi.

Mencoba menolak tawaran kebijakan neoliberal AS berarti ’membangkang.’ Pada para pembangkang ini AS akan melancarkan apa yang disebut dengan perang teror.

Perang teror yang dimaksud adalah pemutarbalikan fakta atau yang dikenal dengan Rekayasa sejarah (historical Engineering) bahwa orang-orang (baca: pemimpin) negara yang menentang AS dianggap menggunakan sumber dayanya untuk sektor sosial yang dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. Barangkali Kuba layak dijadikan contoh kasus. Penolakan Kuba pada kebijakan AS berakhir dengan embargo dengan tujuan masyarakat Kuba menderita dan kemudian mengemis-ngemis minta bantuan pada AS. Namun Kuba bergeming. Dibawah kepemimpinan Kastro Kuba menjadi negara yang paling menentang AS. Dan kini semangat anti-AS mulai diikuti oleh negara-negara tetangganya seperti Bolivia dan Venezuela.

Sementara imperialisme garis keras dilakukan dengan agresi militer. Namun AS tidak melakukan sendiri angresi militernya, melainkan membentuk tentara-tentara bayaran untuk melakukan teror pada negara-negara yang akan dicaploknya. Tujuannya selain perebutan wilayah untuk kelancaran jalur produksi, juga untuk memasarkan senjata-senjata pembunuh massal. Agresi militer di Palestina, AS menggunakan Israel sebagai kepanjangan tangannya. Sementara senjata-senjata baik untuk Israel maupun Hamas dipasok oleh Amerika.

Sejatinya kedua bentuk imperialisme tersebut adalah bentuk penghancuran terhadap hak-hak sebuah bangsa. Tapi mengapa suara-suara penentang atas tindakan tersebut nyaris tak terdengar? Toh meskipun ada justru kerap tidak digubris. Pertama, AS menggunakan media sebagai alat untuk melegitimasi semua kebijakan yang diambilnya. Bahkan lewat media pula rekayasa sejarah tersebut dimainkan. Misalnya, ketika dunia mengutuk agresi militer Israel ke Palestina di Jalur Gaza, melalui media massa Israel justru menuding tewasnya ratusan warga sipil (termasuk perempuan dan anak-anak) disebabkan oleh tentara Hamas yang sengaja menggunakan warga sipil sebagai tameng. Seakan-akan Hamas yang menjadi biang keladi pecahnya Agresi Militer tersebut. (Chomsky, ibid)

Berikutnya, menggunakan pendidikan untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negaranya (termasuk juga warga negara dunia ketiga dengan bantuan pendidikan plus kurikulumnya) sehingga nilai-nilai, pandangan hidup dan sistem kapitalis diterima dengan wajar dan normal. Hal itu dilakukan agar tidak ada perlawanan dari kalangan terdidik AS atas berbagai kebijakan yang anti-humanisme yang dilancarkan di seluruh dunia. Dan cara tersebut terbukti efektif. Buktinya, kalangan terdidik justru berbondong-bondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, multikulturalisme, dan HAM, tetapi bungkam seribu bahasa ketika kelas berkuasa melakukan pelanggaran HAM dan demokrasi.

Perang tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang selalu menimbulkan dendam dan kebencian yang panjang dan menyakitkan. Tapi perlawanan seringkali disebabkan karena penindasan yang sedemikian akut. Terlepas dari hal itu, untuk saat ini penting untuk segera mengibarkan bendera putih pada kedua belah pihak (baik Hamas maupun Israel) harus segera dilakukan. PBB semestinya tidak hanya memberikan kecaman semata, melainkan harus segara melakukan tindakan tegas terhadap Israel. Penting mengirimkan pasukan perdamaian dan memaksa kedua belah pihak (Hamas dan Israel) untuk duduk satu meja membicarakan perdamaian sebagai agenda penting membangun peradaban dunia.


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus FISIPOL Universitas Jember.

Kekerasan di Sekolah dan Demonstruksi Profesi Guru

Dimuat di SURYA, ....... Januari 2009


Kekerasan di Sekolah dan Dekonstruksi Profesi Guru
Oleh: Edy Firmansyah


Beredarnya rekaman video ponsel kekerasan seorang guru kesenian di salah satu SMP Negeri di Jombang terhadap muridnya semakin menambah panjang daftar kekerasan guru terhadap murid di Jawa Timur. Beberapa waktu lalu, di Jember, kita sempat dikejutkan oleh tindak kekerasan seorang kepala sekolah terhadap muridnya. Sang kepala sekolah tega memukuli 5 muridnya hingga mengalami luka agak serius.

Daftar tersebut bisa saja bertambah panjang kalau kita mau memasukkan perlakukan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional.

Padahal dalam salah satu rumusan kode etik guru yang dirumuskan PGRI pada kongresnya yang ke-13 pada tahun 1973 disebutkan bahwa guru secara perorangan atau bersama-sama secara kontinyu berusaha menciptakan, memelihara dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan dan demokratis sebagai lingkungan belajar yang efektif.

Dengan lain kata, guru yang sejatinya adalah guru yang mampu membawa kemaslahatan terhadap peserta didik dan mampu berperan sebagai menjadi kakak, sahabat serta orang tua yang penuh kelembutan dan kasih sayang sehingga dapat membantu perkembangan peserta didik secara utuh dan mandiri. (Mangunwijaya, 2004). Bukan sebaliknya, menjadi algojo yang berhak menentukan hitam putih peserta didik dengan memarginalkan nilai-nilai demokratis dan kemanusiaan lewat tindak kekerasan.

Yang menjadi pertanyaan ada apa dengan guru di Jawa Timur? Mengapa cara-cara kekerasan masih saja terjadi di era reformasi ini? Menurut John Dewey, guna memahami tindakan guru pada masa kini terutama yang berhubungan dengan pendidikan, maka pengalaman-pengalaman tertentu di masa sebelumnya khususnya yang terkait dengan proses pendidikan di sekolahnya hendaknya dijadikan sebuah landasan analisa.

Hampir sebagian besar guru-guru kita yang saat ini mengajar adalah hasil didikan orde baru. Dan bukan rahasia lagi kalau lebih dari 30 tahun orde baru menerapkan suatu sistem pengajaran dan pendidikan pada masyarakat melalui brainwashing (cuci otak) yang selaras dengan kepentingan politiknya. Langkah itu dilakukan melalui kurikulum yang terselubung dari sistem sekolah mulai dari TK (Taman kanak-kanak) sampai Perguruan Tinggi, dengan sistem militer, sistem taat, hafalan dan instruksi. Alhasil banyak out put pendidikan di masa orba sangat gagap dan reduksionis atau mengalami alienasi nilai-nilai kemanusiaan. Makanya tak heran jika para lulusan pendidikan orde baru kerap mengabsahkan cara-cara sebagai jalan menumbuhkan sikap kedisiplinan.

Ironisnya, masyarakat (yang notabene juga merupakan produk orde baru) seringkali menganggap wajar-wajar saja tindakan semacam itu. Mereka menilai tindakan kekerasan guru merupakan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi sekolah, yakni penerapan punishment bagi murid yang melanggar.

Padahal dalam banyak kasus tindakan kekerasan guru terhadap murid justru menimbulkan efek desktruktif yang membahayakan. Bukan saja menyebabkan jiwa peserta didik tertekan, depresi dan kerdil, melainkan—meminjam analisa Freud— kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid akan terekam dalam alam bawah sadarnya. Dan sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya. Terungkapnya kasus kekerasan di STPDN, tawuran antar pelajar, maraknya bunuh diri pelajar adalah sedikit contoh dari efek domino kekerasan di sekolah.

Lain dari pada itu, hukuman dengan kekerasan tidak akan membuat siswa jera, tetapi malah menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Dan jika kondisi ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi gelombang ketidakpercayaan publik pada sekolah. Karena sekolah semakin kehilangan roh sejatinya sebagai sarana untuk membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan, penipuan serta penindasan.

Kondisi diatas semakin diperparah dengan melencengnya paradigma guru saat ini. Saat ini guru tidak lagi dinilai sebagai sebuah panggilangan kemanusiaan, melainkan dianggap sebagai jalan lempang mencari pekerjaan. Artinya, banyak orang menjadi guru karena faktor ekonomi semata. Padahal dalam ekonomi berlaku prinsip, mencari laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Dalam pendidikan falsafah dasar ekonomi itu nampak pada proses belajar mengajar. Demi tuntutan ekonomis, para guru mengajar asal-asalan. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Mereka tak akan belajar dan menerapkan andragogis pendidikan (kemampuan bidang psikologis, psikiatri dan sosiologis) atau menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan kharakteristik siswanya. Cukuplah mengajar dengan gaya bank; guru serba tahu-murid tidak tahu apa-apa, guru sebagai tuan dan murid dianggap hamba.

Benar memang saat ini telah diberlakukan apa yang disebut sertifikasi guru untuk meningkatkan kualitas guru. Tetapi dalam manifestasinya sertifikasi justru jauh panggang daripada api. Yang terjadi adalah rekayasa portofolio, jual beli sertifikat seminar yang kesemuanya bermuara pada ambisi ekonomi belaka.

Karena itu kekerasan tidak akan berakhir jika sejarah kelam pendidikan guru di masa lalu dan orientasi guru tidak dibongkar. Untuk itu penting kiranya kiranya membuka sekolah antikekerasan bagi calon guru yang akan mengajar. Sekolah tersebut berisi kurikulum kesenian, sastra, psikologi dan humor. Para pengajarnya haruslah para pakar psikologi, kesenian dan sastra. Dengan demikian para guru bisa mendapatkan roh sejati dari memilih karir sebagai guru. Dengan dekonstruksi semacam itu sifat banal yang terekam akibat hasil didikan orde baru bisa berubah menjadi sikap santun dan berprikemanusiaan. Dengan semakin tebalnya jiwa kemanusiaan, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri para guru akan tenggelam dengan sendirinya.


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya . Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).