WAKTU

JEDA

Selasa, 10 November 2009

MENJADI PNS

MENJADI PNS.

Cak Kus kedatangan tamu. Seorang kawan lama. Teman sekolah. Si kawan, sebut saja A tidak sendirian. Ia datang dengan istrinya. Setelah bercerita panjang lebar soal banyak hal—memang yang paling banyak cerita kekonyolan masa silam waktu sekolah dulu—si kawan mengungkapkan tujuan sebenarnya bertanandang pada Cak Kus; mencari jalan pintas jadi PNS. Bahkan A sudah menyediakan dana sebesar Rp. 60 juta sebagai uang pelicin untuk memuluskan jalannya itu.

“Wah, kenapa kalau urusan itu kok mesti ke saya to ya!? saya khan bukan Bupati. Bukan juga pejabat tinggi di Pemerintah Daerah.”

“Iya…iya saya tahu. Tapi sampeyan khan banyak teman pejabat. Juga termasuk orang ‘penting’ di daerah ini. Ayolah Cak, tolongin saya sekali ini saja. Tau sendiri khan cari kerja sekarang sulit. Ini demi masa depan keluarga.” Sambil tangan si A memegangi bahu istrinya. Kedua pasangan suami-istri itu kemudian tersenyum.
Mendengar komentar kawannya itu Cak Kus jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil tertawa dalam hati. Betapa tidak. Seumur-umur baru kali ini ia disebut-sebut sebagai salah satu orang “penting” di daerahnya. Padahal banyak diantara kawan-kawan lainnya masih sepakat untuk menyebut Cak Kus sebagai orang ‘edan.’ Bagaimana tidak edan. Setelah lulus kuliah sempat kerja di perusahaan besar pertambangan. Tiga tahun ia lakoni pekerjaan itu. sampai akhirnya ia bisa menjabat sebagai kepala divisi Humas. Eh, karir baru menanjak malah memilih berhenti. Keluar dari perusahaan pertambangan Cak Kus lalu kerja jadi reporter. Hanya satu tahun di perusahaan media cetak. Berhenti. Dan akhirnya memilih pulang kampung. Mengelola sawah warisan bapakknya seluas 1 hektar. Sambil jadi penulis serabutan. Apa itu tidak edan!?

Nah, ini sekarang ada kawan yang menyebutnya orang penting. “Apanya yang penting?” Batin Cak Kus. Benar memang ia sering dekat dengan pejabat-pejabat daerah. Tapi kedekatannya hanya sebatas liputan saja. Sebab Cak Kus selain sebagai petani di kampungnya juga sesekali masih menulis satu dua berita untuk media. Benar juga memang Cak Kus juga kerap nongol di televisi lokal untuk menjadi narasumber atau wajahnya nongol di koran lokal ketika menulis artikel tentang berbagai fenomena sosial. Meski demikian ia tak pernah merasa jadi orang penting. Apa memang pujian kawannya itu hanya untuk meluluhkan hati Cak Kus agar bisa mencarikan jalan belakang untuk menjadi abdi negara itu?

Sebenarnya permintaan kawannya itu bukanlah hal baru bagi Cak Kus. Setiap musim rekruitmen PNS seperti sekarang ini selalu saja ada orang yang tak yakin pada dirinya sendiri dalam berkompetisi memperebutkan kursi menjadi PNS lewat ujian. Bahkan para pejabat di daerahnya pun juga turut sibuk mencarikan ‘jatah’ PNS untuk anak-anaknya yang sudah lulus kuliah. Tahun lalu sebuah media pernah mengungkap kasus anak-anak pejabat di sebuah daerah yang sengaja ‘dititipkan’ untuk masuk jadi PNS. Tentu saja tes CPNS yang diikuti hanya sekedar formalitas belaka. Para anak-anak pejabat itu pasti lulus.

Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya para cukong dan makelar PNS. Memanfaatkan ambisi orang-orang yang ingin jadi Ambtenaar. Dengan menyerahkan uang puluhan juta rupiah para cukong dan makelar PNS ini sanggup mewujudkan cita-cita para CPNS mendapat SK. Juga maraknya jual beli kunci jawaban merupakan fenomena biasa menjelang ujian CPNS digelar.

Anehnya, meski kabar soal kecurangan dalam rekruitmen CPNS selalu menjadi kabar yang lumrah dikonsumsi toh masih banyak saja para orang muda yang mau melamar menjadi abdi negara itu. Tempat pendaftaran CPNS selalu saja dipenuhi para pelamar yang berdesak-desakan. “Siapa tahu beruntung, Pak. Kalau tembus jadi PNS khan mantap,” ujar salah seorang pelamar bernama Iva yang sempat ditanyai Cak Kus di kantor pos saat ia kebetulan tengah membeli materai. Padahal jumlah pegawai negeri di Indonesia sampai saat ini sangat gigantik melebihi negara mana pun: 8 juta orang.

Ambisi-ambisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjadi PNS jelas mengerikan? Cak Kus kemudian ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah konferensi pendidikan Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASBAE) yang dihadiri ornop se-Asia Tenggara dan Selatan pada Desember 2004 lalu. “Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi di negeri ini mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan pegawai negeri sudah bertumpuk-tumpukan. Pendidikan yang membentuk itu semua.”

Ya. Pendidikan kita, diakui atau tidak, selama ini memang tidak serius mencetak manusia-manusia yang berjiwa berdikari dan mampu merintis sebuah kerja mandiri dan tak harus menjadi budak bagi orang lain atau menjadi manusia kuli. Pendidikan kita seakan menjangkar dan memerluas kesadaran serta meluapkan keinginan bahwa kelak bila lulus nanti akan menjadi pegawai negeri. Paling tidak menjadi pelamar pekerjaan dengan menenteng ijazah ke sana kemari dan mengantri panjang untuk mengambil formulir kartu kuning di Depnaker ketika bursa kerja di buka secara massal. Ironisnya lagi, para pelaku di dunia pendidikan terus-menerus menjadikan lembaga pendidikan tak ubahnya sebagai sebuah pabrik. Mereka lebih sibuk menghitung laba-rugi dan terus menerus menaikkan ongkos pendidikan daripada meningkat kualitas. Hasilnya, sebagian besar lulusan sekolah memang masih berwatak feodal. Rakyat jelatanya masih suka menjilat daripada berupaya membebaskan diri dari penindasan. Sementara kaum elitnya masih saja menindas.

Dan kini salah seorang kawannya hendak masuk dan melamar menjadi PNS. Dan kini dia didapuk untuk memuluskan cita-citanya. Ini jelas dilematis bagi Cak Kus. Jika ia menolong berarti ia menambah deretan panjang para koruptor di jejaring birokrasi yang rumit dan rapuh itu. tapi jika ia menolak ia jelas akan kehilangan salah satu temannya.

“Bagaimana Cak? Kok Nglamun!” Suara si A memudarkan lamunan Cak Kus.
***
Peristiwa diatas memang sudah puluhan tahun berlalu. Namun tiap kali media massa cetak dan elektronik mulai marak menyiarkan berita soal rekruitmen CPNS, Cak Kus selalu ingat akan temannya itu. si A memang tak pernah berhasil menjadi CPNS sebagaimana yang dicita-citakannya. Cak Kus menolak memberikan bantuan mencarikan jalan. Berkali-kali ikut tes ia selalu gagal. Sudah ratusan rupiah melayang dari tangannya karena ditipu para makelar PNS. Terakhir si A tertangkap basah membeli kunci jawaban tes CPNS. Ia dihukum 3 tahun penjara. Baru menjalani masa hukuman 1 tahun si A mati; bunuh diri dalam sel-nya.

Sedangkan istri si A akhirnya jualan rujak untuk bertahan hidup dan membiayai 2 anaknya yang masih kecil-kecil. Beruntung usahanya yang gigih dan tak kenal menyerah membuahkan hasil. Dua anaknya sekarang telah menjadi PNS. Satu diantara kini menjadi kepala dinas.

Dan Cak Kus memang tak pernah menyesal pada keputusannya.

Sabtu, 19 September 2009

UJIAN SEKOLAH

Oleh: Edy Firmansyah

“Nek, ceritakan padaku tentang penyesalan,” kata Fesha pada neneknya yang jago cerita itu. Maka sang nenekpun bercerita tentang Karim.

Karim adalah pelajar sebuah sekolah. Hari ini ia sedang mengikuti ujian sekolah.
“Apa lagi yang kau takutnya, Karim? Ayo, ambil contekanmu. Bu Ratmi sedang ada di luar. Mengapa kau masih ragu? Ayo cepat. Masa depanmu tergantung pada ujian ini. Kalau kau tak lulus, emakmu bakal kecewa berat. Ayo Karim. Jawaban dari 50 soal Bahasa Indonesia itu ada di catatanmu itu,” Bisikan itu terus menyemangati Karim
Tapi Karim tak juga mengambil catatan yang terletak di kantong celana, baju dan dibalik kaos kakinya itu. Tangannya masih gemetar. Seumur hidupnya baru kali ini ia membuat contekan. Biasanya ia belajar sebelum ujian dimulai. Pantang baginya mencontek. Jangankan mencontek, bertanya ketika ulangan dimulai saja tak pernah ia lakukan. "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku jujur sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Dan berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri," itulah pesan Bapaknya ketika menghembuskan nafas terakhirnya. Pesan itu kemudian dijadikan falsafah hidupnya.

Tapi kemarin ia tak sempat belajar. Ia harus mengantarkan emaknya ke rumah Paman Oki untuk menjual kalung emas satu-satunya milik emaknya. Untuk apa? Untuk membayar uang sekolah yang sudah tiga bulan nunggak. Tanpa menjual kalung itu mungkin Karim tak akan bisa mengikuti ujian akhir sebagai pintu gerbang bagi ia untuk lulus SMA.
Rumah Paman Oki cukup jauh. Kurang lebih 50 kilometer. Tak mungkin ia meninggalkan emaknya berangkat sendirian. Karena emaknya pelupa. Setiap kali pergi ke rumah kerabat yang tempatnya jauh emak Karim selalu kesasar. Bahkan pernah ketika bertandang ke rumah Bi Marni di Surabaya, emak justru tak sampai kesana. Sejak itulah Karim selalu menemani emak tiap pergi jauh. Karim baru tiba di rumah tengah malam. Badannya sudah terlalu telah untuk belajar. Untuk berjaga-jaga ia terpaksa merobek-robek buku catatan bahasa Indonesia-nya kemudian lembaran-lembaran itu ia selipkan di kantong baju, celana dan di balik kaos kakinya.

Persetan dengan petuah Bapakmu itu, Karim. Kau berada dalam posisi terjepit sekarang. Jangan kecewakan Emakmu, Karim. Kau harus lulus. Tanggalkan idealismemu itu. Buka catatanmu, seperti yang dilakukan teman-temanmu.

Karim melirik ke sebelah kanan. Ia lihat Rani sedang membalik-balikkan contekan yang ditulisnya di kertas tisu. Cara itu sudah dilakukan Rani bertahun-tahun. Rani adalah teman sekelas Karim sejak SMP dan Rani selalu menjadi juara kelas. Karim kemudian melirik esebelah kiri. Ia lihat Adnan juga sibuk dengan buku cetakan bahasa Indonesia yang diselipkan di balik bangku. Sesekali ia keluarkan buku itu, ia buka lembarannya, kemudian tersenyum puas karena menemukan jawaban.

”Jawaban nomor 10 apa?” tiba-tiba Ruli yang duduk di belakang Karim berbisik dengan pelan. Karim membaca lagi soal nomor 10. Pertanyaan; siapa pengarang Novel Olenka? Ada lima pilihan jawaban. (a) Sutan Takdir Alisyahbana. (b) Budi Darma. (c) Pramoedya Ananta Toer (d) Taufik Ismail (e) Ayu Utami. Tapi Karim menggelengkan kepala tanda tidak tahu.

Sebenarnya Karim sudah menandai huruf pada lembar jawaban miliknya. Tapi ia merasa tak yakin kalau jawabannya benar. Karim menjawab C. Karena tak mau menjerumuskan Ruli, Karim sengaja menjawab tidak tahu pada Ruli.

Jangan berjudi dengan nasib, Karim. Kau harus cari tahu jawaban yang benar di catatanmu itu. Bukalah contekanmu, jangan sungkan.

”Waktu tinggal 30 menit lagi,” Suara Bu Ratmi, pengawas ruang D memecah keheningan. Serentak siswa berseru huuuuuuuuuuu.......huuuuuu....! atas pemberitahuan itu.
Karim melihat lembar jawabannya lagi. Hanya ada 20 soal yang berhasil ia jawab. Dan hampir kesemuanya tidak seratus persen benar. Karim hanya menduga-duga saja ketika menjawab soal tersebut.

Aku tak boleh menyerah. Karim harus juga seperti kawan-kawan lainnya. Maka segera kuseret ingatan Karim pada Pesan Emak ketika berangkat ujian tadi pagi. ”Ingat, Nak. Kau harus lulus. Biar ringan beban emak. Adikmu sebentar lagi masuk SD. Dan kau tahu bukan biaya sekolah saat ini tidak murah. Jika kau tinggal kelas, emak tak sanggup membayar uang sekolah kalian berdua nantinya.”

Camkan pesan Emakmu, Karim. Camkan. Tidakkah kau ingin jadi anak yang berbakti? Kalau ingin, segera ambil catatanmu dan menyonteklah. Bukan perbuatan dosa, Karim. Lihat semua kawan sekelasmu melakukannya. Sudah jadi kebiasaan umum, Karim. Hanya untuk menyelamatkanmu dari ketidaklulusan. Dengan kata lain, salah satu cara membantu orang tua, Karim. Ayo lakukan, waktumu terbatas!

Karim akhirnya luluh. ”Aku harus lulus,” batinnya. Pelan-pelan diambilnya selembar cacatan di Saku celana sebelah kiri. Ia ingat, ada jawaban nomor 21 hingga 25 di catatan itu. Segera ia selipkan dalam lembar soal. Ia kemudian membacanya dengan hari-hati. Dan benar. Jawaban dari Pertanyaan; siapa pengarang kumpulan cerpen Godlob? Apa persaman kata definisi? Sebutkan nama asli penyair Widji Thukul? Siapa pengarang Ronggeng Dukuh Paruk? Dan sebutkan salah satu judul Tertalogo Pulau Buru Pramodya Ananta Toer? Ada di catatan itu. Karim girang alang kepalang. Keringat dingin yang baru saja bercucuran karena takut kini berubah menjadi keringat tantangan.

Aku tertawa ngakak. Karim yang alim dan teguh pendiriannya itu akhirnya luluh. Tidak sia-sia aku menelusup dalam dadamu, dalam aliran darahmu dan diberi kesaktian menjelma dan menirukan suara orang-orang terdekatmu Karim. Orang miskin seperti kau rupanya takut akan kegagalan. Ha.....ha.......ha.......ha...... teruskan Karim, terus mencontek. Kau telah berbakti pada Ibumu. Ibumu akan bangga dengan nilai ujianmu meski hasil dari mencontek. Ayo Karim, waktu sudah hampir habis.
”Waktu kurang 10 menit lagi,” Bu Ratmi kembali bersuara.

Karim semakin tegang. Masih tersisa 15 soal yang belum dijawab. Tapi Karim ingat soal nomor 35-40 ada di catatan yang ia selipkan di kaos kakinya. Tapi Karim belum bisa mengambilnya. Karena Bu Ratmi masih mondar-mandir mengawasi murid-muridnya. Setelah melewati bangkunya, Karim langsung mengambil catatan tersebut dan membacanya dengan hati-hati.

”Apa dibalik lembaran soal itu, Karim? Keluarkan!” tiba-tiba Bu Ratmi berbalik arah. Rupanya ia sudah mengawasi gerak-gerik Karim yang mencurigakan dari awal.
Kali ini Karim tak bisa mengelak. Ia tertangkap basah mencontek. Karim pasrah. Airmatanya meleleh ia ingat emak di rumah. Yang sudah menunggu dengan masakan kesukaannya sayur bayam, sambal garam cabe dan telor dadar.

”Nek, apakah Karim kemudian bisa lulus sekolah?,” tanya Fesha pada Neneknya
”Di negeri dongeng semua bisa terjadi cucuku,” jawab neneknya sambil memeluk erat cucu semata wayangnya itu.

***
(CERPEN ini dimuat di Majalah ANNIDA, edisi Agustus 2009.)

Tentang Penulis
Edy Firmansyah adalah penulis lepas.

Jumat, 28 Agustus 2009

Membumikan Puasa Ramadhan

Oleh: Edy Firmansyah
(Peneliti Muda pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta)

Banyak orang sering menyebut Ramadhan sebagai ujian bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan keberagamaannya. Karenanya miliaran pemeluk Islam di dunia menyambut kedatangan bulan suci yang penuh berkah ini dengan berbagai cara dan tradisi. Pasalnya, janji Tuhan bagi mereka yang dianggap lulus akan mendapatkan paket ‘bonus’ pahala di bulan Ramadhan yang nilainya lebih hebat dari ibadah seribu bulan (80 tahun) dan berhak menyandang gelar manusia yang fitri. Tentu saja sebagai ujian, Ramadhan menjadi tolok ukur peningkatan kualitas keberagamaan kita pada bulan-bulan berikutnya.

Menurut Gordon W. Allport, seorang psikolog—sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, setidaknya ada dua cara manusia beragama: ekstrinsik dan intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya untuk kehidupan, Something to use and not to live. Orang yang beragama dengan cara ini memang melaksanakan hampir semua ritual agama: salat, puasa, zakat, bahkan naik haji—tapi tidak di dalamnya, melainkan di bagian kulitnya yang paling luar.

Lain halnya dengan manusia yang beragama secara intrinsik. Cara beragama seperti ini lebih substansial, lebih ke dalam, agama menjadi faktor pemadu. Ia menghujam dalam aras kehidupan yang manusiawi. Inilah barangkali yang disebut Jalaluddin Rakhmat sebagai “Islam Aktual” yang coba bertarung hidup-mati melawan ganasnya kelaliman. Ia melawankan “Islam Aktual” ini dengan istilah “Islam Konseptual” yang tidak bisa ngapa-ngapain ketika berhadapan dengan realitas. Tegasnya, ibadah bagi manusia yang beragama secara intrinsik tidak sebatas menjalankan ritual semata. Lebih dari itu beribadah merupakan manifestasi keberagamaan yang mampu membangun kesalehan sosial (social piety) yang berdampak pada orang lain. Kesalehan sosial ini yang oleh Tuhan akan dinilai sebagai bentuk lain dari iman seseorang. Iman seseorang yang layak disisi Tuhan adalah mampu membebaskan manusia lain dari penindasan sesamanya atau minimal membebaskan diri sendiri dari penindasan.

Sayangnya tak sedikit umat Islam yang menganggap ibadah puasa dibulan Ramadhan hanyalah sekedar ibadah ekstrinsik, yakni sekedar menggugurkan kewajiban. Dalam hal puasa, mereka berlapar-lapar di siang hari, tidak melakukan hubungan seksual suami-istri, tidak berkata kotor namun tak mampu memaknai kurang mampu menggali nuansa religius secara mendalam pada bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan hanya jadi ajang menumpuk-numpuk pahala individualistik. Sehingga jangan mengharapkan cara beragama seperti ini melahirkan realitas hidup yang manusiawi. Yang lahir justru watak individualistik yang penuh dengan patologi sosial; irihati, kebencian, dan segala bentuk banalitas lainnya.

Makanya tak heran ketika sebuah ibadah hanya dimaknai sekedar ritual semata, ia mudah dikapitalisasi pemilik modal hanya sekedar untuk mendulang uang dan memperlancar arus produksi barang yang sengaja dibungkus pesan-pesan religius. Indikasinya setiap kali menjelang Ramadhan atau pada awal-awal Ramadhan yang dikunjungi pertama kali oleh umat Islam adalah pusat-pusat perbelanjaan.

Tak cukup disitu. Industri pertelevisian, juga mulai mengkapitalisasi dawah agama dengan menyajikan tayangan sinetron hingga reality show dengan nuansa religius selama Ramadhan. Umat Islam seakan dibius bahwa Ramadhan hanya untuk menahan hawa nafsu pribadi. Karena itu daripada keluar rumah sebaiknya menonton tv. Sehingga hakekat dari Ramadhan nyaris tak tersentuh. Kapitalisme telah menggiring manusia untuk menjalankan keagamaan secara individualistik, menumpuk-numpuk pahala, bahkan menguasai tuhan untuk diri sendiri, serta menutup peluang bagi orang lain untuk mendapatkan posisi serupa.

Karenanya jangan heran jika ada segolongan/sekelompok muslim yang menyongsong bulan suci Ramadhan dengan melakukan sweeping, termasuk men-sweeping warung yang buka siang hari, diskotik, hotel dan PSK yang kebetulan masih mangkal karena tidak punya ongkos pulang kampung. ironisnya fenomena tersebut terjadi hampir setiap tahun. Sehingga seakan-akan tindakan sweeping tersebut sah dilakukan demi menyambut bulan suci yang penuh berkah ini.

Dan yang lahir ketika ramadhan usai tentu saja lenyapnya kemanusiaan. Sudah berpuasa lebih dari 50 kali, tapi prilaku sosialnya tidak menunjukkan makna taqwa. Banyak pejabat, anggota pegawai, pemuka agama yang berpuasa sebulan penuh tapi prilaku korupnya, banalnya, penyalahgunaan kekuasaan dan watak penindasnya semakin membabi buta. Itu semua akibat keberpuasaan dan keimanannya dijalankan sebatas mencari pahala menghindari siksa.

Padahal tujuan ideal dari ibadah puasa ialah penumbuhan kesadaran kemanusiaan sekaligus kesadaran spiritual ilahiah. Kesadaran kemanusiaan adalah kunci bagi tumbuhnya kesadaran duniawi dan kepekaan sosial rohani. Kesadaran kemanusiaan adalah jalan mencapai kebebasan bendawi dan ego pribadi. Tegasnya ritual ibadah puasa (juga ibadah lainnya) lebih bersifat intrinsik daripada ekstrinsik. Secara intrinsik sejatinya puasa merupakan kritik kemanusiaan dan kritik pada praktik kehidupan duniawi yang tidak adil. Karena itu diturunkannya ibadah puasa untuk manusia adalah membangun keberpihakan kaum kaya dan berpunya terhadap kaum mikin dan tertindas. (Mulkhan, 2007). Inilah barangkali yang disebut Jalaluddin Rakhmat sebagai “Islam Aktual” yang coba bertarung hidup-mati melawan ganasnya kelaliman. Ia melawankan “Islam Aktual” ini dengan istilah “Islam Konseptual” (keberagamaan ekstrensik yang tidak bisa ngapa-ngapain ketika berhadapan dengan realitas).

Itulah mengapa puasa jauh lebih bermakna dan diwajibkan bagi mereka yang mampu (kaya dan mapan secara material) daripada kepada kaum miskin tertindas. Tujuannya untuk menghancurkan watak banal dan ego kapitalistik dalam pikiran kaum kaya. Bagi kaum miskin, berpuasa telah sering dilakukan bahkan sebelum ramadhan datang mereka telah terbiasa bekerja mencari makan dengan perut lapar. Memaksa kuli kasar, buruh angkut, tukang becak berpuasa berarti memaksa terjadinya penurunan produktivitas kerja yang berimbas pada pengurangan upah (gaji), dimana upah penuh mereka barangkali hanya 1 % persen dari gaji pejabat.

Perlu diketahui bahwa angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005. Kondisi diatas semakin diperparah dengan adanya krisis global yang juga menerpa Indonesia. Imbas dari semua ini adalah PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku korup para pejabat, tidak peduli orang lain, dan penyalahgunaan kekuasaan yang terus meningkat.

Kondisi diatas jelas amat berbahaya. Bukankah dalam hadist telah disebutkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran. Dan kufur dalam hal ini bukan saja merupakan sikap berpaling pada keesaan tuhan tetapi juga berpaling pada kemanusiaan. Seperti misalnyanya melakukan kekerasan dan anarkisme sebagai bentuk eskapisme sosial sebagai wujud ketidak mampuan mendorong perubahan ekonomi-politik di pusat kekuasaan.

Karena itu manusia berpunya yang dianggap berhasil menjalankan ibadah puasa adalah ketika segala aktivitas hidupnya usai menjalankan ritual puasa (atau ditengah-tengah menjalankan puasanya) ditujukan untuk kepentingan publik, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kaum kaya mampu menghancurkan watak banal dan feodal-kapitalistiknya dalam dirinya menjadi kekuatan berlawan untuk kesejahteraan kaum tertindas. Kebahagiaan sejati bukan dengan menjadi miskin tetapi bagaimana menggunakan harta dan kekuasaan untuk membela kaum tertindas. Sedangkan puasa bagi mereka yang menderita akibat kemiskinan untuk tidak menyerah melakukan perubahan secara massif. Karena sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Ar-ra’du; 21; Tak akan berubah nasib suatu kaum jika ia sendiri tidak merubahnya. Inilah momentum untuk membangun Islam secara kaffah dan proses menjadi manusia yang fitri. Walluhu a’lam.

(Artikel ini Dimuat di Harian Radar Surabaya, 27 Agustus 2009)

Minggu, 26 Juli 2009

Prostitusi Madura Pasca Suramadu

Oleh: Edy Firmansyah

Dalam sebuah conference chat dengan beberapa kawan di YM, seorang kawan, sebut saja M bertanya; bisnis apa yang prospek di madura pasca suramadu? Saya yang memang tidak paham soal bisnis kontan saja bingung menjawab pertanyaan itu. Tapi entah otak saya sedang ngeres atau apa tiba-tiba saja saya menjawabnya; bisnis perempuan.

Semua kawan saya yang kebetulan ikut dalam conference kala itu tertawa ngakak. Kawan saya yang lain kemudian komentar; “Prostitusi? Di Madura? Seperti akan sulit karena akan diobrak-abrik ormas Islam. Madura khan serambi madinahnya Indonesia? Lagipula pemerintah daerah dan masyarakat tidak akan tinggal diam. Madura harus bersih dari prostitusi.” begitu ujarnya.

Tentu saja pendapat kawan saya itu tak sepenuhnya benar. Benar memang Sebelum suramadu rampung aksi bersih-bersih tempat-tempat pengumbar syahwat kerap dilakukan Pemkab. Madura. Di tiap-tiap tindakan penertiban selalu saja ada PSK (pekerja seks komersial) yang terjaring.

Namun bukan berarti Madura sepenuhnya bebas prostitusi. Toh, disetiap aksi penertiban selalu ada PSK yang terjaring. Artinya, dunia lendir di madura sudah ada jauh sebelum Suramadu dioperasikan. Pemerintah daerah tak menampik hal itu. Hanya saja menurut mereka prostitusi di Madura hanyalah prostitusi musiman. Bahkan seorang anggota dewan di Pamekasan mengatakan praktek prostitusi hanyalah persoalan tahunan. Praktek syahwat itu marak ketika musim panen tembakau tiba. Di Pamekasan misalnya, setidaknya ada 12 titik rawan yang kerap menjadi tempat prostitusi. Diantara 12 titik itu adalah kecamatan Larangan, Batumarmar, dan Galis. Namun ke-12 titik itu baru beroperasi dan ramai ketika musim tembakau tiba.

Namun menurut laporan Pemkab para PSK yang ada di madura bukan orang madura asli. Umumnya para PSK yang datang ke pulau garam ini berasal dari luar Madura. Seperti Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi dan ada pula yang mengaku dari Surabaya. Pandangan ini cukup bisa diterima. Pertama, sudah menjadi hukum besi sejarah bahwa prostitusi selalu berkelindan erat dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Tiap musim panen termbakau tiba, perputaran uang di Madura begitu cepat. Musim panen tembakau di madura ibarat sebuah kenduri. Setiap usai musim tembakau seakan ada budaya konsumsi yang sengaja dipertahankan. Masyarakat desa berbondong-bondong membeli barang dan emas dari hasil laba panen. Meskipun dari tahun ke tahun harga tembakau madura terus anjlok, toh budaya konsumsi itu tak surut. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan PSK luar madura. Logika ada gula ada semut bergerak di sini.
Tentu saja PSK musiman yang datang ke Madura bukan PSK paling top di luar Madura. PSK yang masih laris ketika berpraktek di Jawa tak akan sudi meninggalkan tempat prakteknya hanya sekedar mencari pangsa pasar yang baru dan tak jelas peruntungannya. Artinya, mereka yang menjual birahi ke madura hanyalah pekerja seks yang kalah bersaing di Jawa. Sebuah persaingan kerja yang biasa dalam upaya merebut pasar. Saya menyebut persaingan kerja karena PSK bisa dikategorikan sebagai sebuah kerja. Dalam dunia prostitusi prasyarat untuk disebut sebuh kerja cukup terpenuhi. Ada profesionalitas, disiplin, skill dan pengalaman yang mumpuni untuk menjadi PSK favorit dan ‘sukses”. Karenanya wajar jika kemudian terjadi persaingan.

Disamping itu, dari tahun ke tahun angka prostitusi terus meningkat seiring dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan imbas krisis global yang menimpa Indonesia. Ambil contoh lokalisasi Dolly. Dari tahun ke tahun lokalisasi terbesar di Indonesia terus melonjak PSK-nya. Pada tahun 1991-1992 di lokalisasi ini hanya terdapat 1.200 pekerja seks. Pada tahun 1997, angka tersebut bertambah menjadi 2.500 orang. Bahkan pada tahun 2001, pekerja seks di Dolly sudah mencapai 3.060 orang. Para pekerja seks itu tersebar di RW VI dan RW XII (gang dolly) dan wilayah RW III dan RW X (gang Jarak) (Kadir, 2007). Tentunya pelonjakan itu terjadi pula pada PSK-PSK yang tidak terlokalisir. Bahkan kemungkinan peningkataban jumlah PKS ‘liar’ ini jauh lebih pesat dari PSK di lokalisasi.

Karena itu terlalu berlebihan jika prostitusi di Madura hanyalah gelaja musiman. Dunia esek-esek tak mengenal musim. Ia hadir seiring dengan desah nafas manusia. Ia akan terus hadir, entah dengan cara mengendap-endap tersembunyi atau dengan terang-terangan. Laporan mengenai aktivitas perempuan bispak yang sempat diturunkan media lokal di Madura beberapas waktu lalu semakin mempertegas langgengnya prostitusi di pulau garam. Ini belum termasuk perempuan-perempuan yang menjadi simpanan pejabat hingga PSK-PSK yang disediakan hotel.
***
Prostitusi tidaklah asal jadi. Tak ada manusia yang bercita-cita menjadi pelacur sejak lahir. Praktek jual beli vagina ini adalah produk ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat. Semakin timpang kehidupan masyarakat maka praktek-praktek lendir ini akan semakin marak bak jamur di musim hujan. Tak ada tempat yang bebas dari prostitusi. Di Acehpun yang mengusung syariat Islam, prostitusi jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan di Arab, tempat manusia menunaikan ibadah haji, praktek prostitusi tak kalah liarnya.

Namun saya hanya mengulai prostitusi di Nusantara. Sudah sejak zaman feodal prostitusi menjadi bagian yang tak terpisahkan. Praktek perbudakan (jual beli manusia) misalnya. Para tuan tanah kerap mencari budak-budak perempuan yang rupawan, bukan hanya untuk diperas tenaganya, tetapi juga untuk disetubuhi. Praktek ini terus berlanjut dalam masa kerajaan-kerajaan. Meski masa feudal beberapa perbudakan mulai dihapuskan, tetapi para raja-raja masih gemar memelihara selir yang diambil dari perawan-perawan desa. Cerita Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer adalah secuil cerita suram tentang eksploitasi perempuan. Gadis pantai dipinang seorang bangsawan. Sebenarnya ia tidak mau. Tetapi karena desakan orang tuanya agar bisa memperbaiki nasib (dari kehidupan yang miskin menjadi bisan seorang bupati) gadis pantai berangkat juga. Tegasnya ia ‘dijual. Ia dijadikan ‘nyai’ hanya untuk melampiaskan nafsu birahi bangsawan tersebut sembari menunggu dan mencari perempuan yang sederajat (yang juga keturunan darah biru) hadir dalam kehidupannya dan menjadi pendamping sejatinya. Ketika perempuan bangsawan itu hadir dan gadis pantai melahirkan anak perempuan, ia dicampakkan. Diusir dari rumah ‘tuannya’ tanpa membawa anaknya.

Beberapa perempuan yang mengalami kasus seperti gadis pantai tak pernah kembali ke rumahnya. Mereka merantau ke daerah lain dan hidup menjadi pelacur. Beberapa yang lainnya memilih bunuh diri. Peristiwa ini tak berhenti sampai di sini, ketika zaman kolonial praktek perlontean atas nama selir semakin marak. Para colonial tersebut rupanya tertarik dengan cara raja-raja Jawa (juga madura) melampiaskan syahwat. Maka pada gubernur dan pejabat VOC berbondong-bondong memelihara selir dan mencampakkannya ketika sudah bosan. Tak sedikit para orang tua yang tergiur untuk naik kelas dengan menjual putri-putrinya sendiri. Kondisi ekonomi membuat masyarakat miskin semakin tega mengorbankan perawan-perawannya untuk memperbaiki nasib. Praktek perlontean atas nama selir inilah yang kemudian memarakkan produksi jamu dan obat kuat tradisional. Jamu Madura salah satu obat kuat yang terkenal di zaman kolonial sebagai doping alami untuk bersenggama. Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa praktek perlontean dengan selubung selir juga marak di Madura kala itu.

Perdagangan di Nusantara kian pesat. Hindia Belanda menjadi pusat perdagangan internasional paling ramai. Banyak pedagang yang datang dan menetap untuk sementara di nusantara. Tersebar dari maluku, jawa hingga madura. Rata-rata para pedagang ini adalah para bujangan, atau meskipun beristri, istri dan anak-anaknya mereka tinggal di eropa. Tentu saja para pedagang itu sangat butuh pelampiasan birahi. Maka VOC kemudian mulai membangun lokalisasi-lokalisasi. Lokalisasi tersebar hampir disemua wilayah jajahan Belanda. Termasuk Madura. Awalnya para PSK itu adalah selir-selir yang dicampakkan tuannya itu. Tetapi kemudian karena masyarakat mulai melihat bahwa kehidupan para pelacur di lokalisasi itu kian baik, tak sedikit masyarakat miskin yang tergiur. Maka, tak sedikit penduduk yang sengaja menjual istrinya sendiri dalam lokalisasi itu untuk memperbaiki nasib. Disini jelas bahwa pelacuran berkelindan erat dengan kondisi ekonomi.

Praktek prostitusi paling parah terjadi di zaman penjajahan jepang. Sudah bukan rahasia umum lagi jika tentara-tentara kerap membutuhkan perempuan-perempuan untuk melampiaskan syahwat. Dan biasanya perempuan-perempuan negeri jajahan yang dijadikan ‘tumbalnya.’ Jugun Ianfu. Itulah sebutan bagi perempuan-perempuan yang dijadikan pelacur di zaman jepang. Cara tentara jepang menjebak perempuan-perempuan cantik masuk dalam praktek prostitusi sungguh licik. Ia menyebar pamplet, brosur dan memberikan pengumuman-penguman melalui pengeras suara bahwa sebagai saudara tua pemerintah Jepang akan membalas jasa dengan menyekolahkan para perempuan-perempuan nusantara ke Jepang dan eropa. Maka, berbondong-bondonglah para perempuan nusantara mendaftar. Tak sedikit anak-anak bupati dan kepala desa turut serta. Tapi janji itu bohong belaka. Para perempuan itu diangkut ke kamp-kamp lokalisasi untuk dijadikan pemuas nafsu tentara jepang. Ketika Jepang kalah perempuan-perempuan itu dibuang ke pulau buru(selengkapnya, baca “Perempuan dalam Cengkraman Militer, Pramodya Ananta Toer, 2001). Sementara yang berhasil lolos terus menjadi pelacur karena merasa hidupnya tak lagi berharga sebagai perempuan ‘terhormat.’

Pasca kemerdekaan Indonesia, pertumbuhan tempat-tempat pelacuran semakin meningkat seiring dengan gonjang-ganjing ekonomi seperti melonjaknya harga minyak dunia yang di Indonesia dikenal dengan bonanza minyak, semangat revolusi hijau dan paham pembangunanisme orde baru. Di era reformasi dunia pelacuran tidak kian surut, malah kian marak dan kompleks. Buku Jakarta Undercover Cover, Memoar Emka adalah sedikit fakta betapa kompleksitas dunia pelacuran.
***
Jembatan Suramadu resmi dioperasikan. Kedepan, Madura pasca suramadu akan semakin berkembang pesat menjadi, tak hanya wilayah agraris, tetapi secara bertahap menjadi sebuah wilayah industri yang massif. Sawah-ladang yang menghampar di sebagian besar wilayah Madura akan disulap menjadi daerah-daerah industri. Bahkan di kawasan sekitar suramadu di sisi madura akan dijadikan area pariwisata. Suka tidak suka masyarakat Madura yang rata-rata memiliki ketrampilan bercocok tanam dan beternak harus bersaing dengan masyarakat industri. Disinilah akan terjadi kontradiksi ekonomi. Industrialisasi yang membutuhkan tanah yang luas untuk membangun pabrik-pabrik dan gudang-gudang baru dengan segala cara akan menggeser peran masyarakat atas tanah sawah kedalam sebuah kerja-kerja pabrik. Para pemilik sawah yang tergiur dengan harga tanah dan investasi barang tak bergerak yang cenderung melonjak berlomba-lomba merebut tanah pertanian untuk pabrik dan real estate. Para petani penggarap dipaksa masuk dalam kerja-kerja industri, ia dipaksa menjual tenaga mereka (karena tidak miliki lagi keterampilan selain kekuatan ototnya); menjadi buruh.

Tentu saja kondisi ekonomi buruh tak sebaik kehidupan ketika menjadi petani penggarap. Maknanya sebenarnya sama saja; menjual tenaga. Artinya, kabut kemiskinan masih akan terus menyelimuti sebagian besar masyarakat madura. Ditengah harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, harga pendidikan semakin tak terjangkau serta biaya kesehatan yang nyaris tak tersentuh keluarga miskin, memaksa perempuan-perempuan sawah keluar rumah, mengadu nasib untuk menopang biaya hidup keluarga.

Namun karena rendahnya daya saing perempuan sepertinya minimnya ketrampilan kerja, pengalaman dan koneksi, membuat tak sedikit dari mereka harus gagal masuk ke sektor formal. Kegagalan itulah yang kemudian menggiring banyak perempuan masuk dalam dunia lendir.

Karena itu menyelesaikan masalah pelacuran tidak cukup hanya dengan razia dan penertiban belaka. Tindakan represif semacam itu ibaratnya mencabut rumput di pekarangan rumah. Mungkin dalam sehari pekarangan rumah bisa bersih karena rumputnya dipotong dan dicabuti. Tetapi ia akan muncul lagi, karena akar-akarnya masih menghujam jauh dalam tanah. Karena itu mungkin harus dipikirkan pula lokasi yang strategis untuk lokalisasi di pulau madura. Suka tidak suka prostitusi akan jadi warna tersendiri bagi masyarakat madura pasca suramadu. Keteguhan religi dan spiritual masyarakat Madura semakin diuji dengan maraknya prostitusi pasca suramadu. Disini saya hendak menegaskan, bahwa langkah represif menangani pelacuran hanya akan menciptakan perlawanan.

Disamping itu Harus terus dipikirkan upaya-upaya perbaikan ekonomi masyarakat yang progresif dan adil untuk rakyat. Semakin kecil jarak ketimpangan ekonomi, semakin kreatif masyarakat. Sehingga semakin tipis untuk terjerembab dalam dunia syahwat. Bukankah ada hadist yang mengatakan kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran? Maka tak ada jalan lain selain mengambil kebijakan-kebijakan pro rakyat dalam perbaikan ekonomi. Karena pelacuran memang berkelindan erat dengan upaya bertahan hidup. Makanya jangan heran jika, Sari (bukan nama sebenarnya), PSK di Jember, yang mengaku asal pamekasan kerap mengusapkan uang yang dibayarkan laki-laki hidung belang pertama yang ‘memakainya’ ke payudara dan vaginanya sambil berucap; “penglaris….penglaris.”

Saya memang tak jadi menurunkan penjelasan saya yang panjang ini pada kawan-kawan chat saya. Karena saya lihat diskusi memang berlangsung tidak serius. Malah salah satu kawan saya nyeletuk; “Kalau memang nantinya ada lokalisasi besar di Madura sebesar Dolly, kau sebaiknya juga ikut jadi Germo saja.”



Madura, 23-25 Juli 2009

Kamis, 23 Juli 2009

Seks, Kekerasan dan Perlawanan Perempuan

Oleh: Edy Firmansyah

Secara biologis, seks merupakan salah satu kebutuhan utama manusia yang sangat dominan peran dan pengaruhnya bagi perkembangan setiap manusia. Sebagai sebuah kebutuhan alamiah dan instingtif upaya-upaya manusia memenuhi kebutuhan seks seringkali tak bisa diteorikan. Sama seperti ketika manusia memenuhi kebutuhan akan lapar. Ketika pemenuhan kebutuhan seks dan penuntasan rasa lapar semakin tak bisa dipenuhi dampaknya seringkali menjalar pada masalah psikologis. Banyak orang—dari kalangan miskin—hanya untuk sekedar mencari makan sesuap nasi kerap melakukan tindak criminal, mulai dari mencopet, merampok hingga membunuh. Juga tak sedikit manusia ketika tak mampu menuntaskan hasrat seksualnya kerap gelap mata dan melakukan tindak kekerasan.

Puryanto, 27, misalnya. Hanya gara-gara istrinya tak memenuhi ‘jatah’ seksualnya, ia jadi bringas. Kebringasannya itu kemudian ia tumpahkan pada anak kandungnya sendiri, Tegar yang masih berusia empat tahun. Pria yang sehari-harinya menjadi pedagang bakso di Madiun itu menyeret anaknya ke rel kereta api yang tak jauh dari rumahnya. Disitu ia melindaskan kaki darah dagingnya sendiri pada kereta api yang sedang melintas hingga putus. Kekejamannya tak sampai disitu. Ia dengan tega meninggalkan anaknya yang merintih kesakitan dan bermandikan darah di pinggir rel. beruntung anaknya masih bisa merangkak (saya tak bisa membayangkan betapa sakitnya penderitaan Tegar) kembali ke rumah. Mungkin jika terlambat mendapat pertolongan, Tegar sudah tak bernyawa lagi kehabisan darah.

Di Jawa Tengah, seorang pria berinisial GM dengan keji membunuh dan memotong-motong tubuh pasangan tidurnya hingga menjadi beberapa bagian. Potongan tubuh pasangannya itu kemudian disebar ke berbagai tempat. Tindakan biadabnya itu juga dipicu masalah seks. Pasangannya menolak disetubuhi GM, karena kala itu ia sedang haid. Tapi GM tak terima. Ia kalap dan kemudian terjadilah mutilasi itu.

Dua contoh kasus diatas dalam konteks ini pertama-tama merupakan kegagalan manusia dalam pencarian bentuk alternatif pemenuhan hasrat biologis. Lebih jauh lagi pelaku kekerasan yang dipicu oleh tak terpenuhi hasrat seksual (hubungan kelamin) merupakan kegagalan dari pemahaman seseorang terhadap seksualitasnya secara mendasar. Terlebih lagi para pelaku kekerasan rata-rata orang yang sudah akrab dengan hubungan kelamin.
Bagi kebayakan orang, hubungan kelamin (coitus; gesekan penis dengan vagina) adalah tahapan tertinggi dari aktivitas seksual. Bagi orang-orang yang berpandangan demikian, aktivitas onani/masturbasi dianggap bagi mereka yang sudah berkeluarga dianggap sebagai dosa besar. Barangkali jauh lebih berdosa daripada pelaku onani/masturbasi ketika masih remaja dulu (belum berkeluarga). Lagipula beronani/masturbasi bagi mereka yang sudah pernah merasakan hubungan kelamin tak memiliki kepuasan berarti. Tak cukup untuk menuntaskan hasrat seksual. Barangkali sama rasanya ketika orang lapar, hanya disuguhi segelas air.

Padahal kalau mau jujur seks itu fleksibel. Ia bisa dipuaskan dengan berbagai sarana. Tidak melulu berhubungan kelamin. Bagi para pemuja oral seks, misalnya, sensasi berhubungan kelamin dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan oral seks. Jadi dalam konteks ini beruntunglah beberapa orang yang masih ‘mempertahankan’ aktivitas onani/masturbasi, sehingga tak perlu harus mengalihkan pemenuhan hasrat seksualnya dalam tindak kekerasan. Tentunya tidak dengan berlebihan. Artinya, onani/masturbasi dilakukan hanya ketika saat-saat genting saja. Sebab dalam beberapa kasus tak sedikit pasangan yang terpaksa cerai karena kebiasaan onani/masturbasi lebih intens dari hubungan intim dengan pasangannya sendiri.

Disamping kekerasan sebagai bentuk sublimasi pemuasan kebutuhan seksual, ada juga kekerasan yang justru memicu hasrat seksual. Prilaku sadomasochisme, misalnya, bisa diajukan sebagai contoh nyata hubungan timbal balik antara seks dan kekerasan. Seorang sadomasochis akan makin terangsang dan bernafsu untuk menyalurkan hasrat seksualnya bila ia membarengi aktivitas seksualnya dengan melakukan penyiksaan terhadap lawan jenisnya. Kasus yang menimpa model cantik dan artis Indonesia, Manohara Pinot adalah salah satunya. Menurut pengakuan Manohara ke berbagai media, suaminya, Fakhry putra kerajaan Kelantan itu, gemar menyetubuhi Manohara dengan menyilet-nyilet tubuhnya. Setiap tetes darah yang menyalir dari luka Manohara semakin menambah sensasi seksual Fakhry. Tak cukup disitu. Dalam tiap hubungan intim, artis cantik yang kini menjadi pemeran utama sinetron “manohara’ itu, selalu dibius. “Saya tidak bisa apa-apa. Bergerak juga tidak bisa. Tapi saya bisa merasakan setiap sentuhan atau aksi menyakiti yang dilakukan Fakhry,” begitu penuturannya pada media.

Selain karena ketidak matangan menginterpretasi seksualitas, para pelaku kekerasan karena dorongan seksual, berangkat dari sebuah penolakan. Dalam masyarakat patriakat yang kental sekarang ini, laki-laki seakan-akan menjadi superior terhadap perempuan. Laki-laki sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai pemimpin terpatri kuat dalam masyarakat patriakat. Pandangan ini berbasiskan pada konstruksi gender yang mendefinisikan dan menempatkan perempuan sebagai kaum inferior. Dalam hal hubungan intim, penolakan perempuan atas permintaan laki-laki dalam bersenggama—apapun alasannya—dianggap sebagai sebuah pembangkangan. Dan setiap pembangkang pasti akan dikenai hukuman. Dalam kasus Puryanto, misalnya. Hukuman yang diberikan pada istri akibat menolak ngeseks ditimpakan pada anak. Tegar dijadikan tumbal karena dianggap kesayangan ibunya (istri Puryanto). Sementara GM, memilih untuk menghabisi perempuannya, hanya agar dominasi kekuasaan terhadap perempuan itu tidak diambil alih laki-laki lain.

Dan fakhry menancapkan kekuasaan patrikat dalam hubungan intim dengan Manohara lewat jalan pembiusan. Tegasnya kepasrahan perempuan atas dominasi laki-laki tak bisa ditawar laki. Perempuan akan kelihatan cantik, ketika ia tunduk dan patuh serta siap melayani nafsu laki-laki kapan saja dimana saja. Membangkang sedikit saja, maka kecantikan perempuan seakan pudar.

Sikap dominasi patriakat di Indonesia yang paling kentara ditunjukkan pada awal-awal rezim orde baru. Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Artinya perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata. Kepatuhan itulah yang mampu meningkatkan gairah seks kaum adam.

Tentu saja kekerasan hubungannya dengan seks tidaklah asal jadi. tidak ada anak manusia yang lahir kemudian langsung bringas dan punya inisiatif seksual dengan membunuh, menyakiti atau memperkosa lawan jenisnya. Semua prilaku seksual berangkat dan dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Sebagaimana yang diutarakan Freud bahwa penyimpangan-penyimpangan pada tingkah laku seksual bukanlah anomaly yang jarang terjadi. Perkembangan libido dapat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama ketika masa kanak-kanak, dan bahwa keanehan tingkah laku dan karakter dalam diri orang dewasa berakar dalam keanehan dari hasrat dan tujuan seksualnya. (Fromm, 2002;197-198)
Tindakan sadistis, misalnya, lanjut Freud, merupakan prilaku seksual anak-anak semasa periode tertentu perkembangannya. Ketika sang ayah mengajari anak cara mendominasi dengan kekerasan, maka katika dewasa dia akan membentuk sadisme sebagai penyimpangan seksual maupuan sebagai struktur karakter yang didalamnya ada hasrat untuk menguasai, mendominasi dan merendahkan pasangannya (ibid). bahkan memiliki kecenderungan berbuat lebih sadis dari ajaran ayahnya.

Barangkali apa yang dilakukan istri Puryanto, pasangan tidur GM dan Manohara merupakan bentuk perlawanan atas dominasi patriakat dalam seksualitas. Dengan kata lain, kekuasaan patriakat atas seksualitas perempuan semakin hari semakin rapuh. Dan perempuan-perempuan Indonesia harus belajar banyak pada ketiga perempuan tersebut. Perempuan Indonesia harus belajar berkata tidak, dan menolak hubungan intim jika tubuh mereka tidak siap menerimanya.

Kebanyakan perempuan Indonesia memilih mengorbankan tubuhnya dan psikologisnya hanya sekedar untuk memuaskan birahi kaum adam. Misalnya ketika sang laki-laki sedang horny, sementara si perempuan sedang Haid, perempuan tak bisa menolak dominasi patriakat tersebut. Mereka membiarkan laki-laki menyetubuhinya disaat haid, sementara tubuh perempuan sedang dalam ancaman besar penyakit. Sebab darah haid adalah darah kotor yang jika masuk kembali ke dalam rahim akan menimbulkan kista dan kanker rahim.

Karena itu kedepan kaum perempuan memang harus lebih maju lagi. Syukur-syukur jika ada kongres perempuan khusus seks yang hasil akhirnya ada kesepakatan bagi kaum perempuan Indonesia untuk melakukan mogok seks nasional setiap satu bulan sekali Agar para pria belajar mengontrol diri ketika mengalami penolakan seksual dari kaum perempuan. Sekaligus menegaskan posisi perempuan yang semakin kuat, sehingga kaum patriakat tidak lagi menganggap sepele kaum hawa. Mungkin ada yang berdalih bahwa posisi perempuan sudah semakin sejajar dengan laki-laki. Ya, sebagian kecil. Sementara sebagian besar yang lain masih terus mengalami dominasi seksual. Padahal jika kondisi ini dibiarkan, maka kekerasan akan terus menghantui kehidupan masyarakat.


Madura, Juli 2009

Minggu, 19 Juli 2009

Seks, Teroris dan Masyarakat Pecundang

Seks, Teror Bom dan Masyarakat Pecundang

Jakarta kembali di teror bom. Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton dibuat luluh lantak oleh ledakan bom. Setidaknya 9 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Diduga kuat bom yang meledakkan dua hotel bertaraf internasional di bilangan Mega Kuningan, Jakarta itu adalah aksi bom bunuh diri. Bahkan masyarakat kian tegang setelah presiden SBY melontarkan pernyataan bahwa berdasarkan informasi intelegen ada jaringan teroris yang masih beraktivitas di Indonesia.

Berbagai pendapat mulai berseliweran di masyarakat. Ada kabar bahwa aksi teror bom itu sengaja diciptakan untuk memporak-porandakan kondisi ekonomi Indonesia (yang sebenarnya sudah porak-poranda karena melonjaknya harga kebutuhan pokok dan imbas krisis global). Ada juga yang berpendapat tindakan tersebut untuk menggagalkan kedatangan MU ke Indonesia. Sehingga citra Indonesia di mata internasional semakin minor. Pendapat itu hendak menuding Malaysia sebagai biang keroknya (mencoba-coba mengungkit dendam lama soekarno ketika melontarkan kata perang dengan Malaysia). Sementara kabar lainnya mengatakan bahwa aksi bom itu sekedar mengalihkan isu carut marut pemilu dengan DPT fiktifnya yang masih belum tuntas itu. Mana yang benar dari berbagai pendapat itu?

Bukan itu fokus tulisan ini. Sebab tulisan tak hendak membuat kita semakin meradang dan puyeng dengan berbagai kemungkinan dibalik aksi teror bom itu. Justru tulisan ini mengajak kita kita melemaskan pikiran sejenak dari ketegangan tentang teror bom dengan membicarakan soal seks. Meski tema seks kerap dianggap sepele dibandingkan masalah terorisme yang kini menjadi perbincangan hangat publik, namun seks kerap berkelindan dengan aksi kekerasan (termasuk juga aksi terorisme).

Ya, seks. Anda boleh percaya atau tidak. Tapi seks kerap menjadi salah satu fungsi kontrol dalam menyeimbangkan emosi dan psikologis kita. Karena seks punya kemampuan katarsis untuk meeliminir emosi, ambisi, nafsu dan kemarahan seseorang. Dengan kata lain, seks menjadi semacam obat psikologis untuk membuat kita kembali berpikir jernih seusai mencapai klimaks dari aktivitas seksual. Tentu saja seks yang saya maksud adalah seks yang wajar. Seks yang sehat. Yang didalam aktivitasnya tidak ada kegiatan mendominasi satu sama lain. Melainkan upaya berbagi dan saling menstimulus untuk mencapai kepuasan seksual sejati. Pun ketika aktivitas seksual dilakukan sendirian seperti onani atau masturbasi didalamnya tidak ada aksi menyakiti diri sendiri.

Sebab dengan melakukan aktivitas seksual secara normal dan sehat, seseorang secara psikologis bisa terhindar dari aksi-aksi kekerasan, kemarahan dan anarkis yang menyakiti diri sendiri apalagi orang lain. Disini saya hendak mengatakan bahwa para teroris itu sebenarnya punya masalah seksualitas yang kompleks. Memang tak ada data empirik yang kuat untuk ini. Tapi secara teoritis memang kita patut mencurigai para teroris itu memang memiliki aktivitas seksual yang tidak normal.

Akvitas teroris mirip dengan prilaku bejat para pemerkosa. Pemerkosa adalah prilaku seksual yang tidak normal karena pelakunya merasakan kenikmatan dan mencapai klimaks diatas penderitaan orang lain. Para pemerkosa itu semakin bringas dan nafsu birahinya semakin tak terbendung tiap kali korbannya berontak sembari berteriak; “jangan, pak….ampun, om, jangan.” Saya ingat sebuah aksi pemerkosaan di sebuah obyek wisata di Madura ketika saya masih kuliah dulu (sekitar tahun 2003). Seorang perempuan yang kebetulan sedang berasyik mesum dengan sang pacar dipergoki beberapa pemuda. Para pemuda itu sebenarnya bukan hendak memalak mereka, melain justru tergiur kemelokan perempuan tersebut. Maka dimulai aksi perkosaan itu. Si pria, pasangan perempuan itu, tak bisa berbuat banyak. Tragisnya lagi, (dan ini sungguh bejat) salah satu pemerkosa dalam aksinya menggigit putting payudara si perempuan hingga nyaris putus.

Bagi yang punya prilaku seks normal, memang tak habis pikir mengapa ada orang yang bisa mencapai orgasme ketika mendengar erang kesakitan orang lain, bahkan nafsunya semakin ‘buas’ melihat darah yang mengalir dari payudara seorang perempuan karena digigit si pemerkosa. Sama tak habis pikirnya ketika beberapa hari lalu membaca berita seorang ayah tega memperkosa anaknya hingga hamil. Memang dalam dunia seks ada prilaku seks menyimpang seperti sexual abuse, rape, insest, sado mashochism, dan sebagainya. Tapi semua itu tidak asal jadi. Karena tak ada seorang anak manusiapun yang lahir kemudian bercita-cita menjadi pemerkosa, pemerkosa anak sendiri, beraktivitas seks sembari menyilet-nyilet pasangannya. Prilaku itu—kalau meminjam analisa psikologi analisnya Freud—pasti ditimbulkan oleh sebuah trauma seksualitas yang kemudian terekam dalam alam bawah sadarnya. Sehingga ketika dewasa dan ia memiliki kekuasaan, ia bertindak lebih bringas dari trauma seksual yang pernah dialaminya.

Begitu juga para teroris itu. Mereka jelas memiliki trauma psikologis yang akut sehingga begitu tega menyakiti orang lain. Mereka sama kejamnya dengan para pemerkosa itu. Yang mencapai orgasme, merasa puas, girang senang karena melihat darah dan erang kesakitan orang lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka juga punya aktivitas seksual yang tidak normal. Artinya ada tahapan-tahapan seksual yang tidak mereka lalui secara wajar sehingga aktivitas seksual mereka jadi terbelengkalai. Akibatnya, eskapisme dari kegagalan seksualitasnya itu mereka kemudian mencari kepuasan dalam bentuk lainnya. Dan salah satunya adalah menyebarkan teror itu. Tentu saja teroris disini tak melulu orang yang melakukan aksi bom bunuh diri atau melakukan pengeboman. Mereka yang dengan sengaja menyebarkan ketakutan pada masyarakat layak disebut teroris juga.

Kita bisa melihat kengerian yang lebih akut manakala aksi teror atau aksi pemerkosaan itu diorganisir dengan cukup sistemik dan solid. Kita bisa saksikan aksi pemerkosaan terorganisir terhadap wanita-wanita Tionghoa pada medio 1998. dan tragisnya, masyarakat yang katanya memeluk erat budaya timur dan penuh kesopanan itu justru bungkam dan hendak ‘lupa’ pada tragedi kemanusiaan yang penuh darah itu.


Masyarakat pecundang
Sampai disini barangkali benar kata FX. Rudi Gunawan bahwa makin maraknya kasus perkosaan dan terorisme dalam masyarakat, bisa dijadikan indikator atau parametet pecundang-tidaknya suatu masyarakat. Semakin tinggi angka perkosaan dan aksi terror maka semakin pecundanglah sebuah masyarakat. Apa yang layak ditudingkan pada seorang ayah selain pecundang ketika ia dengan tega memperkosa anaknya sendiri dan disetiap aksi pemerkosaannya mengancam akan membunuh anaknya sendiri jika melapor aksi bejat itu pada siapapun, sementara dimasyarakat, di tempatnya ia bergaul dan bersosialisasi ia dengan begitu tanpa berdosanya berbicara soal moral dan pendidikan anak.

Masyarakat pecundang juga barangkali bisa ditudingkan pada masyarakat yang diam saja manakala melihat penindasan, atau diam saja ketika penggusuran pada masyarakat miskin dilakukan dengan tindakan represif oleh aparat. Atau juga tak ada sebutan yang lebih layak selain pecundang ketika masyarakat diam saja ketika dirinya dibohongi, ditindas, dipersempit ruang gerak ekonomisnya, dibikin melarat dengan kebijakan yang tidak berpihak. Ya, barangkali masyarakat pecundang adalah masyarakat yang tidak tuntas menyelesaikan tahapan seksualnya secara wajar dan sehat. Para koruptor, makelar kasus, politisi busuk bisa juga digolongkan dengan para pecundang. Masyarakat yang sehat menurut Erich Fromm adalah masyarakat yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap masyarakat lainnya. Saling membantu dan saling melindungi satu dengan lainnya. Masyarakat yang tidak dicemari aksi teror untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri masyarakat lainnya dan masyarakat yang melawan ketika ditindas.

Karena itu barangkali sesekali kita meski belajar pada para pelacur yang dengan jujur mengaku bahwa dirinya memang wanita pemuas nafsu. Dengan dandanan seronok dan mesum mereka tampil tanpa malu berdiri di pinggir-pinggir jalan, atau tersenyum dengan paha mengangkang ketika duduk di etalase-etalase birahi sembari ditonton ribuan laki-laki hidung belang. Mereka dengan berani memecundangi laki-laki hidung belang di ranjang dengan membuat lenguhan dan desah-desah palsu hanya sekedar untuk memeloroti kejantanan para pria-pria yang sebenarnya tidak jantan itu.

Kita sepertinya memang harus berguru pada perempuan-perempuan yang berdiri—meminjam judul Novelnya Nawal El-sadawi—di titik nol. Daripada kita berguru pada kiai dengan celoteh-celoteh kitab suci yang fasih sefasih mereka mengumbar nafsu birahinya dengan memperbanyak istri-istri yang kebanyakan masih muda belia dan ranum-ranumnya. Dengan demikian kita tak pernah punya keinginan atau ambisi untuk sekedar mengumbar teror atau melakukan aksi terorisme (termasuk aktivitas seksual) yang merugikan orang lain.

Senin, 13 Juli 2009

Dua Film Adegan Ranjang Kacong-Cebbing Madura (2)

Sebenarnya mengapa sih ada anak muda yang begitu ‘bersemangat” (pada awalnya) untuk mengabadikan “gairah cintanya (lebih tepatnya nafsu)” tapi kemudian menangis sesegukan begitu hasil “kreatifitasnya” itu menjadi gunjingan publik? ” Seharusnya konsisten dong, berani berbuat berani bertanggung jawab. Giliran ngerekam aja ketawa cekikikan sambil mendesah-desah nikmat. Giliran kebongkar, nangis sejadi-jadinya, minta tobat, mohon ampun. Dah basiiii,” seloroh kawan saya.

Memang untuk urusan seks ini sedari kecil kita sudah diajari tidak boleh jujur mengungkapkannya. Jangankan jujur, bicara soal “paha” saja bisa kena damprat habis-habisan. Padahal yang hendak dibicarakan hanya soal paha ayam kampong (bukan ayam kampus). Akibatnya kita memaknai sendiri aktivitas seksualitas kita dan sensasi-sensasi seks yang kita alami tanpa pembimbing. Tanpa control yang ketat. Kita melalui tahapan-tahapan sensasi seksualitas seorang diri. Atau kadangkala dibimbing teman sebaya yang sama-sama tak mengertinya.

Saya sendiri saja tidak paham sejak umur berapa mengenal seks. Tapi yang paling saya ingat ketika kelas 3 SMP kepala saya sudah bisa cenut-cenut kalau melihat gambar wanita berbikini di majalah milik tetangga yang kebetulan dipinjam oleh ibu saya. Tapi cenut-cenut di kepala itu disertai dengan perasaan nikmat yang entah darimana datangnya. Tapi memang waktu itu tak pernah tahu bagaimana cara menuntaskannya. Atau lebih tepatnya bagaimana cara “menyembuhkan” kepala yang cenut-cenut itu. Yang saya tahu setiap kali melihat cewek berbikini lama-lama, biasanya kenangan itu terbawa sampai ke mimpi. Dan saya bermimpi dipeluk perempuan berbikini sampai celana basah. Mencoba jujur sama orang tua soal ini? Tidak dech! Ini untuk pertamakalinya saya mencuci celana dalam dan sarung saya sendiri dengansembunyi-sembunyi. Alasannya sederhana agar tidak ketahuan orang tua. Agar pertanyaannya tidak terus berlanjut. Kala itu saya masih membayangkan bagaimana cara bermimpi lagi adegan seperti itu. Rasanya nikmat sekali. Ternyata bukan hanya gambar wanita berbikini yang saya tonton. Dari senior dan teman dewasa saya yang lainnya saya bisa mendapatkan 3 kartu remi bergambar adegan mesum yang saya beli seharga Rp. 2000/kartu (itu tahun 90-an). Namun ketika sudah menjelang lulus SMA kartu-kartu itu saya bagikan pada teman2 sekolah.

Rasa penasaran itulah yang kemudian membuat saya ‘naik kelas’ dalam masalah membangkitkan gairah. Di sekolah ternyata saya bertemu dengan kawan-kawan sebaya yang mengalami hal serupa. Kami saling berbagi cerita sambil tertawa cekikikan. Disaat-saat masih penasaran itulah saya disodori buku cerita mesum teman-teman pria saya (tepatnya senior, karena umurnya lebih dewasa dari saya) yang telah lebih dulu naik kelas “Advance” untuk urusan beginian. Mulai dari novel stensilan kelas kacang berlabel Nick Carter, novel karangan Freddy S, hingga novel yang benar-benar full menyuguhkan imajinasi seksual tingkat tinggi. Barangkali ada orang tua yang bangga ketika anaknya petantang-petenteng bawa buku bacaan tebal. Tapi tidak demikian dengan saya. Biasanya saya menyelipkan novel-novel itu di dalam buku pelajaran. Sehingga sepertinya saya sedang khusuk membaca buku pelajaran padahal sebenarnya sedang sibuk berimajinasi seksual dengan buku-buku stensilan itu.

Lewat buku-buku itulah saya mulai belajar menjadi laki-laki dewasa. Masturbasi. Menurut saya tahapan ini adalah tahapan yang pasti dijalani oleh semua pria di dunia ini. Meski tidak ada data yang kongkret—secara teoritis nyaris semua laki-laki entah ia itu pedagang asongan, tukang gerebek VCD/DVD porno, jenderal atau presiden sekalipun pasti pernah melakukan ini. Bahkan terdengar kabar kalau mantan presiden Amerika Bill Clinton, juga masih gemar ber-seks oral dengan pasangan selingkuhnya. Meski tingkatannya lebih tinggi, tapi intinya sama saja; onani/masturbasi. Pada tahap ini mau jujur pada orang tua? Ah, tidak dech. Bisa-bisa kena damprat habis-habisan. Atau malah orang tua bisa kena serangan jantung mendadak. Urusannya bisa gawat.

Pada hari pertama bermasturbasi ria itu ada rasa bersalah yang menghantui pikiran. Tapi toh ada juga pikiran untuk mengulanginya di hari kedua. Dan benar aktivitas itu diulangi juga, meski ada rasa bersalah tiap kali usai melakukannya. Terus begitu sampai akhirnya menjadi rutinitas. Efek kecanduannya mirip narkoba. Karenanya tak begitu heran jika mantan model kondang di masa 1980-an, Christie Brinkley, memutuskan menceraikan suaminya yang ketahuan ketagihan masturbasi melalui camera laptop.

Tanpa pembimbing. Tanpa guru. Tanpa mentor, saya akhirnya naik kelas lagi. Kini bukan hanya buku-buku stensilan yang saya lahap, melainkan film biru. Waktu pertama kali melihat, saya dibikin pusing kepala. Sampai mau muntah segala. Tapi setelah dua tiga kali menonton, pusing itu jadi sedikit berkurang karena diselingi rasa nikmat. Tak cukup juga sampai disitu, ketika mengenal internet, aktivitas petualangan syahwat dilanjutkan di dunia maya yang lebih luas dan memberikan banyak warna. Saya juga mulai mengenai yahoo messenger dan chat room. Di chat room itu saya bisa menonton adegan seks (karena dilengkapi dengan webcam) sambil berdialog dengan pelakunya. Menarik…seru dan tanpa batas.

Mungkin yang tak pernah saya lakukan hanyalah merekam aktivitas seks saya saja. Dan laki-laki dan perempuan di film yang dikirimi teman saya itu, mereka berhasil melebihi rekor yang saya raih. Mereka berhasil mengabadikan kisah percintaan (lebih tepatnya persenggamaan) mereka. Dan semua itu, semua tahapan itu dilalui tanpa kontrol.

Barangkali tak akan banyak pemuda-pemudi yang terjebak dalam aktivitas dan sensasi seksual mereka sendiri seandainya orang tua, guru, kakek/nenek mau terbuka membicaran seks dengan mereka. Artinya, diskusi tentang seks bukanlah diskusi soal persenggamaan semata, melainkan pemahaman tentang perubahan seksualitas dan lompatan-lompatan sensasi yang dialami tiap anak-anak muda. Dengan adanya diskusi terbuka ini, saya yakin anak-anak tak sampai terjerat dalam birahinya sendiri.

Mengeksplorasi sendiri. Ada kontrol, ada penjelasan logis tentang tahapan seksual, sehingga mereka bisa mengambil jalan keluar tidak seorang diri, melainkan bersama-sama dengan keluarga dekatnya dan orang-orang yang mereka percayai.

Tentu saja untuk mencapai ini diperlukan juga orang tua yang paham betul perubahan seksual. Bukan orang tua yang kolot dan ortodoks, yang memaknai fenomena social remaja dari sekedar pahala dan dosa belaka, melainkan dengan sudut pandang sosial dan psikologis. Dan ini penting. Orang tua masa kini harus bisa lebih terbuka dan demokratis membicarakan seks dan tahapan seksualitas yang bakal dilewati putra-putrinya. Tanpa sikap yang demokratis dan terbuka, kita akan selalu dihadapkan dengan kejutan-kejutan. Kita akan terkejut jika tiba-tiba anaknya menghamili atau dihamili pacarnya. Kita akan terkejut ketika anak-anak kita jadi bispak atau perek sepulang sekolah. Atau kita sebagai orang tua bisa koit jika tak sanggup menanggung kejutan itu. Padahal sebenarnya kejutan-kejutan itu terjadi karena kita sudah terlalu kehilangan banyak momen penting dari tahapan anak-anak kita. Dan kita tak pernah lagi dekat dengan anak-anak. Maka yang diperlukan hari-hari ini adalah kejujuran. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa tahapan-tahapan seksual diatas juga pernah kita alami ketika menjadi remaja dulu. Dan kini sudah saatnya dibagi dan didiskusikan bersama dengan anak-anak kita. Siapa yang berani memulai?

Dua Film Adegan Ranjang Kacong-Cebbing Madura (1)

Seminggu lalu saya mendapatkan dua file film biru versi 3gp (file film untuk ditonton di Hp, red) dari teman saya. Film yang masing-masing berdurasi lima menit itu produksi madura asli. Artinya, sutradara, produser, dan pemeran utamanya anak muda madura. Bahkan kata teman saya si cewek masih kelas 1 SMA. Dibandingkan file pertama, file kedua film tersebut lebih seru. Pada file pertama saya hanya menyaksikan sebuah dialog mesra khas anak muda dengan sorotan kamera handphone yang tertuju pada si gadis yang telanjang bulat. “Tubuhmu sexy sekali, aku suka sayang,” begitu komentar si cowok di film itu sembari menzoom camera handphone kearah sela-sela paha si gadis. Pada file kedua saya menyaksikan adegan ranjang yang diiringi lagu hip-hop ala diskotik. Tentu saja disela-sela lalu itu terdengar juga suara desah, rintihan dan erangan yang memang tontonan orang dewasa.

Sebenarnya film ini telah beredar luas dan sempat heboh tiga bulan lalu. Bahkan saking hebohnya, bokap si cewek yang seorang guru ngaji di madura akhirnya koit melihat ulah anak ‘gadisnya’ yang jadi pembicaraan publik, malah masuk koran lokal segala. Pemeran cowoknya juga kini sedang berurusan dengan polisi. Sementara si cewek kabur keluar Madura. ” Mungkin jadi wanita jalang di jawa sana,” seloroh teman saya. Meski kesannya bercanda komentar teman saya itu mungkin ada benarnya. Banyak gadis belia terjerat lembah prostitusi karena mereka awalnya kehilangan keperawanannya dan merasa dirinya tak punya harga diri lagi hidup di masyarakat.
Secara pribadi saya sebenarnya iba dengan perempuan dalam film biru itu. Ia sebenarnya hanyalah tumbal dari budaya masyarakat yang paradoks. Masyakarat yang sebenarnya memiliki nafsu birahi yang tinggi dan menyukai hal-hal yang berbau pornografi dan sensualitas, tetapi malu mengungkapkannya di hadapan publik. Rasa malu itu dibungkusnya rapat-rapat dengan dalih agama, budaya madura yang beradab dan sebagainya.

Lihat saja ketika film-film itu saya tunjukkan pada tetangga-tetangga saya yang rata-rata tuwir. Mereka hampir serempak komentar; “Transfer ke Hp saya juga. Saya mau menontonnya di rumah,” ujar mereka. Tapi apa komentar mereka ketika saya Tanya tentang perempuan di film itu? “ia wanita nggak bener. Layak dapat ganjaran,” komentar salah satu tetangga saya. ”Tapi mengapa bapaknya yang akhirnya dipanggil yang kuasa. Mengapa tidak perempuan itu saja yang dicabut nyawanya, biar disiksa sama malaikat,” ungkap yang lainnya lagi. Si cowok dalam film itu (yang sebenarnya ia yang berinisiatif mengabadikan ‘tanda cinta-nya’ di handphone) nyaris tak disebut-sebut sebagai biang kerok. Artinya, dalam kondisi ini lagi-lagi perempuan jadi biangkeladi segala yang berbau nafsu birahi.

Begitulah masyarakat patriakat selalu menganggap perempuan tak lebih hanya sejenis makhkluk hidup yang dianggap ‘najis’ dan harus dijinakkan agar tidak menjadi liar. Membatasi ruang gerak perempuan dalam dapur, sumur dan kasur dan bertekuk lutut di hadapan suami adalah cara yang paling ampuh menjinakkan perempuan. Pahadal kalau mau jujur iklan-iklan di televisi yang menjadikan perempuan seksi sebagai bintang utamanya hanyalah sekedar memuaskan nafsu birahi laki-laki yang sebenarnya amat terbatas itu. Dan si perempuan pasrah saja dijadikan alat pemuas belaka.

Tentunya disini saya tak hendak berbicara bahwa perempuan adalah musuh lelaki atau sebaliknya. Justru disini saya hendak menunjukkan sebuah system yang menindas dimana hanya ambisi-ambisi mengusai yang dikedepankan. Bukan peluang-peluang mencapai kesejahteraan yang dicarikan jalan pulang. Dan kasus maraknya video mesum di kalangan pelajar akhir-akhir ini sebenarnya adalah puncak dari gunung es kesalahpahaman kita memaknai pornografi.

Sudah sejak zaman saya sekolah dulu kasus hamil di luar nikah sudah jadi umum di kalangan pelajar. Saya bahkan pernah dua kali mengantarkan teman cowok saya yang kebetulan ceweknya terlambat datang bulan ke dukun beranak untuk menggugurkan kandungan. Teman-teman saya juga tahu bidan mana yang bisa diajak kompromi untuk menggugurkan kandungan ketika pasangannya ketahuan hamil. Dan semua itu ada di madura.

Artinya, seks yang dianggap tabu di kalangan masyarakat justru telah jadi bagian aktivitas bawah tanah kalangan pelajar. Televisi yang mempertontonkan film barat dengan adegan mesum yang seringkali bikin syahwat anak-anak SMA mencak-mencak adalah guru paling setia dalam hal ini. Lewat televisilah mereka belajar seks. Dan seringkali aktivitas-aktivitas seks itu dilakukan tanpa control, tanpa pemahaman yang ketat soal reproduksi. Akibatnya si perempuan kembali menjadi tumbalnya. Akan lain ceritanya mungkin ketika masyakat kita mau secara jujur mengakui bahwa kebudayaannya kini adalah kebudayaan universal. Madura toh tak sebersih yang dibayangkan banyak orang. Mulai terbukalah. Karena itu pendidikan seks perlu diajarkan secara universal tanpa ada ketabuan atau risih ketika mengungkapkannya.
Sekolah-sekolah harus mulai berani mengajarkan cara seks yang aman. Dengan begitu anak-anak muda tak perlu harus sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas seksual.

Dan tak perlu harus lari dari rumah ketika ketahuan adegan ranjangnya dengan sang pacar tersebar luas via internet. Sehingga anak-anak perempuan kita tak harus jadi mangsa lembah prostitusi ketika mereka merasa dirinya tak berarti pasca keperawanannya direnggut pacar (dan sang pacar melarikan diri tanpa mau bertanggungjawab). Masyarakat tak perlu memberikan vonis. Biarlah pelakunya saja yang menentukan nasibnya sendiri. Dan satu hal yang harus dipahami jangan beradegan ranjang di depan kamera. Karena siapapun kalau ia manusia pasti doyan menontonnya.

Kamis, 02 Juli 2009

Jalan Pulang-Luka-Elegi

JALAN PULANG

Oh, Hawa
mengapa tidak kau catat jejak purba kepulangan kita di pintu gerbang
agar semua tahu bahwa Adam selalu pulang lewat pintu belakang

Tretes, 30 Juni 2009

***

MERUWAT LUKA

waktu terus memahat diorama baka
detikdetik jatuh, kalender beruban mencatat hari tua

aku mengelana dari puisi ke puisi, meruwat luka
menanggalkan sephia di sisa usia

Tretes, 30 Juni 2009

***

ELEGI PEMULUNG

aku tak sedang membaca
puisi ajalmu, meski
kau berkalikali membisikkan kata penghabisan

sebab kulihat tanganmu yang kasar
masih saja lembut mengusapkan doa
pada setiap sampah yang kau pungut;
“kugantungkan sisa usia, pada najis yang kau bawa”

hidupmu tak diawali dengan sepotong roti
segelas kopi dan berita selebriti
hidupmu hanya sebungkus nasi sisa
yang sempat kau pungut di belakang plasa ketika senja
dan setiap suap yang kau telan
bukan hanya mengganjal lapar, tapi juga untuk memeras air mata
sebab disetiap sampah yang kau pungut tercatat skandal pemiskinan

tapi disetiap tetes airmatamu terbesit daya tahan
dan nyalang pemberontakan yang menjelma kampung halaman

aku tak sedang membaca
sajak kematianmu, karena
jejakmu telah menjelma peta
jalan pulang kita

Madura, Juli 2009

Rabu, 24 Juni 2009

Gelar....Gelar...Gelar.....

Gelar

Seorang pejabat tinggi di Pamekasan-Madura marah-marah pada saya. Pasalnya, saya masih saja mencantumkan titel di depan dan dibelakang namanya dalam setiap penulisan berita. “Khan sudah saya katakan, tak perlu dicantumkan titel-titel itu. Bagi saya tak penting,” begitu sergahnya. Saya yang memang merasa bersalah hanya menganggukkan kepala tanda khilaf dan setuju.

Saya memang tak habis pikir mengapa pejabat itu tak suka gelarnya dicantumkan. Lagipula sebenarnya apa yang saya lakukan tak lebih untuk menghormatinya. Jujur saja, masyarakat Madura adalah masyarakat feodal yang kental. Dalam masyarakat feodal, gelar merupakan sebuah kehormatan. Baik itu gelar kebangsawanan (ningrat) maupun gelar akademik. Orang seringkali mudah tersinggung kalau gelarnya lupa dicantumkan. Bahkan tak sedikit orang yang sengaja memanipulasi gelar. Sengaja mencantumkan gelar yang memang tak pernah ia miliki hanya sekedar untuk dihormati.
Seorang kawan saya yang beberapa bulan lalu kebetulan menjadi salah satu caleg pernah memberikan stiker tentang pencalonannya pada saya. Di stiker tersebut tertulis lengkap namanya; H. Mu’in (bukan nama sebenarnya), SH. Saya dibuat garuk-garuk kepala (meski tidak gatal) dengan titelnya itu. ”Darimana ia dapat gelar SH dan gelar Haji itu? Lha wong empat bulan sebelum pemilihan calon legislatif digelar ia pernah bercerita pada saya kalau ia drop out dari kuliahnya di PTS di Jatim,” begitu batin saya. Ketika saya singgung soal ucapannya beberapa bulan lalu itu, ia hanya nyengir kuda sambil berbisik; ”Ini Madura, bung, bukan Amerika. Kesan lebih penting daripada isi kepala,” mendengar kalimatnya itu saya juga nyengir.
Barangkali memang ada benarnya kata-katanya teman saya itu. Di Eropa sana gelar memang bukan barang yang istimewa. Orang-orang sudah tak lagi memikirkan gelar. Di kartu-kartu nama orang-orang eropa tak pernah ada embel-embel gelar. Cukup nama dan nomor telepon saja. Bagi mereka yang sudah memiliki peradaban maju tak terlalu risih berkenalan tanpa menyebut gelar. Masyarakat negara maju lebih menghormati orang-orang yang memiliki karya dan berdedikasi tinggi pada bidangnya. Entah orang itu lulusan SD atau SMA. Selama ia berkarya, ia dihormati.

Karenanya tak heran jika Pramodya Ananta Toer, sastrawan asal Blora yang namanya berkali-kali menjadi kandidat Nobel sastra dunia itu dalam novelnya Bumi Manusia mewanti-wanti masyarakat Indonesia; "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama (juga gelar-gelar, Pen). Khan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama (juga gelar), dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya (hal. 77). Itulah ilmu padi sejati. Semakin berisi semakin menunduk. Meskipun kemudian karena ilmu pengetahuan itu pula eropa menjadi penjajah yang rakus dan keji itu soal lain.

Harus diakui memang beda jauh dengan masyarakat feodal seperti di Madura (Indonesia juga). Seorang loper koran yang wawasannya luas karena tiap hari baca koran kata-katanya tak akan pernah digubris. Sedangkan seorang ningrat (dalam kebangsawanan), haji (dalam keagamaan) atau doktor (gelar akademik, meski gelarnya beli dan tak pernah punya buku di rumahnya) akan terus dipercayai.

Makanya tak heran kalau kawan saya yang lainnya justru geram gara-gara saya meledek gelar ningratnya yang nangkring di depan namanya. Dengan berbagai apologi ia menerangkan pada saya bahwa gelarnya itu tak ada hubungannya dengan feodalisme. Pertama, gelar itu ia gunakan untuk menghormati ayahnya yang sudah meninggal. Kedua, gelar itu ia gunakan untuk memperjelas klan dalam keluarga besarnya. Ketiga, ia gunakan gelar itu sebagai ’benteng’ diri dari tindakan a-susila seperti mabok, main perempuan, judi dan sebagainya. ” Masak seorang Raden melakukan tindakan seperti itu. Malu sama masyarakat,” tegasnya.

Ketika ia menjelaskan apologinya itu saya memang tak banyak komentar. Meskipun secara prinsip saya tak terlalu setuju dengan pembelaannya yang—menurut saya—dibuat-buat itu. Terutama soal gelar ningratnya yang jadi benteng dalam bersikap. Pasalnya, sudah menjadi catatan sejarah nusantara bahwa masyarakat bangsawan-lah yang kerap menjadi ’perusak’ masa depan perawan-perawan desa. Para gadis desa belia itu diambil istri oleh pembesar untuk melayani ’kebutuhan’ seks laki-laki sampai akhirnya sang pembesar itu memutuskan untuk menikah dengan perempuan sekelas dan sederajat dengannya. Kisah Gadis Pantai yang diturunkan Pram—sapaan Pramodya Ananta Toer—menjadi bukti mengenai itu. Kisah pilu seorang gadis pantai yang menjadi istri seorang pembesar. Seorang Raden Mas. Awalnya perkawinannya memberikan prestise baginya dan kampung halamannya, karena dia dipandang telah naik derajatnya, menjadi bendoro putri (meski seorang selir). Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Gadis pantai akhirnya dicampakkan. Dibuang kembali ke asalnya; masyarakat nelayan miskin, oleh pembesar Jawa yang memilikinya, setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan.

Dalam bentuknya yang lain, kisah gadis pantai diatas bisa muncul dalam masyarakat feodal. Misalnya beberapa kasus perawan desa yang dicampakkan pembesar Jawa akhirnya bermuara pada prostitusi-prostitusi, menjual diri. Beberapa lainnya bunuh diri. Bahkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap TKW/TKI adalah gambaran lain soal yang berkuasa dan dikuasai. Pun kalau kita mau membaca Jakarta Under Cover besutan Memoar Emka itu, akan kita saksikan betapa kaum ningrat memang gemar menghabiskan uang hanya untuk mengumbar syahwat.
Judi? Ah, jangan ditanya. Contoh yang sempat mencuat adalah kasus pengungkapan harta kekayaan Soeharto beserta anak cucunya dalam Majalah Time Edisi Mei 1998. Dalam majalah itu disebutkan hampir rata-rata anak laki-laki Soeharto gemar menghabiskan uang dengan berjudi. Barangkali ini hanya puncak gunung es fenomena perjudian kaum ningrat.

Kasus mencuatnya jual beli gelar akhir-akhir ini tak lepas dari ambisi seseorang untuk menjadi ningrat secara akademik. Di negeri feodal menjadi Ningrat adalah kebanggaan. Berdere-deret gelar berarti berderet-deret uang siap menjelang. Karena itu tak berlebihan kalau disebut bahwa kaum ningrat adalah pelopor berdirinya masyarakat instan.

Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell, masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa dicapai dengan uang.

” Lalu kamu mau apa? Mau menghapus gelar-gelar ningrat, gelar-gelar akademik, begitu? He...he... nggak semudah itu tau??” cerocos hati kecil saya. ”Memangnya kamu siapa? Presiden juga bukan?” lanjutnya.

Saya memang selalu ’takluk’ dengan hati kecil saya yang bawel itu. Tapi ngomong-ngomong soal Presiden di masa-masa mendekati Pilpres ini saya jadi punya harapan. Pada pemilu kali ini tak ada satupun iklan Capres-Cawapres yang mencantumkan gelar-gelar. Tak ada titel bertaburan. Beda jauh dengan pemilu 2004 lalu. Capres-cawapres sibuk pasang gelar berderet-deret banyaknya. Mungkin Capres dan cawapres kali ini berkaca pada pemilu Amerika, dimana Obama lolos jadi presidennya. Seorang kulit hitam. Tanpa embel-embel gelar, ia jadi dekat dengan konstituennya. Barangkali semangat tanpa gelar yang diusung Capres-Cawapres kali ini bisa memberikan teladan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki manusia dengan berjutal elar tapi kosong isi kepalanya.

Hanya dengan pengetahuan kemajuan bisa diraih. Dan memperoleh pengetahuan tak harus dengan gelar yang tinggi-tinggi. Sudah banyak buktinya. Seorang Adam Malik bisa duduk sebagai wapres meski hanya lulusan sekolah rakyat. Dan yang lebih membuat saya lebih optimis, ada seorang pejabat tinggi di daerah saya mau dengan rela hati menanggalkan gelarnya. Persis seperti yang diteriakkan sastrawan Achiat K. Mihardja; ”Saya telah membuang embel-embel Raden saya ke sungai ciliwung!”

Apakah pejabat tinggi itu tahu bahwa gelar hanya merupakan pagar pembatas antara individu dengan rakyatnya seperti halnya unggah-ungguh bahasa Jawa-Madura itu? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas saya setuju dengan Eka Budianta bahwa tanpa pelampung gelar yang banyak dan ’berat’ itu, orang lebih mampu menyelami lautan Ilmu sedalam-dalamnya. Sebab di dasar lautan itulah tersimpan mutiara yang tak ternilai indahnya.

Madura, Juni 2009

Senin, 22 Juni 2009

Suramadu vs Ferry

Jasa Ferry vs Jembatan Suramadu
Oleh: Edy Firmansyah


Akankah angkutan kapal ferry kamal-perak akan “kolaps” pasca dioperasikannya jembatan Suramadu? Pertanyaan ini mulai menjadi perbincangan publik akhir-akhir ini. Betapa tidak, sejak dioperasikan jembatan terpanjang di Indonesia itu, pengguna jasa ferry Surabaya-Madura menurun hingga 60 persen. Dengan penurun penumpang yang cukup drastis itu, disinyalir kerugian bisa mencapai miliaran rupiah.

Padahal sebelum jembatan yang menghubungkan madura dengan Surabaya itu diresmikan pada 10 Juni lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, angkutan ferry menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Para pengguna ferry memang harus ekstra sabar ketika misalnya, menjelang lebaran, baik itu idul fitri maupun idul adha, harus antre hingga lima kilometer. Antrean juga bisa dirasakan ketika akhir pekan. Terlebih lagi ketika, ada geladak atau kapal yang terpaksa tidak bisa beroperasi karena diperbaiki. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu, ferrylah satu-satunya angkutan yang menghubungkan Surabaya-Madura. Pun kita tak bisa berbuat banyak kecuali menerima dengan pasrah (meski ada yang menggeruti dalam hati), ketika pihak ASDP menaikkan tarif angkutan ferry ketika terjadi kenaikan harga BBM. Tak heran jikademo-demo mahasiswa untuk menurunkan tarif tersebut dianggap angin lalu oleh pihak ASDP. Karena ferry adalah transportasi penghubung jawa-madura.

Namun sekarang, setelah jembatan Suramadu resmi beroperasi para pengguna jalan tak lagi bergantung pada ferry. Apalagi tarif melintasi jembatan Suramadu terbilang murah jika dibandingkan dengan tarif ferry. Untuk angkutan motor, misalnya pengelola tol Suramadu mematok tarif Rp. 3.000,- sekali jalan. Sedangkan Mobil dan kendaraan sejenis dikenai tarif Rp. 30.000,-. Sementara untuk pengguna motor, PT Indonesia Ferry dibawah bendera Angkutan Sungai, Danau dan Pantai (ASDP) mematok tarif Rp. 5.000 sekali jalan. Sedangkan untuk mobil Rp. 60.000,-. Dengan perbedaan tarif itu, wajar jika kemudian banyak pengguna jalan lebih memilih menggunakan jembatan Suramadu ketimbang jasa angkutan ferry.

Hanya saja masalahnya tidak selesai sampai disini. Sejak Suramadu resmi dioperasikan, para pengguna jembatan yang tiang pancangnya diresmikan pertama kali oleh Megawati Soekarno Putri itu, juga harus rela antre. Terutama kendaraan motor. Bahkan antrean bisa mencapai 2 kilometer setiap harinya. Otomatis perjalanan tidak bisa lancar seperti yang dibayangkan. Maklum kecepatan motor dengan suasana macet hanya bisa maksimal hingga 30 km/jam. Bisa dibayangkan dampak polusi asap kendaraan bermotor bagi kesehatan pengguna jalan dalam kondisi macet tersebut.

Ironisnya kondisi seperti demikian tak hanya terjadi di jembatan Suramadu. Di negara maju seperti Amerika, kondisinya tak jauh beda. Jembatan-jembatan yang menghubungkan dua tempat dengan bentang yang cukup panjang selalu mengalami prodit (baca: macet). Artinya, jembatan sebagai alat penghubung dua tempat yang dibatasi sungai/selat ternyata tak mampu menjadi alternatif penyeberangan guna menekan pergerakan orang.

Karenanya tak berlebihan jika situs majalah Renegade menurunkan sebuah artikel dengan judul “Fuck Bridges, We Want Ferry!” artikel ini berisi ‘pertarungan’ jembatan dan feri di amerika. Dalam artikel tersebut dikecam kebodohan pengendara yang memacetkan jembatan. Pasalnya, kota yang ‘terbagi’ oleh sungai lebat/selat memang sering hanya ada satu dua jembatan penghubung. Sayangnya, Keberadaan jembatan tersebut ternyata tak berbanding lurus dengan pesatnya produksi dan konsumsi kendaraan bermotor masyarakat. Dampaknya, arus kendaraan jadi menumpuk di jembatan.

Melihat kondisi yang demikian, tidak berlebihan jika ferry ternyata masih akan dibutuhkan meski jembatan-jembatan alternatif terus dibangun. Dengan lain kata, pengelola kapal ferry tak perlu risau perusahaannya akan gulung tikar. Ferry justru menjadi solusi alternatif memecahkan kemacetan. Termasuk juga di jembatan suramadu.

Disamping itu ada beberapa hal unik pengguna ferry yang tidak bisa didapatkan pengguna jalan yang memilih melintasi jembatan. Pertama, ferry bisa jadi tempat istirahat bagi pejalan jauh tanpa harus kehilangan waktu tempuh. Benar memang Suramadu juga menyediakan tempat pemberhentian. Tapi pengguna jembatan akan kehilangan waktu tempuhnya. Lagipula bagi pengendara yang menempuh jarak jauh beristirahat harus kerap dilakukan untuk menghindari ngantuk ketika berkendara. Dengan beristirahat, kemungkinan terjadi kecelakaan akibat kelelahan dan kehilangan konsentrasi ketika berkendara bisa dikurangi. Jadi, bagi para pelancong atau pengendara motor yang menempuh perjalanan jauh, ferry masih bisa jadi pilihan beristirahat tanpa kehilangan waktu tempuh.

Kedua, bagi para pekerja, ferry bisa menjadi tempat rileks. Terlebih lagi kini ferry juga menyediakan penyanyi-penyanyi yang menghibur penumpang plus pramugari yang enak dipandang.

Ketiga, ferry masih bisa menjadi tempat interaksi antar pengendara atau penumpang. Ferry masih dapat menjadi alat transportasi yang menyediakan ruang sosial. Antar penumpang masih bisa saling ngobrol, curhat dan sebagainya. Sementara di jembatan para pengguna jalan cenderung individualistik karena harus berkonsentrasi kala berkendara. Bahkan ferry-pun disinyalir bisa memperamah wajah sebuah kota karena mampu mengurangi emisi gas buang (meski hanya satu jam) yang ditimbulkan oleh asap kendaraan bermotor. Para pengendara sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya bisa menggunakan ferry ketika jembatan suramadu menutup pintunya bagi jenis kendaraan jenis ini.

Tentu saja diperlukan reformasi dan pembenahan diberbagai lini jika ingin ferry akan tetap dilirik para pengguna jalan. Diantaranya dengan mulai pembenahan pelayanan pada para penumpang, kualitas kapal yang semakin baik (mengkandangkan kapal bobrok, dan membeli lagi kapal baru) serta waktu berlayar dan bersandar yang semakin dipersingkat. Sehingga ferry benar-benar menjadi alternatif penyeberangan yang layak dipertimbangkan pengguna jalan. Nah, sekarang tinggal pilihan pembaca masih setia dengan ferry atau menggunakan jembatan Suramadu untuk menyeberang?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pengguna jalan jalur Madura-Surabaya. Pemerhati masalah sosial. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta.

Minggu, 21 Juni 2009

SEPI(RING) PUISI


Kucatat Ulang Tahunmu
:J dan NR

Sepertinya memang harus kucatat ulang tahunmu dengan pendar lilin
Parafin leleh perlahan, usia mencair di piring hening

Kau masih saja mengigau tentang hantuhantu masa silammu
Memilin-milin dosa, menyuruk-nyurukkan duka
Berharap lepas di sisa usia

“Akulah padi. Yang selalu diekori rumput
Hingga panen menguncup,” terangmu

Ah, usia memang tak abadi
Selalu tumbang di detik awal jarum jam
Tapi hidup dan maut masih saja bersipagut
Hingga ajal menghujamkan seringai
Seperti malam-malan yang kecut pada bulan
Yang menghunuskan sabit usai purnama penghabisan

Kucatat ulang tahunmu
Pada sepi(ring) puisi


Madura, 19 Juni 2009

***


Do(s)a

Masih saja purba kebersamaan kita;
memintal mantra pada petang yang bersayap
berkelana dari senyap ke senyap
dendam menggenang di jalanjalan, sesal berkecipratan
iba mengalir di selokan, gerimis asa tak berkesudahan
tanah-tanah basah oleh air mata
dukapun telanjang, bersenggama dengan kesunyian

Madura, Juni 2009


***


Tiga Dialog Subuh

1
Tak ada yang salah dengan jejak matahari di jendela kamarmu
ia hanya melaksanakan tugasnya;
menyandera pulas, menggantinya dengan pagi
mestinya kau mencatat, agar hari tak jadi khianat

2
Pulanglah,
subuh sudah dekat
kau tinggal menyusu pada puting pagi
setelah kenyang, mari berlayar
melarungkan rahim masasilam

3
Barangkali aku rindu
pagi yang basah
embun menggantung di ujung daun

matahari yang kau kulum
terbit dalam partitur senyum

tapi mengapa kau alpa
mengusap luka di gigir doa

Madura, 21 Juni 2009







Jumat, 19 Juni 2009

MONOLOG KENANGAN

Monolog Kenangan


Bagiku inilah Kamis yang penuh dengan kelebatan masa silam. Masa lalu yang tiba-tiba tumpah membasahi notebookku. Kemudian mengering dan menyuguhkan peta tentang kenangan. Memaksaku kembali bercerita tentang masa silam.

Kenangan memang bukan barang baru bagi manusia. Dari generasi ke generasi setiap anak manusia selalu menyimpan masalalu. Entah itu kenangan buruk atau kenangan bahagia. Baik itu dalam catatan atau hanya sebentuk ingatan. Dan beberapa orang diantaranya kerap membukanya kembali, membaca ulang, untuk sekedar berkaca atau mencari kekuatan berpijak merengkuh masa depan yang gemilang. Tapi kenangan pula yang bisa membuat seseorang ambruk dan tak bisa lagi bangkit menata hidupnya kembali.

***
Berawal dari fesbuk baruku
Kau datang dengan cara tiba-tiba


Lagu Group Band Gigi berjudul My Faceebook melantun tenang dari speaker notebookku. Ya, facebook itulah yang membawaku kembali mengingatmu. Mungkin bagi banyak orang pertemuan kita hanyalah sebuah pertemuan biasa. Kebetulan belaka. Kadang-kadang kita bertemu begitu saja dengan seseorang yang tidak kita kenal, dengan teman dekat yang lama tak bersua, kemudian menjadi karib seperti amplop yang ditempeli prangko yang sudah dijilat-jilat punggungnya, lantas mendadak berpisah begitu saja tanpa sebab. Tapi aku memang tak terlalu percaya pada kebetulan. Pertemuan kita bukan kebetulan, Fee. Jejaring-jejaring dunia maya yang sedemikian luas dan jlimet itu yang telah mendudukkan kita di satu meja. Kita memilihnya jalannya. Kita sendiri.

Tak perlu Fee. Tak perlu kau bersusah payah menceritakan kehidupanmu sekarang. Sebab barangkali kita berdua memang sudah tak peduli dengan itu semua. Lagipula aku hanya akan terus menjadi pendengar tanpa banyak komentar, karena aku memang tak banyak berubah, Fee, masih saja pria pendiam dan pemalu, seperti dulu. Barangkali salah satu keberanian yang kumiliki saat ini hanyalah memintal kata-kata. Tak lebih.

Matahari terus meninggi. Panasnya seperti tembus di ruang AC ini. Butir-butir keringat mulai keluar dari pori-pori. Dan aku kehilangan kata-kata. Yach, masih seperti masa lalu khan fee!? Setiap kita bertemu aku selalu kehilangan kata-kata. Padamu aku memang hanya sanggup bersapa tetapi tak pernah sanggup berbagi cerita. Jika sekarang, mungkin alasannya sudah cukup jelas, kita punya kehidupan yang berbeda. Semua orang tahu, menyusun kehidupan itu memang gampang-gampang susah. Karena itu tak banyak orang yang mau merusak kehidupan yang telah dibangunnya tanpa alasan yang logis.

Masih ingatkah kau bagaimana kita membangun hubungan? Ya, keberanianku hanya lewat telepon. Bercinta dengan suara. Aku bisa bicara apa saja jika lewat telepon. Kita bisa saling tertawa, saling ledek, saling senyum. Tapi ketika berjumpa, hanya sepatah-dua kata yang berhasil meloncat dari lidahku. Tak lebih. Setelah itu hening! Hening menjelaga disetiap perjumpaan kita.

Mungkin lebih tepat kalau aku disebut pejantan imajinasi yang bisa menjadi pria sejati lewat mimpi-mimpi. Ya, aku mencintaimu hanya lewat mimpi. Dalam dunia realitas kau barangkali hanya sekedar teman biasa. Tapi dalam setiap mimpi-mimpiku kau adalah perempuan yang layak untuk dicatat diujung hatiku.

Memang peristiwa itu sudah puluhan tahun lalu. Tapi jejaknya masih saja tak bisa dihapus dari ingatanku. Meski aku lupa kapan tanggal dan waktunya tapi setiap inci peristiwanya kini berkelebat dalam anganku. Ya semenjak pertemuan kita di dunia maya, kau muncul lagi. Menyapaku sembari mengulum senyum.

Tolol? Kau katakan bahwa kelebatan kenangan masa lalu adalah sebuah ketololan!? Aku rasa tidak. Kita memang tak bisa kembali ke masalalu. Waktu tak bisa mundur. Lagipula aku tak terlalu tertarik untuk mengulang masalalu kita. Aku lebih suka mengenangnya. Sebab sejarah adalah cermin kita untuk hadir pada masa depan dengan cemerlang. Bukan begitu kata para motivator?

Tapi bicara soal ketololan, memang cinta monyet seringkali bikin tolol. Upaya menarik perhatian lawan jenis sudah dilakukan para binatang jauh hari sebelum manusia ada dibumi. Bahwa pasangan yang dipilih adalah pasangan yang berkarakter. Seorang pejantan akan mencari betina yang memiliki kelebihan dan keunikan. Sebagaimana seorang betina menilai pejantan dari potensinya. Karena kelebihan dan potensi kadangkala bisa dimiliki oleh lebih dari satu pejantan, upaya kawin dunia hewan kerap diwarnai pertumpahan darah.

Dan dunia manusia aku rasa juga tak jauh-jauh beda. Gara-gara rebutan kekasih orang bisa saling tikam. Gara-gara perselingkuhan manusia bisa saling gorok. Dan memang syahwat itu khan juga kebutuhan dasar yang alamiah. Tapi bicara soal potensi aku memang nol kala itu. Aku tak lebih dari penjantan yang pesakitan. Tak ada yang bisa diandalkan waktu itu. Yang bisa kulakukan hanya bersikap “liar”, seliar-liarnya untuk terus menarik perhatianmu. Dan aku sadar cara itu memang tak efektif. Sejatinya seorang pecinta harus mampu menunjukkan produktivitasnya yang tinggi pada orang-orang yang dicintainya. Kerja-kerja produktif adalah kerja kemandirian. Tentu saja jangan disalahkan artikan produktif dengan kesibukan. Banyak orang menganggap produktif itu sibuk. Sibuk ikut organisasi, sibuk mengerjakan PR, sibuk mengurusi kerjaan kantor, kemudian pension dan hidupnya, aktivitasnya dianggap selesai. Padahal produktif itu berkarya. Menghasilkan karya sebagai modal bertahan hidup untuk kemandirian. Manusia yang berkarakter tidak diukur dari seberapa banyak ia mampu menjadi bagian dari manusia elitis, hidup dengan mengandalkan gaji bulanan. Manusia berkarakter diukur dari karya-karya yang dihasilkan. Semakin bermanfaat produktifitasnya bagi banyak orang, maka ia semakin dikagumi.

Hidup menjadi produktif itu memang bukan watak masyarakat negeri ini. Berabad-abad lamanya, sejak feudal hingga colonial kita dipaksa menjadi pemalas. Masyarakat negeri ini lebih bangga hidup menjadi manusia gajian. Padahal tak ada yang bisa diandalkan dari orang-orang gajian, kecuali penghambaan yang total pada birokrasi yang banal. Mudah memang hidup menjadi pendamping manusia gajian; kemapanan jelas didepan mata, kebutuhan hidup nyaris tak kekurangan. Tapi alangkah indahnya seorang manusia yang mampu bertahan dalam penderitaan karena pasangan hidupnya melakukan kerja-kerja produktif hingga akhir hayatnya. Bergembira diatas penderitaan sendiri, susah juga dibagi berdua. Bukankah masih lebih bermakna seorang istri petani miskin yang bersetia sampai mati menemani suaminya yang terus-menerus menyetubuhi sawah untuk produktif mengolah tanah hanya sekedar bertahan hidup, daripada istri pejabat yang mapan dan bahenol tapi selalu saja terangsang melihat pemuda-pemuda ingusan karena suaminya sudah mulai pesakitan?

Terimakasih fee akhirnya kau memang tak memilihku (karena akupun memang tak akan pernah sanggup mendampingimu). Kau telah memiliki pejantan yang mapan. Yang hidup dalam kemapanan dan masa depannya gemilang. Kau tak perlu takut keturunanmu hidup dalam kubangan kemiskinan, kecuali ekonomi keluargamu pailit akut. Tapi tak ada kaum mapan kelas menengah yang berani mempertaruhkan hartanya untuk hal-hal yang masih dalam mimpi. Dan kau bahagia? Pasti! Kemapanan memang kerap dianggap standar dasar kebahagiaan. Sementara akupun juga memlih betinaku sendiri yang lagi-lagi hanya bisa kupeluk dan kusetebuhi dalam mimpi-mimpiku. Sampai akhirnya aku terjaga dan harus mulai percaya bahwa satu-satunya cara bertahan hidup, penuh makna dan dihargai adalah hadir dengan produktifitas tinggi. Aku terus mencobanya fee, terus dan terus. Dan kenangan masa silam kerap menjadi pembuka jalan untuk menemukannya. Karena sesampah apapun sebuah kenangan, ia menyimpan mutiara yang tak ternilai.

Madura, Juni 2009


Jumat, 12 Juni 2009

Rahim dan Vagina Ibu


Aku lahir dari selongsong rahim
yang meludahi bumi dengan liur darah
aku tinggal di gigir musim
yang tak henti menancapkan sejarah


aku mencatat ibu
dengan liur darahmu
yang mulai mengental di bibir vaginamu


hingga malam tiba
hingga tak ada dinding putih yang tersisa
aku mencatat sisa-sisa perihmu
berharap sakit itu tenggelam dalam aduhmu


"sekuat apapun kau mencoba
derita ini tak akan lepas dari jejakmu, anakku.
seperti juga bahagia, ia adalah teman menuju
jalan pulang kita"


dan ketika detik-detik jatuh
bergelantungan di embun pagi
aku saksikan liur darah ibu
mengering dan menjadi peta
di tiap tarikan nafasku

aku mencatat ibu
dengan liur darahmu
yang mulai mengental di bibir vaginamu


Surabaya-Madura 12 Juni 2009