WAKTU

JEDA

Selasa, 23 Desember 2014

TIPS DAN TRIK LOLOS DARI PENJARA MESKI DOYAN DAUN MUDA

Oleh: Edy Firmansyah*)

Saya terhenyak begitu membaca Koran lokal hari ini dengan berita: “kepala BPBD Sampang resmi jadi tersangka”. Bukan, bukan karena korupsi atau ngemil bantuan bencana, tapi karena doyan daun muda. Bayangkan, kota yang juga dapat julukan seribu pesantren itu yang dipimpin oleh seorang kiai yang konon penyabar dan baik pekerti, dicemari oleh tindakan asusila oleh pejabatnya.

Sebenarnya sih, kasus macam begitu bukan kali pertama terjadi di salah satu kabupaten di Madura berjuluk kota bahari yang plesetannya dikenal dengan; "kalau musim hujan banjirnya bisa berhari-hari" ini. Dulu, dulu sekali, sempat beredar video mesum yang dilakukan anak seorang guru ngaji. Kasak-kusuk berita selingkuh jadi perbincangan sehari-hari. Konon pernah juga ada berita pasangan selingkuh PNS yang main kuda-kudaan di toilet kantornya sendiri. pernah juga ramai berita, anggota dewan yang juga suka daun muda. Tapi modusnya lumayan ‘agamis’, siri dulu baru digoyang. Setelah itu cerai. Barangkali si anggota dewan yang konon juga santri, doyan ngaji dan dari partai yang islami itu nggak mau menghilangkan citra Sampang Bahari. Bersih, Agamis, Harmonis, Aman, Rapi dan Indah. Jadi biar bersih dan agamis, disiri dulu baru digoyang.

Eih, tunggu dulu. Di sini saya nggak mau ngomongin soal moral apalagi menggurui pembaca dengan teori seksualitas yang bla..bla,..bla… yang juga kadang saya nggak ngerti. Bahwa terlibat dan menjadi pelaku pelacuran di bawah umur adalah prilaku yang sakit semua orang normal dan punya nurani paham sekali. Justru yang bikin saya terhenyak, mengapa sih masih ada pejabat yang tertangkap karena perkara mesum begini? Bukankah yang tertangkap itu hanya puncak dari gunung es soal kesukaan pejabat kita ini. kalau nggak harta (korupsi), tahta (kekuasaan) ya perempuan. 

Karena itulah saya ingin memberikan tips aman untuk para pejabat yang hendak main gila dengan perempuan lain yang bukan istrinya. Tips ini penting agar para pejabat kita tak terus-terusan jadi kambing hitam media. Media memang jahat. Suka memutarbalikkan fakta. Makanya pepatah yang mengatakan bahwa profesi yang paling dekat dengan fitnah adalah profesi wartawan memang ada benarnya. Bayangkan, betapa malunya pejabat-pejabat kita yang jadi pemberitaan miring media. Sudah pejabatnya memang prilakunya miring, malah makin dimiring-miringkan sama wartawan. Begitu roboh (baca: diciduk polisi) masih diinjak-injak pula. Betapa sedihnya bukan kalau anak-anaknya yang di rumah tahu bapaknya jadi tersangka karena doyan daun muda?

Konon, raja-raja jawa dan juga pejabatnya punya banyak selir toh nggak pernah terlibat dengan polisi. Nggak pernah dilaporkan warganya sebagai tindak pencabulan meski yang dijadikan selir perempuan belia yang baru mengalami haid pertamanya. Dan raja-raja itu malah tercatat namanya dalam buku sejarah. Dikenang-kenang. Dipuja-puja sebagai ikon sebuah kabupaten kota.

Baiklah kembali ke soal tips. Karenanya untuk menjauhkan dari pemberitaan media yang terkutuk penting adanya tips saya ini dibaca baik-baik dan penuh rendah diri.

Pertama, jangan meniru tupai. Jangan melompat-lompat dari satu daun muda ke daun muda lainnya. Itu berbahaya, bro/sis. Apalagi musim hujan begini. Dahan dan ranting pada basah semua. Setialah pada satu daun muda. Istri sendiri misalnya. Bayangkan istri anda muda terus seperti saat malam pertama tiap kali bercinta.

Kedua, adillah sejak dalam pikiran. Kalau memang anda punya kelainan jiwa bernama pedofia, cobalah untuk berganti-ganti pasangan dalam pikiran. Misalnya, sambil bercinta dengan istri sendiri, bayangkan anda sedang bercinta dengan maria ozowa. Besoknya ganti tokoh dengan Kim Kardashian waktu mudanya. Saya yakin berganti-ganti pasangan dalam pikiran nggak akan masuk penjara atau diciduk polisi. Siapa sih yang bisa memenjarakan pikiran? nggak ada. tapi ingatlah, berlaku adil sama daun muda dalam pikiran sodara.

Ketiga, kalau memang keinginan untuk menyetubuhi daun muda benar-benar tak terbendung, cobalah hubungi jin terdekat yang berprofesi sebagai mucikari. Tidak ada salahnya mencoba daun muda dari kalangan jin. Tempo hari ada berita pernikahan seorang manusia dengan bangsa jin bisa masuk tivi loh. Siapa tahu dengan menkoleksi daun muda dari bangsa jin bisa juga jadi berita. Malah saya jamin saudara tidak akan masuk penjara hanya karena pamer cabe-cabean dari bangsa jin koleksi sodara. Kalau masuk berita pasti iya. Media memang suka peristiwa yang aneh-aneh akhir-akhir ini, bukan?

Keempat, perbanyaklah amal sholeh. Berbuat kebajikan. Ya, ini serius. Lantas apa hubungannya dengan keinginan berhubungan intim dengan daun muda? Hem, begini. Jika keinginan untuk bersetubuh dengan daun muda sudah tak terbendung lagi, gantung dirilah sampai mati. Berharaplah tuhan menghantarkan sodara ke surga yang sudah diisi dengan bidadari-bidadari cantik usia belia. Anda bisa pilih yang mana suka. Bisa bercinta di mana saja, kapan saja. Yang penting bisa ngaceng dan nggak kehabisan sperma.

Kelima, dan ini yang terakhir. Kalau keempat tips di atas tak sanggup saudara jalankan dengan baik dan bertaqwa, dan sodara masih suka jajan daun muda, apa boleh buat, itu hak anda. Orang yang punya uang dan punya kuasa memang bisa membeli apa saja, termasuk vagina perempuan-perempuan muda di bawah umur yang terhimpit ekonominya atau terbelenggu sindikat perdagangan manusia. Saya doakan saudara diciduk polisi dan masuk penjara. Para pelaku pelacuran anak ini di penjara sering diperlakukan tidak senonoh oleh napi lain yang paling berkuasa. Bisa disodomi, bisa disuruh onani dengan menggunakan remason. Bisa sodara bayangkan, bukan? “Sakitnya tuh di sini!” (sambil nunjuk dubur dan kemaluan). Semoga dengan demikian sodara insaf.




Sampang, 23 Desember 2014

*) Penulis adalah jurnalis cum penyair sambil lalu. 

Jumat, 19 Desember 2014

Impor Fidel Castro

EKSPOR JOKOWI, IMPOR SUBCOMANDANTE MARCOS

Komentar Menteri Rini dan juga Presiden agar direksi BUMN bisa diduduki orang asing memang ngeri-ngeri sedap, men.

Ngerinya, seakan-akan memang sudah nggak ada lagi orang pribumi yang kompeten ngurusi BUMN. Orang pribumi berkulit coklat itu seakan-akan memang belum siap ngurusi perusahaan sebesar BUMN. Sekali masyarakat jajahan, ya tetap jajahan. Mental jajahan ya memang nggak bisa luntur, salah satu solusinya; serahkan ke asing. Anda protes, ya biarin, bukan urusan saya.

Sedapnya, cie..kita jadi nampak globaliset gitu bro. Bayangkan, jika semua perusahaan dan semua instansi pemerintah bisa juga diduduki orang asing. Keren, khan? Nanti kalo ditanya, bosnya siapa, para pekerja kantoran bisa jawab dengan kece: “Ostrali bro. Bos kita dari ostrali.” Atau “bos kita Amrik men.  Para mahasiswa lugu dan unyu-unyu bisa sedikit busungkan dada ketika ditanya dosennya dari mana. jawabnya: Jerman. Prancis. Italia.  Anak-anak kita nanti bisa dengan keren cerita di rumah kalo guru bahasa Indonesia ternyata dari Inggris dan guru bahasa Inggrisnya dari Osrali. Kalo ortunya Tanya; lantas guru dari Indonesia di sekolahmu pada ke mana, nak? Si Anak dengan kece menjawab: dari pagi sampek siang, Omar Bakri ngelap kaca dan ngepel sekolah!

Kedepannya nanti, akan ada kampus di Madura yang cabangnya langsung dari Havard, Yale, Universitas Sydney, Queensland, dsb. Kampus-kampus cabang Amrik dan Ostrali itu bisa saingan sama ITB, UGM, UI. Atau kalo perlu tutup semua kampus-kampus negeri, ganti dengan kampus cabang luar negeri yang saya sebutkan tadi. Dasyat khan?

Semua pelayan Indomaret, alfamaret, dan carefur dibawakan aja dari luar negeri yang kece dan unyu-unyu. Dengan begitu para jomblowan jomblowati bisa berubah pikiran untuk mengakhiri status jomblo dunia akheratnya dengan berpasangan dengan orang luar negeri. Luar negeri men. Pribumi, apalah pribumi itu.

Sementara pasar-pasar tradisional sikat aja, nanti dibuatin bangunan pasar yang konstruksi ala bangunan pasar di Amrik sana, kontraktornya dari luar negeri. Buruhnya drop dari luar negeri. Semua yang pribumi anggap aja udah nggak kompeten garap yang begituan. Keren khan?

 Termasuk saat rupiah terus melemah, maka solusinya adalah impor dollar. Sebab dengan mengimpor dollar maka akan makin baik ekspornya. Ekspor apa? Tenaga kerja murah.  Jomblo-jomblo murahan yang gampang diperas tenaganya seperti kuda poni.

Piye, ngeri-ngeri sedap bukan? Dan Negara kita nanti akan jadi IndoAmerika! Dulu jaman waktu masih Hindia Belanda taon 1938 timnas sepak bola Hindia Belanda bisa ikut piala dunia di Prancis, kalo jadi IndoAmerika siapa tahu timnas sepak bola bisa juara piala dunia.
Nah, trus yang pribumi mau diapain bro? Lha, itu bukan urusan saya. Urusan mereka. Mau jadi pengemis di kota kek, mau jadi gali kek, daftar jadi spionase polisi kek, mau jadi pelacur kek, germo kek, pemulung kek, terserah. Mau pulang kampung jadi buruh tani juga boleh. Jadi sais delman di pasar, tukang becak, tukang las, tukang tambal ban, terserah.

Tapi kalo pribumi itu bikin masalah, bikin keonaran, gak becus kerja pemerentah punya solusi yang paling mujarab: IMPOR tenaga asing. Ekspor pribumi bau pesing dengan harga miring. Termasuk kalo presidennya nggak becus kita bisa ekspor ke segitiga bermuda lalu impor Fidel Castro ato Subcomandante Marcos!

Selasa, 16 Desember 2014

DI RUANG TUNGGU


dalam penantian, apa yg akan dibunuh?
waktu!
tapi waktu tak pernah mati
meski dikibuli iklan kecantikan ini:
"for your beauty
for younger skin for more healthy"
ruang tunggu yang terkutuk
orang-orang bersin, orang-orang mengantuk
akupuntur tahap lima, kanker serviks tertawa
berjejer pasien stroke & diabet & kolesterol
seperti berjejer pulau-pulau nusantara
yang dihisap Amerika
bau obat kimia di dalam sini
bau hujan di luar sana
bau luka dari mesin kecantikan yang gila
totok di bibir vagina, detoks wajah dengan kurma
apakah kau baik-baik saja sayangku?
jerawatmu masih ada, tapi aku tetap cinta
menunggu memang kesepian yang kejam
membuka majalah cosmopolitan edisi Desember 2008
ada tren rambut & tren make up
ada testimoni Luna Maya: kulit saya jatuh cinta dengan la mer
di tv Jokowi berkata: bukan urusan saya
pintu praktek terbuka. kulihat Dokter menghitung uang
menghitung penderitaan orang-orang dalam rencana liburan akhir pekan
brosur phyto five di dinding
dagumu saraf hormon, kantong matamu ginjal
di hidung ada jantung kedua pipimu lambung
o, tangan tangan penantian yang murka
mengapa begitu melelahkan hari hariku di pelukanmu?
hidup begitu pendek
penantian begitu panjang
sayang, apakah kau sudah selesai?
ayo lekas pulang
martabak terang bulan
kedinginan

Desember, 2014

SEBAB AKU TAK BISA MENGHENTIKAN KEMATIAN

Oleh: Emily Dickinson

Sebab aku tak bisa mencegah kematian--
dia menghentikan langkahku begitu ramah--
membawa gerbong di pundaknya
dan kekekalan

kami melangkah pelan-pelan--kematian tak pernah terburu-buru
dan aku telah pasrah
tenaga dan waktuku juga
untuk segala keramahanNYA

kami melewati sekolah, ketika anak-anak berlari
saat bel istirahat berdenting
kami melewati ladang Gazin Grain
kami melewati perlintasan matahari

atau lebih tepatnya--kematian melewati kami--
embun-embun jatuh bergetar dan menggigil
menyentuh gaunku, lembut sekali

kami berhenti sebelum rumah terlihat
menggelar tikar dan perbekalan
dari atap rumah itu terbayang
sebuah hiasan dinding--jatuh perlahan
sejak itu--abad ini--dan abad lalu
terasa lebih pendek dari hari-hari
dan aku menduga kepala kuda itu
begitu abadi

(Terjemahan Bebas saya dari sajak penyair perempuan Amerika dari negara bagian Massachusetts berjudul " Because I Can't Stop For Death")

POLISI DAN PENJAGA WARNET


Seorang polisi merazia sebuah kendaraan yg dikemudikan seorang remaja penjaga warnet.
"Selamat pagi! Tolong surat-surat kendaraannya?"
si remaja mengeluarkan HP androidnya. Menunjukkan foto-foto
"Apa ini?" tanya polisi
"Semua surat-surat kendaraan saya sudah saya sken, Pak. Biar Aman dan nggak ribet. Lengkap, Pak. Silakan liat sendiri"
Si polisi mlongo.


Desember, 2014

KANTOR DI KEPALAKU

KANTOR DI KEPALAKU

Memencet jerawat
diantara suara mesin tik
dan suara printer berderik
adalah kesunyian kantor di kepalaku

kesunyian kabel-kabel
kebisingan kata-kata di gugel
adalah kerapuhan kita yang
jadi angin jadi nasi, jadi kuah
lalu jadi luka, jadi nanah, jadi tangis
jadi gerimis
jatuh

halaman sastra koran minggu lalu
di baca jum'at ini
adalah ruang interogasi di kepalaku
seperti SPPD yang diketik terlambat
SPJ-SPJ berserakan
kwitansi bertandatangan
korupsi yang direncanakan
dalam buku pintar keuangan
dokumen usang di map hijau
laporan akhir yang disampul merah
ditindih peraturan menteri
tentang pembangunan daerah
muntah!
isi kantor di kepalaku
dalam datang bulan sajak-sajakku
kudengar suara mesin tik
suara printer
deru AC pukul 3 sore
dan bangku-bangku mulai kosong
sepuntung rokok LA ditindih kibot
komputer dimatikan
rokok dinyalakan
kesunyian mencekik segala
yang mendadak reda
dari jerit
kata-kata

2014

Kamis, 11 Desember 2014

Pekerjaan Rumah

PEKERJAAN RUMAH
Oleh: Allen Ginsberg

: buat Kenneth Koch

jika aku hendak mencuci, akan kucuci segala kotoran di Iran
lalu kulempar ke Amerikaku, dan kutuang sabun warna tulang
menggosok Afrika, mengembalikan burung dan gajah ke dalam rimba
aku akan mencuci di sungai Amazon dan membersihkan sisa minyak
& pasir Teluk Meksiko
menyapu sisa asap Kutub Utara, membersihkan semua pipa di Alaska
membersihkan Rocky Flats dan Los Amamos, membilasnya sampai jernih
dengan casium dari kanal cinta
membilas hujan asam di atas Parthenon dan Sphinx, menguras lumpur
dari cekungan Mediterania dan membuatnya jadi biru tua
menaburkan sedikit warna biru ke langit di sungai Rhine, sedikit pemutih
untuk awan-awan agar kembali putih seperti salju
membersihkan Hudson Themes & Neckar, memberi bilasan akhir dari Danau Erie
kemudian membuang semua kotoran Asia Raya dalam kontainer raksasa & menyeka darah & agen oranye herbisida
melunturkan segala kekacauan Rusia dan China dalam alat pemeras, kemudian meremas segala adu domba dari pusat Amerika yang berkedok sang polisi dunia
& menjemur planet di alat pengering & bersantailah selama 20 menit atau beribu-ribu tahun
sampai segalanya bersih bening

Boulder, 26 April 1980

(Terjemahan bebas saya dari sajak penyair Amerika yang juga salah satu pendiri beat generation. Judul asli sajak tersebut adalah "Homework")


HomeWork
Homage Kenneth Koch
If I were doing my Laundry I’d wash my dirty Iran
I’d throw in my United States, and pour on the Ivory Soap, scrub up Africa, put all the birds and elephants back in the jungle,
I’d wash the Amazon river and clean the oily Carib & Gulf of Mexico,   
Rub that smog off the North Pole, wipe up all the pipelines in Alaska,   
Rub a dub dub for Rocky Flats and Los Alamos, Flush that sparkly Cesium out of Love Canal
Rinse down the Acid Rain over the Parthenon & Sphinx, Drain Sludge out of the Mediterranean basin & make it azure again,
Put some blueing back into the sky over the Rhine, bleach the little Clouds so snow return white as snow,
Cleanse the Hudson Thames & Neckar, Drain the Suds out of Lake Erie   
Then I’d throw big Asia in one giant Load & wash out the blood & Agent Orange,
Dump the whole mess of Russia and China in the wringer, squeeze out the tattletail Gray of U.S. Central American police state,
& put the planet in the drier & let it sit 20 minutes or an Aeon till it came out clean.

Boulder, April 26, 1980
Share this text ...?
Allen Ginsberg, “Homework” from Collected Poems, 1947-1980. Copyright © 1984 by Allen Ginsberg. Used with the permission of HarperCollins Publishers.

Kau Ingin Jadi Penulis?

KAU INGIN JADI PENULIS?
Oleh: Charles Bukowski

jika bukan luapan hatimu
meskipun betapa berartinya itu
jangan lakukan

kecuali jika keinginan itu datang tanpa diminta
dari hatimu, dari pikiranmu dari mulutmu
dari ususmu
jangan lakukan

jika hanya sekedar duduk berjam-jam
sambil menatap layar komputer
atau membungkuk di depan mesin tik
menekuri kata-kata
jangan lakukan

jika menulis hanya untuk uang
atau jadi terkenal
jangan lakukan

jika menulis hanya untuk
meniduri perempuan
jangan lakukan

jika harus duduk dan
menulis ulang lagi dan lagi
jangan lakukan

jika hanya berpikir untuk menulis
jangan lakukan

jika kau mencoba menulis
hanya untuk jadi epigon
lupakan

jika kau harus menunggu ide itu datang
dan menunggu dengan sabar
dan jika ide itu tak pernah muncul
kerjakan hal lain

jika pertama-tama kau membacanya untuk istrimu
atau pacar-pacarmu
atau orang tuamu atau siapapun yang kau kenal
kau tidak siap

jangan jadi seperti kebanyakan penulis
jangan jadi seperti ribuan orang
yang menyebut dirinya penulis

jangan urakan dan membosankan dan
jangan sombong, jangan dibaca sendiri
perpustakaan di seluruh dunia sedang mengantuk
lebih dari yang kau bayangkan
jangan membuatnya makin terlelap
jangan lakukan itu

kecuali keluar
dari jiwamu seperti roket
kecuali hal itu membuatmu gila
dan ingin bunuh diri atau membunuh
jangan lakukan

kecuali matahari dalam dirimu
membakar seluruh ragamu
jangan lakukan

ketika saat itu tiba
dan kau telah menentukan pilihan
kerjakan dengan segenap jiwamu
sampai kau mati karena menulis atau
menulis membunuhmu

tak pernah ada cara lain
tak pernah ada

(Terjemahan bebas saya dari sajak penyair kelahiran Jerman dan berkarya di Amerika itu yang berjudul "So You Want to be writer?")


So You Want To Be a Writer?

if it doesn’t come bursting out of you
in spite of everything,
don’t do it.

unless it comes unasked out of your
heart and your mind and your mouth
and your gut,
don’t do it.

if you have to sit for hours
staring at your computer screen
or hunched over your
typewriter
searching for words,

don’t do it.
if you’re doing it for money or
fame,

don’t do it.
if you’re doing it because you want
women in your bed,
don’t do it.

if you have to sit there and
rewrite it again and again,
don’t do it.

if it’s hard work just thinking about doing it,
don’t do it.

if you’re trying to write like somebody
else,
forget about it.

if you have to wait for it to roar out of you,
then wait patiently.
if it never does roar out of you,
do something else.

if you first have to read it to your wife
or your girlfriend or your boyfriend
or your parents or to anybody at all,
you’re not ready.

don’t be like so many writers,
don’t be like so many thousands of
people who call themselves writers,

don’t be dull and boring and
pretentious, don’t be consumed with selflove.
the libraries of the world have
yawned themselves to
sleep
over your kind.
don’t add to that.
don’t do it.

unless it comes out of
your soul like a rocket,
unless being still would
drive you to madness or
suicide or murder,
don’t do it.

unless the sun inside you is
burning your gut,
don’t do it.

when it is truly time,
and if you have been chosen,
it will do it by
itself and it will keep on doing it
until you die or it dies in
you.

there is no other way.
and there never was.


Rabu, 10 Desember 2014

PADA PAPUA

PADA PAPUA

anak-anak yatim bertanya;
bagaimana cara
memeluk bapak
yang tergeletak mati
sementara senapan dan sepatu lars mengancam lagi?
peluklah dengan hati dan mata terpejam
sesaplah gelora api kitorang
jadi abadi

istri-istri bertanya;
bagaimana cara
mencium suami
yang tergeletak dengan dada tertembak?
ciumlah dengan hati dan mata terpejam
salju nemangkawi akan turun
jatuh ke pangkuanmu, wahai perempuanku

para ibu bertanya;
bagaimana menangisi anak
sedangkan senapan itu membungkam mulutku?
menangislah dengan hati dan mata terpejam, wahai ibu
bunga api akan mekar
di dadamu
mengharumkan yang pantas
dan membakar yang tak pantas
bersimpuh di kakimu

seluruh lembah bergetar
seluruh hati terbakar
mereka yang tak pilu
akan disapu burung pitohui

2014

Senin, 08 Desember 2014

Politik Kaum Kere

Mendung makin pekat di langit Madura. Saya menggeber motor saya agar bisa lekas tiba di rumah. Tapi kecepatan motor saya sepertinya tak bisa menandingi kecepatan alam. Hujan pertama itu akhirnya jatuh juga. Tepat di pertengahan bulan November 2014. Jarak rumah tinggal 1 kilometer lagi. Daripada basah, saya terpaksa berteduh di warung Pak Ri.

Siang itu warung terlihat sepi. Hanya ada tiga pembeli, termasuk saya. Saya memesan segelas teh hangat dengan satu sendok teh gula. Sambil menunggu pesanan datang, saya menyambar pisang goreng. Mengunyahnya pelan-pelan sambil menatap hujan di luar yang kian garang. Beberapa anak berseragam sekolah terlihat riang menerobos hujan. Begitu pesanan datang, saya langsung menyeruputnya, ketika tiba-tiba Pak Ri, menggebrak meja.

“Sialan!” pekiknya. 

Dua pembeli lain tertawa. Saya yang sedari tadi tak memerhatikan suasana di dalam warung cuma melongo. Sampai akhirnya saya tahu kalau tindakan gebrak meja Pak Ri itu disebabkan karena  menonton berita politik di TV. Isinya masih soal hiruk pikuk pilkada langsung kontra pilkada tak langsung. Yang berbicara saat itu seorang tokoh politik bernama Amin Rais.

“Cocot mereka itu dulunya waktu reformasi khan mendukung pilkada langsung. Sekarang malah berbelok menolaknya. Mulut kalo nggak pernah disikat memang bau” Pak Ri melanjutkan ocehannya sambil mengaduk secangkir kopi jahe pesanan seorang pembeli yang baru saja datang. 

Pak Ri memang termasuk penjual yang kritis kalau ngomong politik. Maklum, dulu waktu masih muda dia aktif di IPPNU. Beberapa kali menjadi salah satu tim sukses bayangan saat pilkada di Pamekasan, Madura. TSampai akhirnya berhenti pada tahun 2010. menggarap sawah dan membuka warung. Warungnya yang berdekatan dengan rumah sakit umum pamekasan bisa dibilang cukup strategis. Tak pernah sepi pembeli. Kesukaannya sejak muda acara dunia dalam berita. Makanya d warung berdinding anyaman bambu itu tersedia tv tabung ukuran 14 inci. Merk sharp. 

Tapi ngomong-ngomong soal politik, celotehan Pak Ri saya pikir sebuah kemajuan besar buat ‘demokrasi’. Di masa Orde Baru, menurut cerita almarhum bapak saya yang cuma PNS penyuluh kehutanan, politik adalah barang terlarang bagi rakyat kasta rendahan seperti orang-orang macam Pak Ri. Tapi sekarang saya bisa melihat penjual kopi yang juga petani bisa berbincang dengan pembelinya soal politik, abang tukang becak bisa ngrasani pemerintah tanpa takut diciduk ke koramil. Malah sampai ada yang berkelahi hanya gara-gara jagonya saat pilpres kemarin diledek kawannya sesame tukang becak. Lepas dari saling ledek yang berujung perkelahian itu, betapa menyenangkan bisa ngomong apa saja sekarang ini. Dan memang beginilah seharusnya.

”Pertanyaan yang paling mungkin, Pak, kenapa dulu mendukung sekarang tiba-tiba menolak?” saya sengaja memancing pertanyaan sambil menyeruput teh lagi. Siaran televisi yang menayangkan berita poiitik kini sedang menayangkan iklan.

”Ya mereka sudah kalah mulu di banyak lini. Tepatnya sudah kehabisan lahan buat cari makan” ucapnya santai dengan bahasa madura yang kental tentu saja. (di tulisan ini saya menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia semua)

”Maksudnya, Pak?”

”Sini saya kasih tahu.” Lanjut Pak, Ri. Lelaki yang telah berusia 70 tahun itu memperbaiki letak duduknya di lincak. Menghisap kreteknya dan mulai bercerita panjang lebar. “Pilkada langsung itu menyerap uang yang banyak. Bukan cuma miliaran, Mas. Tapi trilyunan. Mereka yang mendukung pilkada langsung itu adalah mereka yang tahu melihat peluang, bahwa pilkada itu semata-mata bisnis. Kayak dagangan saya ini. Survey-surveian. Serangan fajar. Opini Koran. Pasang iklan. Itu semuanya pakek uang. makanya yang mendukung khan rata-rata orang atau perusahaan yang telah merasakan betapa penuh gelimang uang saat menjelang dan berlangsungnya pilkada. Laba berlipat-lipat saat itu. Koran menikmati iklan dari cagub cawagub atau cabup cawabup yang sedang bertarung. Tim sukses juga begitu. Yang survei-survei itu juga begitu. Kalau pilkada kemudian masuk DPRD lagi, lha mereka semua itu khan jadi seret kantongnya. Bisa Mas bayangkan khan?” 

Saya manggut-manggut. Menyeruput teh lagi. Kemudian mengambil kretek sebatang. Ini buah dari demokrasi itu barangkali, pikir saya. Politik yang dulu menjadi komoditas eksklusif kasta priyayi dan kaum intelektual salon di tivi-tivi, kini telah bergeser sampai ke titik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya;  kaum kere. Rakyat jelata yang dulu dilarang ikut-ikutan komentar politik, kini analisanya bisa lebih lancip dari kaum cerdik pandai yang sok pintar. 

”Jadi Pak Ri setuju dengan pilkada tak langsung itu?” saya bertanya lagi. 

”Halah itu sama saja. Kita orang kecil cuma bagian penghibur sebenarnya dari semua sistem politik di negeri ini. Baik pilkada langsung maupun tak langsung. Itu cuma akal-akalan politisi saja. Dianggapnya kita tak siap dengan pilkada langsung, terlalu banyak konflik saat pilkada langsung, kecurangan-kecurangan dan tidak sesuai dengan asas sila ke empat. Itu semua cuma akal-akalan. Tujuan; ya masih jalan lain bagi-bagi kue kekuasaan lewat jalur parlementer. Jadi kesimpulannya, soal pilkada langsung dan tak langsung itu bukan soal pertarungan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). itu cuma pertarungan bagi-bagi kue paling 'adil' antara elit politik”

Mendengar penjelasan ini saya nyaris tersedak karena terlalu dalam menghisap asap kretek. Saya tidak dapat membayangkan orang kecil macam Pak Ri bisa bicara seperti itu. Kemudian salang seorang pembeli, yang duduk di sebelah saya menyolek saya. Saya meliriknya, kemudian sang penyolek itu memiringkan ibu jarinya di dekat jidatnya. Saya mengerti maksudnya. Saya tersenyum.

”Pak Ri kemarin nyoblos presiden siapa?”

”Saya ke pasar. Cari kelinci aduan. Mending taruhan balap kelinci daripada ikut nyoblos.”

Saya tersenyum. Saya memandang ke luar warung. Sepertinya hujan telah reda. Tinggal gerimis tipis yang tersisa. Saya mohon pamit melanjutkan perjalanan. Membayar uang. dan bersalaman dengan pemilik dan pengunjung warung. Televisi yang ada di atas lemari di warung itu kini sedang menayangkan infotaimen. Hiruk pikuk pernikahan Raffi Ahmad dan Gigi yang diulang-ulang. Pak Ri masih terus berceloteh. 

Hari ini minggu kedua bulan Desember 2014. Saya berkesempatan pulang kampung lagi. Dan saya liat langit Madura kembali mendung. Saya hendak mampir ke warung Pak Ri. Selain ingin bersilaturahmi saya ingin sekali mendengar komentar Duda beranak dua ini soal penenggelaman kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia yang digembargemvorkan Menteri Susi. Sayang kali ini warung tersebut tutup. Pada seorang tambal ban yang kebetulan berdekatan dengan warung Pak Ri saya bertanya mengapa warung tersebut tutup, tak seperti biasanya.

”Pak Ri meninggal, Mas. Kesetrum waktu memperbaiki lampu jalan kemarin” ujar si tukang tambal. 

Saya terdiam. Langit Madura makin mendung. Berkali-kali suara geledek sambung menyambung. 



Desember, 2014

Kamis, 23 Oktober 2014

Esai Puisi Buat Denny JA


Esai Puisi buat Denny JA

Kakak Denny JA yang baik dan banyak uangnya. Sebenarnya saya tak sanggup menulis esai ini, karena saya tak sekaya kakak Denny JA yang banyak uangnya. Lagipula saya sedang tidak terpengaruh dengan kakak. Tapi apa boleh baut dan ulirnya, apa boleh buat dan tindakannya, saya merasa sedang melakukan percobaan, Kak. Ya, mirip-mirip ilmuwan di laboratoriumnya itu. Percobaan. Boleh dikata percobaan saya tidak dengan keseriusan yang ngaceng atau kengacengan yang kelewat serius. Tak perlulah itu saya kira. Sebab ketika kengacengan itu terganggu, orang mudah jadi kalap, lalu lapor aparat. Percobaan saya memang agak main-main sih. Tapi seringkali karya monumental justru dimulai dengan "main-main" bukan? Bukankah slogan, "Boeng, ayo, Boeng!" di lukisan Affandi yang fenomenal itu berasal dari keisengan Chairil Anwar yang terinspirasi dari kalimat yang digunakan para pekerja seksual di Kawasan Senen untuk menawarkan servis mereka ke para pria yang lalu lalang.

Begini percobaan saya. Kalau kak Denny JA mencoba bikin puisi esai yang ternyata gagal itu (tenang kak, masih ada harapan. Khan belum gagal total), dan Bang Saut Situmorang yang bajingan itu kemarin bikin pantun esai, maka saya baru saja mencoba bikin esai puisi. Bayangkan, esai puisi. Keren khan Kak sebutannya?! Esai puisi (cie…busungkan dada dikit). Sebuah esai yang dilengkapi catatan kaki. Tapi catatan kakinya bukan seperti “data sosial’ seperti puisi esai. Tapi catatan kakinya justru puisi. Entah pantun, haiku, sajak modern, prosa liris, dan lain sebagainya yang sejenis. 

Dan percobaan saya itu, Kak, saya temukan pertamakali ketika saya jongkok di kakus dan mengejan. Pas BAB itulah saya ingat Kakak dan haiku. Saya baru pertamakali ini loh bikin haiku(1). Dan temanya tentang Kakak. Maklum pemula, kalau haiku saya gagal, mohon dibina ya kak. Tapi tolong jangan dibinasakan. Apalagi dipenjarakan. Saya tahu kakak orang baik dan tidak sombong. Orang kaya dan banyak omong. Tapi penting dicatat, tidak sombong. Wajar tho orang kayak banyak omong. Yang penting tidak sombong. Sedang saya? Saya cuma salah seorang anak Indonesia(2) yang sedang belajar. Bukankah amat tidak pantas bukan, membinasakan murid yang sedang giat-giatnya belajar menulis esai puisi dan mencoba peruntungan siapa tahu bisa jadi ‘maha dasyat’ seperti puisi esai yang dielu-elukan tante Fatin Hamama (maha dasyat dari Hongkong?!). Sebab dengan esai puisi saya mencoba muvon kakak. Muvon.(3)

Esai puisi saya ini tentu saja tak bisa saya sebarluaskan dengan riuh gemuruh seperti pesta pernikahan Raffi dan Gigi itu. Seperti puisi esai itu. dilombakan, diyutubkan, diseminarkan dengan terbatas. Bayangkan berapa duit yang akan saya habiskan untuk itu. Bisa ambruk hidup saya, Kak. Kalo kakak yang baik tidak sombong dan banyak uangnya tentu tidak akan berpikir seperti saya. Buktinya, riuh pesta puisi esai terus membahana diseantero medsos, meskipun saya mendengarnya cuma satu hal. Berat sebenarnya ngomong satu hal itu karena sakitnya tuh di sini kakak, di sini (sambil nunjuk dada). Satu hal itu; Puisi esai ditolak. Dijadikan guyonan. Diledek-ledekin. Bermula karena masuknya kakak menjadi 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Apa hebatnya kakak Denny JA dan mbah Pramoedya Ananta Toer atau Chairil Anwar kok bisa dikelompokkan dalam satu buku menjadi sastrawan berpengaruh? Karena buku puisi Atas Nama Cinta itu? Yang dibacakan, diyutubkan, dilombakan resensinya hanya karena honornya gede-gede. Bukan karena orang secara intuitif tergerak untuk melakukannya karena karya tersebut memang bagus. Pemberian honor begitu tentu bikin ngiler siapa saja yang isi dompetnya sekaligus isi kepalanya sering lebih mirip kopiah. Kopong. 

Kak, orang tak bisa seenaknya membeli pengaruh seperti membeli telur puyuh. Pengaruh itu soal capaian seseorang dengan natural. Tidak dibuat-buat. Tidak dipaksakan. Orang boleh melakukan percobaan atas sesuatu yang dianggapnya genre baru. Tapi tak selalu berhasil bukan? Karena itu, mereka, sastrawan-sastrawan itu, yang berhasil kakak beli opininya, pernyataan, dan keputusan-keputusannya untuk memasukkan kakak dalam buku 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh hanya bagian kecil, sangat kecil malah, dalam jagad sastra Indonesia yang maha luas ini.
Melihat kegagalan puisi esai menjadi genre sajak berpengaruh maka saya mencoba bikin genre baru bernama esai puisi ini. Kakak mau membantu menyebarluaskan esai puisi saya? bikin lomba-lomba esai puisi gitu? Hem, kalo iya, bisa kita bicarakan. (mau nomor rekening saya?)

Sedangkan bekenaan dengan penolakan buku 33 tokoh sastra indonesia paling berpengaruh itu, di mana kakak nangkring di dalamnya, jangan berkecil hati . Selalu ada harapan. Selalu. Asal jangan main tikam dari belakang dan mau sedikit rendah hati masuk halaman orang. Misalnya, cobalah terima tantangan aliansi anti pembodohan itu soal debat terbuka atas buku dimana kakak masuk di dalamnya. Percayalah, orang sastra sebenarnya baik hati kakak. Asal pendatang tahu diri. Jangan congkak. Jangan seakan-akan bisa membayar segelintir orang sastra kakak bisa berlagak seenaknya. Itu tidak baik kakak. Apalagi dengan main adu ke polisi. Tapi kau memang itu mainan kakak ya apaboleh baut dan ulir-ulirnya. Kadang seorang politikus bisa sedikit curang ya? Sedikit main strategi mengalihkan perhatian. Oke sih. Tapi kakak masih ketahuan kok. 

Soal main sih, saya cukup main di jhengkah(4). Obyek wisata api alam dekat kampung saya. Tempat favorit saya. Kakak mau main sama saya? Kalau mau nanti kita bakar jagung berdua. Bang Saut nggak apa-apa nggak usah diajak. Cukup kirimi satu krat bir bintang. Dia pasti udah oh yes oh no. Sementara kita? Kita bisa bicara empat mata. Dari hati ke hati. Sapa tau saya bisa puk puk kakak. Atau dapat ide sehingga bisa bikin sajak temuan(5). Pasti seru dech. 

Demikian esai puisi saya. Kakak suka? Enggak!? Sama berarti. Kita impas. Karena saya emang nggak suka sama puisi esai. Beli bukunya aja enggak. Sebab saya ngintip sekali dua kali di website kakak ternyata biasa aja. Tapi kalo kakak suka esai puisi saya, kita jadi satu kosong. Karena saya tetep nggak suka puisi esai. Kecuali, kecuali, wani piro?


Catatan Kaki

(1) HAIKU
Lubang Kakus
Denny JA terpeleset
Plung!


(2) AKU ANAK INDONESIA
aku tidak sehat
tubuhku kumat
karena ibuku digusur aparat

sewaktu aku bayi hidup penuh polusi
makannya indomie kadang nasi basi

berat badanku kerempeng slalu
posyandu menunggu tapi tak membantu

bila aku diare
ibu slalu merana
pertolongan oralit
kalo duitnya ada


(3) MUVON
ketika kau pergi
cintapun pergi
buat apa memelihara yang tak pasti

tapi tidak dengan kerinduan
ia suka ikut jalan jalan naik delman
duduk di muka sambil dengarkan mp3
menyusuri sepanjang jalan kenangan
jalan dimana sms dari mantan
pilih opsen lalu delet pelan pelan

kerinduan itu lalu menjelma jadi bayangan
dalam tangis dalam kesedihan
kemudian melarut ke dalam malam
malam malam haru
malam malam penuh miskol
dari nomor nomor tak dikenal

tapi hanya pemberani
yang membiarkan cinta kembali
tanpa miskol atau sms kosong

tentu tidak berbagi denganmu yang dulu lagi
ke lain hati pasti

yang penting jadiannya
tetap di mekdi


(4) JHENGKAH DALAM SEBUAH SAJAK
semesta apa yang kini ada dalam dadamu?
tuhan pun tak akan tahu
meski Ki Moko membelah pusar bumi
lalu tanah menyemburkan api

api itu. api yang tak mati
kini mencipta rusuk rusuk kampung
dan tangis orang miskin yang berembun
sepasang pohon kapuk tua
dengan puluhan luka cinta di tubuhnya
masih di sana, di kelokan ketiga
terus meranggas dan meranggas
melawan lidah matahari
yang saban hari mencambuk bumi

masih ingatkah kau?
diantara pagar kaktus
dan bekas kolam belerang yang terputus
dadaku pernah menyentuh dadamu
kita terbakar di situ
hingga yang kita tanam runtuh
dan tak ada lagi yang tumbuh
setiap kali ada yang kita sentuh

atau kau masih terus berusaha melupakan setiap luka
hanya untuk ingin disebut selalu berbahagia?

tapi apalah kebahagiaan, gadisku
cuma kesedihan kesedihan yang tertunda
dan nasib kadang luput
memberinya airmata

api itu masih menyala
kadang begitu haru
kadang begitu lugu
seperti tangis anak bisu
kehilangan tekukurnya

aku tak akan melupakan dadamu
tak akan. seperti api itu
sebab dari jalan setapak yang pecah
diantara rumah rumah pengemis
dan bekas kuburan penjajah
aku menyimpan dadaku
yang hangus terbakar dulu
dan kini bangkit
menjilat jilat semesta
kepedihanku


(5) SAJAK TEMUAN
menidurimu di pagi buta
atau malam luka

sama saja

tubuhmu
yang lembut imut
seperti gugusan jembut itu
selalu meronta dan meronta
di sampingku

tiapkali tanganku memelukmu
kau menangis

seribu kunang kunang
keluar dari airmatamu
lalu seribusatu tuhan
berguguran
dari kutangmu

kunang kunang itu pergi
tiap hujan turun
sedangkan tuhan tuhan itu
menjelma jadi
genteng bocor

kau menggigil
dan menggigil

aku mendengkur
dalam baskom


20 Oktober 2014

Senin, 20 Oktober 2014

Tiga Tips Ampuh Menjadi Sastrawan Berpengaruh

Oleh: Edy Firmansyah

Di zaman serba cepat dan instant ini, selalu saja ada orang yang ingin terkenal dan booming dengan cara cepat. Tentu saja modalnya harus uang. Tapi nyatanya uang tak bisa membeli sepenuhnya sebuah popularitas. Sebuah ketenaran. Sebuah pengaruh. Uang memiliki keterbatasannya sendiri.

Apalagi di dunia sastra. Ternyata uang masih masuk dalam nomor kesekian ratus berapa dibandingkan karya dan ketekunan. Uang bisa melambungkan nama seseorang sedemikian tinggi dengan cepat, tapi dengan cepat pula menghembaskannya ke tempat manusia berpijak. Mirip air mancur. Cepat naiknya, cepat pula turunnya. Denny JA dan buku 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh itu contohnya. Tenar begitu singkat. Dicacimaki sedemikian hebat.

Ironisnya, bantahan atas masuknya Denny JA dalam buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" sekaligus bantahan atas isi buku yang dikerjakan tim 8 itu, bukan disikapi dengan debat terbuka, malah ditindaklanjuti dengan lapor polisi. Merasa tak tahan dengan ledekan dan sindiran, seorang sahabatnya (kalau tak mau disebut kaki tangan), Fatin Hamama, melaporkan pengkritik Denny JA yakni Saut Situmorang dan Sutan Iwan Sukri Munaf dengan tuduhkan “pencemaran nama baik.” Pelaporan itu kerena menurut sang karib Denny JA itu, dalam dunia Sastra, bahasa yang dipakai para pengkritik tidak pantas, tidak sopan, tidak tahu aturan dan sebagainya. Karena menurut pandangannya, dunia sastra itu santun, kemayu, unyu-unyu, kayak manten jawa. Kuat dugaan, tindakan pelaporan itu hanyalah upaya mengalihkan isu atas cacat akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang terus dibeberkan para pengkritik Denny JA.

Sebenarnya kalau mau jujur dunia sastra nyatanya juga penuh ledekan dan cacian. Perkelahian. Pukulan. bahkan tonjokan. Tapi berkat itu semua seseorang bisa lantas terkenal sedemikian lama dan jadi populer dan berpengaruh di dunia sastra. Bukan hanya tingkat nasional pengaruhnya. Tapi bisa sampai nginternasional. Nah, tulisan ini hendak memberikan tips-tips khusus buat seseorang yang ingin populer dan terkenal sebagai sastrawan berpengaruh dan dikenang dunia.

Pertama, tirulah HB. Jassin. Begini ceritanya. Suatu hari Chairil Anwar, Sang Pujangga Indonesia itu, mendatangi sebuah tempat di mana kebetulan HB Jassin lagi latihan teater. Melihat akting Jassin, Chairil tertawa terpingkal-pingkal! Lalu dia teriak dari kursinya, "Woooi, Jassin, udah lah! Tak usahlah kau main teater. Tak ada bakat kau di situ. Hahaha!" Mendengar teriakan Chairil, Jassin emosi. Sebenarnya mau diempet, tapi tak tahan. Emosinya meluap. Lalu Jassin melabrak Chairil dan menonjok mukanya. Tapi setelah ledekan itu Jassin tak lagi main teater. Dan Sastra Indonesia pun kemudian memiliki tokoh arsipnya yang paling tekun dan paling berdedikasi tinggi. Orang menyebutnya Paus Sastra Indonesia.

Seandainya waktu itu Jassin lapor polisi, mungkin nasib akan berkata lain. Barangkali dia tak akan jadi paus sastra tapi benar-benar jadi Paus gereja atau paling banter kolektor buku tua.

Karena itu jika karyamu diledekin, dicaci-maki, dihina dina, datangilah penghinamu lalu tonjok mukanya. Tapi ingat, yang kau tonjok itu haruslah orang sekelas Chairil Anwar. Kalau yang kau tonjok Saya, ya jangan harap saya diam aja. Minimal akan saya tonjok balik.

Kedua, tirulah Chairil Anwar. Jadilah tukang caci-maki. bukan cuma HB. Jassin yang kena hunus lidah si binatang jalang yang lancip itu, cerpenis Idrus juga tak luput dari ledekannya. Begini ceritanya. Suatu hari Chairil Anwar, Sang Pujangga Indonesia itu, bertemu dengan cerpenis Idrus. Chairil lalu bilang ke Idrus: "Hei, Idrus, nama apaan nama kau itu? Masak nama Sastrawan "Idrus"! Nama macam itu cumak cocok buat nama tukang dokar! Kalok Sastrawan, namanya ya harus keren, gaul, kayak "Chairil Anwar"!"

Sekarang, siapa yang tak kenal Chairil? Bahkan anak sekolah yang tak ada minat sama sastra tahu Chairil Anwar, sang binatang Jalang, legenda pujangga Indonesia itu. Tapi saran saya untuk menjadi sekelas Chairil, jangan sembarangan mencaci. Cacilah yang sudah punya nama “besar.” Jangan mencaci Saut Situmorang. Mungkin jika cacianmu keren dan bisa diterima akal sehatnya, bakal dapat bir bintang gratis. Tapi kalau ngawur, kau pasti bakal dibikin tersungkur. Intinya mikirlah sebelum mencaci. Sebab menjadi seperti Chairil tidak sekali jadi, seperti mencari upil.

Ketiga, ini yang terakhir. Jadilah seperti Gabriel García Márquez. Penulis besar Amerika Latin. Peraih nobel sastra juga. Pengarang buku 100 tahun kesunyian yang terkenal itu. Begini ceritanya. Gabriel García Márquez dan Mario Vargas Llosa sahabat karib. Keduanya sastrawan besar Amerika Latin. Sama-sama peraih nobel sastra. Tak jelas ujung pangkalnya kemana kemudian keduanya bermusuhan hebat. Puncaknya, di sebuah bioskop di Meksiko pada 1976, dalam acara pemutaran perdana film karya René Cardona La Odisea de los Andes, begitu Vargas Llosa bertemu García Márquez, peraih nobel sastra asal Peru itu langsung melayangkan tinjunya ke muka García Márquez. Mata kiri García Márquez bengkak. Dan aneh bin ajaib bagai dalam novel-novel realis magisnya, seorang teman lari ke toko daging dekat situ, mengambil seiris daging, lalu menaruhnya di mata García Márquez yang lebam sebagai kompres!

Tapi Garcia Marquez tak pernah melaporkan sahabat karib yang sekaligus musuh bebuyutannya itu ke polisi. Dan hingga kini karya keduanya sama-sama dikagumi dan disegani dengan caranya masing-masing. Bahkan tanpa mereka, sastra Amerika Latin, bahkan sastra dunia, takkan menjadi seperti adanya kini.

Jadi jika anda ingin terkenal di dunia sastra, jika tak sanggup menonjok seperti Jassin atau Vargas Llosa, jika tak sanggup jadi tukang ledek macam Chairil Anwar, bersikaplah seperti Garcia Marquez. Terimalah tonjokan dengan tangan terbuka. Kalau bisa seperti laku para nabi. Kalau ditonjok mata kanan, ikhlaskan mata kirimu. Kalau yang ditonjok pipi kanan, berikan pipi kirimu. Kalau yang nonjok keroyokan, jangan lupa telepon ambulan. Dan mengenai aksi tonjok itu biarkan media meliputnya. Tapi ingat, yang nonjok harus punya karya besar sekaliber Llosa. Dan yang ditonjok harus gigih berkarya sekaliber Marquez. Jangan biarkan saya yang menonjok anda. Sebab saya yakin anda tidak akan jadi apa-apa. Sebaliknya, anda akan kecewa selama-lamanya.


 Edy Firmansyah
penulis unyu-unyu. penyair sambil lalu