WAKTU

JEDA

Jumat, 22 Februari 2013

Negeri Para Jagal

Negeri Para Jagal

Film dokumenter The Art of Killing (TaoK) garapan sutradara Joshua Oppenheimer benar-benar menyadarkan kita bahwa kita hidup di sebuah negara preman yang pada titik akut—ketika mengalami kebutuan—akan melakukan tindakan keji pada warga negaranya yang tak sejalan. Bahkan jangan-jangan preman-preman itu, para manusia yang gampang sekali mengangkat pedang dan menghilangkan nyawa orang lain tanpa perasaan berdosa hidup bertetangga dengan kita. Dan ketika keadaan negara sedang chaos, mereka akan menggedor rumah kita; menyeret istri kita ke halaman, memperkosanya ramai-ramai bersama komplotannya di depan mata kita sendiri. Kemudian setelah puas, mereka akan membacok leher kita hingga tewas lalu membuat jasad kita ke sungai seperti jasad anjing kurap yang mati dilindas truk.

Film garapan alumni Havard University ini pertama kali dirilis tahun 2012 di Festival Film Telluride dan juga pernah tampil di Festival Film Toronto bersetting di Medan, tahun 2007. Film yang baru saja mendapatkan penghargaan lagi pada tahun 2013 ini, yakni; Panorama Audience Awards atau film pilihan penonton dan penghargaan Juri Ekumenikal, pada Festival Film Internasional Berlin (Berlinale) tahun 2013, berkisah tentang Anwar Congo dan teman-temannya yang tergabung dalam organisasi Pemuda Pancasila (PP) yang pertamakali didirikan oleh AH Nasution. Anwar Congo dan teman-temanya pada tahun 1965-1966 menjadi pimpinan tukang jagal yang turut serta membantai jutaan orang komunis atau yang dituduh komunis. Diantara para korban itu diantaranya tak sedikit yang berasal dari etnis Tionghoa.

Tragisnya lagi, tindakan keji tersebut bukannya mereka kubur sebagai “rahasia hitam” bersama masa lalu mereka yang kelam dan penuh darah, malah secara heroik hendak mereka filmkan. Ide memfilmkan itu berawal dari Anwar Congo. Maklum saja, di tahun 1965 Congo berprofesi sebagai tukang catut karcis bioskop. Dan Joshua melalui TaoK merekam dengan detail proses pembuatan film para dedengkot Pemuda Pancasila (PP) Sumatera Selatan itu. Dengan cara bercerita surealis, dimana fakta dan fiksi berkelindan tak habis-habis dari awal hingga akhir film, kita diajak menyaksikan para jagal itu dengan rasa bangga mengespos secara detail proses pembantaian orang-orang komunis atau yang dituduh komunis. Mulai dari teknik menggorok leher korban hingga cara membunuh yang lebih “manusiawi”; menjerat leher korban dengan kawat.  Semua itu dilakukan dengan menyenangkan; sedikit alkohol, sedikit marijuana dan ekstasi sembari menari cha cha sebelum menghabisi nyawa korban. Dari mana ide pembantaian itu? Lagi-lagi film gengster ala Holywood kesukaan Anwar Congo yang menginspirasi cara menghabisi korban dengan kawat.

Pada tahun 1965-1966 (pasca gerakan 30 september) boleh dikata merupakan masa-masa paling berdarah di Indonesia. Atau tuduhan komunis dan atau ateis pada seseorang, sekelompok orang bisa menyeret orang tersebut ke jalanan. Memotong kepalanya lalu ditancapkan di ujung bambu dan di pajang di perempatan jalan. Sementara tubuhnya dibuang ke sungai. Atas tuduhan komunis pada seorang perempuan, tubuhnya “halal” diperkosa ramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh dan rumahnya dibakar. Dan para tukang jagal itu tak pernah dikenai sanksi hukum. 

Ibrahim Sinik, salah seorang teman Anwar Congo, pemilik media Medan Pos, misalnya, dalam film TaoK pernah cerita sekelompok penjagal membawa orang yang sekarat setelah disiksa ke KoDIM, tapi KODIM justru menolaknya dan menyuruh melempar orang tersebut ke sungai. Pernyataan itu menegaskan bahwa aparat membiarkan aksi pembantaian itu berlangsung sebagai upaya menyapu bersih orang-orang PKI sampai ke akar-akarnya. 

Banyak macam motif orang menjadi Jagal di masa itu. Jika Anwar Congo menjadi jagal karena penghasilannya sebagai preman bioskop seret karena dibatasinya film-film hollywood masuk Indonesia oleh PKI, di daerah lain seperti di Jawa dan Madura, para jagal yang lain (terutama para tuan tanah di desa) justru kesal karena ‘aksi sepihak” BTI (Barisan Tani Indonesia) dalam melaksanakan Land Reform. Dalam Land Reform disebutkan bahwa para pemilik tanah yang memiliki tanah lebih dari 5 hektar wajib menyerahkan 2 hektar tanahnya untuk petani miskin tak bertanah. Banyak tanah para tuan tanah kala itu yang berpindah tangan ke petani miskin tetangganya. Ketika G 30 S pecah dan pembantai dimulai, mereka menjagal tetangga mereka sendiri yang dianggap merampas tanah mereka. 

Dan sekarang, di masa “damai” ini, para penjagal itu, bisa menikmati hidup enak dan mewah. Dekat dengan penguasa atau duduk di tampuk kekuasaan, memegang posisi penting dalam pemerintahan dan menjadi penentukan kebijakan karena dianggap berjasa memperlancarkan berdirinya rejim orde baru Soeharto. Bahkan di Jawa, karena para Jagal itu ada diantaranya yang berasal dari Pemuda Anshor, tak menutup kemungkinan barangkali para jagal itu kini menjadi ulama kondang yang sering berceramah tiap khotbah jum’at. Artinya Anwar Congo dan teman-temannya dalam film TaoK hanyalah sebagian kecil dari para jagal yang menikmati hidup mewah di atas gelimangan darah yang mengalir dari tubuh saudaranya sendiri. 

Tentu sebagai manusia normal ada perasaan menyesal melakukan kejahatan paling banal dalam sejarah peradaban manusia; membunuh manusia lainnya. Begitu juga Anwar Congo. Saat menonton adegan dimana ia berperan menjadi korban yang hendak dieksekusi dalam filmnya sendiri Anwar Congo menangis dan berkali-kali berkata; “Banyak Josh, banyak orang yang sudah aku gitukan (dibunuh dengan cara dijerat menggunakan kawat). Dan aku tak mau melakukannya lagi. Tidak..” sembari menutup muka dan menghapus airmatanya. 

Pada adegan tersebut saya dibuat merasa iba dan bersimpati ada Anwar Congo. Tapi kemudian ada yang patah disini. Airmata dan penyesalan Congo hanyalah penyesalan sementara yang mandeg. Penyesalan itu tak kunjung beranjak pada krisis nurani yang mendalam. Semangatnya membuat film tentang aksi “heroik” dia dalam membantai orang tetap menggebu. Ambisi uang dan haus kekuasaan terus menyudutkan nurani para jagal. Dan itu manusiawi. Sama manusiawinya dengan perasaan menyesal, trauma setelah penjagalan yang mereka lalukan berlalu seiring berjalannya waktu. Dan negara barangkali sangat paham kondisi traumatik itu. Sampai disini tercipta moralitas yang bengkok dan nyaris retak.

Parahnya, Negara bersama aparaturnya sama sekali tak punya keinginan meluruskan moralitas tersebut. Atas nama keamanan dan kestabilan pembangunan, Negara menciptakan propaganda-propaganda pembenaran bahwa apa yang dilakukan para Jagal “sah”. Melalui film G 30 S/PKI besutan Arifin C Noer, misalnya, Negara memberikan penegasan kuat pada warga negaranya mengenai fiksi bahaya laten komunis, bahaya laten atheis. PKI-lah dalang dari gerakan 30 September 1965 yang menghabisi nyawa 7 pahlawan revolusi. Maka adalah “sah” dan “halal” bahkan “manusiawi” membantai jutaan orang PKI atau yang dituduh PKI dengan cara yang paling keji sekalipun. 

Dalam film TaoK bisa dilihat bagaimana pernyataan Jusuf Kalla yang kala itu menjadi wakil presiden dalam rapat akbar yang diadakan Pemuda Pancasila (PP) di Medan. ”Bahwa Negara perlu para preman untuk melancarkan jalan pembangunan.”

Pernyataan itu makin menegaskan bahwa Negara abai menciptakan rasa aman pada warga negaranya yang paling lemah sebab secara tak langsung telah menciptakan teror, memaksa warga negaranya hidup bertetangga dan berinteraksi dengan para penjagal yang sakit jiwa sembari terus berupaya menutupi kejahatan atas pembantaian yang dilakukan di masa-masa berdirinya orde baru hingga sekarang melalui propaganda-propaganda. Sehingga kenyataan sejarah yang terjadi di masa-masa itu tak pernah hadir di masyarakat. Tak lagi dibicarakan dan dipertanyakan secara kritis. 

Dan yang berkelindan dalam masyarakat kemudian adalah apa yang disebut oleh Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan. Menurut Dom Helder Camara, betapa suatu kekerasan tak pernah berdiri  sendiri. Ia lahir menyusul, dan menjadi rantai fantasi berikutnya dari kekerasan-kekerasan terdahulu yang dibiarkan dan terus berjalin-kelindan dalam sistem kekuasaan yang egois dan rakus.  

Kekerasan akan kembali muncul sebagai satu-satunya jalan berpikir yang ada dari para penguasa dan paralimiternya untuk menumpas bentuk perlawanan yang dianggap merongrong status quo. Begitulah seterusnya, hingga nyaris tak henti-hentinya darah mengalir untuk menyuburkan dendam yang tak kunjung menuntas. 

Kita bisa lihat misalnya, bertahun-tahun pasca pembantaian besar-besaran atas jutaan orang PKI atau yang dituduh PKI, kekerasan masih menjadi jawaban atas kebuntuan masalah. Peristiwa petrus (pembunuh misterius) yang dilancarkan negara, Pemerkosaan atas perempuan etnis tionghoa pada medio tahun 1998 menjelang runtuhnya rejim orde baru, hingga penembakan aparat dan penyerangan preman bayaran pada penduduk yang mempertahankan tanahnya dari jarahan investor-investor asing demi keserakahan menumpuk modalnya sendiri yang terus terjadi akhir-akhir ini.

Melalui film TaoK, Joshua Oppenheimer menggedor isi kepala kita, menyadarkan kita bahwa luka sejarah pasca G 30 S itu ada dan tak tersembuhkan. Bahwa kita hidup di negara yang dibangun para tukang jagal adalah keniscayaan yang menakutkan bagi semua warga negara yang memimpikan keamanan dan kedamaian hidup sebagai warga negara. Dengan memahami borok negara kita sendiri dan kenyataan sejarah yang menciptakan luka yang terus membusuk ini kita diajak berpikir bahwa pasti ada jalan lain, sistem yang lain, dimana kita bisa hidup tanpa rasa takut karena terus dikangkangi para tukang jagal. Kecuali kita memang suka hidup dalam keadaan yang penuh teror. Semoga tidak!

Rabu, 06 Februari 2013

Pram, Ibu dan Generasi Martir

Pram, Ibu dan Generasi Martir

”Jangan pernah meminta-minta. Belajar mandiri dan pakai kekuatan sendiri. Nanti kau belajar di Eropa sampai dapat gelar doktor.” Ujar Oemi Saidah suatu kali pada anak sulungnya yang berusia lima tahun. Kala itu 1930. Kehidupan Oemi Saidah dan keluarganya, sebagaimana kebanyakan kehidupan masyarakat Indonesia, begitu miskin. Dihisap kolonialisme Belanda yang rakus.

Seperti ajimat, kata-kata itu terus terngiang dalam benak bocah itu. Bahkan jadi prinsip hidup. Bocah itu adalah Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Ia memang tak pernah sekolah di eropa sampai doktor seperti pesan Ibunya, bahkan sampai el maut mengambil nyawanya pada pada 30 April 2006 silam. Tapi dari tangan dingin pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini, setidaknya 51 karyanya lahir dan diterjemahkan ke sekitar 41 bahasa dunia. Tak heran jika ia menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang namanya berkali-kali menjadi kandidat nobel sastra dunia semasa hidupnya.

”Karena beliaulah saya jadi begini ini. Karenanya saya menghormati beliau lebih dari hormat saya kepada siapapun juga” kata penulis novel Bumi Manusia itu kala diwawancarai AndrĂ© Vltchek dan Rossie Indira.  

Tak berlebihan jika Pram menyebut Ibunya sebagai orang yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu. Bahkan saking cintanya pada Ibunya, di kemudian hari, sifat dan watak ibunya menjadi ukuran Pram menilai setiap perempuan yang didekatinya.

Oemi Saidah adalah seorang yang lembut. Tapi bisa juga menjadi keras dan tegas terutama dalam prinsip hidup. Di dalam darahnya mengalir darah masyarakat pesisir sekaligus darah priyayi. Kala kemiskinan mendera keluarganya, Saidah juga sanggup menjadi tulang punggung keluarganya seperti berdagang, berternak, dsb. Tak pernah ia menengadahkan tangan meski kemiskinan terus menjepitnya. Dalam keadaan hidupnya yang berat, kecintaan pada anak-anaknya tak berkarat hingga tuberculosis menghentikan nafas istri Mastoer itu. Nyala api cinta dan semangat hidupnya itulah yang terus jadi obor anak-anaknya. Terutama Pram.

Dari Pram kita belajar keberanian membela kemanusiaan dan keteguhan memegang prinsip. Pulau Buru, tempat paling purba yang diciptakan rejim fasis orde baru, dimana Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya dengan darah dan siksa tak sanggup meluluhlantakkan keteguhan prinsipnya. Ia bergeming. Dari penjara, karyanya mengalir terus, meski terus menerus dilarang di negerinya sendiri. Mati hanya sekali, memberikan segala milik diri yang berguna bagi manusia dan negeri sendiri adalah harga mati. Begitu barangkali Pram meneguhkan dirinya sendiri.

Tentu adalah harapan semua Ibu di negeri ini suatu saat anak-anaknya bisa memiliki harga di mata kemanusiaan. Tak gentar membela kebenaran, tak surut ditikam begis belati kekuasaan. Punya prinsip hidup sekeras baja rel kereta. Tak gampang larut dalam buaian uang dan haus kuasa. Terus bergerak maju. Menjadi martir bagi bangsanya. Di tengah negara yang carut marut dan penuh kebusukan ini dibutuhkan banyak pram lahir dari rahim ibu-ibu di negeri ini.

Seorang penulis Amerika yang juga seorang konseling keluarga, Dorothy Law Nolte, pernah menulis sajak bagus yang diperuntukkan pada para orang tua dalam mendidik anak-anaknya berjudul “anak belajar dari kehidupan.” Begini isi sajak yang awalnya dimuat di kolom keluarga surat kabar mingguan The Torrance Herald pada tahun 1954 itu: Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki/Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi/Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri/Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri/Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri/Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri/Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai/Jika anak dibesarkan  dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan/Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya/Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan//

Untuk bisa membesarkan anak seperti yang diamarkan Dorothy Law Nolte, seorang Ibu harus memiliki kesadaran yang matang tentang peran pentingnya bagi peradaban sebuah bangsa, baik dari segi politik, sosial, ekonomi dan budaya. Pertama-tama seorang Ibu harus kenal akar sejarah bangsanya. Untuk itu seorang Ibu haruslah seorang pembaca yang lahap buku-buku dan haruslah seorang yang kritis terhadap segala ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi. Ia haruslah terbuka pikiran dan hatinya atas segala gerak jaman. Sebab dibalik generasi martir selalu ada Ibu berhati lembut tapi bermental baja. Sebagaimana kata pepatah, tak ada apel jatuh jauh dari pohonnya.

Soal itu Gerwani di era 1950an pernah mencoba membukakan jalan. Berbekal materialisme dialektika, dan semangat melawan neo imperialis Amerika, Gerakan wanita Indonesia yang berafiliasi dengan PKI ini secara rutin menggelar pendidikan politik bagi perempuan. Politik sebagai panglima dan turun ke bawah (turba) berbaur dengan masyarakat bawah adalah panjinya. Mereka turun ke desa-desa, menyuplai bacaan buat ibu-ibu rumah tangga. Mengenalkan bacaan yang layak dan tak layak bagi anak. Mengenalkan bahaya neokolonialisme lewat kebudayaan seperti musik ngak ngik ngok yang cengeng dan bacaan cabul yang tak pantas dibaca menjelang tidur. Sekaligus memberikan pendidikan politik perlawanan pada neokolonialisme. Tapi tak berlangsung lama. Arus balik politik tiba-tiba menghantamnya.

1965. Tepatnya 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban. Begitu isi berita yang ditulis Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Dituduh komunis. Dibunuh dan dibui. Ribuan perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan dimiskinkan secara politik.

Yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur. Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Dihadapan kapitalisme yang banal, Ibu hanyalah pelayan suami agar lebih prima jadi sekrup produksi esok hari. Ibu melahirkan anak-anak yang siap jadi mesin giling kapitalisme. Disaat kejenuhan menyerang, mereka ditenggelamkan dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan kesadaran kritis perempuan.

Selama para Ibu di negeri ini tak bergegas keluar dari kubangan itu, sebuah generasi akan hilang. Generasi martir. Generasi yang gandrung akan kemanusiaan dan solid membela yang lemah dan benar. Yang lahir adalah generasi lebay dan alay yang gamang membaca hari depan. Generasi yang doyan uang dan korup. Bukankah tak ada ibu yang tak berlinang airmata jika anak-anak yang lahir dari rahimnya digiring ke penjara karena korupsi. Sebagaimana juga tak ada anak yang tak kecewa jika ibunya justru seorang koruptor. Tentu ini bukan salah Ibu mengandung, ketika anak-anaknya menjadi penjahat berdasi, pengkhianat bangsa yang menjual tanah airnya demi kembung isi kantong sendiri. Tapi salah kita yang terus limbung dihadapan nujum modal yang menghancurkan kemanusiaan. Tanpa berbuat apa-apa.(*)