WAKTU

JEDA

Selasa, 30 September 2008

Religiositas Toron dan Kekalahan Kaum Urban

Dimuat di METROPOLIS JAWA POS, 30 September 2008



Religiositas Toron dan Kekalahan Kaum Urban
Oleh: Edy Firmansyah



Mudik menjadi ritual tahunan yang mewarnai hari-hari menjelang lebaran di negeri ini. Masyarakat berjibaku menerobos hiruk-pikuk lalu lintas, rela berdiri memadati gerbong kereta api dan kapal ferry demi apa yang disebut ”pulang kampung.” Sesungguhnya apa yang dikejar masyarakat negeri ini dengan tradisi mudik?

Dalam masyarakat Madura tradisi mudik lebih dikenal dengan istilah Toron (baca: turun). Di manapun orang Madura merantau, entah di pulau-pulau kecil atau besar, entah di kota maupun di pedalaman, tiap pulang ke kampung halaman, bahasa yang digunakan adalah Toron. Berbeda dengan sebutan tradisi mudik di masyarakat Jawa dan Sunda. Pulang ke kampung halaman bagi masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah Munggah (baca: naik).

Namun tulisan khusus membahas mudik dari budaya madura. Pasalnya, orang madura dikenal sebagai masyarakat perantau. Hampir di semua wilayah di nusantara ini terdapat orang Madura. Bahkan meski tak sedikit orang-orang madura di rantau yang hanya menjadi pengemis, PKL, anak jalanan, gali, pencopet dan pekerjaan kasar lainnya, mereka merasa bangga bisa berada di luar madura. Tentu saja pandangan tersebut harus diluruskan.

Bahasa Toron barangkali merujuk pada hakekat asal muasal manusia. Dalam masyarakat Madura ada lima manusia yang harus dipatuhi segala petuah dan diamini segala perbuatannya), yakni Bapa’ Babu’ ghuruh, ratoh (Ayah, ibu, guru dan raja). Nah, istilah toron itu untuk kembali bersembah sujud atau sungkem pada kedua orang tua (bapak ibu). selain itu, mudik juga digunakan untuk menghormati nenek moyang dan tanah kelahiran.

Artinya dalam tradisi toron, tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menggadaikan barang, berhutang kesana kemari kemudian menempuh perjalanan panjang meskipun berjarak ratusan kilometer—bahkan rela antre berjam-jam di loket bus, stasiun kereta api—hanya untuk bertemu dengan sanak famili barang sehari dua hari di hari lebaran.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa tradisi mudik atau toron dilakukan justru menjelang dan mendekati selesainya puasa yang merupakan bulan suci bagi umat Islam Indonesia? Menurut Jacob Somardjo, salah seorang budayawan Indonesia, gejala ini menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tingkat religiositasnya tinggi sejak dahulu kala. Hidup ini bukan masalah sekular belaka. Hidup ini selalu merupakan bagian, menyatu, dengan hal-hal metafisika. Hidup ini fisikal-metafitrikal, halus-kasar, sakral-profan, rohaniah-badaniah, surgawi-duniawi. Substansi ini amat terasa hadir selama bulan Ramadan. Di situ manusia merasa amat dekat dengan Allah, mematuhi perintahnya, tunduk padanya seratus persen, manunggaling kawula Gusti.

Dalam konteks inilah Idul Fitri kemudian menjadi klimaks dari arus mudik. Ketika praktis sebelas bulan lamanya manusia disibukkan dengan segala aktivitas yang bisa memalingkan dirinya dari potensi keilahian, maka melalui Idul Fitri, manusia dituntut mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiannya. Jika dalam paradigma modernisme, kebermaknaan dilihat dari ukuran material, maka dengan Idul Fitri kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuannya dalam mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih dengan sesama manusia.

Jadi mudik dalam hal ini diartikan sebagai bentuk penyerahan diri. Penyucian diri dari segala laku lampah yang buruk selama diperantauan agar fitrah diri manusia yang awalnya dari tanah kembali mewujud dalam diri individu-individu.

Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Menurut Pramodya Ananta Toer manusia dilahirkan sejatinya untuk mencipta dan bekerja. Tapi bukan kerja menghamba. Nah, kondisi di perkotaan justru sebaliknya. Masyarakat urban berkerja sebagai ‘kuda’, tidak hanya ratusan tapi ribuan masyarakat urban yang terpaksa menjadi kuli-kuli untuk sekedar mendapat sesuap nasi.

Sampai disini bisa dilihat—Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—bahwa gelombang mudik yang terjadi di masyarakat Madura (barangkali juga Jawa) bukanlah gelombang kemenangan. Cerita soal kemenangan atau soal kekayaan selama merantau semua hanyalah bualan tentang kisah kesenangan orang-orang mapan. Bukan milik masyarakat urban itu sendiri. Kembalinya mereka ke kampung halaman sebenarnya membawa tragedi tentang kekalahan, karena selama bertahun-tahun merantau di kota besar, sebenarnya mereka telah jadi ‘sampah’.

Karena itu saya sepakat dengan Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul Djakarta ) yang memberikan peringatan pada para pemudik untuk mengembangkan tanah kelahirannya. ”Lupakan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar daerah bisa menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Sehingga daerah bisa juga melahirkan bunga bangsa di kemudian hari.” (Almanak Seni, 1957)

Dengan kata lain mudik kali ini harus mampu melahirkan pahlawan-pahlawan baru. Yakni, pahlawan yang bisa membendung tiap-tiap orang yang hendak hidup dan memadatkan kota besar. Karena usaha tersebut bukan solusi efektif mengentaskan kemiskinan, melainkan menggali semakin dalam lobang hitam keterpurukan. Nah, siapa yang akan memulai?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pemudik Asal Madura. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Senin, 29 September 2008

Lebaran dan Fitrah Kemanusiaan Sejati

Dimuat di Harian SURYA, 29 September 2008


Lebaran dan Fitrah Kemanusiaan Sejati
Oleh: Edy Firmansyah



Umat Islam mengakhiri bulan Ramadhan dengan merayakan Idul Fitri atau Lebaran. Sejatinya makna silaturahmi damai dan solidaritas-hospitalistik terpancar kuat dalam tradisi lebaran. Bahkan melalui tradisi lebaran, kodrat keagamaan yang sering cenderung eksklusif mengkotak-kotakkan dan ujungnya memecah belah persatuan dan kesatuan pelan-pelan mampu terkikis.

Betapa tidak, usai sholat Id semua manusia secara bergelombang merobohkan dinding-dinding dendam, konflik, rasa benci, rasa iri dengan berbagi maaf. Saat itulah semangat inklusif dan memberi ruang harmoni yang melahirkan damai dalam kehidupan bersama bersemi dengan indah.

Semangat itulah yang sejatinya merupakan iman tertinggi yang lahir dari sisi terdalam kemanusiaan. Dimana semua manusia dariberbagai golongan, ras, etnik dan agama sebenarnya memiliki kedudukan yang sama di hadapan tuhan. Menurut Fowler dalam bukunya Stages of Faith: The Psychology of Human Development and The Quest for Meaning (1981) iman manusia mengalami perkembangan, dari tahap intuituf-proyektif, mitis-literal, sintesis-konvensional, individual-reflekstif, konjungtif ke tahap universal. Dalam perkembangan tertinggi, iman dihayati sebagai upaya menginkarnasi dan mengaktualisasi semangat berlandaskan inklusifitas dan universalitas.


Disini, perhatian dan kepentingan tidak lagi terkungkung batas-batas umat atau kelompok sendiri. Melainkan lebih memberikan penghargaan kepada pihak lain sekaligus dorongan untuk membangun persaudaraan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. (Prakosa, dalam Fitrah Manusia, Kompas, 12/08/07). Artinya, semakin seseorang memiliki kedewasaan iman, ia akan semakin bersikap terbuka kepada pihak lain yang berbeda darinya.

Ironisnya, ternyata masih sulit menemukan pemeluk agama dengan keimanan sejati sebagai pembawa bendera perdamaian ditengah maraknya tindakan teror, tindak kekerasan atas nama agama, diskriminasi pemeluk agama mayoritas terhadap pemeluk agama minoritas.

Padahal sungguh betapa nikmatnya, jika saja setiap umat manusia memahami ajaran fitrah paling fundamental sebagaimana diutarakan Fowler diatas. Niscaya kekerasan dan teror tak akan terjadi dalam masyarakat dunia. Semua umat manusia akan hidup dalam kedamaian dan rasa persaudaraan sebagai makhluk Tuhan. Sayangnya, kehidupan umat manusia selalu penuh konflik disertai kekerasan hanya karena berebut kuasa dan kekayaan. Sejarah umat manusia selalu merupakan kisah pertarungan setan dan malaikat, manusia saleh dan manusia culas yang munafik, yang sering dimenangkan setan yang piawai untuk berlaku manis dan menyembunyikan maksud jahatnya, kadang atas nama Tuhan dan keimanan itu sendiri.

Hal itu karena kita selalu memaknai kitab suci dengan ambisi mengubah dunia kita lebih cepat dari kemampuan kita mengubah diri sendiri. Sehingga kita menerapkan makna kitab suci yang ditulis dengan latar sejarah masa lampau pada masa kini. Kita terbiasa menoleh ke belakang. Padahal peristiwa apapun alangkah baiknya kita tidak menoleh kebelakang. Selalu menatap ke masa depan adalah langkah bijak membangun peradaban manusia.

Karena itu di hari kemenangan ini, menurut Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Sufi Pinggiran; Menembus Batas-batas, penting kiranya mempertanyakan kembali, apakah sebenarnya yang kita cari dalam hidup berbatas badan wadag yang dikenai sakit dan jiwa ragawi yang dikenai kesedihan ini? Tanpa kritik atas hasrat ego keimanan pada tuhan itulah keagamaan manusia tak lebih dari sekedar mencari alasan untuk membunuh orang lain atas nama Tuhan dan kebenaran ajaran-Nya. Tuhan pun diperkosa bagi kepentingan nafsu serakah dan hasrat seksual melalui kuasa-kuasa politik dan ekonomi. Dan jika kondisi ini yang terjadi maka kita, manusia, tak lebih dari sekedar hewan berakal.

Karenanya Idul Fitri kali ini haruslah digiring menuju ’kemenangan’ yang sejati. ’kemenangan’ itu menurut Hassan Hanafi dalam Bukunya Islam Kiri adalah menyuarakan pembelaan pada kaum tertindas, lemah dan miskin, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak orang miskin dari orang kaya dan menjadikan manusia sama rata kecuali atas dasar ketaqwaan dan amal saleh. Dengan meningkatkan kepedulian dan berada di garda depan perjuangan membela kaum tertindas itulah sebenarnya merupakan jalan universal menumbuhkan kedewasaan iman. Karena perjuangan terhadap ketertindasan bukanlah milik segelintir penganut agama atau aktivis kemanusiaan, melainkan merupakan kewajiban setiap manusia.

Itulah sebenarnya yang menjadikan inti mengapa agama diturunkan ke bumi. Yakni untuk melahirkan ideologi yang bercirikan perdamaian, keselamatan dan kebersamaan bisa diwujudkan. Bukankah ideologi itu yang menjadikan manusia mampu kembali ke fitrah secara kaffah? Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriah. Maaf Lahir dan Batin.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pemerhati Masalah Keagamaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Selasa, 23 September 2008

Humor Patch Adams vs Sistem Kesehatan Konvensional

Dimuat di MEDIA INDONESIA, 20 September 2008


Humor Patch Adams Vs Sistem Kesehatan Konvensional
Oleh: Edy Firmansyah



Judul : Patch Adams; Kisah Inspiratif Seorang Dokter Eksentrik yang Menyembuhkan Penyakit dengan

Humor dan Kebahagiaan
Penulis : Patch Adams M.D dan Maureen Mylander
Penerjemah : Ibnu Setiawan
Penerbit : B-First (Bentang Pustaka Groups), Yogyakarta
Cetakan : I, April 2008
Tebal : xxii + 206 Halaman


Sistem Kesehatan yang berorientasi pasar terbukti gagal dalam upaya mensejahterakan umat manusia. Sebab dalam sistem pasar, yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Akibatnya pasien hanyalah menjadi korban dari kerakusan. Ini bisa dilihat dari mahalnya biaya kesehatan akhir-akhir ini.

Di Amerika pengeluaran untuk perawatan kesehatan meningkat tajam daripada pengeluaran yang lain—makanan, perumahan, transportasi dan pakaian. Menurut Adminstrasi Pembiayaan Perawatan Kesehatan Negara, perawatan kesehatan menempati sebesar 12 persen dari produk nasional bruto pada 1990 dan meningkat menjadi 16,4 persen pada tahun 2000. Di Indonesia tak jauh beda. Pemerintah berdasarkan Undang-Undang No. 45 tahun 1999 pasal 32 mempunyai kewajiban membayar sebagian dari iuran layanan kesehatan untuk rakyat. Dan ini ditempuh misalnya melalui kartu asuransi kesehatan (Askes) untuk para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Askes Gakin untuk mereka yang miskin. Tapi buktinya baik Askes maupun Askes Gakin tidak mampu mengikuti gerak kenaikan ongkos kesehatan yang jauh lebih cepat. Sebab tarif pelayanan kesehatan justru dibiarkan melonjak antara 25 hingga 75 persen. Akibatnya, hanyak untuk menebus obat generic penurun panas saja, penduduk miskin tetap merogoh kantong lagi. Kondisi di Indonesia sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari sistem kesehatan dunia yang menganut kapitalisme pasar.

Hampir di sebagian besar dunia, sistem kesehatan yang berorientasi pasar, pasien tak hanya dipandang sebagai orang sakit, melainkan konsumen yang perlu dibujuk terus menerus untuk menkonsumsi obat. Sebab obat adalah salah satu produksi massal kesehatan yang mampu meraih laba besar. Padahal ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa obat justru menambah parah suatu penyakit. Sebuah studi kepustakaan yang dilakukan oleh Knutt Schroeder membuktikan bagaimana obat batuk yang banyak beredar di pasaran menghasilkan efek-efek buruk bagi esehatan pasiennya. Berbagai macam efek samping seperti mulut kering, kepala pusing, dan susah tidur justru memperparah kondisi penderita.

Melihat fenomena tersebut Patch Adams, seorang revolusioner sosial, dokter sekaligus badut mendirikan Gesundheit! Institute. Sebuah klinik pengobatan gratis di West Virginia. Patch melakukan metode pendekatan hubungan personal kepada pasien untuk membantu mereka sembuh, bukan semata pendekatan klinis yang diterapkan rumah sakit pada umumnya. Uniknya, tiap kali melakukan pemeriksaan atau uapaya pendekatan personal ia seringkali memakai hidung badut berwarna merah untuk menghibur anak-anak kecil yang sakit ataupun mengajak pasien yang gelisah berjalan menuruni bebukitan. Dan buku yang ada di tangan pembaca ini adalah proses panjang Patch Adam bagaimana ide ’melawan’ sistem pengobatan konservatif berorientasi kapitalis itu dibangun.

Patch Adams mengembangkan sebuah rumah sakit yang menggunakan tawa sebagai obat, cinta sebagai mata uangnya dan kepercayaan serta dukungan sebagai fondasi pembangunannya. Sebab dalam praktek kedokteran yang ideal, menyembuhkan merupakan interaksi antarmanusia yang penuh kasih sayang, bukan transaksi bisnis. Kaum profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan pasien; staf, dokter harus berusaha keras membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit (hal. 47).

Karena konsep dasar pelayanan kesehatan adalah cinta dan persahabatan, maka biaya haruslah dihindarkan. Artinya, melayani adalah tugas kemanusiaan. Dan tugas mulia itu tidak butuh bayaran. Pasalnya, biaya yang tidak terkendali dalam bidang kedokteran mendorong keserakahan. Dan keserakahan adalah musuh utama persahabatan. Dalam perhabatan yang lahir dan dibangun adalah berbagi dalam segala hal baik susah dan senang. Itulah sebabnya rumah sakit Patch Adams mirip sebuah sirkus.

Bukan saja karena staf rumah sakit Gesundheit! Institute tersebut tidak hanya dokter dan perawat saja. Melainkan para ahli pengobatan alternatif seperti akupuntur, sinsei dan jamu tradisional. Tetapi juga para dokternya dan stafnya kerap berpakaian badut dan melucu sehingga membuat pasien tersenyum dan tertawa. Mengapa? Karena humor adalah obat semua penyakit. Humor telah diperkenalkan secara gencar sebagai pemberi kesehatan di sepanjang sejarah kedokteran, mulai dari hiprokrates sampai Sir William Osler. Bahkan tak sedikit para pasien yang ternyata bisa sembuh setelah menderita penyakit yang kronis karena humor. Benar memang kebenaran tersebut hanyalah berdasarkan pengalaman, meski demikian buku kedokteran mainsream belum menyangkalnya.(hal. 87).

Barangkali karena dianggap sebagai hiburan, setiap bulan ada sekitar ratusan bahkan ribuan orang mengunjungi rumah sakit tersebut. Sebagian selama sejam, sebagian selama berhari-hari. Jumlahnya bervariasi dari satu sampai lima puluh tama yang bermalam setiap malamnya. Mereka datang karena mendengar klinik tersebut menawarkan pengobatan alternatif, tidak memungut bayaran alias gratis dan bersenang-senang. Pasiennya beragam. Mulai orang-orang yang ingin bunuh diri, orang yang berkelahi dengan orang tercinta, hingga penderita penyakit kronis. Semuanya hidup dalam sebuah komunitas seerti babes in Toyland: naif, lugu dan bodoh.

Bagaimana bisa bertahan tanpa penghasilan? Ternyata para stafnya rumah sakit tersebut bertahan hidup dari profesi sambilan dengan bekerja di tempat lain dengan sistem paruh waktu. Setiap orang harus menyumbang $ 19 per blan untuk sewa gedung. Mereka juga bertahan hidup dari hadiah dari teman-teman dekat. Mulai dari pakaian, musik, perabotan berkebun, kendaraan bekas, bahkan binatang piaraan. Hal tersebut dilakukan hanya demi melayani pasien agar mereka bisa menikmati hidup sehat dan berbahagia.

Karenanya buku ini layak untuk menjadi bacaan wajib untuk para pasien, dokter dan seluruh lapisan masyarakat bahwa biaya kesehatan murah dan rumah sakit gratis bukanlah sebuah mimpi. Patch Adams melalui Gesundheit! Institute telah membuktikannya. Dan saya rasa semua dokter mampu melakukannya, kecuali mereka yang anti terhadap perubahan.


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Unversitas Jember.

Memotong Mata Rantai Korupsi di Daerah

Dimuat di BALI POST, 20 September 2008



Memotong Mata Rantai Budaya Korupsi di Daerah
Oleh: Edy Firmansyah



Problem korupsi di negeri ini kian hari kian parah. Betapa tidak, korupsi seakan telah menjadi virus yang menjalar hampir di semua sendi lembaga pemerintahan. Tidak hanya di pusat saja, virus tersebut kini juga menyebar di daerah sebagai efek otonomi daerah. Ironisnya, pelakunya justru kaum elite yang sejatinya menjadi panutan masyarakat.

Kasus penyelewengan dana operasional dan bantuan hukum di DPRD Jember yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp. 485 juta, yang kemudian menyeret ketua dan wakil ketua DPRD ke meja hijau, serta kasus pemberian dana gratifikasi dari Pemkot Surabaya untuk anggota DPRD Surabaya dengan kerugian negara mencapai Rp. 720 juta merupakan puncak gunung es dari kasus korupsi di daerah. Tidak menutup kemungkinan kasus korupsi di daerah lain yang belum terungkap masih terus berlangsung.

Karenanya tak keliru jika Transparancy International (TI) menempatkan Indonesia dalam lima besar negara terkorup di dunia. Disejajarkan dengan Pakistan, Kenya, Cina, Kamerun, Nigeria, India, Rusia dan Bangladesh yang juga merupakan negara sedang berkembang dengan gejolak politik dan kecamuk korupsi yang akut.

Parahnya lagi, para koruptor (atau yang disangka korupsi) di negeri ini justru masih mendapatkan perlakuan istimewa. Misalnya, diberikan tempat khusus dalam tahanan yang terdapat fasilitas layaknya hotel. Mendapat penjagaan ketat dan bisa berkomunikasi dengan keluarga. Banyak kalangan yang menilai perlakukan ini dikarenakan dalam lembaga pengadilan masih terdapat counter opinion, sehingga tidak pernah ketemu antara penghukuman dan pembebasan. Di dalam lembaga penegakan hukum sendiri ada mafianya yang berlindung dibalik kekuasaan sebuah lembaga. Kasus Artalyta yang melibatkan sejumlah jaksa merupakan sedikit bukti bukti merebaknya mafia peradilan.

Padahal korupsi adalah kejahatan yang nyata. Dan sebagai sebuah kejahatan tentu menimbulkan dampak yang luar biasa baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Antara lain; terjadinya pemusatan ekonomi pada elite politik, diskriminasi kebijakan, pembangunan yang tidak merata, ekonomi biaya tinggi dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Ekses negatif itu menjadikan rakyat miskin semakin tak terbendung jumlahnya, kekurangan gizi, meningkatnya angka pengangguran, serta lunturnya rasa nasionalisme.

Karenanya tak keliru jika Prof JE Sahetapy, salah seorang pakar kriminologi, menyebut para koruptor tak jauh beda dengan bandit atau penjahat berkaliber berat. Pasalnya, mereka (para koruptor itu) berdasi, berjas, berpantalon yang mahal sesuai tuntutan mode, tampak patuh pada undang-undang, beramal dan kalau perlu menjadi anggota panitia sosial ynag terkenal; meluncur dalam Mercedes atau Volvo sembari melakukan praktek kejahatan tersembunyi di balik tutur kata dan sopan satun yang gearticulateerd. Mereka tidak berasal dari lapisan masyarakat miskin, yang kasar; mereka tidak berotot kekar seperti bajingan umum menurut gambaran Lombroso tentang penjahat. Namun prilaku mereka sama jahatnya dengan perampok dan pembunuh, tetapo dengan mempergunakan cara dan metode yang lain.

Pertanyaan sekarang adalah mengapa begitu sulit mengurai benang kusut korupsi di negeri ini? Akankah kita bertahan sebagai negara terkorup di dunia atau bangkit menciptakan counter culture untuk menghilangkan budaya korupsi itu? Suhartono W. Pranoto dalam bukunya yang berjudul Bandit berdasi, Korupsi Berjamaah setidaknya memberikan gambaran mengenai hal tersebut. Bahwa korupsi yang terjadi di negeri ini bukanlah proses asal jadi. Ia hadir, berkembang dan berurat akar berdasarkan proses dialektis. Jadi selama korupsi tidak dibaca secara materialisme-historis, maka proses pemberantasan korupsi hanya akan jalan ditempat. Karena ibarat rumput, kita hanya berhasil memangkas batangnya, tetapi tidak mencongkel akarnya.

Korupsi sebenarnya bermula dari budaya feodal. Budaya feodal (baca: kerajaan) Jawa masih mengikuti konsep Hindu sebagaimana tertuang dalam Kitab Manawa, bahwa rajalah pemilik semua yang ada di langit dan di atas bumi. Karena sebagian besar kerajaan Jawa adalah kerajaan agraris maka pemaknaan atas kepemilikan kekayaan raja adalah tanah. Pemahaman tersebut yang kemudian melahirkan perampasan tanah besar-besaran milik petani. Hal itu dilakukan membayar para birokrat kerajaan. Saat itulah berlaku hubungan hirarkis.

Dimana pejabat rendahan loyal terhadap pejabat tengahan, selanjutnya pejabat tengahan loyal terhadap pejabat atasan yang berpusat pada raja. Bukti loyalitas tersebut berupa pengiriman upati yang sejatinya perampasan terhadap hasil pertanian rakyat. Semakin banyak upati yang dikirim, maka seorang birokrat kerajaan dianggap semakin loyal. Dari sinilah praktek korupsi bermula. Birokrat rendahan tentu saja tidak ingin loyalitasnya hanya berupa loyalitas buta. Maka, ketika mengirimkan upeti, beberapa diantaranya ia simpan untuk menumpuk kekayaannya sendiri. Begitulah berlanjut terus menerus. Budaya birokrasi ini kemudian dilanggengkan oleh kolonialisme Belanda untuk melakukan eksploitasi sumber daya manusia dan alam tanpa berhubungan langsung dengan masyarakat Indonesia.

Sayangnya, pasca kemerdekaan budaya ini bukannya dibabat habis melainkan dibiarkan tumbuh subur hingga sekarang. Karena itu satu-satunya cara membebaskan negeri ini dari budaya korupsi menurut Pranoto adalah transformasi budaya. Yakni upaya melakukan pemotongan satu generasi melalui pendidikan anti korupsi.

Melalui pendidikan yang matang maka secara tak langsung akan mengubah moral dan prilaku anak bangsa. Hanya saja waktunya cukup lama. Untuk mempercepatnya penting ditunjang dengan law enforcement dan reformasi birokrasi radikal. Sehingga efek jera akibat tegasnya hukum, membuat para koruptor semakin gentar melakukan korupsi. Misalnya membuat kebijakan agar KPK membuka kantor cabang di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Berikutnya dengan reformasi birokrasi radikal, lembaga pemerintahan akan dikelola oleh orang-orang yang bersih serta memiliki integritas tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tentu saja akan banyak korban yang berjatuhan. Untuk itu, diperlukan political will yang berani dari pemerintah daerah agar negeri ini merdeka dari budaya korupsi.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Senin, 22 September 2008

Belajar Makna Hidup Dari Santiago

Dimuat di KPO Bali, Edisi 160, 16-30 September 2008

Belajar Makna Hidup Dari Santiago
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : The Old Man and The Sea
Penulis : Ernest Hemingway
Penerjemah : Dian Vita Ellyati
Penerbit : Selasar Publishing, Surabaya
Cetakan : I, April 2008
Tebal :xii + 132 Halaman


Karya sastra adalah disiplin yang paling lekat dengan kehidupan manusia. Sebab sastra berurusan langsung dengan kepercayaan, harapan, dan simpati manusia. Sehingga manusia dengan segala keperkasaan dan kerapuhannya mampu dilukiskan dengan baik dan memikat. Tak heran mengulang-ulang membaca karya sastra selalu mendatangkan inspirasi baru. Sebagaimana membaca Novel berjudul The Old man And The Sea ini.

Novel ini adalah karya utama (masterpiece) Ernest Hemingway, penulis kelahiran Illionis, Chicago, yang telah banyak menyita perhatian dunia. Karya ini berhasil memenangi hasih pulitzer tahun 1953 untuk kategori fiksi. Ia juga memperoleh Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters pada tahun yang sama. Yang paling bergengsi, ia memperoleh Nobel Sastra tahun 1954 untuk keahlian luar biasanya pada seni narasi dan untuk pengaruh yang telah dihasilkan atas gaya penulisan kontemporer.

Kisah The Old man And The Sea memang inspirasional. Ada kebersahajaan, kesabaran, kekuatan hati serta semangat yang tak pernah menyerah pada keadaan. Kisah nelayan tua bernama Santiago yang telah berhari-hari bertarung mendapatkan ikan Marlin benar-benar menyentuh. Santiago, seperti hendak menantang anasir Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark yang menyatakan bahwa hal yang paling ditakuti manusia sebenarnya adalah mengalahkan diri sendiri dan melakukan perubahan radikal dalam hidup.

Pantas jika cerita yang pertama kali muncul sebagai bagian dari majalah Life edisi I September 1952 ini langsung menuai sukses besar. Majalah tersebut melejit luar biasa. Dalam dua hari 5,3 juta eksemplar majalah itu ludes terjual.

Cerita ini dibuka dengan narasi lelaki tua bernama santiago yang telah melaut selama 84 hari tetapi tanpa berhasil menangkap seekor ikanpun. Pada 40 hari pertama sebenarnya Santiago ditemani seorang bocah bernama Manolin. Tetapi setelah 40 hari tidak mendapatkan hasil, Manolin dilarang orang tuanya untuk berlayar dengan Santiago. Sebab dalam masyarakat nelayan pantang berlabuh tanpa membawa hasil. Nelayan yang demikian akan divonis salao, yakni sebutan untuk nelayan yang dianggap sial seumur hidupnya.

Namun Manolin tidak peduli dengan tudingan masyarakat tentang Santiago. Anak laki-laki gubuk itu setiap malam selalu setia membantu Santiago menarik peralatan pancing, memberinya makan dan mendiskusikan baseball—terutama idola santiago, Joe DiMaggio.

Sedangkan Santiago juga tak terlalu ambil pusing dengan vonis salao itu. Bahkan olok-olok anak-anak muda disekitarnya sebagai orang tua yang aneh ditanggapi dingin. Ia tidak marah. Karena ia mengerti jiwa anak muda. Lagipula tak ada orang lain yang bisa meraba kemampuan manusia kecuali dirinya sendiri, begitu falsafah hidupnya.

Falsafah itulah yang kemudian membuatnya nekat menjelajahi selat untuk memancing seorang diri. Dengan satu keyakin bulat dalam dirinya; bahwa nasib sial yang dituduhkan masyarakat akan berakhir. Bahkan falsafah tersebut mirip ungkapan Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar, bahwa keberhasilan berasal dari satu persen bakat dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras.

Benar. Di tengah laut Santiago berhasil menangkap seekor ikan Marlin yang besar dan kuat. Berhari-hari ia berjuang menaklukkan ikan tersebut seorang diri. Dikerahkan semua kemampuannya, semua pengalamannya dengan penuh kesabaran. Dengan gaya naratif Ernest hemingway yang begitu kuat, pembaca seakan-akan berada disamping Santiago dan merasakan sendiri kesepian, penderitaan dan kesendirian di tengah laut.

Membaca kisah ini mengingatkan kita pada kisah pewayangan, Mahabharata. Dalam salah satu riwayat dikisahkan seorang raja muda bernama bambang Ekalaya yang marah dan sakit hati kepada Arjuna (dari Pandawa) karena Arjuna telah secara kurang ajar menggoda istri Bambang Ekalaya yang bernama Dewi Anggraini sewaktu dalam perjalanan menuju Hastina.

Bambang Ekalaya tahu Arjuna tidak pernah terkalahkan dalam menguasai ilmu panah. Untuk bisa membalas sakit hatinya, untuk bisa menandingi Arjuna, tidak ada cara lain kecuali berguru pada orang yang melatih Arjuna, yakni Pendeta Durna. Sayangnya Pendeta Durna sudah bersumpah tidak boleh menerima murid selain dari keluarga hastina dan Pandawa. Dengan kata lain, Pendeta Durna menolak menerima Bambang Ekalaya sebagai murid.

Tentu saja Bambang Ekalaya kecewa berat. Namun terdorong rasa dendam yang membara, ia kemudian masuk hutan dan membuat patung dari kayu yang menyerupai Pendeta Durna. Patung itu yang kemudian dianggap sebagai guru-nya. Ia memperlakukan patung itu sebagai guru yang sesungguhnya. Patung itu disembah, dipuja, diberi makan seperti orang memberi sesaji dan dimintai doa restu tiap kali Bambang Ekalaya belajar memanah. Hasilnya? Luar biasa.
Dalam kisah itu diriwayatkan, ilmu memanah Ekalaya tidak kalah dengan ilmu memanah Arjuna. Mereka setara. Bahkan dalam sebuah pertarungan Arjuna nyaris tewas oleh panah Ekalaya. Memang akhirnya Bambang Ekalaya menemui ajal. Tetapi bukan karena kehebatan panah Arjuna, melainkan tipu muslihat Bathara Krisna.

Bagaimana nasib Santiago? Memang Santiago tidak sesial Ekalaya. Benar memang ia tidak berhasil membawa ikan marlin itu utuh ke daratan. Karena ikan tersebut diserang hiu. Tapi kerangka ikan yang masih menyangkut dikailnya sudah cukup memberikan bukti betapa kemampuan manusia tidak bisa diprediksi hanya dengan melihat bentuk fisiknya saja. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer dalam Novelnya Bumi Manusia; "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput( baca: sempurna).


TENTANG PERESENSI
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kita (SBK), Madura.


Selasa, 16 September 2008

Membongkar Hegemoni Media

Dimuat di KPO Bali, Edisi 1-15 September 2008

Membongkar Hegemoni Media
Oleh Edy Firmansyah


Judul : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Ziauddin Sardar
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 178 Halaman

Tak seorangpun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Berdasarkan riset, rata-rata manusia di era mondial ini menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancat di internet. Artinya, manusia menghabiskan sepertiga dari hidupnya dengan membenamkan diri dalam media. Sehingga kemampuan berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitasnya sendiri dibentuk oleh media.

Padahal tak semua tayangan dan isi media memberikan pengetahuan dan wawasan baru sebagai upaya manusia mengembangkan diri. Pasalnya akumulasi media di tangan beberapa korporasi justru lebih mempertimbangkan bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan antar media. Makanya tak heran demi mengejar popularitas dan menjadi media nomer satu yang paling diminati pemirsanya mereka malah menayangkan acara yang nyaris penuh dengan fatamorgana, hiperealitas dan bertendensi mengeksploitasi pemirsa.

Bagi penikmat media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Karenanya isi tayangan dan pemberitaan media tak kalah ampuhnya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah yang menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.

Karena itu, menurut Ziauddin Sardar, penulis buku Membongkar Kuasa Media ini, satu-satunya cara agar kita tidak dimangsa media adalah kita harus memandang aktivitas kia sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Artinya, memahami konsep bahwa tidak semua yang bacaan di suat kabar atau tayangan televisi dapat dipercaya begitu saja. Karena sebagian yang kita lihat di televisi merupakan masalah politik, sebagian lagi sebagai sastra dan sebagian masalah sosiologi.

Bahkan Sardar pada awal pembuka buku ini memberikan amaran bahwa studi media penting diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar. Kalau perlu dijadikan sebagai kurikulum reguler di sekolah. Kita harus memastikan bahwa anak-anak selayaknya diberikan alat untuk mengembangkan ketrampilan memandang sesuatu dengan kritis sejak usia dini.

Mengapa? Karena penikmat media (terutama teevisi) yang paling rapuh tentu saja anak-anak. Betapa tidak, berdasarkan data anak usia SD-SM (7-15 tahun), mengisi waktu 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi. Padahal isi tontonan televisi sebagian besar berisi sinetron. Alih-alih isi dan cerita sinetron mendidik, menurut yayasan pengembangan Media Anak, sepanjang 2006-2007 adegan kekerasan dan seks sangat dominan dalam sinetron. Celakanya, sulit sekali menghapus sinetron dari daftar tayangan televisi. Pasalnya, tayangan ini memang kerap memperoleh rating tinggi, yang menarik minat pengiklan, yang menyedot lebih 60 persen belanja iklan nasional.

Dan sekali lagi, anak-anak paling mudah menjadi mangsa iklan. Menurut Sardar, salah satu contoh klasik tentang ’kekuatan rengekan’ yang dikaitkan dengan gaya hidup sehat bagi anak-anak dan menempatkan orang tua di posisi yang mudah untuk dipengaruhi adalah Iklan Sunny Delight di Amerika. Dalam iklan tersebut disebutkan bahwa minuman itu mengandung vitamin A, B (1 dan 6) dan C. Para orang tua berpikir minuman tersebut lebih sehati daripada merk konvensional seperti coke dan Pepsi. Karenanya kemudian minuman tersebut laris keras. Bahkan ibu-ibu di Amerika membekalkan minuman itu dalam kota makan siang anak-anaknya. Padahal berdasarkan badan Pengawas makanan Sunny Delight justru sarat dengan bahan pengental, pewarna dan perasa makanan yang membuatnya terlihat seperti jus buah (hal.15-16). Dengan kata lain, semua yang ditayangkan iklan hanyalah trik pemasaran belaka hanya agar masyarakat terus tenggelam dalam budaya konsumerisme.

Hal itu dilakukan agar kaum kapitalis dapat terus mempertahankan hegemoninya dan mencegah krisis produksi terjadi. Krisis produksi yang dimaksud adalah menumpuknya barang produksi di gudang karena konsumen mulai jenuh. Nah, dengan menggunakan media para kapitalis mampu meng-indokrinasi dan memanipulasi publik dan mendorong masyarakat tenggelam dalam kesadaran palsu tanpa pernah menyadarinya.

Barangkali karena juga ditujukan sebagai pengetahuan dasar anak-anak mengenai media, buku ini tidak seperti buku studi media umumnya. Buku studi media tergolong ’berat’ dan sulit dicerna karena analisanya yang kompleks. Sebab menganalisa media adalah menyuguhkan relasi terselubung antara media, ideologi pengetahuan dan kekuasaan. Namun dalam buku ini kita justru diajak menjelajah sejarah media, industri media, riset-riset media, ekploitasi perempuan dalam media hingga menelaah bagaimana audiens dibentuk oleh media dan pada gilirannya menginterpretasikan isi dan makna dalam representasi media tanpa perlu mengerutkan dahi. Sebab buku membongkar kuasa media ini disuguhkan dalam bentuk komik.

Disamping itu, meski buku ini merupakan tinjauan kritis terhadap media, ternyata isinya tidak dijejali dengan bahasa yang provokasi sehingga pesan yang hendak disampaikan buku ini mudah dicerna bahkan oleh pembaca awam sekalipun. Karenanya buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang memiliki perhatian terhadap kekuasaan, pengaruh dan perkembangan media.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.


Sabtu, 13 September 2008

Optimalisasi Zakat dan Wajah Pendidikan

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, 12 September 2008


Optimalisasi Zakat & Wajah Pendidikan
Oleh Edy Firmansyah


Pendidikan yang sejatinya menjadi pilar membangun peradaban sebuah bangsa ternyata belum mendapat perhatian serius di negeri ini. Buktinya, masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa bersekolah atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah.

Berdasarkan data Depertemen Pendidikan Nasional, sedikitnya 7,2 juta anak Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, terdiri dari 4,2 juta siswa SLTP dan 2,9 juta siswa SD dan SLTA. Sedangkan menurut data dari Pusat Informatika Balitbang Depdiknas menyatakan rata-rata angka putus sekolah SD (APS-SD) nasional sebesar 3,57 persen atau sekitar 940.438 siswa, rata-rata angka putus sekolah SLTP (APS-SLTP) di tingkat nasional sebesar 7,66 persen atau 429.555 siswa. Ini artinya lebih besar dari APS-SD meski lebih kecil dalam kuantitas.

Tragisnya lagi, beberapa di antara anak-anak keluarga miskin itu terpaksa nekat bunuh diri gara-gara tak mampu memenuhi biaya pendidikan. Masih ingat tragedi Miftahul Jannah, anak kelas VI SDN Karangsemande, Gresik, yang memilih gantung diri daripada harus memanggung malu karena tidak bisa membayar iuran study tour? Atau kisah Yanto (13), yang terselamatkan dari usaha gantung diri karena malu tidak bisa membayar iuran ekstrakulikuler sebesar Rp 2.500?

Benar memang pemerintah tidak tinggal diam dalam menyikapi fenomena tersebut. Di beberapa daerah sudah muncul inisiatif dari pemerintah untuk menekan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin. Bahkan ada yang mengratiskan SPP untuk sekolah negeri.

Namun kebijakan semacam itu belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin. Di Jakarta, misalnya, meski sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP, namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anaknya (Kompas, 13/6/07). Maklum, meski SPP sudah digratiskan toh sekolah masih dapat menarik berbagai macam pungutan dari siswa. Mulai dari jual-beli seragam, buku pelajaran dan lainnya.

Nah, apakah kisah duka kaum dhuafa dalam memperoleh pendidikan yang layak akan terus berlanjut? Sebenarnya tidak. Masalah pendanaan pendidikan bagi kaum marginal bisa diatasi dengan pengalokasikan zakat secara optimal. Alternaitf pilihan tersebut cukup obyektif mengingat jumlah masyarakat muslim di Indonesia cukup besar.

Menurut Khamami Zada (2003), zakat dalam ajaran Islam memiliki dua makna, teologis-individual dan sosial. Makna pertama menyucikan harta dan jiwa. Penyucian harta dan jiwa bermakna teologis-individual bagi seseorang yang menunaikan zakat untuk mereka yang berhak. Jika makna ini dipedomani, ibadah zakat hanya berdampak individual, yakni hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Makna pertama lebih berdimensi individual, menyucikan harta dan jiwa untuk mendapat keberkahan.

Makna kedua memiliki dimensi sosial, yakni ikut mengentaskan kemiskinan, kefakiran, dan ketidakadilan ekonomi demi keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat terjadi sirkulasi kekayaan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati oleh orang kaya, tetapi juga orang miskin.

Kemiskinan Struktural
Sebagai dimensi sosial tentu saja pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka yang terkungkung oleh ”kemiskinan struktural”) dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang telantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban hidup mereka.

Tentu saja zakat yang dimaksud bukan sekadar mengeluarkan 2,5 kilogram beras, atau membagi-bagikan uang untuk memenuhi zakat mal setahun sekali. Artinya zakat yang dialokasikan untuk dana pendidikan adalah zakat yang bersifat kontinyuitas. Dengan kata lain tidak tidak berhenti pada periode Ramadan dan Syawal saja serta terbatas pada aturan fikiah sebesar dua setengah kilogram beras.

Yang dibutuhkan mayoritas masyarakat miskin negeri ini adalah uluran tangan agar anak-anaknya dapat memperoleh haknya bersekolah secara layak. Bagi masyarakat miskin, pendidikan boleh jadi menjadi satu-satunya peluang untuk memperbaiki nasib. Mereka berharap besar mampu menyekolahkan anak-anaknya agar generasi penerus mereka tidak lagi terjerembab dalam lembah kemiskinan. ”Jangan jadi seperti bapak, Nak. Kamu harus sekolah yang tinggi agar masa depanmu cerah di kemudian hari,” begitu pesan para orangtua keluarga miskin pada anak-anaknya yang mulai memasuki usia sekolah.

Karenanya ketika sistem pendidikan di negara kita cenderung meningkat semakin mahal, maka menjadi kewajiban orang kaya agar mau berderma bagi mereka yang miskin meskipun bukan di bulan Ramadan dan Syawal. Bagaimana bentuk penyalurannya? Misalnya para penderma dan pengelola zakat bekerja sama dengan penyelenggara pendidikan dapat menciptakan sekolah-sekolah unggulan yang memungkinkan berkesempatan menyekolahkan pula anak didik tak mampu, namun bersemangat tinggi. Penggalangan dana melalui upaya ini adalah pengokoh lain bagi terselenggaranya usaha bersama agar kaum Muslim bersedia peduli pada sistem pendidikannya sendiri. Model pengelolaan zakat semacam ini saya rasa cukup efektif dan tepat daripada hanya berbagi zakat dengan cara mengundang masyarakat miskin, kemudian membagikan sejumlah uang.

Oleh karena itu zakat fitrah harus diberi substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan nilai keadilan sosial. Yang nantinya berujung pada kesejahteraan bagi semua.


Penulis adalah Direktur People Education Care Institute (PECI) dan Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy).

Selasa, 09 September 2008

Memahami Kendala Keterpinggiran Sastra

Dimuat di SURABAYA POST, 7 September 2008


Oleh: Edy Firmansyah


Perkembangan sastra kian hari kian memprihatinkan. Bahkan di sekolah yang sejatinya merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya sastra, sastra justru semakin terpinggirkan.

Keterpinggiran sastra disekolah disebabkan oleh setidaknya dua hal yang fundamental. Pertama, rendahnya intelektualitas guru pengajar bahasa dan sastra Indonesia. Kondisi ini tentu saja berimbas pada rendahnya metode mengajar. Jamak diketahui bahwa menjadi guru—yang notabene PNS—adalah pilihan banyak orang di negeri ini. Meski demikian, pilihan menjadi guru bukan pilihan yang utama. Melainkan sebuah pilihan terakhir. Artinya banyak orang menjadi guru bukan karena cita-cita. Melainkan karena sudah tidak lagi terserap dalam dunia kerja yang diidam-idamkan karena ketatnya persaingan. ”Daripada ngganggur, mending mengajar” begitu komentar mereka barangkali.

Akibatnya ketika diterima dan mulai mengajar, mereka tak mau ambil pusing perihal sastra dan metode mengajar yang sesuai dengan karakterisitk lokal. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Dan cara yang paling gampang dalam mengajar adalah tenggelam dalam antagonisme pendidikan ”gaya bank”; guru mengajar, murid diajar; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti, guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Yang terjadi kemudian dalam pelajaran bahasa dan sastra tidak dikembangkan dialog, yang ada monolog. Tak ada kreatifitas, yang ada hanya hafalan. Tak ada orisinalitas, yang ada hanyalah peniruan dan pembajakan.

Benar memang tak sedikit siswa yang mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Bumi Manusia dan sebagainya. tapi bukan atas kemauan siswa, melainkan karena mereka ‘terpaksa’ atau mungkin ‘dipaksa’ menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran oleh guru sastra mereka, karena dikhawatirkan muncul ketika ujian. Dengan kata lain, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, lalu ujian dan selesai. Dengan metode yang hampir sama dari tahun ke tahun dari generasi kegenerasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas di benak kebanyakan generasi kita.

Makanya jangan heran jika kita kerap kesulitan menemukan guru bahasa dan sastra Indonesia yang mampu mengapresiasi sastra dengan baik. Padahal kita tahu untuk menulis cerpen, puisi dan esai sastra diperlukan seperangkat pengetahuan tertentu. Dan semua itu tidak bisa didapat hanya dengan menghafal buku teks pelajaran, melainkan harus diperluas lagi dengan menambah wawasan dengan banyak membaca literatur sastra.

Kendala berikutnya yang tak kalah tragisnya adalah tidak adanya perpustakaan yang representatif untuk mengembangkan sastra di sekolah. Benar memang pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang tentang perpustakaan beberapa waktu lalu, yang mewajibkan sekolah memiliki perpustakaan dan mengalokasikan dana perpustakaan paling sedikit 5 persen dari belanja operasional sekolah. Tapi pihak sekolah justru enggan menyiapkan dana khusus untuk perpustakaan. Mereka justru lebih memprioritaskan pembangunan gedung olah raga atau aula.

Kondisi diatas masih diperparah dengan dipangkasnya anggaran untuk perpustakaan sebagai dampak dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen. Akibatnya, bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat sebesar sektiar Rp. 41 miliar di 33 proponsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga terancam batal. Sedangkan pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya yang sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya. (Kompas, 21/04/08)

Padahal perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan. Sejarah telah membuktikan betapa perpustakaan mampu melahirkan sastrawan-sastrawan besar. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Goenawan Mohammad dan banyak lagi tak akan mungkin memiliki pemikiran brilian yang mampu memberikan perspektif baru dalam sastra jika tidak ditunjang oleh buku-buku.

Karena itu agar pembelajaran sastra berbasis lokal dapat berjalan efektif pihak sekolah harus mengoptimalkan dua kelemahan diatas. Tenaga pengajar sastra yang mumpuni serta perpustakaan yang kaya buku. Barangkali melibatkan sastrawan atau budayawan lokal untuk terlibat dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia penting untuk dipertimbangkan. Sebab dengan melibatkan sastrawan, siswa akan mendapatkan pelajaran sastra langsung dari ahlinya. Bahkan kalau perlu merekrut mereka menjadi guru tetap (PNS, red) juga merupakan keputusan bijak. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan sastrawan dan seniman kerap tidak memiliki pekerjaan tetap?

Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengembangkan perpustakaan sekolah. Sebab dalam perpustakaan tak hanya tersimpan informasi dan ilmu pengetahuan. Tetapi juga peradaban, motivasi, kepribadian, dan pedoman hidup. Tanpa perpustakaan yang kaya buku mustahil siswa mampu melejitkan kemampuan berpikirnya terutama dalam hal pengembangan sastra. Sebab dengan buku-buku sastra yang amat terbatas kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Dengan kondisi demikian sastra akan tetap terpinggirkan. Bahkan ditempat yang sebenarnya paling subur dalam membiakkan sastra bernama sekolah itu. Bagaimana menurut anda?


TENTANG PENULIS

*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura. Direktur People Education Care Institute (PECI) Surabaya. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.