WAKTU

JEDA

Selasa, 15 Januari 2013

API TCHUNA

Api Tchuna

Malam itu, 16 Desember 2012, gigil pelan-pelan menusuk punggung kota. Tchuna, 23 tahun, bersama kekasihnya, baru saja usai menonton di sebuah bioskop di New Delhi, India. Setelah beberapa saat berdiri di pinggir jalan mereka kemudian menghentikan sebuah bus. Tujuannya, pulang ke rumah. Tapi naas bagi mahasiswi jurusan Fisioterapi Fakultas kedokteran di India itu. Ia menumpang bus petaka.

Enam penumpang laki-laki yang sejak awal telah berada dalam bus tiba-tiba merubungnya. Satu diantaranya memeluk dan membungkam mulutnya. Yang lain menghajar kekasihnya dengan sebuah pentungan besi, hingga pingsan. Kemudian dimulailah aksi biadab itu. Tchuna diperkosa bergiliran selama satu jam. Sementara bus terus melaju dengan tenang berkeliling kota New Delhi yang penuh gemerlap lampu merkuri. Malah sempat melewati beberapa pos polisi. Tak hanya diperkosa bergiliran, gadis cantik itu juga dihajar hingga babak belur. Tapi Tchuna terus melawan; menggeliat, meronta, menendang. Mempertahankan harga diri dengan sisa tenaga yang penghabisan. Tapi perlawanan harus berakhir dengan kekalahan. Ia terus “dihancurkan.” Bahkan sebuah batang besi dimasukkan ke dalam vaginanya hingga ususnya nyaris keluar. Dalam keadaan kritis, tak sadarkan diri, bersimbah darah dan telanjang, Ia dilempar begitu saja ke jalanan.

Negeri Hidustan berguncang. Ribuan orang berdemonstrasi menuntut pelakunya dihukum setimpal. Demonstrasi yang kebanyakan diikuti perempuan menyebar di sudut-sudut kota India. Di Mumbai ratusan perempuan berdemonstrasi dengan menyalakan lilin sebagai bentuk duka. Beberapa diantaranya mewarnai tangan mereka dengan darah sebagai protes terhadap aksi perkosaan. Yang terbesar berada di New Delhi di jalan menuju istana Presiden Pranan Mukherjee. Ribuan demonstran berbaris menutup jalan-jalan sambil berorasi dan menggelar poster. Ribuan demonstran merangsek masuk istana. Bentrok dengan polisi. Menuntut pelaku dihukum berat; mati. Menuntut pula diberlakukan perlindungan khusus terhadap kaum hawa.


New Delhi memang memiliki kejahatan seks tertinggi dibanding kota lain di India. Tiap 14 jam terjadi penyerangan seksual dan membuat trauma pada korbannya. Ironisnya, para pemerkosa kerap lolos dari jeratan hukum. Bahkan kebanyakan kasus perkosaan yang dilaporkan korban juga tak jelas nasibnya di tangan polisi India.

Adalah Vandana Siva, feminis kelahiran India yang mengatakan bahwa kekuasaan maskulinitas selalu mengusung persaingan, eksploitasi dan penindasan. Kekuasaan yang maskulin termanifestasikan dalam bentuk-bentuk militerisme, otoritarianisme dan feodalisme-konsevatif yang anti kritik. Ia bersifat kaku dan keras. Ia juga menempatkan laki-laki sebagai pusat segala kekuasaan yang dominan. Sekaligus menenggelamkan posisi perempuan jauh ke dalam jurang sementara di atasnya laki-laki berdiri berkacak pinggang.

Dan kekuasaan bukanlah sebuah lembaga semata. Ia bisa merembes ke mana-mana dalam berbagai bentuk relasi. Termasuk dalam relasi seksualitas antara kaum laki-laki dan perempuan. Dalam maskulinitas laki-laki bisa memperoleh kesenangan maksimum dari pelampiasan hasrat seksual terhadap perempuan, memperoleh kesenangan maksimum dari berbagai kebijakan yang mendiskreditkan perempuan, memperoleh kepuasan maksimum dari komersialisasi seks di mana perempuan hanya sekedar obyek.

India sebagai negara di mana patriakat begitu kokoh mencengkram kebudayaan masyarakatnya, hidup dalam kekuasaan maskulin ini. Tak heran jika hukum atas tindakan pelecehan seksual laki-laki terhadap perempuan di negeri Hindustan ini mandul. Laporan perkosaan tak pernah ditanggapi serius oleh polisi. Beberapa gadis korban perkosaan terpaksa gantung diri, mengakhiri hidup karena tak tahan menanggung aib. Dan daftar kasus perkosaan terus bertambah panjang selama tak ada perlawanan dan perubahan sistem yang radikal, di mana perempuan mendapatkan posisinya yang terhormat. Buktinya, sementara gelombang protes atas perkosaan yang menimpa Tchuna terus membesar, pada 1 Januari 2012, seorang gadis 17 tahun kembali diperkosa oleh dua pemuda di sebuah pesta Tahun baru di zona perumahan kelas menengah di Ibu kota India.

Karenanya kekuasaan feminitas, kata Vandana Siva, harus lahir dan diperjuangkan kelahirannya sebagai counter terhadap kekuasaan maskulin. Feminitas adalah ideologi yang bercirikan perdamaian, keadilan yang sama di mata hukum, keselamatan dan kebersamaan. Masyarakat hidup dalam solidaritas bersama membangun negara bangsa yang mandiri tanpa dominasi asing dan dominasi kebijakan yang penuh penindasan. Dalam sistem kapitalisme, kekuasaan maskulinitas yang dominan. Dan dominasi yang kerap menindas itu haruslah jadi musuh bersama. Bukan hanya perempuan saja. Tapi masyarakat pekerja dan warga negara seluruh dunia. Melalui pandangannya, Vandana Siva seakan sedang meniup peluit panjang tentang bahaya kapitalisme dan jalan mana yang harus ditempuh menuju sosialisme.

Angin duka terhadap tragedi yang menimpa Tchuna berhembus ke seantero dunia. Anyir darah kepedihan tercium juga ke Indonesia yang jaraknya ribuan mil jauhnya dari India. Kita berhak mengutuk. Tapi jangan lupakan gajah di pelupuk. Negeri ini juga memiliki  lembar-lembar sejarah yang penuh luka siksa terhadap perempuan. Pada tahun 1965, ribuan perempuan, atas tuduhan komunis, diburu, disiksa, diperkosa. Ratusan diantaranya meregang nyawa dihujam begis pedang kekuasaan. Pada tahun 1989 hingga 1999, saat Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Orde Baru, ratusan perempuan turut juga mengalami siksaan dan pelecehan seksual. Di masa kekuasaan orde baru pula, Marsinah mengalami hal serupa seperti yang dialami Tchuna. Pada awal Mei 1993, tubuh buruh pabrik alroji di Sidoarjo itu ditemukan tak bernyawa dengan keadaan penuh luka, pergelangan tangan lecet akibat ikatan yang terlalu kencang serta tulang selangkangan dan vagina hancur, di sebuah gubuk pinggir sawah di Nganjuk, Jawa Timur. Bedanya Marsinah dirusak kelaminnya karena berdemo menolak PHK sepihak terhadap rekan kerjanya. Dan pelaku utamanya tak tersentuh hukum sampai sekarang.

Rejim berganti. Tapi penindasan pada perempuan tak pernah mati. Berdasarkan catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2011 menyebut ada sekitar 119.107 kasus kekerasan terhadap  perempuan, di wilayah domestik maupun publik. Angka ini meningkat 13,32 persen dari tahun sebelumnya.

Lalu pada tahun 2012 masyarakat negeri ini juga dikejutkan dengan maraknya kasus perkosaan di angkot Jakarta. Ironisnya beberapa politisi justru menuding perempuan yang notabene korban sebagai biang pemicu birahi karena memakai rok mini. Sungguh komentar yang keji dan menikam hati. Tapi tak ada gelombang demo besar membahana atas pelecehan pada perempuan seperti di India. Kita barangkali terlalu pengecut untuk memberikan pembelaan pada perempuan. Memberikan perlawanan pada rejim yang menganggap selangkangan perempuan sekedar pemicu birahi belaka. Sementara kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan kian menggurita.

Tchuna akhirnya menyerahkan nyawanya pada el maut pada 29 Desember 2012 pagi di Mount Elizabeth Hospital, Singapura. Tim dokter Negeri Singa Putih itu tak mampu menyelamatkan nyawanya. Pertarungannya usai sudah. Tapi kematiannya tak sia-sia. Nyawanya lepas menjadi api. Ia telah jadi martir bagi bangsanya sendiri. Sementara ratusan perempuan di negeri ini terus mengucurkan darah dari tubuh dan selangkangannya; dianiaya dan diperkosa di negeri sendiri. Sebagian yang lain mengalami hal serupa sebagai babu di negeri tetangga. Dan kita hanya mengelus dada sekedar rasa iba. Tak lebih. Dan kita gagal memberi harga yang pantas pada perempuan yang tertindas. Padahal dari rahim perempuanlah manusia lahir dan memberi warna pada dunia. Pada tanah airnya.


Sabtu, 05 Januari 2013

Love in Die


Love in Die


Malam Tahun baru 2013 masih penuh warna duka bagi keluarga Kurnianto. Belum kering airmata salah satu pegawai kantor berita radio 68H (KBR68H) itu saat mengenang kematian tragis yang menimpa Ayu Tria Desianti, anak sulungnya. Sore itu, Rabu, 26 Desember 2012, Kurnianto bergegas membawa anaknya ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Sebab kondisi Ayu tiba-tiba drop. Pembuluh darah bocah berusia 9 tahun penderita leukemia itu pecah. Ia harus mendapat pertolongan cepat. Tapi naas bagi Ayu. Hari itu Ruang ICU RS Harapan Kita yang biasa digunakan untuk cuci darah dan kemoterapi sedang digunakan syuting sinetron Love in Paris. Kru sinetron lalu lalang di ruang yang mestinya steril itu. Pelayanan terhadap pasien terganggu. Ayu makin kritis.

Pada Kamis 27 Desember 2012 dini hari, Ayu mengalami koma. Jantungnya berhenti. Pihak rumah sakit berusaha memompa jantungnya. Sementara syuting sinetron masih berlangsung di RS itu. Tapi terlambat. Ayu meregang nyawa. Bocah manis yang menderita kanker darah sejak usia 2 tahun itu dinyatakan meninggal pada pukul 02.30.

Berita kematian itu menyebar ke jejaring sosial. Orang-orang teriak. Orang-orang mengutuk. Orang-orang menghujat sambil bertanya-tanya dengan rasa geram di dada. Bagaimana sebuah ruang ICU di rumah sakit yang mestinya steril bisa menjadi lokasi syuting? Begitu ‘hebatkah” sinetron Indonesia hingga harus menggunakan lokasi beneran, tidak menggunakan lokasi buatan tanpa harus mengorbankan penanganan pasien yang sedang kritis?

Femmy Sagita, Sutradara sinetron Love in Paris, angkat bicara soal itu. ”Pas kemarin malam menunggu barang, kita bukan di ruang ICCU. Tapi ruang biasa yang kami sewa. Dokter kepala menyampaikan memberi izin syuting di ICCU real set. Kita juga tanya, emangnya boleh? Katanya enggak apa-apa, aman syuting di sini, tidak ada pasien. Akhirnya peralatan dari luar kita cancel," jelasnya pada berita online okezone.com.

Namun Kepala Instalasi Humas RS Harapan Kita, Sahrida, saat menggelar jumpa pers di kantornya, membantah jika lokasi syuting yang digunakan adalah ruang ICU. Menurutnya, ruangan yang dipakai untuk lokasi syuting adalah ruang penyimpanan alat. Di ruangan itu, disimpan alat-alat kesehatan yang bisa dipakai kalau dibutuhkan untuk darurat. Tapi letaknya berada di satu lantai dengan ruang ICU. ”Jadi sama-sama di lantai dua letaknya," tegasnya.

Terlepas dari perdebatan sutradara Love in Paris dan Rumah Sakit Harapan Kita, kematian Ayu Tria adalah salah satu bukti dari banyak kasus serupa mengenai tumpulnya sistem kesehatan di negeri ini. Ya. Sistem Kesehatan yang berorientasi pasar terbukti gagal dalam upaya mensejahterakan umat manusia. Sebab dalam sistem pasar, yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Akibatnya pasien hanyalah menjadi korban dari kerakusan. Ini bisa dilihat dari mahalnya biaya kesehatan. Maraknya kasus malapraktik yang menimpa pasien adalah contoh lainnya. Termasuk juga rumah sakit jadi lokasi syuting demi menangkup uang dan pencitraan. Ironisnya, dokter dan civitas kesehatan lainnya masih dianggap sebagai “dewa penolong” tanpa cela, tanpa kepentingan politik ekonomi dalam isi kepalanya.

Tentu kita merindukan sebuah rumah sakit seperti Gesundheit! Institute. Sebuah klinik pengobatan gratis di West Virginia yang didirikan oleh Patch Adam. Patch Adams mengembangkan sebuah rumah sakit yang menggunakan tawa sebagai obat, cinta sebagai mata uangnya dan kepercayaan serta dukungan sebagai fondasi pembangunannya. Sebab dalam praktek kedokteran yang ideal, menyembuhkan merupakan interaksi antarmanusia yang penuh kasih sayang, bukan transaksi bisnis. Kaum profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan pasien; dokter dan seluruh staf kesehatan lainnya harus berusaha keras membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit

Karena konsep dasar pelayanan kesehatan di Gesundheit! Institute adalah cinta dan persahabatan, maka biaya haruslah dihindarkan. Artinya, melayani adalah tugas kemanusiaan. Dan tugas mulia itu tidak butuh bayaran. Biaya yang tidak terkendali dalam bidang kedokteran mendorong keserakahan. Dan keserakahan adalah musuh utama persahabatan. Dalam perhabatan yang lahir dan dibangun adalah berbagi dalam segala hal baik susah dan senang. Itulah sebabnya rumah sakit Patch Adams mirip sebuah sirkus. Dokter dan staf kesehatannya berpakaian badut. Mereka melucu. Pasien tertawa. Sebab humor adalah obat mujarab dari segala penyakit. Humor sebagai pemberi kesehatan telah ada sepanjang sejarah kedokteran. Mulai Hiprokrates sampai Sir William Osler. Buku mainstream kedokteran tak menyangkal itu.

Tapi rumah sakit di negeri ini bukan Gesundheit! Institute. Tak ada humor di rumah sakit negeri ini. Yang ada ironi dalam tajam jarum suntik, lentik jemari suster dan isak tangis yang santer. Rumah sakit negeri ini adalah abang punya uang, abang akan dapat pelayanan standar kesehatan maksimal. Tapi jika tak punya uang, dengan seribu satu rintihanpun abang tetap akan ditendang. Miris. Ya. Tapi begitulah faktanya. Di kolong langit manapun semua sistem kesehatan yang berorientasi pasar selalu penuh tumbal manusia dan kemanusiaan.

Dan Ayu Tria adalah salah satu dari banyak tumbal sistem kapitalisme kesehatan. Bocah manis yang terus memperjuangkan hidupnya dari gempuran leukemia itu akhirnya kalah. Ia meninggal diantara hiruk pikuk syuting sinetron Love in Paris yang dilakukan di rumah sakit tempat ia biasa berobat. Bukan pembunuhan langsung sebenarnya. Tapi melakukan syuting di ruang ICU tempat di mana pasien-pasien kritis tengah bersabung nyawa adalah tindakan fatal. Kematian Ayu bukanlan sinetron. Dan   Love in Paris kini menjelma Love in Die.

Suara terompet tahun baru masih membahana dalam kepala kita. Warna-warni kembang api berlesatan ke udara. Mewarnai langit kelam berselimut mendung pada malam pergantian tahun yang dingin. Tahun baru 2013 tiba. Dan masih akan terdengar lenguh kesakitan dan isak duka bagi kaum papa. Saat angka-angka disusun kembali di kalender, orang miskin terus menjerit atas segala ketidakadilan yang melindasnya. Dihadapan sistem kesehatan berbasis pasar orang miskin tetap dilarang sakit. Dan hujatan demi hujatan atas segala ketidakadilan tak berperikemanusiaan di jejaring sosial twitter tinggallah sebuah hujatan selama tak ada perlawanan. Kejadian serupa dalam bentuknya yang lain akan terus berulang. Meminjam Widji Thukul dalam sajak “mendongkel orang-orang pintar;” begitu kering rasa jengkel, begitu sign out dari akun twitter, dunia tak bergerak. Kebengisan kapitalisme terus menampar-nampar di depan kita. Bahkan di wajah kita sendiri. Selamat tahun baru 2013.