WAKTU

JEDA

Kamis, 30 Januari 2014

Tentang Lomba kritik sastra, resensi buku dan Cerita 10 Pendekar yang Perkasa

Oleh: Edy Firmansyah*)

Buku bisa jadi seteru, juga bisa jadi sekutu. Itulah mengapa banyak orang tua mengatakan buku adalah pengalaman yang bisu. Ia memberi hikmah juga peringatan akan upaya pecah belah hanya lewat jahitan kata-kata di bundelan kertas.

Begitulah, lamat-lamat saya ingat sebuah cerita. Entah dari buku yang saya baca waktu kecil atau dari cerita bapak saya. Tentang 10 pendekar silat yang tak tertandingi. Mengelilingi wilayah-wilayah demi tugas suci; menegakkan kebenaran, membumi hanguskan kejahatan lewat kelebatan pedang. Sepuluh pendekar itu kemudian tiba di sebuah desa yang nyaris rata dengan tanah. Sebagian besar penduduknya meregang nyawa dilalap api. Satu dua orang berhasil selamat. Tapi dengan luka sayatan dan luka bakar parah. Dari beberapa orang itu sepuluh pendekar tau pelakunya: kaisar. Alasannya pembumihangusan itu; desa itu adalah pembangkang. Menolak membayar upeti dan menolak menyerahkan perawannya untuk jadi pemuas birahi.

Sepuluh pendekar itu serasa menemukan musuh terbesarnya; kekuasaan. Tak ada kata lain, kebenaran harus ditegakkan pedang harus dihunuskan pada segala yang keji hati. Maka dideraplah kuda mereka menuju istana. Tapi tentara kerajaan terlalu besar jumlahlah untuk ditumbangkan dengan sepuluh orang pendekar. Sepuluh pendekar itu mundur, mengatur strategi menaklukkan sang kaisar jahat itu. Milisi rakyat dibentuk. Latihan perang diberikan. Menuju sebuah jalan; menaklukkan kaisar busuk, membebaskan diri dari penindasan.

Tapi kaisar tak tinggal diam. Dia menyusun siasat. Membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh satu saja dari sepuluh pendekar itu akan dijadikan raja. Sayembara dengan hadiah yang luar biasa. Maka bisa ditebak, pertempuran tak lagi bergerak di selingkaran pusat kekuasaan, yang diburu sekarang adalah sepuluh pendekar. Tapi tak ada yang sanggup mengalahkan persatuan. Tak ada yang sanggup mematahkan sepuluh pendekar yang terikat tali persaudaraan. Tapi kerakusan kekuasaan bisa menghancurkan persatuan. Atas nama jalan menegakkan kebenaran, atas nama menggulingkan kaisar sang sepuluh pendekar bertempur satu sama lain. Persaudaraan runtuh. Perang melawan kebajikan berubah menjadi perang menumbangkan saudara seiring sejalan.

Seorang pendekar berhasil menjadi pemenang. Dengan kondisi luka parah seusai bertarung, ia menderap kudanya sembari membawa sembilan kepala saudaranya. Kaisar menyambutnya dan sang kaisar menyerahkan mahkotanya. Pendekar itu senang. Pesta dilakukan besar-besaran. Tapi lukanya terlalu parah. Sebelum pesta dimulai dia sudah rebah ke tanah. Mati.

Kaisar tertawa. Penasehatnya tertawa. Ahli strategi perangnya tertawa. Diambilnya lagi mahkota yang hanya beberapa jam dipakai sang pendekar pemenang tadi. Dan kekuasaan makin menggila. Kekejaman tak habis-habis mewarnai daerah kekuasaannya.

Cerita itu terkenang lagi dalam ingatan saya setelah saya membaca sebuah pesan dari Fatin Hamama yang discreenshot Khrisna Pabhicara dan disebarkan di grup fesbuk. Pesan itu bermula dari telepon perempuan yang pernah duet dengan Sudjiwo Tejo di video puisi esai Denny JA pada penulis novel "Sepatu Dahlan" itu. Isinya; permintaan menulis resensi buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh pada “dedengkot” aliansi menolak pembodohan buku tersebut. Nama-nama yang disebut di pesan tersebut: Saut Situmorang, Halim HD, Faruk HT, AS Laksana, Ariel Heryanto, sisanya hanya kalimat ‘dan lain-lain.’ Konon, menurut penulis novel sepatu dahlan itu, honor untuk menulis resensi tersebut dua setengah juta rupiah untuk resensi sepanjang lima ribu sampai sepuluh ribu karakter. Bukan nominal yang kecil tentu saja. Apalagi kalau dibayar pakai recehan seribu dan tunai pula. Bahkan penyair Saut Situmorang berkali-kali berusaha dihubungi Fatin Hamama namun tak dihiraukannya.

Bersamaan dengan itu, beredar sebuah pengumuman mengenai lomba menulis resensi buku dan kritik sastra yang diselenggarakan inspirasi.co, sebuah situs perpustakaan online milik Denny JA. Tak tanggung-tanggung, hadiah total dari lomba itu 50 juta rupiah.

Kita boleh curiga, digelarnya lomba resensi buku dan lomba kritik sastra, ditengah-tengah pendapat, tulisan, opini tentang penolakan atas buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh yang digarap oleh tim 8, dimana Denny JA juga masuk di dalamnya, masih ramai menggelombang dan belum ada tanda-tanda surut, adalah upaya memecah belah aliansi yang memang masih cair itu. Penyebutan nama beberapa orang juga bisa disinyalir sebagai upaya adu domba itu. Bahwa yang tersebut namanya dalam pesan adalah 'pentolan' dan yang masuk dalam lain-lain cuma 'anak buah' sisanya ikut-ikutan. yang tersebut dalam dan lain-lain, tidaklah lah istimewa apalagi yang cuma ikut-ikutan. Padahal aliansi adalah kerja bersama, tak ada pemimpin, yang ada adalah kehendak menepis segala yang bisa merusak.

Kedua, digelarnya lomba resensi buku dan kritik sastra jelas merupakan upaya lain pengalihan isu agar badai kritik atas buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh agar lekas mereda. Kita tahu, telah banyak kritik ditulis pasca terbitnya buku dengan cover lukisan Hanafi berjudul “Dalam Genangan” (dan dicomot tanpa ijin pula dari pelukisnya) 3 Januari lalu (satu hari menjelang ulang tahun Denny JA) itu. Beberapa pendukung Denny JA juga telah menjawab kritik tersebut. Namun nyatanya jawaban para pembela buku atas kritik tak cukup ampuh meredakan gelombang protes. Aliansi penolakan terus menyebar. Para penandatangan petisi dari hari ke hari terus bertambah. Twitwar di jejaring sosial twitter masih ramai membahas keburukan dan cacat dari buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu.

Dengan dibuatnya lomba resensi buku dan kritik sastra, ditengah masih ramainya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu dibicarakan dengan sinis, setidaknya bisa meredakan serangan bertubi-tubi dari aliansi yang menolak buku tersebut. Atau minimal bisa mengurangi jumlah massa cair dari aliansi yang kemudian tergiur uang hadiah dari lomba tersebut. Beruntung jika ada ‘pentolan’ dari aliansi penolakan buku dimana Denny JA dinobatkan sebagai ‘sastrawan’ berpengaruh itu meloncat dan memberikan pembelaan atas buku tersebut. Hal itu tentu bisa memberikan energi baru bagi Denny JA. Sekaligus kabar buruk di lingkaran aliansi; pertarungan antar teman sendiri. Tentu kita berharap ini tidak terjadi. tapi celah kecil untuk itu sering tak bisa dihindari. Kenang-kenanglah pasemonan Fahd Jibran di akhir artikelnya yang berjudul “Skenario Menantang Denny JA” sebagai sebuah tanda seru; “bagi para pengritik, tetaplah menjadi pengritik yang baik, jangan tergelincir menjadi para pencibir. Tak ada musuh selamanya, tak ada teman selamanya. Mungkin suatu saat kalian, kita, akan berteman. Bahkan sangat akrab. Mungkin.”

     Energi baru lainnya dengan dibuat lomba resensi buku dan kritik sastra adalah memberikan wadah nyata bagi pernyataan Jamal D Rahman dalam sebuah wawancara dengan Koranopini.com yang menyatakan; ”Tentu saja buku itu (33 tokoh sastra berpengaruh) harus disikapi secara kritis, sekritis mungkin, dibarengi dengan sikap terbuka, tidak apriori, apalagi berprasangka. Yang kita butuhkan adalah polemik atau diskusi yang konstruktif dan dewasa dalam sastra kita.” Barangkali hal tersebut dilakukan karena mendapat tantangan terbuka dari Saut Situmorang dan mereka, kubu Denny JA itu membuat arenanya sendiri; memuat segala bentuk polemik dalam buku, mendongkrak popularitas dan pengaruhnya yang sedari awal sudah retak, sekaligus mengambil jalan pecah belah sebagai pintu.

    Dengan lain kata, kubu Denny JA sepertinya tak mau terus-menerus benjut dihantam aliansi bertubi-tubi yang sepertinya tak habis-habis amunisinya. Diadakannya lomba tersebut tentu mereka tidak ingin ditikam pisau bantahannya sendiri. Serupa menjilat ludah sendiri. Ah, ternyata perang belum selesai. Belum apa-apa. Dan cerita tentang sepuluh pendekar yang saya ingat semaca kecil dulu makin terang dalam ingatan.

*) Jurnalis partikelir, tukang puisi, petani melon, tukang foto keliling

Selasa, 28 Januari 2014

Pernyataan Sikap Aliansi Menolak Pembodohan dari Madura

PERNYATAAN SIKAP
Aliansi Menolak Pembodohan Buku
33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
Madura


Terbit dan beredarnya buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH (KPG, 2014) susunan Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah (anggota), menuai polemik di tengah dunia sastra Indonesia. Sekelompok sastrawan, kritikus, pecinta buku dan aktivis mengeluarkan petisi yang ditujukan pada buku tersebut sekaligus mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.

Desakan ini ditujukan pada Kemendikbud dengan pertimbangan Kemendikbud adalah lembaga pemerintah yang punya hak dan wewenang untuk menilai dan memutuskan kelayakan buku yang terindikasi sebagai buku yang akan masuk dalam rancangan kurikulum pendidikan formal di Indonesia. Kemendikbud didesak untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang pengujian terhadap ketepatan prinsip, metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.

Desakan ini kami lakukan karena buku ini berpotensi menyesatkan publik, penuh dengan  klaim assersif disusun dengan  definisi dan kriteria yang tak definitif, dan ditenggarai penuh dengan konflik kepentingan yang membawa pada potensi kecurangan. Maman S. Mahayana, salah seorang anggota Tim 8, menyatakan bahwa penaja buku ini adalah Denny J.A, dan Tim 8 memasukkan Denny J.A sebagai salah seorang tokoh sastra paling berpengaruh, meskipun ia tak memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam pemilihan.

Membiarkan kebodohan ini menjadi konsumsi publik adalah bentuk kejahatan. Cepat atau lambat, buku yang disusun tanpa standar yang jelas ini akan masuk ke sekolah-sekolah sebagai sebuah bentuk baru pembodohan lewat jalur pendidikan formal.
Dari pertimbangan di atas, maka kami  yang tergabung dalam Aliansi Menolak Pembodohan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh di Madura menyatakan:

Mendukung PETISI TERHADAP BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH SUSUNAN JAMAL D. RAHMAN, DKK DAN SERTA MENDESAK KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL UNTUK SEGERA MENGAMBIL TINDAKAN.
Mendukung aksi demonstrasi untuk mendukung petisi yang dilaksanakan di Jakarta 17 Januari 2014 dan mendukung semua kreativitas dalam rangka membenahi sejarah sastra Indonesia yang dibuat semaunya dan dibelokkan oleh terbitnya buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH SUSUNAN JAMAL D. RAHMAN, DKK.
Dengan tegas mendesak peninjauan kembali buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH SUSUNAN JAMAL D. RAHMAN, DKK untuk dikaji ulang oleh Kemendikbud bersama figur-figur yang dianggap berkompeten di bidang sastra dan dibuka secara publik.
Menuntut pertanggung jawaban tim 8 atas buku yang mereka susun.
Menghimbau kepada para pecinta sastra dan buku, penulis, kritikus, akademisi, dan masyarakat umum untuk bergabung dalam aliansi menolak pembodohan yang ditularkan oleh buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH.


Demikian pernyataan sikap ini kami susun sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan kami terhadap sastra Indonesia.




Madura, 17 Januari 2014

Aliansi Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Rabu, 22 Januari 2014

SAAT KAU MENELPONKU


Saat kau menelponku aku akan baca puisi ini:
  
aku mencintaimu dengan seluruh jembutku
jembut yang melambai lambai diterpa angin kemarau yang panjang dan riuh
saat pipis di bawah jembatan itu

aku mencintaimu dengan seluruh jembutku
jembut yang diam dan tak pernah berkata kata
saat tumbuh maupun jatuh
tapi setia dan tak rapuh

aku mencintaimu dengan seluruh jembutku
apakah kau juga mencintaiku dengan seluruh jembutmu, sayangku?

saat kau menelponku aku akan baca puisi itu. maka terkutuklah henpon yang lobet saat bus berjalan. powerbeng ketinggalan. ada api di atas kepala pagi. suara orang muntah di bangku belakang. aku terjaga. aku terjaga. mengingat cinta yang terluka. membalas inbox dengan tergesa. aku ingin mendengar lagi suara tawamu saat kau menelponku dan aku baca puisi itu, sebelum henpon ini mati tiba-tiba. 

runcing matahari menembus kaca. aku terpejam. aku terpejam dalam kehampaan yang asing dan menunggu henpon berdering. 


Madura, Januari 2012-2014

Selasa, 21 Januari 2014

ROKAT BHUMIH

Rokat Bhumih
 

bergemalah angin di pucuk pucuk pohon
bergemalah dingin di tubuh para pelancong
bergemalah suara pesawat menderu
melintasi langit Branta yang lugu

bergemalah semua dalam sajakku
jadi koor seadanya
dengan klenang hujan
dan saronin musim tanam
sebagai musik peladang

lalu menarilah
menarilah kita
diantara gemulai tangan perempuan ladang menabur benih
dan Kekar tangan petani mencakul tanah nasibnya yang pedih
menarilah kita sebagai tanda bahagia
betapa petani masih setia memberi makan dunia

jika mereka menawari lintingan tembakau
dan segelas tuak pohon enau
terimalah. terimalah dengan bahagia
seperti khaddam bumi menerima segala rupa sesaji
seperti saweran rhemo dalam beha penari seksi

dengan begitu kepedihan akan tidur
dan kebahagiaan akan bangun
memeluk bumi. memanggil roh orang orang mati
mengiringi perantau pulang, perantau pergi

dan musim berganti


Madura, 19-20 Januari 2014

Senin, 13 Januari 2014

Surat buat Tuhan

Surat buat Tuhan

tuhan, kenapa akhir-akhir ini dikau sering pipis?
aku perhatikan dalam sehari ini sudah tiga kali dikau pipis
Sakitlah dikau tuhan?
masa tua memang masa istirahat
berapa usiamu tuhan?
pasti lebih tua dari usia kura kura atau buaya
sekali-kali periksalah kesehatanmu ke dokter
takutnya gejala diabetes atau
infeksi saluran kencing
masih ingat tempo hari, khan?
bapakku mati karena diabetes
aku gak mau tuhan mati
FPI bisa kalap nanti
HTI limbung kehilangan jati diri
makanya tetaplah jaga diri
meski manusia permintaannya makin aneh aneh aja
koruptor bisa aja minta surga
hidupnya ingin selamat dunia akherat.
tapi kok nyatanya emang banyak yang terkabul doa-doanya
yang ketangkap aja gak juga ditimpa bencana
sementara yang miskin, berdoa minta kaya
yang datang justru tentara
buat rampas tanahnya


o ya, kalo gak suka periksa ke dokter cobalah periksa ke dukun
siapa tau penyakit beser itu karena kesurupan roh dari Nyalaran
roh orang orang yang dituduh PKI lalu dibantai
kalo memang karena itu,
siapin Kembang tujuh rupa, sebatang rokok dan jajanan pasar
lalu lempar ke pintu Kodim saat siang

tuhan, gak terasa hari telah ashar
aku cabut dulu karena bentar lagi
dikau akan sibuk;
mencatat nama nama dan menginventarisir doa doa
bukan pekerjaan ringan tentu saja
tapi harus tetap semangat
dan jangan sampai salah alamat
hati hati juga dengan politisi
doanya banyak manis di bibir
tapi busuk di hati
Oya, pemilu nanti coblos capres siapa?

udah ya
cepat sembuh besernya

peluk cium selalu


Nb; oya, biar gak kesepian cobalah kawin siri. Masa kalah sama LHI

Jumat, 10 Januari 2014

BALADA BANGUN PAGI


tadi aku berbaring miring, sayangku
kala bangun tidur
aku dengar detak jantungku di bantal
sambil membaca temlen twitter di henpon yang sesekali bergetar

tak ada yang aku pikirkan pagi ini
selain mimpi malam tadi
menemukanmu di pojok sawah
memulai percakapan-percakapan panjang
menyusun huruf huruf menjadi nama sebuah sekolah
hei, hei, kita terbang ke Red Light District
kau menjadi pelacur di Frankfurt
aku jadi santri dalam kancut para pengemis
yang bau tapi selalu tersenyum manis
yang luput tercatat dalam puisi-esai Denny yang kinyis-kinyis

kau nulis puisi apa, Edy? kau nulis puisi apa?
Allen Ginsberg tertawa
Arthur Rimbaud tersenyum sambil memejamkan matanya

sebuah sms masuk
"beli leather case mediapad merah saja
aku berangkat ke suarabaya
jenguk suami teman sakit ginjal stadium lima"


aku masih dengar detak jantungku di bantal
dan trus membaca temlen twitter di henpon yang sesekali bergetar

sebuah berita: para perokok tidak akan mendapatkan BPJS

ah, negara makin bangsat saja

lalu cinta membakar sorga
dalam mimpiku

dan pagi terus bergetar dari kudukku


Januari, 2014

Selasa, 07 Januari 2014

Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang

Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang
Oleh: Edy Firmansyah*)


"Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas …atau saya akan mendatangkan pasukan untuk mengusirnya" (Taufiq Ismail).

            Itulah kalimat terakhir dari satu paragraf SMS Taufiq Ismail yang dikirim berantai, untuk melarang bedah buku Asep Sambodja di gedung PDS HB Jassin karena membahas tentang sepak terjang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), 2011 silam.

Bagi banyak masyarakat sastra Indonesia, SMS Taufiq Ismail barangkali sudah jadi gunjingan sekaligus lelucon. Norak. Bulus. sekaligus keji. Sama bulusnya seperti airmata alumnus dokter hewan UI itu saat membaca puisi dan atau bicara soal bahaya laten PKI (?).

            Tapi bagi masyarakat di luar sastra, yang menganggap sastra adalah dunia adiluhung dan penuh kehalusan sikap dan budi pekerjanya, kata ‘berak’ barangkali merupakan kata yang tak pantas diungkapkan seorang sastrawan “agung’ sekaliber Taufiq (pake Q bukan K) Ismail. Tapi apa boleh buat, kalimat itu memang terlontar dari peraih cultural Visit Award dari pemerintah Australia tahun 1977 itu. Berak!

Dari kalimat terakhir itu tersirat, betapa agungnya PDS HB. Jassin dimata mantan guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pecis, Bogor itu. Tak boleh ada satupun kekuatan atau kelompok yang boleh menista keagungan gedung itu. Karena gedung itu, barangkali,  di mata salah satu penandatangan manifes kebudayaan (manikebu) itu adalah simbol keagungan sastra. ”Sastra jangan diinjak-injak. Menginjak-injak sastra berarti akan berhadapan dengan saya.” Mungkin begitu saya tangkap dari kalimat akhir SMS itu yang tersebar luas tiga tahun silam itu.

            Kalau melihat sepak terjangnya, terutama ketika menghantam maraknya sastra kelamin yang dinamai oleh Penerima beasiswa AFS International Scholarship itu sebagai gerakan syahwat merdeka (GSM) pada awal tahun 2000, ultimatum yang saya sebut diatas ada benarnya. Pidato kebudayaannya yang dia baca di IPB pada 9 Januari 2007 silam juga mengisyaratkan itu. Sayatan pedang kata-katanya ketika berpolemik dengan Hudan Hidayat soal sastra perkelaminan membekas di dinding google.

            Sama membekasnya ketika palu godam dialamatkan pada sastrawan bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah itu karena puisinya berjudul “Kerendahan Hati” dituduh memplagiat puisi berjudul 'Be the Best of Whatever You Are'  karya penyair Amerika Serikat kelahiran tahun 1877, Douglas Malloch.

            Bermula dari kekesalan Bramantyo Prijosusilo karena SMS Taufiq Ismail dengan kata ‘berak’ itu menyebar luas, akhirnya Bram memposting kemiripan puisi “Kerendahan Hati’ dengan puisi Douglas Malloch. Cemoohan di jejaring sosial membuncah. Polemik pecah. Meski penulis buku puisi  “Tirani dan Benteng” itu mengelak bahwa puisi itu miliknya, nyatanya di buku pelajaran sekolah menengah puisi "kerendahan hati" ditulis atas namanya. Hanya saja nama Taufiq menggunakan huruf K, bukan Q.

            Meskipun baik Bramantyo Prijosusilo maupun Taufiq Ismail sudah sama mengulurkan tangan dan saling berbagi maaf terkait polemik tersebut pada acara silahturahmi sastra yang digelar di Fadli Zon Library Jakarta, Kamis (14/4) silam, jejaknya tetap bertahan. Apapun bantahan mantan ketua senat FKHP UI tahun 1960-1961, termasuk bantahan keponakannya, Fadli Zon, soal huruf Q dan huruf K pada nama Taufiq Ismail, polemik itu tak bisa serta merta menghapus stempel yang terlanjur ditabalkan padanya; diduga kuat terlibat plagiator.

Betapa tidak, sejumlah sinyamen secara tidak langsung membentuk premis kehadiran puisi "kerendahan hati" karya Taufiq Ismail dalam kurun waktu 1998 sampai 2008. Bayangkan pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010  di TransTV dan Taufiq Ismail tak protes puisi itu menggunakan namanya sebagai pengarangnya. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati  karya Taufiq Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006. Dan tak ada yang menggugatnya, termasuk Taufiq Ismail.

            Jum’at lalu, 3 Januari 2014, masyarakat sastra kembali terbeliak. Marah. Protes. Pada hari itu sebuah buku berjudul “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” diluncurkan di PDS HB. Jassin. 

Kemarahan itu karena Denny JA, bos Lembaga Survei Indonesia (LSI), tiba-tiba masuk dalam daftar 33 tokoh Sastra Paling berpengaruh di Indonesia selama 114 tahun. Kemarahan itu juga dialamatkan pada tim 8 yang diketuai Jamal D Rahman, seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah Horison, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) masuk. Parahnya lagi, peluncuran buku tersebut bertepatan dengan perayaan ulang tahun pemilik akun twitter @dennyJA_World itu.  Bau uang menyebar dari acara peluncuran buku tersebut. Jagat sastra merasa dikencingi seorang makelar politik. Tapi apa boleh buat. Sastra adalah politik, tapi tindakan politik belum tentu sastra. Beberapa gelintir sastrawan yang berhimpun dalam tim 8 telah menjual jasanya untuk melegitimasi “dukun politik” bernama lengkap Denny Januar Ali itu untuk mendapatkan ‘stempel sah’ sastrawan lewat buku “puisi-esai’nya berjudul “Atas Nama Cinta.” Saking jengkelnya, seorang pegiat sastra bernama Dwi Cipta sampai membikin status sarkasme; “Siapapun yang punya uang banyak, bisa beli orang-orang di tim 8 untuk menjadikan kalian sebagai sastrawan top. Dijamin 100% munafiknya.”

Hiruk pikuk soal buku tersebut kembali mengingatkan saya pada Taufiq Ismail. Peluncuran buku tersebut di PDS HB.Jassin jelas merupakan bentuk ‘berak’ yang mengotori PDS HB. Jassin. Persis seperti SMSnya ketika melarang diskusi buku ASep Sambodja. Bedanya, yang dituduh ex. Lekra lewat diskusi buku Asep Sambodja itu memang tak ‘berak’ digedung PDS. HB. Jassin, tapi ‘berak’ di bawah tangga gedung PDS. HB. Jassin karena diusir paksa. Sementara diluncurkannya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu telah nyata dan terbukti ‘berak’ di gedung yang bagi seorang Taufiq Ismail itu begitu agung.

Nama Taufiq Ismail memang ada di dalam buku "33 tokoh sastra paling berpengaruh" itu. Ada di urutan 17. Diapit nama Ajip Rosidi diatasnya dan nama WS. Rendra di bawahnya. Nampak mentereng dan gemerlap. Tapi kalau Taufiq Ismail Konsisten bahwa ultimatumnya tentang berak di PDS HB Jassin akan berhadapan dengan dia dan 'pasukannya' harus juga dibuktikan. Bukankah dulu, ancaman bahwa jika diskusi buku Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia danPengarang-Pengarang Lekra (ULTIMUS 2011) tetap didiskusikan di ruang PDS. HB.Jassin, Taufiq Ismail akan mengirimkan ‘pasukan’ untuk mengusirnya?

Tentu masyarakat sastra menunggu ‘pasukan’ Taufiq Ismail datang. Lalu menggempur dan meluluhlantakkan semua yang terlibat dalam pembuatan dan peluncuran buku ”33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” itu. Sebab PDS HB. Jassin sudah diberaki ramai-ramai oleh segelintir sastrawan yang bisa melakukan apa saja atas nama uang untuk menjadikan siapapun yang mau membayar mereka mahal sebagai sastrawan berpengaruh.

Kecuali kata ‘berak’ Taufiq hanya untuk ditujukan kepada segala hal yang berbau Lekra dan Komunis (juga sastra kelamin) saja. Sementara 'berak' yang lain, semisal buku "33 Tokoh Sastra paling berpengaruh" itu, yang tidak ada hubungannya dengan lekra, komunis dan sastra kelamin, bukanlah 'berak.' Tapi sekarung bunga melati harum yang baru dipetik di mana dia ada di dalamnya. Meski sebagian lain melihatnya sebagai mencret! Walluhua’lam.(*)


Madura, 07 Januari 2014
*) Edy Firmansyah, petani melon. mantan loper koran. jurnalis sambil lalu. blogger. fesbuker. penyair.

Senin, 06 Januari 2014

Denny JA, Kuantitas dan Kualitas Kesusastraan Indonesia

Denny JA, Kuantitas dan Kualitas Kesusastraan Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah


Peluncuran buku 33 tokoh sastra palingberpengaruh di Indonesia selama 114 tahun (1900-2014) di Pusat DokumentasiSasta HB Jassin, 3 Januari lalu langsung menyulut api protes.

Dan kayu bakar api itu pertama-tama adalah Denny JA. Selain tim 8 yang diketuai Jamal D Rahman, seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah Horison, sebagai bensinnya, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) tiba-tiba masuk dalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia selama seabad.

Apa debut pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan bernama lengkap Denny Januar Ali itu dalam jagat sastra Indonesia? Pertanyaan itu paling banyak dipertanyakan khalayak sejak buku tersebut resmi diluncurkan dan jadi bulan-bulanan cemoohan di jejaring sosial twitter. Pertanyaan lain yang sempat dipertanyakan dengan nada nyinyir adalah; Lha, sejak kapan Denny JA jadi sastrawan? Apa pengaruh dia pada saya, pada anda, dan pada sastra Indonesia? Ini benar-benar mengerikan!

Memang sepanjang tercatat di media massa, dalam kariernya, Denny JA populer karena Ia membuat riset opini publik (survei) dan marketing politik (konsultan politik) menjadi variabel baru pertarungan pemilu dan pilkada di Indonesia. Mesin risetnya yang bernama Lingkaran Survei Indonesia yang didirikan Denny JA pada tahun 2005 dianggap sebagai institusi pertama yang masif yang berperan dalam politik baru pemilu. Hasil riset lembaganya seringkali berhasil memprediksi kemenangan calon pemimpin dalam pilkada atau atau pemilu, sejak 2004. Alumni jurusan hukum Universitas Indonesia itu membantu kemenangan presiden dua kali (2004, 2009), 23 gubernur dari 33 propinsi seluruh Indonesia dan 51 bupati/walikota.  Ia memenangkan semua pemilu presiden langsung yang pernah ada di Indonesia ini. Ia memenangkan lebih dari 60% gubernur seluruh Indonesia. Keakuratan ‘ramalan’ sang “dukun politik” – meminjam istilah harian Republika – sampai membuat MURI memberikan lima penghargaan sekaligus pada LSI, lembaga yang ia pimpin itu.

 Sementara sastra? Sebagaimana diakui suami Mulia Jayaputri itu saat merespon tim 8 yang memilih dirinya masuk dalam daftar 33 sastrawan berpengaruh, dengan tulisan berjudul “menjadi sastrawan berpengaruh”, hanya ada satu karya sastranya; ‘puisi-esai’ berjudul “Atas Nama Cinta.” Secara kuantitatif, angka tujuh ribu lebih orang yang mengunjungi dan membaca situs www.puisi-esai.com, tempat Ia mempublikasikan puisi-puisinya tersebut tentu bukanlah angka main-main. Bagi seorang blogger pemula, angka itu tentu saja mewah. Tapi bagi seorang pengusaha sekaliber Denny JA, itu hal yang biasa. Konon dengan membeli akun twitter seharga puluhan juta dengan jumlah follower lebih dari satu juta, plus dibantu buzzer akun twitter lain, mempromosikan sebuah buku puisi baru dan mendapatkan komentar penuh pujian dari banyak orang bukanlah hal yang mustahil di era gadget ini.

Terlebih lagi kita berada di era di mana kapitalisme bercokol dengan gagahnya di balik kerapuhannya yang kasat mata. Di era kapitalisme, uang bisa menjadi jaminan bagi siapa saja yang ingin melambungkan dirinya. Dalam sebuah buku sejarah, atas nama kekuasaan dan modal nama-nama penting bisa dihapus dan digantikan nama lain. Dalam dunia sastra juga begitu. Tak ada bidang apapun yang bersih dari politik. Yang bersih dari tangan kotor kapitalisme. Termasuk sastra.

Masih secara kuantitatif, belum pernah ada karya sastra seperti ‘puisi-esai’ “Atas Nama Cinta” yang dibahas dan diapresiasi penuh puja-puji sedemikian 'heboh'. Dibikinkan video klip, bahkan di filmkan. Berapa dana yang dibutuhkan untuk membiayai video klip “atas nama cinta” yang melibatkan sastrawan plus budayawan semisal Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim, Sujiwo Tejo, danFatin Hamama? Tentu saja tak murah. Tapi bagi anda yang duitnya pas-pasan bolehlah memekik; ladhalah, akeh men le duite! Sebab biaya untuk itu bisa tembus ratusan juta. Atau meski hanya mencapai puluhan juta rupiah pun angka tersebut tidak bisa dibilang sedikit. Sebab tak ada makan siang gratis tentu saja! Tak ada. Bahkan pemeran video klip itu juga butuh sekedar minum es cendol di hotel bintang lima.

            Tapi membuat produk sastra dan menjadi sastrawan berpengaruh tidak hanya soal angka kuantitatif belaka. Kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Popularitas sebagai tolok ukur kuantitatif bisa saja dibeli. Tapi kualitas tidak. Waktu dan ketekunan sejati yang mengujinya. Buku Puisi Chairil Anwar tentu tak akan diapresiasi segempita “Atas Nama Cinta” Denny JA. Tapi tanpa dirayakan semeriah pasar malam di lapangan misbar (kalau gerimis bubar) pun “Atas Nama Cinta” tak akan sanggup menyamai kualitas puisi-puisi Chairil Anwar. Dan kalau bicara kualitas, seringkali angka-angka kuantitatif kerap bengkok dan gampang meleleh.

            Bisa dilihat misalnya, ketika penyair Saut Situmorang merespon dengan kritis buku puisi mantan host di acara politik Metro TV dan radio Delta FM itu, di situsnya www.puisi-esai.com, bukannya dimuat sebagaimana admin web tersebut memuat segala puja-puji puisi, komentar suami kritikus sastra Indonesia asal Jeman, Katrin Bandel, justru dihapusnya. Padahal Denny JA dikenal sebagai ‘tokoh’ anti diskriminasi dan pluralisme. Sedangkan menghapus pendapat orang bukankah juga bentuk tindakan anti diskriminasi dan anti pluralisme? Sungguh paradoks. Padahal komentar itu cuma lima paragraf saja. Berikut komentar tersebut saya tuliskan utuh;

            ”Satu Tulisan Pendek Atas Lima Puisi Panjang”, judul keren! Memang gak perlu panjang-panjang cumak untuk mengomentari sajak-sajak Lekrais di sini! Hahaha!!!

Kemenangan faktual dan kemenangan puitikal adalah dua hal yang berbeda. Ketika yang faktual ingin masuk alam domain puisi ia harus tunduk dalam hukum hukum puisi yang sering tak bisa ditetapkan secara jelas. Maka segala data fakta yang dimasukkan ke dalam daerah puisi belum tentu efektif membikin mesin puitika bekerja secara maksimal.

Nah! Kalok memang mau nulis Puisi, tulislah Puisi; kalok mau nulis Esei, tulislah Esei. Pakem kedua genre itu yang kelak akan menentukan apakah benar sebuah Puisi telah ditulis, atau sebuah Esei berhasil dikarang. Cumak para pemula yang gak tau diri yang ingin melahap semuanya, tanpa sedikitpun mau bersusah-payah untuk memahami dan menguasai keduanya terlebih dulu! Cumak biar dikira orang Pembaharu!!!

Kalok “ke-esei-an” sebuah “genre” bernama “sajak-esei” cumak dibuktikan dari Catatan Kaki yang dimilikinya, kasihan amat tuh genre! Kasihan amat pulak genre yang bernama “Esei” itu! Mosok Esei cumak macam begitu hakekatnya! Bukannya lebih tepat kalok “genre baru”mu ini disebut “sajak-skripsi” aja, hahaha!!! Atau “sajak-yang-bercatatan-kaki”! LOL

Cobak baca sajak “The Waste Land” karya penyair TS Eliot. Liat relasi intertekstual antara sajak dan catatan kaki yang berhalaman itu. Di situ, TANPA catatan kakinya, maka puisi Eliot tsb akan sangat susah untuk dipahami! Fungsi catatan kaki gak bisa dipisahkan dari keberadaan keseluruhan sajak. Itulah sifat ke-esei-an puisi Eliot tsb! Intertekstualitas adalah kata-kuncinya. Begitulah sosok sebuah “sajak-esei” kalok memang istilah gak jelas ini masih dianggap perlu untuk gagah-gagahan.”

Mari bicara lagi soal kualitas keberpengaruhan sastrawan di dunia sastra Indonesia. Saya yakin keberpengaruhan Denny JA, apalagi cuma satu tahun sebagai tamu di sastra Indonesia, tak akan sanggup mengalahkan kualitas penyair asal Sumba Timur yang diberi gelar presiden malioboro, Umbu Landu Paranggi. Umbu Landu Paranggi itu sangat dihormati oleh murid-muridnya di Persada Studi Klub (PSK) waktu dia tinggal di Jogya. Juga sangat dihormati murid-muridnya di Sanggar Minum Kopi(SMK) di Bali. Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Ebit G Ade, adalah beberapa gelintir muridnya di PSK. Raudal Tanjung Banua, Wayan Jengki, Riki Dhamparan Putra yang di SMK. Itu cuma sedikit yang bisa saya sebut. Banyak sastrawan murid Umbu yang mewarnai jagat sastra Indonesia. Umbu adalah guru sastra dalam arti sejati. Tak banyak memang puisi-puisinya. Tapi dari tangannya yang dingin dan ketekunannya membimbing, bibit-bibit sastrawan muda Indonesia lahir dan membiak. Tak ada pamrih dari proses itu. Yang ada hanya kecintaan pada sastra. Karena itu kebangetan menurut saya, orang yang mengaku penyair atau sastrawan yang tidak tahu guru Umbu, apalagi sepak terjangnya di jagat sastra Indonesia. Nah, kalo Emha saja bisa masuk 33 sastrawan berpengaruh, Kenapa guru Umbu tidak? Tim 8 itu tidak kenal Umbu kah? Saya aja kenal meski dari google. Dan juga takzim padanya. (Tim8 itu kurang gaul kali ya? ). Lantas apa kehebatan Denny JA dibandingkan guru Umbu dalam jagat sastra Indonesia ini kok dia bisa masuk sementara guru Umbu tidak? Apa kehebatan Denny JA dibandingkan Wiji Thukul kok bos tukang survei itu bisa masuk 33 sastrawan berpengaruh dan Wiji Thukul tidak? Apa hanya karena, baik Thukul maupun Guru Umbu tidak punya duit sebanyak Denny JA?

Bahkan kalau hanya karena semangat mengusung pluralisme dan anti diskriminasi yang membuat ayah dari Rafi Moeslim Auliya Denny dan Ramy Bary itu terpilih jadi 33 sastrawan berpengaruh dalam 114 tahun, saya rasa soal itu prestasi Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur belum ada tandingannya. Sekedar menyebut contoh, misalnya, keberaniannya mencoba mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunis, Marxisme dan Leninisme dan pelarangan berdirinya partai PKI di Indonesia saat jadi Presiden belum ada yang berani meneruskan hingga sekarang. Lantas kenapa Gus Dur tidak masuk dalam daftar 33 sastrawan berpengaruh itu. Kurang apa Gus Dur coba? Pernah jadi ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dan esai- esainya soal film dan sastra juga banyak. Bukankah esai-esai itu juga produk sastra selain puisi dan prosa yang membuat Gus Dur pantas disebut sastrawan?

Pertanyaan diatas penting dipertanyakan, meskipun bukan krusial, untuk kembali mempertajam akal sehat kita soal ketokohan seseorang, terutama di bidang sastra. Orang boleh dongkol bahwa membicarakan buku 33 Sastrawan berpengaruh selama 100 tahun di mana nama Denny JA ada di dalamnya hanya akan menaikkan popularitas buku itu. Karena polemik kerap jadi bagian dari strategi bisnis pemasaran. Sedangkan kita yang membicarakannya dengan nada cemooh adalah brand ambassador gratisan. Sebab brand ambassador bayarannya sudah menulis prolog dan epilog dan jadi bintang iklan di video klip buku puisi “atas nama cinta” itu. Namun berhenti membicarakannya adalah berbahaya dan tak termaafkan. Tak bisa dibayangkan jika buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia dan PDS HB Jassin itu masuk ke perpustakaan sekolah-sekolah dan dibaca anak-anak kita. Mereka akan mengingat Denny JA dan melupakan Sitor Situmorang, Wiji Thukul, Umbu Landu Parangggi dan banyak sastrawan-sastrawan besar lainnya yang lebih pantas disebut sastrawan berpengaruh daripada Denny JA. Bukankah sangat disayangkan jika hanya karena nafsu, ambisi dan kerakusan para penyusunannya, anak-anak kita akan jadi korban dan sastra terus mengalami kemunduran yang tak terperikan karena penulis sejarah sastra Indonesia bisa dibeli dan sejarah dan tokoh sastra Indonesia bisa diganti seenak orang kentut di kesunyian kamar atas nama kuasa uang.



 Sampang - Pamekasan, 04 - 06 Januari 2013

 Edy Firmansyah, wartawan sambil lalu. Fesbuker. blogger. penyair

Blues untuk Bapak

Blues untuk Bapak
 

bapak mati, aku peluk tubuhnya
ibu menangis, aku peluk tubuhnya
airmatanya bergetar
seperti suara seribu lonceng jiwa
yang bergetar sakit di dalam rumah sakit itu

"hidup adalah kenyataan hari ini, anakku"

suara itu. suara itu menyimpan tangisku
seperti tangis orang miskin
yang disimpan di puing-puing rumahnya
usai dibuldoser seperti sampah celaka

"hidup adalah kenyataan hari ini, anakku"

suara peringatan elektrokardiograf pecah. flat line. suara nafas yang payah. flat line.
suara orang mengaji. suara dokter yang seksi. suara pasien mau mati

o, bapakku sekarat. alat pacu jantung yang tak ada.
perawat berwajah mayat. pijatan jantung yang terlambat.
AC ruang ICU mati. tubuhnya begitu dingin.
aku memeluknya. mual. seharian belum makan. seribu nama tuhan bergema.
seribu kata puisi, murka.

tidak ada yang tidur di langit. tidak ada yang tidur di bumi.
tidak ada yang tidur
jika seseorang menutup matanya
maut akan menguntitnya

bapak mati, aku peluk tubuhnya
ibu menangis, aku peluk tubuhnya
airmatanya bergetar
seperti suara seribu lonceng jiwa
yang bergetar sakit karena kehabisan biaya

siang itu langit jadi begitu suram
seekor kupu-kupu hinggap di spion kiri motorku



18 Desember 2013 - 03 Januari 2014