WAKTU

JEDA

Jumat, 18 Januari 2008

Intelektual Pro Rakyat! (Dimuat di KORAN PAK OLES, edisi 144 Januari 2008)



Dicari; Intelektual Progresif!
Oleh: Nurfa Rosanti
(Penikmat Buku. Pengajar di SMP Darussyahid. Sampang-Madura)

Judul : Jadilah Intelektual Progresif!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : v + 133 Halaman

Tak salah kiranya jika Amin Rais menyindir sikap kaum intelektual akhir-akhir ini ibarat kancil pilek. Seekor kancil yang meskipun dalam hikayat dikenal dengan binatang yang pintar, tetapi bila sedang pilek, tidak mampu mencium bau busuk yang ada di sekitarnya. Betapa tidak, beratus-ratus pemuda ’istimewa’ yang berhasil terserap dalam dunia pendidikan bernama perguruan tinggi, beratus-ratus sarjana telah pula dilahirkan dari rahimnya. Tapi ketika korupsi telah menjangkiti semua orang yang berada di tubuh birokrasi, ketika harga kebutuhan pokok mencekik rakayat miskin, serta biaya sekolah kian hari kian mahal, kaum intelektual itu hanya diam beribu bahasa. Parahnya lagi, tak sedikit diantara mereka yang turut larut dalam korupsi dan menjadi semakin elitis.

Padahal sejatinya seorang intelektual (baca; terpelajar, terdidik) tidak sepantasnya berdiam diri ketika terjadi kesewenang-wenangan. Seharusnya mereka mau dan bisa menggerakkan perlawanan. Dari tangan intelektual semacam itulah nantinya bakal lahir pahlawan-pahlawan yang cukup tangguh dari masyarakat untuk memerintah membimbing masyarakat. Dengan kata lain menurut Ali Syariati, tanggung jawab pokok seorang intelektual adalah mengetahui, memahami dan mengenal dengan baik kondisi masyarakat sekitarnya untuk kemudian menanamkan dalam alam pikiran publik semua konflik, peertentangan dan antagonisme yang ada dalam masyarakat.(Hal.09)

Nah, lewat buku ini Eko Prasetyo mencoba menyadarkan kembali peran dan tugas kaum intelektual yang paling mendasar, yakni menegakkan kembali ideal masyarakat yang selama ini hanya ada dalam kisah-kisah dongeng. Berbekal kepustakaan yang beragam, buku ini berusaha menampilkan kembali sosok intelektual-intelektual progresif beserta serpihan-serpihan pemikiran yang dihubungkan langsung dengan kondisi kekinian yang menimpa kita. Para intelektual itu adalah Che Guevara, Sayyid Qutb, Ali Syariati, Antonio Gramsci dan Rosa Luxemburg.

Dipilihnya tujuh intelektual progresif itu bukan tanpa alasan. Semua intelektual diatas merupakan sosok intelektual ideal. Yang tidak takut terhadap kematian, penderitaan, dan tidak ngiler ketika dihadapkan dengan kemasyuran demi memperjuangkan tiga tuntutan besar; keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. Antonio Gramsci karena kegigihannya berjuang harus rela mati dipenjara; Sayyid Qutb dihukum gantung; Ali Syariati yang ditusuk pisau; Che Guevara yang meregang jawa oleh peluru pasukan Bolivia dan Rosa Luxemburg yang dipukuli kepalanya berulang-ulang oleh musuh dan akhirnya ditembak dengan keji (hal.17). Tapi semua penderitaan itu tidak selangkahpun menyurutkan niat mereka menyadarkan massa mengenai penindasan dan menggelorakan sebuah perlawanan.

Seakan-akan penulis buku ini hendak menunjukkan pada publik bahwa intelektual semacam inilah yang dibutuhkan negeri ini. Negeri yang diakuasai para koruptor, negeri yang kualitas pendidikan paling rendah, negeri terus menghamba pada negara lain, negeri para budak tentu membutuhkan intelektual-intelektual yang maju untuk menyadarkan masyarakat bahwa semua penderitaan itu akan berakhir jika segenap lapisan masyarakat bergandengan tangan melakukan perubahan.

Hadirnya buku ini sungguh tepat ditengah mandeknya kelahiran intelektual-intelektual progresif di negeri ini. Sekolah (baca: Perguruan Tinggi) yang sejatinya mampu menjadi rahim bagi para intelektual yang berpihak pada rakyat kini tak lebih dari seonggok meja. Usaha untuk mencangkokkan berbagai mata pelajaran berbelok hanya sebatas penumpukan informasi. Parahnya lagi, industri pendidikan diperlemah oleh dunia pasar yang yang menjadikan pengetahuan tak lebih dari barang konsumsi. Pasar dengan antusia menyambut sebua perubahan praktek kurikulum untuk dicocokkan dengan kebutuhan maupun modus prduksi yang sedang berjalan.

Akibatnya yang lahir bukan intelektual-intelektual yang gandrung akan perubahan. Melainkan intelektual-intelektual yang mati kesadaran kritisnya. Survei, Riset, penelitian dan penulisan yang jadi kegiatan intelektual hanya digunakan tak lebih untuk memerankan fungsi pemasaran dan menjilat-jilat kekuasaan. Hasil kerja intelektual yang demikian menurut Daniel Dhakidae tak lebih dari sekedar kerajinan tangan.

Padahal pada masa pra kemerdekaan negeri ini mencatat banyak kaum intelektual yang prorakyat yang lahir dari rahim dunia pendidikan. Sebut saja misalnya, Tan Malaka, Soekarno, KH. Agus Salim, Syahrir, Tirto Adhi Suryo, Mas Marco, dan banyak lagi. Mereka mendedikasikan pengetahuan yang mereka dapat dari bangku sekolah untuk kepentingan masyarakat, untuk menggagas kemandirian dan kemerdekaan sebuah bangsa meski penjara dan kematian dari pihak kolonial terus menjadi ancaman setiap jengkal langkah mereka.

Di tengah korupsi yang menjalari semua orang yang berada dalam tubuh birokrasi, di tengah melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran, di tengah kebohongan negara dan elitnya terhadap rakyat yang semakin menjadi-jadi, di tengah kelaparan dan gizi buruk yang menyerang, rakyat butuh sandaran yang kuat. Dan tentu saja bukan pada mereka yang menggunakan kepintaran untuk menghambakan diri pada pasar; membuat riset, angket dan poling untuk mendukung pembangunan mall dan mengiyakan penggusuran. Melainkan intelektual yang bernyali serta mampu untuk mendekat dengan cita rasa keadilan, pengorbanan dan keberpihakan pada yang lemah. Dan buku ini merupakan sebuah pintu gerbang menuju itu semua.*

TENTANG PENULIS
*Nurfa Rosanti. Pengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura. Selain mengajar juga mengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) bersama suami tercinta;Edy Firmansyah. Email : nurfasanti@yahoo.co.id

Kamis, 10 Januari 2008

Petani dan Hegemoni Pangan (DIMUAT DI SURYA 06 Januari 2008)



Petani dan Hegemoni Pangan



Judul : Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan
Penulis : Susan George
Penerjemah : Magdalena Sitorus
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : xx + 193 Halaman
Peresensi : Nurfa Rosanti

Idealnya menjadi petani berarti menjadi golongan masyarakat yang bergelimang pangan. Karenanya hal yang mustahil golongan petani dilanda kelaparan. Sebab di tangan petanilah produksi pangan dilakukan. Melalui tangan petani pula distribusi pangan disalurkan. Tapi realitasnya justru bertolak belakang dengan tatanan ideal tersebut. Pasalnya, justru petani, penghasil pangan manusia yang menjadi kelompok pertama yang menderita kelaparan. Kondisi itulah yang menimpa hampir sebagian besar—jika tidak ingin menyebut keseluruhan—petani di belahan dunia ketiga.

Setidaknya hingga saat ini ada 800 juta penduduk (sebagian besar petani) yang mengalami kelaparan di dunia ini tanpa pernah tahu sampai kapan penderitaan itu berakhir.
Penyebabnya? Banyak kalangan yang menyalahkan ‘iklim’ atau pemanasan global (global warming) sebagai biang kerok masalah pangan dunia ketiga. Sebab pemanasan global akan mendatangkan cuaca yang ekstrim dan kerap menimbulkan bencana. Mulai dari banjir, musim kering, dan lainnya.

Pandangan lain mengatakan bahwa muasal dari kelaparan adalah pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Dengan menggunakan teori Malthus disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk, bila tidak dikendalikan, akan naik menurut deret ukur (1,2,4,8 dan seterusnya) padahal produksi pangan meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4 dan seterusnya).(hal. 64). Sehingga kelebihan penduduk akan menyebabkan kekurangan bahan makanan.

Tapi Susan George menepis semua pandangan diatas. Pertambahan penduduk sebenarnya bukan alas an utama penyebab kelaparan. Tetapi karena masyarakat kelas atas di negara kaya memang memiliki kuasa, dan mereka takut kekuasaan mereka direbut oleh golongan miskin yang terus mengalami pembengkakan. Karena itu tak salah jika Susan pada paragraf awal buku ini menegaskan bahwa sebenarnya kelaparan terjadi karena ulah manusia sendiri. Tepatnya, keserakahan segelintir manusia yang merampas sumber daya alam dan makanan yang menjadi hak orang banyak dan mengeruk keuntungan diatas penderitaan orang-orang tertindas lewat akal bulus (hal. 2). Siapakah mereka? siapa lagi kalau golongan berpunya yang ingin memperoleh bahan makanan tanpa bekerja. Caranya dengan membangun birokrasi dan menciptakan para pengawal untuk kemudian menguasai tanah yang menjadi sumber makanan dan orang-orang yang mengolahnya. Itulah cikal bakal kapitalisme.

Keterbatasan kepemilikan lahan semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian yang mengandalkan perhitungan untung rugi bagi negara maupun pasar internasional. Yakni mengarahkan pertanian pada sector industri melalui revolusi hijau. Petani dipaksa tergantung pada paket-paket revolusi hijau berupa penggunaan pupuk kimiawi, tanamasn monokultur, penggunaan standar bibit, penggunaan pestisida tertentu dan sebagainya sehingga memingggirkan petani dari kebiasaan maupun pengetahuan lokalnya.

Benar memang dengan revolusi hijau terjadi peningkatan hasil produksi pertanian. Persediaan bahan makanan jadi berlimpah. Tapi di balik itu semua, persediaan yang menumpuk itu justru menunjukkan bahwa harga bahan makanan semakin tidak terjangkau oleh orang-orang miskin, sama sekali bukan karena adanya peningkatan gizi masyarakat (hal. 151).

Akibatnya kaum petani tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka terus berjalan dalam kubangan kemiskinan dan didera bencana kelaparan. Makanya jangan heran jika kemudian banyak petani yang menggadaikan harga benda merekay ang sedikit itu lalu berbondong-bondong meninggalkan desa menuju kota untuk sekedar mencari pekerjaan. Penduduk yang beruntung bisa mendapatkan pekerjaan menjadi kuli kasar, sementara yang gagal akhirnya menjadi gelandangan di pinggiran ibu kota.

Apa reaksi pemerintah atas kondisi ini? Tentu saja jawaban atas itu semua adalah penggusuran. Padahal terciptanya gelandangan, kawasan kumuh di ibukota, PKL, anak jalanan dan sebagainya justru karena kebijakan di sektor pertanian yang tidak berpihak pada rakyat. Sampai disini semakin jelaslah bahwa negara yang menghamba pada kapitalisme sebenarnya tidak memiliki jawaban atas masalah kelaparan. Yang mereka ketahui hanyalah cara melenyapkan orang lapar dari muka bumi.

Meski buku ini dengan sangat provokatif, tapi dilengkapi data-data yang disuguhkan cukup menarik. Selain itu buku ini juga diselingi dengan gambar-gambar karikatur yang lucu. Mungkin agar ditengah penderitaan yang krisis multidimensi yang melanda dunia ketiga—termasuk Indonesia—masyarakatnya mau bangkit dan memulai langkah kongret untuk mengatasi itu semua. Meskipun dengan diawali dengan kelucuan yang membangkitkan perlawanan.***


TENTANG PENULIS
Nurfa Rosanti adalah Pencinta Buku. Istri Edy Firmansyah. Saat ini berdomisili di Perumnas Tlanakan Indah Blok D-23 Pamekasan-Madura 69371
No Telp : (0324) 329913
No Hp : 08563032033
No rek BCA cabang Jember a.n Edy Firmansyah : 024-3719531

Selasa, 08 Januari 2008

Menjauhi Pesona Sastra Kosmetik (DIMUAT DI SURYA, 06 Januari 2008)

Menjauhi Pesona Sastra Kosmetik
Oleh: Edy Firmansyah
(Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Jakarta)

------
(Sejatinya tulisan ini dibuat sebagai catatan tambahan atas tulisan Nurani Soyomukti yang berjudul Menggugat Sastra Antiideologi yang dimuat di SEPUTAR INDONESIA (SINDO) 16 Desember 2006. Awalnya saya kirim ke SINDO. Tetapi tidak dimuat. Baru pada awal Desember 2007 kembali saya kirim tulisan ini (tanpa mengubah isinya) ke redaksi SURYA. lama tak ada kabar. Saya meyangka esai ini akan bernasib sama seperti ketika dikirim ke SINDO. Ternyata tidak. Pada akhir Desember, kawan di SURYA yang kebetulan menjadi 'tukang jagal' tulisan orang menghubungi saya, Esai ini akan dimuat dengan syarat saya harus melakukan swasunting seperlunya sehingga sesuai dengan Space kolom esai SURYA. Saya meyanggupi. dan setelah telp ditutup, saya langsung melakukan mutilasi terhadap esai ini. saya lakukan tak kurang dari 15 menit. kemudian saya kirim lagi. dan benar, 06 Januari 2008 esai ini Nongol di SURYA)
------
Dewasa ini orang ramai membicarakan soal keberpihakan sastra, tetapi nyaris tak pernah berupaya mencipta karya sastra. Dengan kata lain, sastra lebih seru jika selalu jadi polemik. Sementara mencipta karya sastra yang berbobot dan memiliki keterlibatan sosial bukanlah suatu yang vital.
Karena itu penting kiranya untuk meluruskan kembali mengenai posisi sastra yang sebenarnya di hadapan masyarakat. Seni (baca: sastra) adalah simbol yang menunjukkan pada konsep tentang manusia dalam hubungannya dengan realitas. Nah karena wilayah sastra berada dalam realitas dan yang ditangkap adalah situasi, ia senantiasa berteriak, mengungkapkan sekaligus mengandaikan pendobrakan terhadap semua struktur yang membelenggu. Baik itu belenggu budaya, ekonomi maupun politik.
Dan sebagai sastrawan merupakan sebuah panggilan untuk terus berteriak dan menciptakan kebebasan. Yakni kebebasan untuk meraih nilai-nilai luhur kemanusiaan. Gahlibnya sastra(wan) mempunyai kodrat sebagai pendobrak.
Widji Thukul sendiri mengatakan bahwa karya puisinya tidak mengkhususkan diri untuk masuk dalam ideologi tertentu. Karya puisinya tidak pula hendak membela rakyat. Yang dia bela sebenarnya dirinya sendiri. Apa yang dia tulis sebenarnya untuk dirinya sendiri;
“Sungguh, saya hanya bicara soal diri sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang rongsokan dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Jadi, saya tidak membela siapapun. Cuma, dengan membela diri sendiri ternyata juga menyuarakan hak-hak orang lain entah dimana,” tegasnya.(Aku Ingin Jadi Peluru, 2004; 216)
Bahkan kalau kita mau menelisik lebih jauh karya-karya Pramoedya Ananta Toer, tak ada satupun karyanya yang memenuhi persyaratan sebagai sastra berideologi marxis yang disebut realialisme sosialis.
Menurut Ajib Rosidi (Horison Tahun XXXXI, 2006; 19) ditemukan fakta bahwa dalam karangan Pram tak ada tokohnya yang menang. Semua tokoh utama karangan-karangan Pram berakhir dengan kegagalan atau kematian. Saaman dalam Keluarga Gerilya, Den Hardo dalam Perburuan, bahkan Minke dalam tertalogi Bumi Manusia dan Wiranggaleng dalam Arus Balik berakhir dengan kekalahan. Padahal menurut paham realisme sosialis, tokoh utama haruslah pejuang yang gigih dan gagah berani merebut kemenangan, berakhir dengan keunggulan.
Memang Pram melalui kolom “Lentera” dalam surat kabar Bintang Timur menguliti sastrawan anti komunis, terutama kalangan Manikebu, karena menganut Humanisme Universal. Sehingga Manikebu akhirnya dilarang pemerintah. Tapi hasilnya bukan semakin merapatkan barisan untuk menciptakan sastra yang berpihak pada kaum proletar. Melainkan justru merusak kondisi kesusastraan itu sendiri.
Pasalnya, meminjam istilah Iwan Simatupang, Sastra yang berideologi berada di tepi jurang ketamatan; terkotak-kotak, saling tuding antar ideology, saling kritik (begatif), saling mempertahankan dokrin masing-masing. Akibatnya karya yang dihasilkan bukanlah karya yang sejatinya bertema tentang perlawanan. Melainkan karya yang dikhususkan untuk menyatakan ‘perang’ terhadap sesama sastrawan yang berada di seberang jalan.
Sebenarnya kalau kita mau serius memperjuangkan sastra, saya sepakat dengan Arif Budiman dalam esainya Sastra yang berpublik, bahwa yang layak untuk dikritik dan digugat adalah sastrawan kita yang teralienasi. Yakni sastrawan yang sebenarnya miskin, tidurnya numpang-numpang pada teman, makan pun kadang ngutang. Tetapi begitu bikin puisi atau cerpen maka yang diciptakan adalah; awan-awan yang mengawang, danau-danau yang indah dengan riak air. Sementara kehidupannya yang miskin tak sekalipun tersentu dalam puisinya.
Merekalah sastra(wan) kosmetik. Yang mencoba memenuhi tuntutan estetis , tuntutan pasar dan tuntutan sastra model barat yang sejatinya tidak sesuai dengan historis dirinya sendiri. Tujuan mereka hanya ingin sukses melalui jalur yang lazim sebagaimana yang disediakan pasar. Seakan-akan mereka hanya menjual kemampuan menulis sastra tanpa mempertimbangkan aspek sosial, aspek kemanusiaan.
Yang lahir biasanya sastra yang berbau lendir dan kelamin. Untuk memenuhi dahaga kelas menengah. Sebagai bacaan refresing atau penghantar tidur. Memang di satu sisi sangat logis, karena merekalah yang mempunyai daya beli. Yang mampu membawa pengarang sastra ke puncak kesusesannya.
Berbeda sekali dengan sastrawan yang tetap berjalan di garis kerakyatan. Yang mengarahkan karyanya untuk mendobrak ketertindasan kelas bawah. Mereka akan tetap miskin. Sebab garapan mereka, sebagus apapun, jika dikirimkan pada media cetak atau penerbit punya kecenderungan besar untuk ditolak. “Benar memang, masyarakat miskin itu banyak, tapi tak punya daya beli yang menguntungkan produksi,’’ begitu kira-kira komentar penerbit atau redaktur Koran.
Tetapi di sisi yang lain, hal tersebut bertentangan dengan makna sejati dari sastra itu sendiri. Bahwa sastra yang memiliki nilai estetik tak melulu lahir dari imajinasi nakal. Melainkan juga perlu ditopang dengan realitas sosial di sekitarnya. Sebab sastra yang tak mengindahkan realitas sosial sama halnya dengan menyuguhkan wanita cantik tanpa alat kelamin.***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Editor Tabloid Fokus Pamekasan. Ketua FORDEM (Forum Demokrasi) Pamekasan, Madura.Alumnus Universitas Jember. Artikelnya tersebar di banyak media lokal maupun Nasional. Diantaranya; ; JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SURYA, KOMPAS edisi Jatim, BANJARMASIN POST, BATAM POST, KALTENG POS, RIAU POS, RADAR JEMBER, RADAR MADURA, JEMBER NEWS, dll.

Alamat : Perumnas Tlanakan Indah D-23 Pamekasan-Madura 69371
No telp : 08563032033
Email : stapers2002@yahoo.com atau