WAKTU

JEDA

Senin, 19 Mei 2014

Perjalanan ke Pulau Mandangin


Perjalanan ke Pulau Mandangin

”Hidup begitu pendek.
Agar nampak panjang, kita mengisinya dengan perjalanan dan mabuk laut”


            Kalau anda mabuk laut, sementara air laut sedang meninggi disertai angin kencang, jangan ke Pulau Mandangin! Percayalah, anda akan muntah-muntah. Sebab tak ada jalur lain untuk menuju pulau Mandangin selain dengan perahu motor yang memakan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan dari Pelabuhan Tanglok, Sampang, Madura. 

            Tapi jangan menunggu sampai ada jembatan yang menghubungkan pulau yang luasnya hanya sekitar 1,65 kilometer persegi itu dengan Kabupaten Sampang seperti laiknya jembatan Suramadu. Sampai lebaran monyetpun nggak akan terwujud. Sebuah pulau bisa dibangun jembatan jika memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dan bisa dikeruk isi buminya oleh investor dan pemodal, memiliki potensi tenaga kerja yang murah untuk diekploitasi dan sumber daya alamnya melimpah untuk dihisap sampai isi tulang sumsumnya tak ada lagi. Mandangin tak memiliki itu. Penduduknya hanya 18.000 jiwa. Mandangin cuma desa di Kecamatan Sampang. Rumah-rumah berderet padat. Jalanan sempit. Tak ada mobil mewah berkeliaran seperti di Jakarta. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Kecuali Pulau yang juga dikenal dengan nama pulau Gili dijual pada pengusaha dan disulap menjadi pulau wisata dengan omzet miliaran per tahun, maka akses jembatan ke pulau Mandangin akan jadi kenyataan. Tapi keindahan alamnya layak dkagumi.

            Saya sendiri saja yang sudah tinggal kurang lebih 16 tahun di Kabupaten Sampang baru kali pertama ke pulau yang juga dinamai pulau Kambing itu. Bersama seorang kawan bernama Maman Regal, saya berangkat ke pulau yang di masa orde baru menjadi tempat pembuangan orang-orang pengidap penyakit lepra. Lepas dhuhur kami menaiki kapal motor bernama “Dermaga Baru” dari Pelabuhan Tanglok, Sampang. Ongkosnya tak mahal. Cukup Rp. 7.500,- per kepala. Dan anda akan menikmati panorama laut selama satu setengah jam perjalanan. Itupun kalau air laut sedang tenang. Kalau air laut sedang tidak bersahabat, bersiaplah menderita. Kapal motor diombang-ambingkan gelombang. Kadang tempias air laut bisa sesekali mengenai wajah. Kepala puyeng dan muntah. Kawan saya saja yang tumbuh dan besar di pulau itu masih sering mabuk laut kok waktu naik kapal motor dan  kondisi laut sedang garang. Tapi hari itu air begitu tenang. Kapal motor bergerak dengan santai. Nyaris tanpa goncangan gelombang. Hanya bising mesin perahu yang cukup mengganggu pendengaran. 

Selama sehari semalam tinggal di pulau yang juga dinamai pulau Kambing (dinamai begitu karena memang banyak kambing berkeliaran di jalan-jalan sekitar pulau siang dan malam) nyaris tak saya temukan mobil. Yang banyak justru motor. Rata-rata sih keluaran terbaru. Berkendara motor di pulau ini tak perlu pakai helm. Sebab memang tak ada polisi. Tak ada razia polisi sebab tak ada kantor polsek. Makanya jangan heran kalo kebanyakan motor di pulau ini tak berplat nomor. Yang banyak justru polisi tidur yang terbuat dari tali tambang perahu yang tak lagi terpakai. Hampir di setiap jalan/gang ada lebih dari satu pemasangan polisi tidur. Tapi yang namanya polisi, baik itu polisi jaga atau polisi tidur memang kadang sama-sama bikin susah. 
 Selain tak ada polsek juga tak ada pasar. Karena transaksi perdagangan dilakukan di halaman rumah masing-masing penduduk, terutama pagi hari sepulang kepala keluarga melaut. 

Suasana "pasar" ikan di halaman rumah warga Mandangin.

Pertama kali menginjakkan kaki di pulau yang olah raga asli masyarakatnya bernama yoryor itu sekitar pukul 14.00 WIB. Sebagaimana umumnya suasana siang di Madura, saya melihat anak-anak mendekap kitab untuk belajar agama di madrasah. Istirahat sejenak di rumah kawan saya. Merebahkan punggung dan makan. Tujuan saya ke pulau yang menurut mitos tempat terbunuhnya Bangsacara oleh Bangsapati suruhan Raja Bidarba yang ingin merebut kembali Ragapatmi (mantan istrinya) yang sudah sembuh dari penyakit kulitnya yang mengerikan adalah mengabadikan senja. ”Senjanya begitu indah bro. juga hamparan pasir putih di pantainya.” Begitu promosi kawan saya itu beberapa tahun silam.
Sekitar pukul 16.30 WIB seorang kawan lagi bernama Umar Faruk menjemput kami dengan motornya. Bertiga kami berboncengan menuju pantai pasir putih yang letaknya tak jauh dari rumah Maman Regal. Di Pantai Pasir putih saya mengambil beberapa gambar. Tak terlalu menarik menurut saya. Mungkin karena sore itu matahari belum benar-benar turun di garis horizon. 

Gugusan perahu di pantai pasir putih, Kampung Mandangin Barat.

Pantai Pasir putih kampung Mandangin Barat
Kemudian Faruk mengajak untuk menuju pantai Candhin yang letaknya di Kampung Mandangin Timur. Kami setuju. Lalu motor digeber menuju Candhin. Cukup melelahkan. Karena kami melewati banyak polisi tidur. Satu motor bertiga pula. Berkali-kali saya harus mengusap-usap pinggang saya karena nyeri. Sekitar 15 menit berkendara akhirnya sampai di pantai Candhin. Saya memotret. Faruk memotret. Langit senja pantai Candhin diselimuti gugusan mendung. ”Maklum semalam baru saja turun hujan lebat” ujar Faruk sambil memotret. 

Senja di Pantai Candhin, Mandangin Timur. Dok. Pribadi

Setelah puas mengambil gambar dari daratan tertinggi di pantai itu, kami langsung turun ke pantai. Matahari sudah tenggelam. Tapi semburat warna senja terus menunjukkan keindahannya. Saya mengeluarkan tripod. Memasangkan kamera saya. Lalu memotret lagi. Usai adzan maghrib kami baru meninggalkan pantai. Lumayan berkeringat, karena kami harus menaiki bukit tempat motor Faruk di parkir.

Pantai Candhin, Kampung Mandangin Timur

Jalanan di pulau Mandangin menuju pulang ke rumah Maman begitu gelap. Menurut cerita Faruk sudah hampir satu bulan PLN padam di pulau ini. ”Nyalanya bergiliran. Malam ini giliran kampung saya. Besok malam kampung Maman menyala” cerita Faruk. Isu diluaran listrik Mandangin padam karena unsur politik. Sebab sebelumnya tak pernah padam listrik. ”Usai pilihan caleg ini listrik di sini jadi padam sampai satu bulan” ujar seorang warga. Saya jadi ingat suasana tahun 1999. Ketika Madura padam. Kabarnya kala itu, serat fiber PLN bawah laut terkena jangkar kapal. Menyusahkan memang. Saat itu di Jakarta sedang ramai sidang istimewa MPR dan rencana penurunan Gus Dur sebagai presiden RI yang sah. Sementara tokoh-tokoh ulama Madura mengultimatum, jika Gus Dur lengser, Madura merdeka. 

Malam itu saya dan keluarga Maman Regal makan dengan suasana gelap gulita. Hanya di terangi lampu teplok dibantu dengan cahaya senter dari hape saya. Setelah itu kami tidur. Saya dan Maman berencana untuk menuju Candhin lagi esok hari. Mengabadikan matahari terbit tepat di hari dimana penganut Budha merayakan Waisak tahun 2014. 

Ternyata kami bangun kesiangan. Ibu kawan saya sudah tak ada di rumah. ke pinggir pantai menunggu suaminya pulang dari melaut. Tapi saya memutuskan untuk tetap berangkat ke Candhin. Dan Maman setuju. Maka kami berdua berjalan kami ke tempat kemarin waktu kami memotret senja. Melelahkan. Karena jarak yang ditempuh kurang lebih dua kilometer. Sampai di sana kami dihadang hujan. Sementara matahari sudah meninggi. Tapi tak kelihatan karena ditutupi mendung. Saya tetap mengambil gambar. Kemudian kembali ke rumah Maman dengan kembali berjalan kaki. Saya tak mau kesiangan dan ketinggalan kapal. 

Mendung pagi di Pantai Candhin, Kampung Mandangin Timur
Masih Pemandangan pagi di Pantai Candhin, Kampung Mandangin Timur. cuma geser dikit aja dari view diatas

Perjalanan pulang dari Mandangin ternyata tak kalah melelahkan. Siang itu, laut pasang. Maklum semalam purnama. Dan gelombang tinggi. Angin juga cukup kencang. Berkali-kali tempias air laut mengenai wajah saya. Karena kepala mulai pening karena diombang-ambingkan gelombang saya memutuskan rebahan di buritan. Memejamkan mata. Ternyata Maman teman saya sudah lebih dulu terlelap. Untuk menghindari mabuk laut katanya. Sementara saya sudah berkali-kali mual. Tapi untunglah tak sampai muntah. 

Sampai di Sampang sekitar pukul 13.00. Goyangan kapal motor dihempas gelombang laut ternyata masih terasa di tubuh saya hingga saya hendak tidur malam. Tapi pengalaman memang tak bisa dibeli dengan apapun. Dan untuk anda yang mau berwisata ke Madura, alangkah rugi jika tidak menikmati senja dan fajar di pulau Mandangin. Tapi kalau anda berniat liburan bersama keluarga, sebaiknya mencari kenalan penduduk Mandangin. Karena di Mandangin tak ada hotel.