WAKTU

JEDA

Kamis, 27 Mei 2010

Sajak April

April hadir dengan gelisah
diapit tanggal merah hari paskah
terpekur disalib sunyi, pasrah
Akankah bulan ini dilalui dengan gairah?

mungkin perlu menghitung dosadosa
dimeja tamu, sambil merekareka barangkali
ada sisa uang bulan lalu yang terselip di kantong baju
untuk menebusnya
sekalian melunasi tagihan telepon, air, listrik bulan ini.
“tinggal seribu saja,” ujar istriku
kusimpan saja untuk beli permen anakku

dan dosadosa sempurnalah
membiak diruang tamu
dewasa menjadi buku
yang kugugu selalu

April hadir dengan gundah
Diapit tanggal merah hari paskah
Adakah kau merasakan juga mr. Presiden??
negeri kurus muntah darah
tepar dihisap cerobong industri
rakyat tinggal kulit dibalut tulang dihadapan modal yang pongah
Adakah kau rasakan ini juga mr. Presiden?

April hadir dengan gelisah
Diapit tanggal merah hari paskah


[sampang-madura, awal april 2010]

Belajar Menulis Puisi

Belajar Menulis Puisi

barangkali ini juga bisa disebut puisi
rama-rama yang terdampar diteras rumah
tersesat, lupa jalan pulang
malam disergap mendung pekat

seorang pemulung mengais-ngais sampah
memunguti dua gelas plastik air mineral
dan BH istriku yang tak sengaja dibuang anakku

sementara aku mengintip dari ruang tamu
menghisap puntung rokok sisa kemarin
sambil mendengarkan berita di TV yang masih itu-itu juga
tentang Gayus dibekuk dan bernyanyi lagu markus
polri, kejaksaan dan dirjen pajak bersih-bersih halaman depan
tapi tak pernah sudi babat belukar korupsi
halaman belakang rumah mereka sendiri
yang sudah meranggas kedalam prilaku seharihari

ya, inilah puisi pasi
yang bercerita kejadian satu hari
tentang negeri yang dinahkodai tukang dandan
dan penyihir dalam dongeng 1001 malam
yang bisa bikin raib uang dalam semalam
bisa bikin rumah-rumah kumuh rata dengan tanah dalam sehari
dan menyulap kemiskinan yang pahit dan berdaki
menjadi manis didepan grafik angkaangka statistik

masihkah kau percaya pada negara
yang dikelola seperti komik kurakura ninja?

tidak? syukurlah! mari baca puisi ini sekali lagi
mungkin ada yang kurang atau perlu ditambahkan
karena aku lelah bikin puisi penindasan
sementara tak pernah bisa bikin puisi perlawanan
yang membuat rakyat bangkit merebut kekuasaan

kalau kau bisa, ajari aku kawan?

Sabtu, 15 Mei 2010

Proklamasi 10 Cermin

Proklamasi 10 Cerita Mini

Saya atas nama penulis muda Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan bercerita. Hal-hal yang berkenaan dengan dunia karang-mengarang dengan berbagai komplesitasnya akan kita lalui dengan kerja keras dan belajar melalui buku-buku sastra bermutu untuk mencapai kematangan berkarya. Karena itu kali ini ijinkan saya bercerita dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya:

Tragedi Anak Yang Tak Bahagia

Sumirah tak habis pikir mengapa setiap bertemu dirinya, ibunya selalu kesetanan. Lusa lalu ia disiram air panas. Kemarin disekap di kamar mandi yang penuh uap amoniak. Hari ini pahanya disetrika. Sebagai anak, ingin ia melihat ibunya bahagia. Selalu tersenyum dan mengasihi dirinya.
Pada suatu malam sumirah bermimpi bertemu tuhan. Dalam pertemuan itu, tuhan mengajarkan bahwa hidup lebih penting dari mati, meski kematian adalah jalan kebahagiaan. Kini Sumirah tahu cara membuat Ibunya bahagia.
Ketika terjaga Sumirah kaget. Ibunya sudah tak bernyawa dengan garpu menancap dimata.

Membahagiakan Orangtua
Sebagai anak perempuan satu-satunya, Putri ingin membahagiakan orangtuanya. Satu hari menjelang pengumuman UN, putri gantung diri di kamar mandi.

Perempuan Yang Menyalakan Lilin

Perempuan itu terpar. Usai menyalakan lilin diatas tar, ketika tabung gas disampingnya meledak. Esoknya ia datang lagi ketempat itu. Kembali menyalakan lilin. Tidak diatas kue tar. Tapi diatas tubuhnya sendiri. ” Selamat hari Kartini Perempuan.” ujarnya sambil terus berusaha memadamkan api yang membakar payudaranya sendiri.

Tragedi Bayi
Kemarin kulihat bayi itu tewas. Dibekap ibunya sendiri dengan bantal. Paginya mayatnya mengapung di sungai. Tapi malam tadi kulihat bayi itu duduk manja sambil menetek susu dipangkuan ibunya yang sudah jadi mayat.

Badut
Berhari-hari aku mencari manusia. Tapi yang kutemukan badut semua. Karena lelah aku mencuci wajah di toilet sebuah plasa. Dan, ketika berkaca betapa terkejutnya aku. Dalam bayangan kaca itu kulihat seorang badut yang terus-menerus melucu, tapi tak pernah berhasil membuatku tertawa.

Mimpi Basah
Perempuan itu mencekikku hingga aku menggelepar nyaris meregang nyawa, ketika aku mencoba bangun dari mimpiku. Tapi aku berhasil merobohkannya. Esok paginya, kulihat celana dalamku sudah basah oleh sperma.
Tapi alamak, perempuan itu berhasil membawa kabur penisku kedalam mimpinya.

Menunggu Istri Melahirkan
Sang istri mengerang kesakitan. Hendak melahirkan. Sang suami bersicepat membawanya ke bidan terdekat.
Didalam kamar bersalin terdengar erang kesakitan dan deru nafas memburu. Diluar kamar si suami menunggu dengan gelisah. Degup jantung satu-satu.Dua jam menunggu, tak terdengar lagi erang kesakitan, maupun tangis bayi. Tak sabar menanti si suami mendobrak pintu kamar.
Dilihatnya istrinya sudah terkapar tak bernyawa. Darah persalinan memenuhi ranjang. Didepan gua garba sang istri tampak seorang malaikat sedang menggegam sebongkah batu berlumuran darah sedang duduk bersila.

Perempuan Yang Bunuh Diri
Seorang perempuan seksi mati bunuh diri. Melompat ke dalam liang vaginanya sendiri.

Perempuan Yang Dimutilasi
Seorang perempuan mati. Tubuhnya dimutilasi. Kini ia sibuk mencari potongan tubuhnya sendiri sebelum melapor pada polisi.

Cincin Kawin
Sudarta senang alang kepalang. Cincin kawinnya yang hilang akhirnya ditemukan. Padahal sudah berhari-hari ia mencari. Bahkan sempat minta bantuan paranormal. Tapi hasilnya nihil. 'Ditemukan dimana, Mas?' tanya istrinya. 'Dalam vagina adikmu.' jawabnya spontan.

Madura, April-Mei 2010

Minggu, 09 Mei 2010

Penantian Yang Luka

Menunggu Ijah Pulang
Cerpen: Edy Firmansyah

Sebelum duduk kembali di bangku ruang tunggu penumpang usai buang air kecil, Kasim sempat melirik jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul Sembilan kurang lima belas menit. ” ah, lima belas menit lagi” batinnya. Kasim menghempaskan lagi pantatnya di kursi besi panjang yang sudah dipadati setidaknya delapan orang. Ia membayangkan lagi sebuah pertemuan yang mengharukan. Istrinya, Ijah, yang hampir dua tahun bekerja jadi pembantu di Jakarta akan keluar dari salah satu pintu kereta eksekutif dengan barang bawaan yang banyak. Ia kemudian melompat dari kursi besi itu, berlari menghampiri istrinya lalu memeluknya erat-erat. “ orang-orang boleh iri. Boleh bergunjing apa saja. tapi ijah istriku. Aku rindu padanya. Aku punya hak memeluknya di stasiun ini” batinnya lagi.

Sengaja memang Kasim tak mengabarkan perihal kepulangan Ijah malam ini pada sanak keluarganya. Ia juga mewanti-wanti Tutik, orang yang memberi tahu Kasim perihal kepulangan Ijah agar tidak bercerita pada tetangga lainnya, termasuk pada mertuanya kabar gembira itu. Tutik adalah tetangganya yang juga bekerja jadi PRT di Jakarta yang kebetulan rumah majikannya tak terlalu jauh dengan tempat ijah bekerja.

Kasim tak mau kejadian lima tahun lalu terjadi lagi. Waktu itu, begitu mendengar sumirah, istri pertamanya yang juga kakak ijah akan pulang dari negeri jiran tempatnya bekerja dari TKW, Kasim langsung girang. Ia cerita pada tetangga dan sanak keluarganya. Ia juga pinjam uang untuk acara selamatan menyambut kedatangan Sumirah. Tapi yang pulang apa? Sumirah pulang tinggal jasad. Yang dikirim ke kampung mayatnya yang disemayamkan dalam peti mati berukir naga kembar. Soal kematian Sumirah juga gelap. Desas-desus mengatakan Sumirah mati kerena disiksa majikannya di Malaysia sana. Kabar angin lainnya sumirah mati setelah diperkosa majikannya. Ia tak kuat menanggung aib. Tak tahu mana yang benar. Yang jelas Sumirah pulang tinggal jasad. Sebagian besar tubuhnya lebam-lebam ketika hendak dimakamkan. Tak ada yang bertanggung jawab. Yang Ada hanya ucapan turut berduka cita dari perusahaan pengirim TKW tempat Sumirah jadi anggota. Dan uang santunan satu juta rupiah. Ya..ya..ya..nyawa Sumirah hanya dihargai dua juta. Dan jadilah kemudian acara selamatan yang akan digelar berubah menjadi tahlilan.

” Sudahlah Sim jangan ijinkan lagi si Ijah jika ingin kerja jadi TKW” begitu pesan Amat karib Kasim usai prosesi pernikahan kasim dan Ijah, adik Sumirah.

Kasim sebenarnya setuju dengan pendapat Amat. Apalagi tiap kali mendengar berita TV tentang buruh migran yang kebanyakan bernasib sama dengan Sumirah. Mati mendadak dan tidak lumrah. Pulang ke kampung tinggal nama. Tapi siapa yang membiayai anak-anak sekolah jika tak kerja? Sebentar lalu Si Lukman anak sulung Kasim masuk SMP. Sedangkan si Mirah juga akan masuk SD. Dan semua tahu biaya masuk sekolah mahal. Siapa yang bayar jika tiba-tiba keluarga sakit? Mengandalkan gaji buruh tani dia yang sehari hanya Rp. 15.000,- jelas tidak mungkin. Itulah mengapa ketika Ijah, seperti halnya Sumirah merengek-rengek ingin kerja Kasim tak bisa apa-apa. Yang dilakukan hanya mengangguk pasrah.

Untunglah Ijah tak memilih jadi TKW. Ia hanya mengadu nasib ke Jakarta. Jadi babu disana. ” dua atau tiga tahun kang. Setelah itu aku pulang.” Begitu janji Ijah. Ijahpun berangkatlah. Barangkali nasib ijah lebih mujur dari Sumirah. Tiap bulan Ijah rutin kirim uang hasil kerjanya. Rp. 300 ribu per bulan. Kadang pernah lebih. Dan mala mini Ijah menepati janjinya. Malam ini Ijah akan kembali ke pelukannya setelah hampir dua tahun berpisah. Dulu di Stasiun ini Kasim melepas kepergian Ijah. Kini di stasiun ini pula Kasim akan menyambutnya. Melalui tutik, tetangga satu kampung yang juga jadi babu di Jakarta, ia titipkan kabar itu. Tak lupa Ijah menitipkan uang pada Tutik sebesar Rp. 500 ribu.

” Apakah Ijah baik-baik saja, Tik?” Tanya Kasim pada Titik ketika mengabarkan rencana kepulangan Ijah.

” Sepertinya majikannya baik. Aku tak tahu pasti kang. Hanya tiga kali aku ketemu waktu belanja di pasar. Tapi ijah tambah gemuk kang.”

” Syukurlah”

Terdengar lagi pemberitahuan dari pengeras suara bahwa kereta api Pegasus adalah kereta api eksekutif terakhir yang akan tiba malam ini. Orang-orang terus memadati stasiun. Pedagang rokok dan tukang semir sepatu berseliweran menawarkan jasa menghampiri satu persatu orang yang menunggu kereta tiba. Ruang tunggu penumpang hiruk pikuk. Kasim menegakkan lagi badannya memperbaiki caara duduknya yang sudah menggelayut ditarik kantuk.

Seperti apa wajahmu sekarang Ijah? Masih cantikkah engkau meski kata titik sudah tambah gemuk? Apakah karena selalu makan enak di Jakarta dengan majikan yang baik-baik? Ataukah sebenarnya kau tambah kurus karena direndam rindu pulang kampung? Tidakkah kau rindu padaku Ijah? Aku kangen…aku kangen…jangan berangkat lagi ke Jakarta Ijah.

Kasim melirik lagi jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul sepuluh. ” Kereta terlambat lagi.” Batin Kasim. Padahal dada Kasim terus menerus berdegup kencang seperti orang jantungan membayangkan pertemuan pertamanya setelah dua tahun tak bersua dengan istrinya, Ijah. Dibayangkan lagi ketika sebentar lagi Ia akan melompat dari kursi besi itu begitu melihat Ijah keluar dari pintu kereta, berlari menghampiri isitrinya lalu memeluknya erat-erat. ”Oh, betapa menyakitkan sebuah penantian.” Begitu batin Kasim.
”Sudahlah. Cukup kali ini saja, Ijah. Lelah dua tahun aku dan anak-anak menunggumu. Selalu berdo’a agar kau mendapatkan majikan yang baik. Tidak disiksa-siksa seperti kebanyakan babu. Setelah ini tak perlu berangkat lagi. Buka warung saja. Aku masih simpan beberapa ratus uang kirimanmu itu.”

Tiba-tiba suara klakson kereta api terdengar dari kejauhan. Bising dan menyayat-nyayat. Suara perempuan dari pengeras suara kembali terdengar: "Kereta Pegasus akan tiba. Periksa sekali lagi barang bawaan anda sebelum meninggalkan stasiun. hati-hati copet." Tak sampai lima menit kereta sudah merapat di staisun. Kasim berdiri dari duduknya. Orang-orang juga. Berkerumun di depan pintu kereta yang masih tertutup.
Beberapa saat kemudian pintu-pintu dari gerbong kereta terbuka. Satu per satu para penumpang keluar. Beberapa diantaranya disambut dengan pelukan. Beberapa yang lain pergi entah kemana dengan supir taksi. Kasim masih berdiri diantara kerumuman orang-orang yang mulai berkurang. Namun Ijah tak juga muncul dari pintu kereta hingga penumpang terakhir. ” Oh, Ijah dimanakah kau Ijah?”

Kasim memberanikan bertanya pada petugas adakah kereta lain yang akan tiba. ” Ada kereta eksekutif mawar. Tapi besok jam lima pagi.” Ujar petugas.

Kasim kembali ke tempat duduknya semula. Ruangan sudah sepi. Yang tinggal hanya anak-anak pengamen, pedagang rokok dan pengemis yang tertindur di lantai dingin beralaskan Koran. diliriknya lagi jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul sebelas. “Dimanakah kau ijah, dimanakah kau?”

Disebuah ruangan gelap dengan cahaya bulan di dekat stasiun di ibukota Ijah terkapar diatas lincak. Pingsan. Pakaiannya koyak. Vaginanya berdarah.

” Mantap, bos. Wanita muda, hamil tua pula.” Kata salah seorang sambil memasang retsliting celananya.

” Ayo cabut. Dan jangan lupa, sekalian bawa barang-barangnya sapa tahu ada yang berharga buat kita bikin pesta”

“Beres boss.” Diambilnya tas Ijah yang diletakkan di bawah lincak. Orang itu kembali mendekati wajah ijah yang sayu. Kemudian dicium bibirnya. Setelah itu ia menyusul bos-nya dengan senyum kemenangan, meninggalkan ruangan gelap dengan pendar cahaya bulan sebagai penerangan. Ijah masih terkapar. Wajahnya dipendari sinar bulan.

Kasim menunggu dengan kesetiaan yang cemas. Kesabarannya ditata lagi. Fondasinya tentang kereta eksekutif yang akan tiba dini hari nanti. Stasiun sudah sepi. Yang tinggal hanya suara dengkur dan deru angin malam yang gigil. ” Ijah dimanakah kau ijah. Aku rindu Ijah.” Kasim masih menunggu dengan kesetiaan yang cemas.

Dengan tertatih-tatih dan menahan sakit yang sangat, Ijah berjalan menuju stasiun yang jaraknya sepelemparan batu dengan tempatnya pingsan tadi. Ijah sadar, hidupnya kini terasa hancur berkeping-keping, tapi Ijah tak mau mengingkari janji. Hari ini ia harus pulang ke kampung, menemui suami dan anak-anaknya sebagaimana janjinya ketika berangkat dahulu. Ia tak mau mengecewakan keluarganya. Bagi Ijah janji adalah hutang. Dan Ijah kembali menunggu kereta api pagi yang akan membawanya pulang.


Sampang-Madura 30 - 31 Maret 2010

Kamis, 06 Mei 2010

TEPUK TANGAN-TEPUK TANGAN-TEPUK TANGAN

TEPUK TANGAN

Oleh: Edy Firmansyah


Ini bukan perlombaan main-main. Perlombaan ini adalah membuat maksimal tiga cerita pendek dalam waktu satu menit yang berkisah tentang peristiwa koja yang baru saja ditayangkan televisi siang tadi. Ketiga cerita itu dibuat dan dibacakan langsung di depan gubernur. Jurinya para penonton yang kebanyakan pejabat dan aparat kepolisian.

Jika tiga cerita yang dibuat dan dibacakan didepan gubernur dan para pejabat dianggap tidak menghibur, tidak mendapatkan aplaus, atau malah isinya mencemarkan institusi Negara, maka sangsinya adalah hukuman penjara. Ini serius. Bukan main-main. Sebaliknya, jika ceritanya menghibur dan bisa bikin pejabat terhibur dan merenung, maka gubenur akan mengangkat pemenangnya menjadi staf ahli bidang kesenian.

Dari 1.435 orang yang ikut, setelah melalui tahapan seleksi yang ketat akhirnya hanya tiga orang yang dianggap mumpuni dan berhak membacakan tiga ceritanya diatas panggung. Disaksikan langsung oleh yang terhormat bapak gubernur. Aku dan dua orang penulis cerita yang aku tak kenal namanya yang menjadi kandidat itu.

Dan perlombaan itupun dimulai. Penonton riuh redam. Peserta juga berdebar kencang, takut-takut dirinya yang gagal dan menerima hukuman.

” Peserta pertama, dipersilahkan naik ke panggung.” Kata panitia lomba.

Seorang penulis bertubuh tambun dan berkacamata naik ke panggung. Berdiri di depan mik lalu membacakan cerita pendeknya yang baru saja ia tulis dalam tempo satu menit di depan juri. Si penulis bertubuh tambun itu pun mulai membaca:

Sayang Bapak
Menyaksikan Bapaknya yang Sat Pol PP sedang menendang anak usia 13 tahun di TV, Leman meloncat dari kursi. “Hajar, Pak! Biar tahu akibatnya kalau melawan Negara.” Malam harinya Leman menangis menyaksikan bapaknya mati diantara container barang. “Ini kejam. Kejam!”

Pengayom Rakyat
Seorang palacur jalanan yang terkena razia mengumpat. “Sat Pol PP bajingan.” Seorang Sat Pol PP yang mendengar itu geram. “Siapa yang bilang barusan?” Ia kemudian menyeret pelacur itu. Menendangnya hingga tersungkur. “Sat Pol PP itu pengayom rakyat.” Teriak si Sat Pol PP.

Di Depan Kaca
Seorang Sat Pol PP hendak melaksanakan sholat dhuhur usai melakukan eksekusi lahan dan menginjak-injak seorang pemuda yang melawan. Ia ambil wudhu. Sebelum masuk masjid ia berkaca. Alamak, didepan kaca kepalanya sudah tak ada.

Tak ada tepuk tangan. Tak ada decak kangum. Penulis dan pembaca cerita itu turun dari panggungh dengan lunglai. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar teriakan.

“Tangkap pembaca cerita itu. Ceritanya melecehkan institusi Negara. Tangkap!”

Penulis cerita bertubuh tambun itu akhirnya ditangkap. Tangannya diborgol dan dimasukkan dalam mobil polisi yang sudah disiapkan sejak awal acara itu.

“Pembaca cerita kedua, silahkan naik ke panggung” ujar panitia lomba.

Aku berjalan ke panggung. Membungkuk sebentar pada yang terhormat bapak gubernur, lalu mengeluarkan kertas dari saku celana yang berisi tiga cerita pendekku yang baru saja ditulis di depan juri. Aku mulai membacanya:

Istri Yang Setia
Sudah berhari-hari perempuan itu menunggu suaminya dengan cemas di ruang tamu. Bedaknya sudah luntur. Rambutnya yang basah sudah kering dan acak-akan. Sejak kerusuhan Priuk pecah, Suaminya belum juga pulang ke rumah.

Pahlawan
Sebelum massa yang bringas menggabuki tubuhnya hingga sekarat, ia benturkan kepalanya ke kontainer tua disampingnya hingga pingsan. Besoknya ia masuk koran. Mati sebagai pahlawan.

Bentrokan
Rusidin pulang dengan sumringah. Meski ia dan kawan-kawannya di Sat Pol PP gagal melakukan penggusuran, ia puas. Sebab ketika bentrok dengan warga ia berhasil menyeret seorang anak muda waktu aksi saling dorong. Anak muda itu ia gebuki, diinjak-injak hingga sekarat.
Sementara, di rumah istrinya histeris. Anaknya pulang dengan berdarah-darah di wajah. “kenapa nak?” Tanya sang ibu. Sambil mengerang kesakitan si anak menjawab: “Digebuki Sat Pol PP!”

Hanya sekitar sepuluh orang yang bertepuk tangan usai aku membaca cerita super pendekku itu. Gubernur-pun tidak bereaksi apa-apa. Hanya tersenyum saja menatapku. Tandanya ia tak suka, barangkali. Itu artinya aku akan bernasib sama dengan penulis tambun yang pertama membaca cerita itu. Dan benar saja dugaanku.

” Tangkap! Pelecehan pada institusi Negara.”

Akupun ditangkap. Diborgol. Tapi tidak dimasukkan ke mobil polisi. Namun disuruh duduk di dekat para reserse yang duduk di pojok ruangan.

“Peserta terakhir silahkan naik ke panggung.” Ujar panitia lomba. Dan seorang penulis yang kurus tinggi dengan rambut lurus dan mengenakan kacamata minus naik ke panggung. Membungkuk sebentar lalu membacakan ceritanya yang ada di PDA-nya.

Masa Kecil
'Mintalah mutasi, Mas! Aku tak tega melihat kau menindas orang miskin mulu' saran istrinya. ' Sat Pol PP juga manusia bune' ujar si suami. 'Tapi orang miskin bukan anjing.' bantah istrinya. Mendengar kata Anjing si Suami terkejut. “Sejak kapan istriku tahu masa kecilku?” batinnya.

Laporan Ajudan
Seorang ajudan berlari tegopoh-gopoh ke ruang pribadi atasannya. 'Pak, Sat Pol PP bentrok dengan masyarakat priuk!' ujar ajudan itu.
'Segera nyalakan TV!' teriak sang pejabat.

Kematian Seorang Sat Pol PP
Seorang sat Pol PP mati. Dihajar pentungannya sendiri.

“Tangkap!” teriak si reserse dari sudut ruangan. Tapi suara teriakannya tak terdengar karena semua penonton riuh memberikan standing aplaus pada pengarang tadi. bahkan gubernurpun juga berdiri bertepuk tangan.

Si reserse kemudian mencoba bertanya pada komandannya yang juga memberikan tepuk tangan pada pembaca cerita itu.

” Ndan, ceritanya juga mencemarkan institusi negara. Kenapa semua orang bertepuk tangan. Ia harus ditangkap dan diperiksa.”

” Kamu tahu dia siapa?” ditanya demikian si ajudan menggelengkan kepala.

“Pengarang itu anak bungsu Gubernur!” ujar komandannya.

Si reserse langsung bertepuk tangan. Keras sekali.



[Sampang, 22 April 2010]