WAKTU

JEDA

Senin, 21 November 2011

Sekedar Obituari

Sekedar Obituari

Barangkali aku termasuk orang yang tak percaya pada firasat kematian. Bagiku kematian adalah kewajiban bagi semua yang memanggul nyawa. Kematian itu niscaya. Dan tak sepenuh keliru jika Oktavio Paz, penyair meksiko, peraih nobel kesusastraan tahun 1990 itu pernah menulis bait begini: lahir hanya untuk menunggu mati. Tapi tentu saja Paz tak sepenuhnya benar sebab hidup yang paling sekarat sekalipun bukanlah jalan untuk menyerah pada kematian, bukan?

Upss...tunggu. Aku tak sedang ingin menulis serius kok. Kembali ke soal firasat kematian. Sebagaimana kerjaanku sebagai penulis, nyaris tiap malam aku membuat tulisan-tulisan baru. Tentu saja temanya mengenai segala hal yang aku tekuni. Sosial, politik, cerpen, sajak. Baik atas permintaan lembaga keilmiahan, untuk sekedar dikirim sebagai artikel koran maupun untuk kepentingan pribadi. Tapi malam itu (17/11/2011), yang kutulis nyaris soal kematian. Aku membongkar-bongkar ulang cerpenku “sepasang anting buat cucu” menjadi cerita satir-kematian. Aku membongkar-bongkar sajakku “rumah sakit” yang beraroma kematian, tapi tak selesai (terpaksa aku tinggal dech..).. Dan aku juga sedang membikin puisi baru “berpulang” yang juga sejati hendak aku bikin soal kematian.

Sampai tiba-tiba sebuah SMS masuk dari teman sekolah masa SMA dulu, Edi Wisma Pranata, yang isinya: “Telah meninggal dunia dengan tenang ibunda dari teman kita sdr. Mapung barusan di rumah sakit umum pamekasan. Semoga arwahnya dapat diterima disisi-Nya dan keluarga diberi kesabaran. Aminn...”

Membaca SMS itu aku tersintak. Kaget. Begitulah terlambat aku mendapat kabar itu. Maklum, kawan-kawan yang mendengar lebih dulu kabar itu tentu dari komunitas BBm. Pernah sekali waktu seorang teman nyaranin aku beli BBm. Tapi apa daya. Belum mampu tersebab biaya. Lagipula aku khan gaptek. Ndak punya BBm. Aku cek di Hp, SMS tersebut dikirim pada Pk. 21.01. Sementara aku membukanya baru Pukul 24.00. saat itu juga aku kirim sms balasan. Dan mengirimkan SMS berbelasungkawa pada Mapung. Dan baru dibalas sama doi PK. 08.18 dgn jawaban: “matorsakalangkong” (bhs. madura: terima kasih, red)

Secara pribadi aku tak begitu dekat dengan Ibunda Mapung, kawanku itu. Selama bertahun-tahun berkawan, barangkali aku mencium tangan Ibunda Mapung itu bisa dihitung dengan jari. Tapi dulu kita pernah bicara soal Ibu inten sekali di YM. Bagi Mapung (juga tentu saja bagi semua anak manusia yang waras otaknya) Ibu adalah “tulang punggung” semua anak manusia. Tak ada ibu tak ada manusia. Itulah mengapa waktu dulu Mapung pernah ngomong padaku soal Ibunya: ”jika ada yang menyakiti Ibuku, aku orang pertama yang akan “menghajarnya””. Tentu saja bukan pernyataan yang dibuat-buat. Seingat aku, ketika Mapung masih SMP (kalok tidak silap kelas 3 SMP) Mapung sempat juga kehilangan ayahnya. Tulang punggung keluarga dia itu harus juga berpulang ke tanah. rumah akhir dan asal kehidupan. Bagi anak seusia itu, kehilangan figure ayah tentu saja merupakan kepedihan yang tak terkira. Sejak itulah dia besar dan dewasa tanpa ayah. Dan Ibunya menjadi satu-satunya tempat berlabuh. Tak banyak yang bisa aku ceritakan soal Ibunya itu. Tapi yang pernah saya tangkap, Ibu Mapung adalah Ibu yang baik. Penuh kasih. Sebagaimana kebanyakan Ibu pada umumnya. ”Seingatku, hanya satu kali aku dipukul Ibuku karena aku nakal. Setelah itu aku tak pernah lagi merasakan pukulan.” Begitu ceritanya padaku suatu kali ketika bicara soal ibu. Pembicaraan itu berlangsung entah beberapa tahun yang lalu.

Menjadi yatim di waktu kecil tentu merupakan kepedihan yang tak terperikan. Meskipun dalam keluarganya Mapung bukanlah anak tunggal. Ada kakak-kakaknya yang telah mapan secara material maupun psikologis yang dapat menopang kehidupannya. tapi tak pernah ada yang dapat menggantikan kasih sayang ayah. Jadi adakah yang mampu menghapuskan kenangan kepedihan itu dari memori? Aku pikir tak ada. Meski sekarang kehilangan Ibu disaat kawanku itu sudah dewasa dan sudah berkeluarga tak terlalu terperikan. Tapi kepedihan tetaplah kepedihan. Kehilangan tetaplah kehilangan. Sekecil apapun kadarnya.

Seingatku setidaknya sudah duakali lebaran aku juga tak pernah bersilaturrahmi ke rumah Mapung. Menjabat tangannya. Mencium tangan bundanya itu. Sebagaimana kebiasaan perkawanan kita, (aku tak mau menyebutnya kebiasaan orang madura. Aku pikir kebiasaan macam begini sama di mana-mana), Ibunda seorang kawan akan ‘dianggap’ secara batiniah sebagai Ibunda sendiri. Kalau kita main ke rumah kawan, dan punya masalah personal, misalnya, biasanya Ibunda kawan turut juga menasehati seperti laiknya Ibunda sendiri. Kadang ada orang yang merasa lebih dekat dengan Ibunda temannya daripada Ibunya sendiri.

Dan aku termasuk kawan yang tidak dekat dengan Ibunda Mapung. Barangkali bisa dikata waktu sekolah dulu aku lebih dekat dengan Ibunda Didit Ardiansyah, teman sekolahku juga. Namun Ibunda kawan adalah Ibunda sendiri juga, bukan? Dan kedukaan kawan adalah kedukaan kita juga meski secuil. Itulah mengapa aku merasa perlu membikin catatan remeh-temeh ini. Sebagai sebuah ucapan belasungkawa, mungkin. Tapi aku rasa memang perlu mencatatnya. Kita tahu bahwa sejarah hanyalah milik orang-orang besar. Milik orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Mereka yang dekat dengan kekuasaan, sepanjang sejarah, akan dicatat namanya. Dengan tinta emas. Meski seberapa buruk kelakuannya terhadap kemanusiaan. Sementara para penentangnya, akan dicatat segala kebusukannya. Meski besar kebaikan lakunya pada kemanusiaan. Dan orang-orang biasa, macam Ibu Mapung, misalnya tak akan pernah ada namanya dalam buku sejarah manapun.
Tapi dunia terus bergerak. Blog, fesbuk, twitter, dan berbagai jejaring sosial mengijinkan nama-nama yang tak tercatat dalam peta tapi ada berhak juga disebut. dicatat laku kebaikannya. Dikenang-kenang lewat tulisan. Yang mungkin lebih abadi dari tahlilan. Aku mencoba mencatatnya seingatku saja. Bisa dianggap sebagai doa. Atau sekedar celoteh belaka boleh saja.

Ya. malam itu, malam ketika Ibunda Mapung meninggal, aku sedang menulis soal kematian. Dan aku termasuk orang yang tak percaya firasat kematian. Tapi malam itu aku menyelesaikan puisi berjudul “berpulang” selang beberapa menit sebelum aku membuka SMS dari temanku, Edi Wisma Pranata tentang meninggalnya Ibunda Mapung. Silahkan disimak. Sebelumnya secara pribadi aku mau ngucapin turut berbelasungkawa. Sungguh karena kesibukan aku tak sanggup datang ke prosesi pemakamannya. Tapi tulisan ini bisalah menjadi penebus dosa-dosaku atas kekhilapan itu. :



Berpulang

akhirnya aku harus terima
segala yang pernah memberi kehidupan
harus sanggup pula menerima kematian

duka terus menjulang
menatap tubuh tinggal daging membalut tulang
wajahmu pucat beku
ada yang terus menggema dalam kekosongan: Ibu! Ibu!

ibu, rumahmu rumahku kini sudah berjarak
tapi dari jendela zaman peluk ciummu masih jadi tempat berpijak

itulah mengapa aku masih bisa tahan
mengusungmu dalam keranda
sebab jasadmu masih jauh lebih tinggi
dari matahari

tapi aku tak pernah sanggup
mengembalikanmu kepada tanah
jauh lebih rendah
dari kaki
tempatku berdiri

tapi akhirnya aku memang harus terima
segala yang pernah memberi kehidupan
harus sanggup pula menerima kematian
dan airmata seperti kran terbuka
bergemericik kepedihan di kolam jiwa

Jumat, 18 November 2011

KAU HARUS BACA PUISI INI!

Kau Harus Baca Puisi ini


kau harus baca puisi ini
puisi yang lahir dari ratusan kilometer perjalanan
melewati ratusan tiang lampu
dan gugusan perahu
menyusup di batang-batang camplong
dan tembakau
dalam angin garam
angin madura yang kerontang
bercampur angin khatulistiwa
yang berhembus sepanjang perjalanan manusia
dan segala yang tumbuh tumbuh dari bumi
kuhimpun jadi puisi

manusia tak sepenuhnya berjalan
kadang kita mesti berteduh
di gardu tua
selepas kerja
ketika hujan tumpah tiba tiba
karena cuaca porak poranda
duduk kita di bangku yang sama
di bawah atap yang sama
dalam ketertundaaan perjalanan
adakah yang lebih indah dari percakapan?
semua berbagi cerita
bahagia dan derita
dalam hujan
sampai langit terang
dan kita berpisah
membawa lagu yang sama
lagu orang pinggiran
dalam ratusan kilometer perjalanan
menyusuri lagi jalur tualang
yang tak pernah usai
ditulis menjadi puisi

kau harus baca puisi ini!


2011

Kamis, 17 November 2011

MENCINTAIMU

Mencintaimu

aku ingin mencintaimu seperti akar
yang menghujam jauh ke dasar tanah
tak peduli diatasnya angin kering atau hujan,
kecuali sekedar menumbuhkan pepohonan.

aku ingin mencintaimu seperti pohon
yang tak gentar menantang badai
namun tak alpa membuat rindang

aku ingin mencintaimu setulus hati
sebab begitulah caraku menunda mati