WAKTU

JEDA

Jumat, 28 September 2012

Lagu Pengantar Tidur

Lagu Pengantar Tidur

pok ami ami
belaian kupu-kupu
siang jadi Nardi
kalo malam jadi Ayu

Ayu senyum manis
pada lelaki muda
adik jangan nangis
bapakmu masih kerja

Rabu, 26 September 2012

Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)


Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)


“Berapa angkanya?” Tanya Soekarno pada Menteri Sekretaris Negara Oei Tjo Tat 

”Ada yang menyebutnya 250.000 ada yang menyebutnya 500.000”

”Tepatnya berapa?”

”Angka resmi Angkatan Darat 78.000, Pak”

”Sudahlah aku tak percaya. Berapa tepatnya?”

”Kalau Bapak tak percaya, kalikan lima saja angka resmi itu” jawab Oei.

Memang tak ada yang tahu angka resmi korban pembantaian yang dilakukan AD dan paramiliternya pada orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966 yang berdarah itu. Tapi semua peneliti sepakat kisaran angka 500.000 – 1.000.000 jiwa yang sudah dihabisi. Makanya tidak berlebihan jika ada yang mengatakan angka korban pengganyangan PKI pasca G 30 S lebih ‘mengerikan’ dari korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki atau perang Vietnam selama dua tahun. Malah Sarwo Edhie yang kala itu menjadi pemimpin operasi pengganyangan PKI pernah sesumbar telah menghabisi tiga juta orang. Para eksekutor di laparangan sepertinya melaksanakan betul titah Soeharto untuk “menghabisi sampai ke akar-akarnya’

Angka di atas belum termasuk mereka yang ditahan di penjara seluruh Indonesia dan dibuang ke pulau buru atas tuduhan terlibat G 30 S, tanpa proses pengadilan. Salah satu diantara orang PKI yang ditahan itu ada Djauhari.

Djauhari adalah ketua PKI Cabang Pamekasan. Pertengahan tahun 1966 dia diciduk tentara. Kemudian ditahan di penjara Pamekasan kurang lebih 3 tahun. Sebelum ditangkap dia bekerja di jawatan kereta api. Pada tahun 1969 dia dibebaskan. Di penjara dia belajar teknik pijat refleksi. Setelah keluar penjara dia buka praktek pemijatan. Pasiennya banyak. Termasuk bapak saya langganannya.

”Seandainya dia masih hidup, dia bisa cerita banyak soal peristiwa di tahun-tahun itu,” kenang bapak saya. 

Menurut bapak saya dia ‘tahu betul’ peristiwa itu. Usianya seumuran dengan kakek saya. Ketika tahun 1965-1966 usianya sekitar 30 tahun. Sebagai tokoh partai dia tentu saja ‘paham’ hiruk pikuk politik di tahun-tahun itu. Tak heran tiap ada pasien yang bertanya soal peristiwa G 30 S dia akan cerita panjang lebar. Malah dia tahu daftar orang-orang yang akan duduk di pemerintahan jika gerakan tersebut menang. ”Dia cerita sendiri kalau gerakan itu menang, dia adalah akan jadi calon bupati Pamekasan,” cerita bapak saya.

Cerita bapak saya dibenarkan oleh Tjipto. Tjipto juga pasien Djauhari sama seperti bapak saya. Tapi menurut Tjipto, Djauhari terlalu banyak membual. Dia terlalu melebih-lebihkan soal jadi bupati Pamekasan itu. ”Maklum orang tua. Banyak pikunnya daripada benarnya,” kata Tjipto.

Memang ketika G 30 S meletus dan berhasil menguasai RRI pada dini hari 1 Oktober 1965 yang suram itu, Letkol Untung segera mengumumkan apa yang ia sebut sebagai Dewan Revolusi. Dari situ dia menyebutkan tentara yang terlibat dinaikkan pangkatnya, juga menyebutkan susunan kabinet Dewan Revolusi itu. 

Kuat dugaan saya apa yang terus diceritakan Djauhari pada pasien-pasiennya soal daftar orang-orang PKI yang akan duduk di pemerintahan jika G 30 S menang lebih banyak terinspirasi berita itu. Bukankah apa yang diumumkan Letkol Untung beserta daftar dewan bentukannya itu juga dimuat di Berita Yudha dan Angkatan bersenjata, koran resmi Angkatan Darat yang diijinkan terbit pada awal mula peristiwa berdarah tersebut? 

Pertanyaan lain dalam benak saya menggantung. Mengapa Djauhari tidak ikut dibunuh? Bukankah dia ketua PKI? Pertanyaan ini tidak tanpa alas an. Pasalnya, sasaran pembunuhan yang telah direncanakan untuk pengganyakan PKI sampai ke akar-akarnya cukup sistemik. Di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi massanya. 

Terdapat juga target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Soeharto.

Saya lalu teringat salah satu cerpen Martin Aleida dalam kumpulan cerpen “Mati baik-baik, Kawan.” Dalam cerpen tersebut Martin bercerita tentang tokoh Ba. Dia tokoh PKI yang mengkhianati kawan-kawannya sendiri. Dari tangan Ba, daftar anggota PKI dan orang yang dituduh PKI didapat tentara untuk kemudian dijemput paksa malam-malam lalu dihabisi. Ba juga yang mendatangi restoran Indonesia di Paris tempat bermukimnya orang-orang eksil yang menyelamatkan diri dari kebiadaban militer Orde Baru. Tapi Ba pulang dengan tangan kosong dari Paris. Atas ‘balas budi’ tentara, Ba mendapatkan tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Tapi pada matinya tak ada satupun kawannya yang melayat. Warga juga enggan menggali liang kuburnya. Istrinya sendiri yang menggali kubur suaminya. 

Tak dapat dipungkiri, dalam masa-masa sulit selalu ada pengkhianat yang atas kepentingannya sendiri, keselamatannya sendiri rela menjilat musuh dengan mengorbankan kawan-kawan seperjuangannya sendiri. Jika Ba, adalah eksekutor bagi kawan-kawan sesama organisasi, maka barangkali Djauhari adalah corong tentara. Corong yang menghembuskan ‘kebenaran’ isu versi Orde Baru bahwa PKI-lah dalang G 30 S. Sebuah pengandaian dibangun dari cerita-cerita Djauhari pada pasien-pasiennya. Sudah disiapkan rencana kudeta Negara. Orang-orang yang akan duduk merebut kekuasaan sudah ada. Djauhari sanggup menyebutkan daftar nama orang-orang PKI yang akan berkuasa itu. Mulai dari Gubernur Jawa Timur. Sampai nama Bupati di tiap-tiap kabupaten di Madura jika G 30 S menang. Tentu saja orang-orang yang dia sebut itu sudah mati dibantai. Tak ada yang menyanggah cerita Djauhari. Semua pasien mengangguk setuju. Karena cerita Djauhari sesuai dengan rencana besar sebagaimana dikisahkan dalam film G 30 S yang merupakan alat propaganda Orde Baru. Sebuah fiksi yang keji. Sebuah pengandaian yang penuh amis darah pembantaian.

Djauhari meninggal pada tahun 2001. Tak seperti Ba yang sendirian dan kesepian, rumah Djauhari dipenuhi pelayat. Kerandanya diusung tetangganya, kerabatnya, kenalannya serta pasien-pasien langganannya sampai liat lahat dengan khitmat. Tak ada yang menuduhnya pengkhianat. Orang-orang hanya mengecapnya sebagai seorang komunis yang ‘taubat’. (bersambung)

Senin, 24 September 2012

Catatan Kecil Tentang G 30 S di Madura


Catatan Kecil Tentang G 30 S di Madura

“Dorr!”

Suara pistol revolver menggelegar memecah malam di kampung Patemon pada medio Desember 1965. Orang-orang yang berteriak-teriak di depan rumah Mbah Nisar sambil mengacung-acungkan clurit, golok, pentungan, dsb, kontan terdiam.

”Pulang kalian semua! Disitu tak ada PKI. Kalau masih ngotot masuk ke rumah Nisar, aku lobangi kepala kalian,” teriak kakek sambil mengacungkan pistol ke orang yang berapa paling depan tepat di pagar rumah Mbah Nisar.

Orang-orang kemudian membubarkan diri. Menjauhi Kakek. Maklum di Patemon kakek terkenal cukup disegani. Sementara itu Nenek terus gemetar di mulut gang sambil menenteng sampir-nya. Takut-takut gerombolan itu menyerang Kakek.

Sejak itu rumah Mbah Nisar tak pernah lagi disantroni orang. Nisar adalah sahabat kakek. Bisa juga disebut saudara kakek karena dia diambil anak oleh Paman kakek. Mbah Nisar, begitu aku memanggilnya, juga seorang PNI aktif sama dengan kakek kala itu. Dan mungkin karena itulah rumahnya disantroni gerombolan dan hendak dibunuh dengan tuduhan bersekongkol dengan PKI.

Tapi rumah-rumah lain, ribuan rumah-rumah orang-orang PKI dan dituduh PKI di Pamekasan, didobrak pintunya. Pemiliknya dihajar massa, lalu diseret ke dalam truk. Dibawa ke daerah Blumbungan, Nyalaran dan tempat-tempat kuburan missal lain di Kabupaten Pamekasan. Digebuki ramai-ramai. Tubuhnya dicincang, ditembak, lalu mayatnya di kubur dalam lubang. Ditumpuk dengan korban-korban lainnya.

Ratusan rumah juga dibakar. Perempuan di siksa, digorok lehernya, tubuhnya dilarungkan ke sungai. Anak-anak terlantar, orang-orang gila jadi pemandangan umum selain anyir darah dan bau busuk mayat-mayat yang dibantai atas tuduhan; terlibat G 30 S kemudian dilelerkan begitu saja di jalan-jalan seperti anjing kurap yang mati terlindas truk.

“Apakah orang PKI itu jahat?” aku memancing pertanyaan agar nenek bercerita lebih banyak soal peristiwa seputar pembantaian orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun-tahun berdarah 1965-1966 di Pamekasan-Madura.

”Aku tidak tahu.” Ujar nenek sambil memperbaiki letak tidurnya. Aku yang sedari tadi tiduran di sampingnya, kontan bangun membantu perempuan 92 tahun yang melahirkan bapakku itu, mengangkat tubuhnya yang kini ringkih karena usia terus menggerogotinya.

Ya. Memang tidak mudah mendapatkan informasi detail soal peristiwa pembantaian anggota PKI dan yang dituduh PKI pada tragedi G30S di Pamekasan-Madura. Selain karena ketakutan masyarakat atas stigma PKI itu sendiri, juga karena masyarakat sudah termakan propaganda film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Noer yang pada era Orde Baru wajib tonton setiap tanggal 30 September malam. Dalam film tersebut digambarkan bahwa anggota PKI dan semua organ yang berafiliasi dengannya adalah ‘keji.’ Membunuh 7 Jenderal AD dengan sadis. Pembunuhan dilakukan anggota Gerwani (organ perempuan PKI) dengan menyilet dan memotong kemaluan korban sambil menari telanjang dan pesta seks. Selain itu juga merencanakan kudeta terhadap kekuasaan sah Soekarno dengan membentuk Dewan Revolusi. Namun rencana itu dipatahkan Soeharto. Peristiwa dalam film tersebut kemudian juga diabadikan dalam diorama Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Mungkin benar kata ungkapan; Kebohongan yang diulang-ulang akhirnya bisa dianggap sebagai kebenaran.

Meski kakek saya seorang anggota PNI aktif, nenek saya perempuan rumahan. Tak bisa baca tulis. Tak terlibat dengan organ perempuan sayap PNI. Boleh dikata ‘benci’ politik. ”Karena kakekmu orang partai, uang kerap habis hanya untuk membiayai kegiatan partai” keluhnya. Selain itu kakek juga pengagum Soekarno, termasuk juga gayanya yang falmboyan dan suka kawin.

Memang, rumah Nenek kerap jadi tempat kongkow orang-orang PNI pada tahun 1960an. Berdiskusi siang-malam tentang segala hal. Dan nenek yang menyiapkan semua kebutuhan makan orang-orang yang kadang bisa lebih dari 20 orang. Tapi nenek tak pernuh nguping. Lebih sibuk ngurusi anak atau memasak di dapur.

Sementara kakek saya juga tak lagi bisa ditanyai. Dia meninggal pada tahun 1967. Karena liver menurut diagnosa kedokteran. Tapi berdasarkan cerita nenek dan bapak saya, kakek kena santet orang. ”Perutnya membuncit. Tiap BAB selalu keluar darah disertai pasir hitam,” kenang bapak saya yang pada waktu itu berusia 11 tahun.

Tapi ada satu peristiwa yang selalu nenek ingat. Pamannya, Riso ( aku selalu memanggilnya Mbah Riso) pernah masuk penjara karena menjadi anggota BTI (Barisan Tani Indonesia). Nenek saya yang rutin mengirimkan makanan ke penjara selama Mbah Riso di penjara. Dan tiap kali ketemu Mbah Riso di penjara kala itu, nenek saya selalu menangis. ”Wajahnya selalu bengkak. Mungkin disiksa di dalam ( penjara, red). Tapi tiap ditanya selalu bilang terjatuh di kamar mandi LP,” cerita nenek saya.

Penyiksaan dan pembunuhan dengan cara keji terhadap orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966 memang sudah jadi rahasia umum. Berdasarkan data dari John Rossa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal” tercatat satu juta lebih orang mati dibantai. Malah Sarwo Edhie, komandan operasi pembersihan orang PKI dalam sebuah wawancara, sesumbar sudah menghabisi tiga juta orang PKI.

Tak lama memang Mbah Riso jadi tahanan karena dianggap ‘terlibat’ G 30 S yang pecah pada 1 oktober dini hari pada tahun 1965 itu. Sekitar 8 bulan. Itupun bisa keluar karena nyogok kepala penjara. Nenek tak ingat berapa jumlahnya. Namun 8 bulan di penjara karena tuduhan PKI menghancurkan nasib keturunannya kala Orde Baru berkuasa. Stigma turunan Orde Baru; sekali bapak PKI anak cucu tetap PKI. Dan layak diberi stempel; Berbahaya! Semua anak Mbah Riso tak satupun ada yg jadi pegawai atau bekerja di perusahaan swasta. Semua anak laki-lakinya jadi sopir angkot. Dua anak perempuannya Cuma jadi ibu rumah tangga dengan suami yang bekerja srabutan. Pernah ada satu anak perempuan Mbah Riso yang sempat jadi guru. Tapi setelah 2 tahun bekerja, tiba-tiba dia dipecat dengan alasan yang tak jelas. Kemungkinan karena orang tuanya distigma PKI. ”Padahal saya baru mendaftar jadi BTI. Enam bulanan. Dan tak pernah aktif. Tapi rutin dapat jatah beras, gula, sabun, odol tiap bulan.” Kenangnya ketika beberapa tahun lalu sebelum dia meninggal saya sempat ‘iseng’ bertanya soal keterlibatannya di BTI.

Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan; ideologi seseorang diuji ketika berada di masa-masa sulit. Pada masa sulit itu kita jadi tahu siapa kawan seiring, siapa lawan. Siapa musuh dalam selimut. Siapa kawan yang menikam dari belakang.

Menurut cerita nenek, ditangkapnya Mbah Riso karena laporan seseorang yang tak lebih dari teman satu organisasinya sendiri. Mbah Tjikro. Dia adalah anggota PKI. Cukup karib dengan Mbah Riso. Pada tahun 1966 itu Mbah Tjikro juga ditangkap dan dipenjara. Lebih dulu dua bulan dari Mbah Riso. Usut punya usut dari dialah segala daftar nama anggota ‘PKI’ di kampung nenekku. Di dalam daftar itu ada nama Mbah Riso juga. Itulah yang bikin Nenek kesal. Selain itu, Mbah Tjikro juga gak pernah cerita kalau pembebasan tahanan bisa dilakukan dengan cara nyogok. Diapun bebas dari penjara juga selain memberi daftar nama juga nyogok. ”Aku pernah bertamu ke rumahnya. Tapi ketika ditanya dia nggak ngaku kalau keluar penjara nyogok. Coba dia kasih tahu, Nom (Anom: Paman, Madura, red) Riso bisa lekas dibebaskan. Meskipun uangnya dari utangan dan patungan antar keluarga,” kenang nenek.

Selain peristiwa itu, Nenek tak ingat lagi hiruk pikuk dan jerit pedih pada 1966 di Pamekasan, Madura. Nenek lebih banyak tinggal di rumah, merawat kakek yang terkena Liver sampai dia meninggal pada awal tahun 1967. Tapi sepanjang sakitnya, masih menurut cerita Nenek, Kakek selalu menyelipkan pistol di bawah bantalnya. Pistol milik kantor. Sebab pada masa itu pengawai bea cukai yang bekerja di pelabuhan memang berhak memegang pistol.

Menurut cerita bapak saya, sejak terjadi tragedi 1966 itu, banyak mayat-mayat bergelimpangan di sungai. Tangan terikat dengan tubuh tak lengkap. Ada yang hilang kepalanya. Ada yang tebas dua belah tangannya. Dan ada kepala yang ditancapkan di bambu lalu bambu tersebut di tanam di pinggir perempatan jalan. ”Saya tak tahu siapa yang bunuh. Masih kecil waktu itu. Tapi kerumunan orang selalu menyimpulkan satu hal tiap menemukan mayat-mayat yang nyangkut di carang-carang pinggir sungai atau dileler di jalan-jalan; orang PKI.”

Bapak juga cerita pada tahun itu Ujian kenaikan kelas juga tertunda kurang lebih 8 bulan lamanya. Ada juga diberlakukan jam malam. Memang pembunuhan dan penculikan kerap dilakukan malam hari. Dari tindakan banal tersebut tak sedikit guru sekolah dan guru ngaji (ulama) yang juga masuk daftar orang PKI dan harus dihabisi.

Dan semua pembantaian keji dan berdarah-darah itu, yang dilakukan militer dengan mendidik organ-organ paramiliter dan bekerjasama dengan pemuda Anshor, hanya berdasar satu andaian yang sama sekali tak terbukti; “Jika PKI menang, hal serupa juga akan dilakukannya”. Sebuah pengandaian yang keji mengingat jutaan orang PKI mati dibabati seperti hewan najis pada tahun 1965-1966. Tahun penuh darah. Tahun awal berdirinya orde baru. (bersambung)