WAKTU

JEDA

Selasa, 16 Oktober 2012

SANG PENCOPET

Sang Pencopet*)


    Setelah memarkir mobilnya avanza-nya di lapangan parkir lantai dasar sebuah plasa, Sakur membuka pintu mobilnya separuh. Menyalakan kretek, lalu menghisapnya dalam-dalam. Beberapa detik kemudian gumpalan asap tebal keluar dari mulutnya. Ia melirik jam tangan rolex-nya. Pukul 10.45. Sebagaimana kesepakatan kemarin, pukul 11.00 ia minta tiga anak buahnya menyerahkan segala hasil copetannya di sini, di lapangan parkir ini. ”Ingat! Tak boleh ada yang terlambat.” Begitu peringatan Sakur pada anak buahnya kemarin.

    Ya. Sakur adalah seorang bos copet. Ia membawahi tiga anak buah. Ketiganya beroperasi di tiga tempat berbeda. Bungorasih, Wonokromo dan Rungkut. Profesi ini sudah ia lakoni lebih dari 15 tahun. Awalnya ia adalah pencopet biasa. Wilayah operasinya di Terminal Bungorasih. Kurang lebih 10 tahun ia menjadi pencopet. Karena tiap beroperasi hasilnya selalu bagus dan tak pernah sekalipun tertangkap baik oleh aparat maupun dihajar massa karena tertangkap basah, oleh bosnya ia kemudian diangkat menjadi bos kecil. tugasnya mengumpulkan hasil anak buahnya mencopet. Masing-masing anak buahnya mendapat 10 persen. Disetor pada bosnya 60 persen dan untuk dirinya sendiri 30 persen. Karenanya tidak berlebihan jika mengatakan bawah sebagian besar kekayaannya yang ia dapat sekarang adalah dari hasil mencopet. Benar memang sekarang Sakur juga punya kios penjualan LPG 3 kg. Tapi modalnya ia ambil dari hasil mengambil dompet orang lain di terminal. 

    Meski demikian, hingga saat ini istri dan anaknya tak pernah tahu bahwa ia berprofesi sebagai pencopet. Tepatnya seorang bos copet. Bahkan sampai sekarang, sampai perkawinannya berjalan tujuh tahun, ia tak pernah ingin istri dan anaknya tahu apa pekerjaan sebenarnya. Pada istri dan anaknya ia selalu mengaku bekerja sebagai makelar besi tua. Istri dan anaknya percaya saja dengan omongan Sakur. Maklum saja baik Sakur maupun istrinya adalah orang Madura asli. Dan bukan rahasia umum bagi orang Madura bahwa bekerja sebagai pedagang besi tua di kota besar, baik itu pengepul, makelar maupun distributor rata-rata adalah adalah orang berada. Makanya ketika melamar istrinya semua keluarga istrinya percaya saja ketika Sakur mengatakan pekerjaan adalah makelar besi tua. 

    Sebenarnya boleh dikata Sakur adalah bos copet yang punya ‘etika.’ Sejak ia awal-awal mencopet pantang ia mencopet barang-barang milik orang miskin. Korbannya selalu orang berada yang menggunakan jasa bis di terminal tempatnya mangkal. Kebanyakan korbannya adalah mahasiswa. Itulah mengapa ia melarang anak buahnya mencopet orang miskin. ”Sekali kalian ketahuan mencopet orang miskin, aku sendiri yang akan menghajar kalian. Kita ini sama-sama miskin. Sama-sama lemah. Tidak boleh merugikan yang miskin. Merugikan yang kaya tidak apa-apa. Kebanyakan orang kaya itu korupsi. Dan korupsi adalah perbuatan kriminal kelas elit yang sejatinya tak jauh beda dengan copet. Bedanya para koruptor punya institusi. Sementara kita tidak.” Begitu dokrin yang ditanamkan pada anak buahnya.

    Waktu terus bergerak. Matahari terus meninggi. Sakur masih duduk di depan kemudi sambil menyanggahkan kakinya ke stir. Sesekali kakinya bergoyang-goyang mengikuti irama lagu yang keluar dari audio mobilnya. Sementara mulutnya terus menyemburkan asap rokok yang ia hisap dari rokok kretek merek terkenal. Tiba-tiba, Piko seorang anak buahnya datang tergopoh-gopoh padanya.

    “Gawat, bos! Gawat!”

    “Apanya yang gawat?” hardik Sukur terkejut. Ia kemudian menurunkan kakinya dari stir. Membetulkan duduknya lalu menatap anak buahnya tajam.

    “Cuplis kena tangkap!”

    “Siapa yang tangkap? Massa atau aparat?”

    “Aparat, bos. Sekarang dia ada di polsek.”

    “Sial!” teriaknya sambil memukul tangannya ke stir. Ia membuang rokok kreteknya yang tinggal puntung. Mengambil rokok kretek lagi. Menyalakannya lalu menghisapnya dalam-dalam. Asapnya kemudian ia semburkan pada muda Piko anak buahnya. Piko yang hanya diam menunduk.

    “Mana hasil kerjaanmu?” Tanya Sakur. Piko kemudian merogoh kantong celananya. Menyerahkan sebuah kalung emas dan tiga lembar uang seratus ribuan. Sakur kemudian memasukkan hasil copetan Piko ke saku celananya. “Kau segera sms si Parmin. Suruh segera kesini. Tak usah kejar target hari ini. Yang penting selamat dulu. Aku khawatir padanya. Karena ia baru dua hari beroperasi”

    “Baik, bos!” Piko bergegas pergi. Bayangannya menghilang diantara mobil-mobil yang antre keluar pintu parkir.

    “Sial!” teriak Sakur lagi. Sambil memukulkan kedua tangannya ke stir mobil. Ia memang kesal kalau sudah berurusan dengan aparat. Bukan soal karena anak buahnya ditangkap. Baginya itu soal gampang. Bukankah ia selain mencopet juga bekerja sebagai spionase aparat dalam upaya mengungkap kasus-kasus seperti pencurian kendaraan bermotor atau perampokan. Ia sering membantu aparat mencari pelaku. Lagipula ia juga kerap setor hasil copetannya pada beberapa oknum aparat untuk memuluskan kerja anak buahnya di lapangan. Jadi untuk mengeluarkan anak buahnya itu perkara gampang. Masalahnya tiap kali berurusan dengan aparat urusan pasti soal uang.

    Ia kemudian mengeluarkan blackberry-nya. Mengirimkan sms pada sebuah nomer. Selang beberapa menit kemudian Hp-nya berdering.

    “Siap, Ndan!” ujar Sakur

    “Siang! Anak buahmu ketangkap nih. Dan ia baru ngaku kalok salah satu anak buahmu langsung. Bagaimana?” ujaar sebuah suara di telepon.

    “Ampun, Ndan! Yang penting jangan disakiti-lah. Nanti jatahnya saya tambah.”

    “Hahaha…..! tapi dia tetap kita proses.”

    “Jangan, Ndan. Dia khan masih dibawah umur.”

    “Wah, kalo maunya begitu bisa mahal nih.”

    “Siap, Ndan. Bisa diatur.”

    “Oke. Nanti kita ketemu di tempat biasa.” pembicaraan terputus.

    Sakur menghisap rokok kreteknya lagi dalam-dalam. Sementara tangan kirinya sibuk memutar mutar gelombang radio. Ia berhenti memutar ketika salah satu stasiun radio di mobilnya melantunkan lagu cinta satu malam kesukaannya. 

    Tiba-tiba blackberry-nya berdering lagi. Kali ini dari istrinya.

    “Ada apa, Mam?”

    “Motorku bannya pecah. Jemput aku di halte sebelah selatan sekolah si Aryad. Motornya aku titipin di satpam. Biar dijemput Dullah nanti.”

    “Ya. 15 menit lagi aku jemput.”

    Hubungan telepon terputus. Sakur melirik jam tangan rolex-nya lagi. Pukul 11.11. Tapi Parmin, anak buahnya itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Sakur keluar dari mobilnya. Kemudian berjalan ke dinding pembatas parkir. Di tengadahkan kepalanya ke langit. Di lihatnya matahari yang kian terik yang sesekali sembunyi di balik awan putih yang berarak. Hatinya tiba-tiba bimbang. Jangan-jangan si Parmin juga mengalami nasib seperti si Cuplis. Atau malah lebih tragis. Digebuki massa hingga tewas. Dada Sakur tiba-tiba berdegup kencang. Baru kali ini ia merasa khawatir dan ketir. Apakah rasa ketirnya itu karena penangkapan cuplis? Apakah karena si Parmin baru beroperasi kurang dari seminggu? Apakah karena Parmin masih berumur 15 tahun? Tapi ia tepis semua pikiran bimbang dari otaknya. Semua pekerjaan punya resikonya sendiri-sendiri. Nasib sial dan peruntungan manusia tak bisa direbut. Tapi bisa dijemput. Begitu batin Sakur menyemangati diri.

    Sakur masuk lagi ke dalam mobilnya. Mengambil rokok kreteknya yang tinggal sebatang. Menyalakannya. Kemudian meremas-remas bungkusnya lalu membuangnya jauh-jauh. Mengeraskan suara audio mobilnya yang sekarang sedang memutar lagu-lagu raja dangdut Rhoma Irama. Ketika memperbaiki letak duduknya ia melihat bayang-bayang Parmin berjalan mendekat ke tempat mobilnya di parkir.

    “Kok lama sekali. Kemana aja?”

    “Biasa, bos. Jalanan macet.”

    ''Dapat berapa hari ini?''

    ''Lumayan, bos. 500 ribu!''

    ''Wah, hebat kamu! Baru operasi langsung dapat gede. Mana?''

    ''Ini bos!" Parmin mengeluarkan dompet dari saku celananya lalu diserahkan pada Sakur. Dompet dibuka. Tiba-tiba Sakur melempar dompet itu ke wajah anak buahnya dengan keras. Dan tepat mengenai dahi Parmin.

    ''Bangsat! Itu dompet istriku!''

    Blackberry Sakur kembali berdering. Terus berdering. Istrinya kembali menelpon.


*) Dimuat di Harian Kabar Madura, 14 Oktober 2012