WAKTU

JEDA

Selasa, 02 Januari 2018

10+2 FILM TERBAIK TAHUN 2017

10+2 Film terbaik tahun 2017 

               Ada ratusan film yang beredar sepanjang 2017. Tapi cukup sedikit yang saya tonton. Dari semua film itu tentu tak semua bagus dan tak semua buruk. Nah, kali ini saya akan membagikan film-film bagus selama 2017 menurut versi saya. Karena ini berdasarkan versi saya, maka yang saya seleksi tentu saja film-film yang sudah saya tonton. Mungkin ada film keluaran tahun 2017 yang belum saya tonton dan bagus, ini tentu keterbatasan saya.
Mungkin di antara film-film itu ada film bagus dan kebetulan saya tonton belakangan di awal 2018, maka saya akan menggeser satu atau dua daftar film terbaik menurut saya tadi. Tentu untuk kepentingan lain.
Tapi untuk sementara, dari semua film yang saya tonton, saya akan memilih 10 film terbaik menurut versi saya. Apa indikator saya untuk melakukan pemilihan itu? Alur, plot dan unsur penceritaan. Eksterior dan interior juga saya perhatikan. Seperti deskripsi ruang, karakter dan dialog. Efek CGI bukan jadi acuan utama saya meski saya pertimbangkan. Rating tinggi di IMDB saya abaikan. Sebab belum tentu rating tinggi merupakan film bagus atau sebaliknya. Urutan film terbaik yang saya pilih bukanlah rangking. Jadi urutan pertama belum tentu lebih bagus dari urutan sepuluh. Dan seterusnya dan seterusnya. Saya mengurutkannya secara acak.
Kalian protes dengan daftar film terbaik menurut versi saya? Tak apa-apa. Saya akan tanggapi selama prosedural dan obyektif. Kalau sudah subyektif dan berdasarkan like and dislike tanpa pertanggungjawaban metodis sebagaimana penilaian sinematografi, silahkan kalian bikin daftar sendiri. oke, saya mulai.
1.       Logan (2017)
Dibangun dengan eksterior gelap dan suram. Dengan alur cerita yang dramatis, dibalut eksen, tidak bisa tidak, Logan adalah film yang layak tonton. Logan menampilkan hal yang berbeda dari kebanyakan film-film franchise X-Men. Ide cerita film ini sederhana; tak ada yang lebih tangguh dari waktu. Bahkan mereka yang kuat dan tak bisa mati pun akhirnya harus bertekuk lutut di hadapan usia. Semua akan ringkih pada waktunya. Dan Hugh Jackman berhasil memerankan Wolverine tua dengan cukup menyentuh dan tak gampang dilupakan. Si artis cilik Dafne Keen yang berperan sebagai X-23, putri Logan, juga keren aktingnya.

2.       Bad Genius (2017)
Garapan Nattawut Poonpiriya, sutradara muda asal Thailand ini bukan main-main. Sutradara kelahiran 1981 ini sepertinya memang spesialis film thriller. Sejak pertama digosipkan banyak kritikus film di pertengahan 2016, saya sudah menunggu film ini. Dibangun dengan alur maju mundur seperti film Atomic Blonde dan Invisible Guest, khas film thriller. Pemeran utamanya, Chutimon Chuengcharoensukying, memang nggak seaduhai Gal Gadot atau Punpun Sutatta Udomsilp atau Sananthachat Thanapatpisal, yang sama-sama dari Thailand. Tapi aktingnya luar biasa. Padahal ini adalah film pertamanya. Idenya sih, semua orang pernah menyontek. Tapi pernahkah kalian membobol ujian STIC, ujian internasional untuk memilih universitas keren di seluruh dunia (seperti UMPTN) yang ketatnya luar biasa dan menjual kunci jawabannya untuk menjadi kaya? Nah, ketegangan itu yang dibangun di film ini. Sederhana, tanpa unsur percintaan dalam cerita. Tapi ampuh bikin jantung berdebar. Pantas saja, sejak rilis pertamakali dan diikutkan di kompetisi film, film kedua Garapan Nattawut Poonpiriya langsung menyabet banyak penghargaan. Yach, orang genius tidak berbanding lurus dengan moralitas memang.

3.       The Wall (2017)
Ini film indie besutan amazon studio. Modal film ini sangatlah rendah. Latar hanya ada di satu lokasi (gurun pasir di Iraq). Tokohnya cuma tiga; Isaac (Aaron Taylor-Johnson) dan atasannya, Sersan Matthews (John Cena) dan Juba (Laith Nakli). Durasi cuma  90 menit. Jauh sekali dengan film Dunkrirk yang modalnya besar. Tapi dibanding Dunkrirk, film ini jauh lebih menegangkan. Sebab Tak sekadar aksi tembak-tembakan, karakter psikopat turut menambahkan bumbu psychological thriller yang menjadikan The Wall semakin seru. Sutradaranya? Doug Liman yang memang ahli sutradara film perang. beberapa filmnya yang bagus adalah Edge of Tomorrow, Mr dan Mrs Smith, dan Bourne. Dan Aaron Taylor Johnson merupakan salah satu pemenang Golden Globes tahun ini. Maaf, saya tidak memasukkan Dunkrirk sebagai film terbaik versi saya, karena saya tertidur saat menontonnya. Padahal ratingnya 8,1. Sebenarnya ada film Liman yang lain yang hendak saya masukkan dalam list ini, yakni American Made yang diperankan Tom Cruise, tapi ndak jadi. American Made terlalu Fun, sementara skandal CIA tidak tergarap mendalam. Saya masukkan cadangan aja dech American Made.

4.       War for the Planet of The Apes (2017)
Dramatis, menyentuh, lucu, menyebalkan. Matt Reeves berhasil memadukan semua perasaan itu dalam film kedua dari trilogi film yang bercerita tentang pertarungan manusia dan non manusia. Merupakan kelanjutan dari dua film sebelumnya yang berhasil menembus box office versi Hollywood, Rise of The Planet of The Apes (2011) dan Dawn of The Planet of The Apes (2014).
Digarap dengan sinematografi berkelas ala Hollywood, digodok menggunakan efek CGI (Computer Generated Image) yang ciamik, suka tak suka film ini adalah film yang layak tonton. Matt Reeves dan kawan-kawan sukses menyihir penonton seakan-akan berada dalam peradaban di mana spesies kera lebih superior dibanding manusia.

5.       IT (2017)
Sejak pertamakali dikenalkan dalam bentuk novel oleh Stephen King pada 1986, Kisah Pennywise, si badut menyeramkan itu sudah sukses menjadi daya tarik. IT laris diburu pembaca. Mencoba mengulang sukses yang sama, novel itu kemudian oleh Tommy Lee Wallace diangkat ke layar televisi berupa film serial dpada 1991 dan mendulang sukses yang sama.

Kini, Warner Bros Pictures menggaet sutradara Andy Muschietti dan penulis Chase Palmer, Cary Fukunaga, serta Gary Dauberman, untuk kembali mengangkat kisah teror legendaris, Pennywise serta petualangan tujuh bocah dengan paranoia masing-masing yang menyelidiki misteri anak hilang di kota mereka, ke layar lebar. Tentu saja dengan efek CGI, teror badut itu jadi tampak lebih nyata, meski sebagaimana umumnya film yang tak bisa merangkum keseluruhan isi novel beberapa perubahan cerita dari bentuk asli novelnya jadi tak terelakkan. Tapi  It tak kehilangan apapun dalam layar lebarnya. Ia adalah nostalgia buat mereka yang pernah dibikin ngeri oleh imajinasi Stephen King. Buat mereka yang belum pernah nonton It era 1990 dan Novel It tahun 1986, film ini adalah teror baru yang menyegarkan. Menyulut rasa takut penontonnya sampai pada titik terendah.
Saingan film ini sebenarnya Annabelle: Creation dan Pengabdi setan. Tapi baik Annabelle dan Pengabdi Setan saya tak menontonnya.

6.       WIND RIVER (2017)
Kalau kalian menyukai film Sicario (2016) atau film Hell or High Water (2016), tentu kalian akan juga suka sama Wind River. Sebab ketiga film tersebut adalah garapan Taylor Sheridan. Dua film yang saya sebutkan di atas malah masuk nominasi Penulis Skenario Terbaik di ajang Writers Guild of America Awards 2016 dan Academy Awards.
Wind River adalah film thriller berkisah pembunuhan seorang gadis berusia 18 tahun yang terjadi di Wind River Indian Reservation, yang terletak di Wyoming, Amerika Serikat. Dibintangi oleh akris cantik Elizabeth Olsen sebagai detektif pemula yang ditugaskan mengungkap pembunuhan tersebut.
Meski kisahnya bertema drama misteri pembunuhan yang mencekam, Wind River sengaja mengangkat disparitas  sosial antara kaum kulit putih dengan kaum Indian. Secara tidak langsung film ini hendak menyindir pemerintah AS yang cenderung memperlakukan penduduk Indian, sebagai pemilik sah tanah Amerika, dengan tidak adil hingga sekarang. Sejak tayang perdana pada September lalu, film ini sudah menyabet beberapa penghargaan, mulai dari Sundace Film Festival, Sydney Film Festival 2017 dan penulis cerita terbaik di Cannes Festival 2017. Meski demikian, film yang saya pilih ini tidaklah sekeren The Girl with the Dragon Tattoo milik David Fincher yang rilis 2011 silam. Tapi tontonan genre detektif saya terbatas tahun ini.
Sebenarnya di genre ini ada film yang diadaptasi dari novel Agatha Cristie, yakni Crooked House dan Murder on the Orient Express. Crooked House sendiri menurut saya kurang menarik. Sedangkan Murder on the Orient Express belum nonton. Hehehe.

7.       BABY DRIVER
Saya sebenarnya tidak ingin memasukkan film besutan Edgar Wright ini dalam daftar film ini. Tapi pilihan saya terbatas. Yang sudah saya tonton sedikit sekali sepanjang 2017. Sementara film yang beredar begitu banyaknya. Sebenarnya film ini punya scane aksen yang oke, soundtrack-soundtracknya seakan menyatu dengan narasi cerita. Di awal cerita alurnya masih padat dan menyenangkan. Film ini hanya keteran di ending saat memberikan Twist plot. Kisah percintaannya juga klise. Tentu saja paling kuat adalah karakter Ansel Elgort yang berperan sebagai Baby. Cakep, culun, aneh tapi cerdas. Edgar Wright berhasil bikin film kebut-kebutan ini keliatan nyentrik, penuh gaya dan soundtrack rock n roll tahun 80an yang seakan nyawa dari film ini. Sayang keteteran di bagian akhir. Tapi film Overdrive tak bisa menyainginya. Fast an Furious masih formula lama.

8.       A TAXI DRIVER (2017)
Jika di Indonesia film korea digemari karena Drama-drama romantisnya (orang kemudian menyebutnya drakor), di korea sendiri, orang korea justru meminati film sejarah bangsanya sendiri. makanya ketika The Battleship Island tayang perdana di bioskop Korea, film itu banjir penonton. Termasuk juga di Indonesia barangkali.
Tapi ada yang luput mungkin, saat The Battleship Island tayang, film Taxy Driver justru menyalip di tikungan dalam jumlah penonton. Sekedar info saja, Di hari pertama penayangannya di Korea, A Taxi Driver menduduki posisi pertama yaitu menjual 698.090 tiket dan meraih penghasilan lebih dari 4 juta dolar. Hanya dalam dua hari, film ini pun sukses meraih satu juta penonton. Di hari ke-7 penayangannya yaitu pada 8 Agustus, A Taxi Driver sudah ditonton oleh lebih dari 5 juta orang. Angka 5 juta orang itu baru bisa diraih The Battleship Island pada hari ke 8 penayangannya.
 Tak hanya itu saja. A Taxi Driver kemudian dipercaya pemerintah Korea Selatan sebagai perwakilan Korea Selatan dalam ajang Academi Award.
Ketika membaca judulnya, saya pikir film ini adalah adaptasi film berjudul sama besutan Martin Scorsese pada tahun 1976. Film tersebut pantas diremake ulang sebab di tahun 70an, film yang disutradarai pembuat film Silance itu pernah meraih piala oscar ke-49 dan masuk salah satu film klasik yang layak tonton di zamannya. Tapi ternyata saya keliru. Film besutan Jang Hoon justru bertema lain. Politik. Bercerita tentang Supir taksi yang mengantarkan wartawan Jerman ke Gwang Ju, sebuah wilayah di Korsel yang tengah dilanda konflik akibat tindakan represi militer Korsel di tahun 1980an. Konflik Gwang Ju adalah efek domino dari kudeta militer Jenderal Chun Doo-hwan terhadap perdana menteri Choi Kyu. Rakyat Korea menentang kudeta itu. Demo di mana-mana. Yang paling parah di Gwang Ju dan mula-mula dilancarkan mahasiswa Chonam University.
Jujur pada sejarah sendiri itu pedih memang. Apalagi mengungkap borok sejarah bangsa sendiri. dan Korea Selatan seperti sudah berdamai dengan sejarahnya. A Taxi Driver adalah perwakilan untuk pengakuan dosa itu. Dan dosa saya di bagian ini, saya tidak nonton The Battleship Island.

9.       Belum saya pikirkan. Saya sedang ingin memasukkan film India di bagian ini. Tapi tontonan film India saya terbatas. Sedangkan film India tahun 2017 dengan berbagai judul sudah beredar luas di Bollywood. Beberapa sudah diikutkan produser dan sutradaranya ke ajang festival film di belahan eropa dan asia. Namun film India yang tahun ini saya tonton cuma Kaabil (menarik, tapi tak punya perbandingan film lain di tahun 2017 untuk seleksi), Commando 2 (tidak bagus menurut saya), Newton (juga tidak menarik. Tentang orang yang mensukseskan pemilu). Hindi Medium belum juga nonton. Secret of Superstar karya Aamir Khan juga belum nonton. Kedua film itu punya peluang untuk saya saingkan dengan Kaabil. Raees nya Shah Ru Khan, yang rilisnya sengaja dibarengkan dengan Kaabil untuk memotong ‘pasar’ Hrithik Roshan juga ndak tertarik menonton.

10.   Juga belum saya pikirkan. Kata beberapa teman yang kuliah sinematografi film Coco menarik. Tapi saya belum menontonnya. An Ordinary Man oleh beberapa teman dipilih sebagai film terbaik versi mereka, tapi saya tidak memilihnya. Datar. Justice League, Guardian, Guardian of Galaxy, Spiderman: Homecoming, Power Rangers, tidak saya pilih karena,ya, formula film pahlawan super dari dulu ya masih begitu aja. Kalaupun tak menemukan pilihan lain saya akan menjatuhkan pilihan pada SHOT CALLER dan BRAWL IN THE CELL aja.

Gimana dengan film Indonesia? Apa saya perlu memasukkan Posesif karya Edwin di sini biar tidak melupakan film negeri sendiri? persoalannya, film yang konon mendapatkan 10 penghargaan film dari negeri sendiri ini, saya tidak nonton. Etapi saingan Posesif justru ada Breathe karya Andy Serkis dan The Mountain Between Us garapan Hany Abu Assad yang pemerannya adalah pemain Titanic, si cantik Kate Winslet serta ada Beauty and the Beast. Ah, sudahlah...
---
Dari semua itu, jangan-jangan yang saya tonton cuma film-film yang saya sebutkan di atas tadi ya? ilegal pula. 

Selasa, 10 Oktober 2017

PERJUMPAAN TERAKHIR

Perjumpaan Terakhir
Oleh: Edy Firmansyah

Her, di tanah kelahiranku ini, kenangan berlompatan dari kepalaku tentang kalimat terakhir yang kau ucapkan padaku, ketika untuk terakhir kalinya kita bertemu.
            ”Aku ingin kuliah di Jember. Aku ingin kuliah di Jember” ucapmu dengan tatapan kosong. Hari itu pertengahan Februari 2003.
Aku memelukmu. Tapi kau menepis tanganku. Kemudian kau menarik taplak meja dan melemparkannya sehingga semua benda di atasnya pecah membentur dinding ruang tamu. Segalanya berantakan di lantai ruang tamu rumahmu. Termasuk harapanku.
Ibu dan kakak perempuanmu kemudian memegangmu. Menarikmu ke kamar. Merebahkanmu di ranjang. Kemudian menguncimu dari luar. Aku terharu melihat itu. Aku terharu. Aku bayangkan kau sendirian. Membawa pikiranmu mengelana ke negeri entah yang sulit dijangkau pikiran manusia yang merasa dirinya waras. Kau dipasung di dalam. Aku mengalami kesedihan di luar. Dunia ini kadang memang tidak adil buat sebuah kisah tentang persahabatan.
Masih kuingat dulu, bagaimana akhirnya kau harus menanggalkan cita-citamu sekolah di SMA dan terpaksa masuk STM. Tante Las pernah cerita bahwa ia punya saudara yang bekerja di pabrik otomotif di Jakarta yang menangani bidang personalia dan sumber daya manusia. Rencananya setelah lulus kau akan dititipkan padanya. Dan STM adalah sekolah paling ideal agar kau punya ketrampilan di bidang permesinan. Saat itu aku sepenuhnya setuju dengan Tante Las. Sementara kau kecewa dengan keputusan Ibumu. Meski akhirnya kau terima kenyataan yang pahit itu.
Dari hari ke hari perjalanan sekolahmu, lambat laun kau lupakan peristiwa itu. Kau semakin menikmati bersekolah di STM. Membawa buku hanya satu yang kau selipkan di saku belakang celana abu-abumu. Menjadi remaja paling depan (berbekal sabuk berkepala gir dan pentungan besi) saat tawuran.
Hari hari terus berganti. Waktu bersalin waktu. Tapi hari depan gampang sekali meleset dari ramalan manusia. Sebuah keadaan yang tak pernah bisa diprediksi masyarakat awam datang menerjang. Tahun 1998. Dollar melonjak menekan rupiah dengan angka yang hampir tak bisa dinyana ekonom. Harga kebutuhan pokok melambung. Krisis ekonomi. Kuku-kuku orde baru perlahan-lahan retak. Kemudian ambruk pada Mei 1998 digilas kaki-kaki jutaan massa dan mahasiswa.
Ekonomi nasional limbung. Perusahaan-perusahaan besar melarikan modal dan labanya ke negeri luar. Buruh-buruh jadi korban. PHK massal menorehkan angka yang tak terperikan. Dan Pamanmu, saudara Ibumu itu, juga menjadi tumbal krisis ekonomi yang terus menggila. Ia di PHK. Dan harapanmu mendapatkan gaji pertama di perusahaan otomotif di Jakarta kandas pula. Sejak lulus STM tahun 1999, di jidatmu sahih mendapat stempel paling keji; pengangguran.
”Aku ingin kuliah di Jember. Aku ingin kuliah di Jember.” Kau terus berteriak-teriak dari kamarmu. Kau menerjang pintu dari pohon mahoni itu berkali-kali. Kemudian senyap. Senyap. Airmata jatuh dari dua bola mata ibumu. Isak bergema dari pita suara kakak perempuanmu.
Sambil menangis Tante Las bercerita bahwa sebelum hilangan ingatan kau punya keinginan untuk kuliah ke Jember bersamaku. Tapi Tante Las menolak. Karena biaya kuliah tidaklah murah. ”Bahkan untuk membiayai adiknya saja yang SMA saya kadang mengeluh.” Kenang Ibumu. Aku terdiam. Lama sekali. Sementara Tante Las terus bercerita entah apalagi sampai akhirnya aku mohon diri. Pamit. Dan itu adalah pertemuan kita yang terakhir.
Her, di tanah kelahiranku ini, kenangan denganmu menyingkap tabirnya kembali. Mengajak ingatanku berjalan-jalan  ke masa lampau, saat kau berlari tergopoh-gopoh menuju rumahku, masuk tanpa salam (sehingga Ibuku marah hebat dan sempat mendugamu sebagai pencuri)  ke kamarku. Kau membangunkan aku yang tidur dengan masker bengkoang, hanya untuk bercerita kau baru jadian.
Kulihat kau bercerita dengan mata berbinar-binar penuh semangat. Pacarmu itu, anak SMKK bernama Titin itu, telah berhasil kau ajak ke Camplong dan kau menggandengnya sepanjang jalan pantai yang terletak di Desa Taddan, Sampang, Madura itu. Dan ketika kau mengantarkannya pulang, kau ceritakan juga dengan lugu bahwa keningmu telah diciumnya. Keningmu yang kini mungkin tinggal rangka tengkorak itu (atau mungkin abu), untuk pertamakali dalam hidupmu, disentuh oleh bibir seorang perempuan selain Ibumu. Aku terpingkal mendengar ceritamu. Bukan, bukan karena saat itu pengalaman cintaku lebih baik darimu, tapi karena kau menganggap ia satu-satu perempuan yang bakal jadi jodohmu.
”Men, jangan terlalu naïf dengan hubungan seperti pacaran. Nikmatilah dan yakinlah pada akhirnya segala hanya akan jadi mantan” ujarku dengan nada sedikit bercanda dan menggurui.
Tapi kau bergeming. Kau menganggap ciuman itu adalah takdir jodohmu. Padahal mestinya kau percaya, jodoh itu di tangan Tuhan, sementara ciuman paling indah itu di tangan mantan. Kau terus mencari pembenaran atas pikiran naifmu sendiri. Aku tak tahu sudah berapa dukun yang telah engkau datangi untuk mengikat cintamu pada Titin agar supaya Titin tidak pindah ke lain kening. Yang aku tahu, sejak kau jatuh cinta itu, parfummu berganti minyak senyongnyong yang kadang aku tak tahan baunya ketika kau berkeringat.
Belakangan baru aku tahu bahwa hubungan cintamu tak akan lama. Kau membangun hubungan itu dengan fondasi yang rapuh: kebohongan. Dari Titin aku dengar bahwa kau mengaku telah bekerja sambil nyambi kuliah di Surabaya padahal kenyataannya kau hanyalah pengangguran belaka. Kau juga mengaku anak seorang guru padahal kau hanyalah yatim seorang prajurit AD dan ibumu hanyalah ibu rumah tangga yang kerap menjual apa saja yang berharga saat uang pensiunannya tak cukup untuk makan sebulan. Kau sering pinjam motor ayahku untuk ngapel ke rumah Titin dan kau katakan itu motormu.
Apa susahnya jujur pada diri sendiri? Apa susahnya? Kadang aku sering menyesal mengapa aku tak pernah menasehatimu soal itu. Kadang aku marah mengapa kau ditakdirkan sebagai yatim yang nyaris tak punya kepercayaan diri untuk mengakui keadaan ekonomi keluargamu yang remuk itu.
”Aku takut dikasihani. Aku pada rasa iba. Aku takut dimanfaatkan” ucapmu suatu ketika.
Ya Setiap manusia punya rasa takut. Seperti juga setiap manusia punya keberanian. Tapi aku takut kehilangan kau, Her. Aku takut tak punya lagi tempat berbagi tawa saat aku pulang menghabiskan liburan kuliah. Aku takut kesepian di kampung halaman. Aku takut pada segala yang bakal retak meski waktu mengajarkan bahwa segalanya pasti retak. Termasuk kita. Dan aku tak pernah berani menyatakan itu padamu.
Mestinya aku berani mengatakan itu padamu sehingga ketakutan itu tak terus menghantuiku. Sebab ketakutan yang dipelihara kerap menjadi kenyataan. Tapi aku terlambat. Sangat terlambat.
Malam itu, 05 Maret 2003, hapeku berdering. Panggilan dari Ayahku. Aku mengangkatnya. Dan Ia mengabarkan berita yang benar-benar membuatku berlinang airmata. Kau meninggal. Malam itu hidupku jadi sunyi sendiri di antara hiruk pikuk diskusi tentang neokapitalisme di Indonesia di sebuah forum kelompok diskusi. Kawan-kawan menghiburku. Tapi tak ada yang sanggup menghiburku kecuali isak tangisku sendiri.
Her, di Tanah kelahiranku ini, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) itu, saat Aku membersihkan pusara ayahku pada H-2 menjelang lebaran tahun 2014, kenangan tentangmu berlompatan dari kepalaku. Sebab tanpa pernah Aku sangka, di depan pusara Ayahku, berdiri sebuah nisan dengan sebuah nama bercat hitam; Heru Setio Widodo (28 Agustus 1980-05 Maret 2003).
 Tenang-tenanglah di sana kawan. Pada akhirnya kematian milikku juga. Dan kita akan kembali bersama.

Madura, Desember 2014-Januari 2015

*Edy Firmansyah adalah penulis buku kumpulan cerpen "Selaput Dara Lastri" (IBC, Yogyakarta, 2010) dan buku puisi “Ciuman Pertama” (Gardu, Yogyakarta 2012). Pernah menjadi jurnalis Jawa Pos (2005-2006). Sekarang, menulis untuk senang-senang. Sesekali mengedit berita, menjadi jurnalis paruh di tengah kesibukannya jadi skrup produksi di institusi negara.

Jumat, 28 April 2017

TAK ADA DUNIA LAIN

TAK ADA DUNIA LAIN



tak pernah ada dunia lain
segala bising adalah sunyi yang lain
suara langkah pagi bergema
kata-kata menyala
dalam pelukan

cinta adalah bayangan
di bawah cahaya
dan menjadi segala yang pernah menyentuh kita
dalam gelap

angin meninggi dalam tujuh mata ingin
dingin lantai
henpon yang bergetar
kipas angin berputar
kematian orang-orang lapar
dilindas pembangunan
demi nasib baik pengeruk laba
bising.sunyi. deru pompa air
lalu listrik mati.

dan aku masih tak mengerti
terbuat dari apakah sejatinya kesunyian ini?
aku tak mampu menyentuhnya. tapi ia menyentuhku
menyentuh sesuatu yang tak bisa kusentuh
menyentuhmu saat aku menyentuh dan tak menyentuhmu

lalu mengapa aku ingin menyentuhmu setiap waktu?

berapa kata yang lahir dari kesunyian?
membakar satu kontainer ganja di istana presiden
kucing kucing kampung masih pulas tertidur di beranda
penjual sayur bermotor menyalakan klakson
aku harus berangkat kerja
tapi aku masih ingin menyentuhmu
menyentuh kekosongan ruang dan waktu
seperti henpon buatan Cina
yang bergetar
di saku kita