WAKTU

JEDA

Selasa, 10 November 2009

MENJADI PNS

MENJADI PNS.

Cak Kus kedatangan tamu. Seorang kawan lama. Teman sekolah. Si kawan, sebut saja A tidak sendirian. Ia datang dengan istrinya. Setelah bercerita panjang lebar soal banyak hal—memang yang paling banyak cerita kekonyolan masa silam waktu sekolah dulu—si kawan mengungkapkan tujuan sebenarnya bertanandang pada Cak Kus; mencari jalan pintas jadi PNS. Bahkan A sudah menyediakan dana sebesar Rp. 60 juta sebagai uang pelicin untuk memuluskan jalannya itu.

“Wah, kenapa kalau urusan itu kok mesti ke saya to ya!? saya khan bukan Bupati. Bukan juga pejabat tinggi di Pemerintah Daerah.”

“Iya…iya saya tahu. Tapi sampeyan khan banyak teman pejabat. Juga termasuk orang ‘penting’ di daerah ini. Ayolah Cak, tolongin saya sekali ini saja. Tau sendiri khan cari kerja sekarang sulit. Ini demi masa depan keluarga.” Sambil tangan si A memegangi bahu istrinya. Kedua pasangan suami-istri itu kemudian tersenyum.
Mendengar komentar kawannya itu Cak Kus jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil tertawa dalam hati. Betapa tidak. Seumur-umur baru kali ini ia disebut-sebut sebagai salah satu orang “penting” di daerahnya. Padahal banyak diantara kawan-kawan lainnya masih sepakat untuk menyebut Cak Kus sebagai orang ‘edan.’ Bagaimana tidak edan. Setelah lulus kuliah sempat kerja di perusahaan besar pertambangan. Tiga tahun ia lakoni pekerjaan itu. sampai akhirnya ia bisa menjabat sebagai kepala divisi Humas. Eh, karir baru menanjak malah memilih berhenti. Keluar dari perusahaan pertambangan Cak Kus lalu kerja jadi reporter. Hanya satu tahun di perusahaan media cetak. Berhenti. Dan akhirnya memilih pulang kampung. Mengelola sawah warisan bapakknya seluas 1 hektar. Sambil jadi penulis serabutan. Apa itu tidak edan!?

Nah, ini sekarang ada kawan yang menyebutnya orang penting. “Apanya yang penting?” Batin Cak Kus. Benar memang ia sering dekat dengan pejabat-pejabat daerah. Tapi kedekatannya hanya sebatas liputan saja. Sebab Cak Kus selain sebagai petani di kampungnya juga sesekali masih menulis satu dua berita untuk media. Benar juga memang Cak Kus juga kerap nongol di televisi lokal untuk menjadi narasumber atau wajahnya nongol di koran lokal ketika menulis artikel tentang berbagai fenomena sosial. Meski demikian ia tak pernah merasa jadi orang penting. Apa memang pujian kawannya itu hanya untuk meluluhkan hati Cak Kus agar bisa mencarikan jalan belakang untuk menjadi abdi negara itu?

Sebenarnya permintaan kawannya itu bukanlah hal baru bagi Cak Kus. Setiap musim rekruitmen PNS seperti sekarang ini selalu saja ada orang yang tak yakin pada dirinya sendiri dalam berkompetisi memperebutkan kursi menjadi PNS lewat ujian. Bahkan para pejabat di daerahnya pun juga turut sibuk mencarikan ‘jatah’ PNS untuk anak-anaknya yang sudah lulus kuliah. Tahun lalu sebuah media pernah mengungkap kasus anak-anak pejabat di sebuah daerah yang sengaja ‘dititipkan’ untuk masuk jadi PNS. Tentu saja tes CPNS yang diikuti hanya sekedar formalitas belaka. Para anak-anak pejabat itu pasti lulus.

Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya para cukong dan makelar PNS. Memanfaatkan ambisi orang-orang yang ingin jadi Ambtenaar. Dengan menyerahkan uang puluhan juta rupiah para cukong dan makelar PNS ini sanggup mewujudkan cita-cita para CPNS mendapat SK. Juga maraknya jual beli kunci jawaban merupakan fenomena biasa menjelang ujian CPNS digelar.

Anehnya, meski kabar soal kecurangan dalam rekruitmen CPNS selalu menjadi kabar yang lumrah dikonsumsi toh masih banyak saja para orang muda yang mau melamar menjadi abdi negara itu. Tempat pendaftaran CPNS selalu saja dipenuhi para pelamar yang berdesak-desakan. “Siapa tahu beruntung, Pak. Kalau tembus jadi PNS khan mantap,” ujar salah seorang pelamar bernama Iva yang sempat ditanyai Cak Kus di kantor pos saat ia kebetulan tengah membeli materai. Padahal jumlah pegawai negeri di Indonesia sampai saat ini sangat gigantik melebihi negara mana pun: 8 juta orang.

Ambisi-ambisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjadi PNS jelas mengerikan? Cak Kus kemudian ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah konferensi pendidikan Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASBAE) yang dihadiri ornop se-Asia Tenggara dan Selatan pada Desember 2004 lalu. “Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi di negeri ini mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan pegawai negeri sudah bertumpuk-tumpukan. Pendidikan yang membentuk itu semua.”

Ya. Pendidikan kita, diakui atau tidak, selama ini memang tidak serius mencetak manusia-manusia yang berjiwa berdikari dan mampu merintis sebuah kerja mandiri dan tak harus menjadi budak bagi orang lain atau menjadi manusia kuli. Pendidikan kita seakan menjangkar dan memerluas kesadaran serta meluapkan keinginan bahwa kelak bila lulus nanti akan menjadi pegawai negeri. Paling tidak menjadi pelamar pekerjaan dengan menenteng ijazah ke sana kemari dan mengantri panjang untuk mengambil formulir kartu kuning di Depnaker ketika bursa kerja di buka secara massal. Ironisnya lagi, para pelaku di dunia pendidikan terus-menerus menjadikan lembaga pendidikan tak ubahnya sebagai sebuah pabrik. Mereka lebih sibuk menghitung laba-rugi dan terus menerus menaikkan ongkos pendidikan daripada meningkat kualitas. Hasilnya, sebagian besar lulusan sekolah memang masih berwatak feodal. Rakyat jelatanya masih suka menjilat daripada berupaya membebaskan diri dari penindasan. Sementara kaum elitnya masih saja menindas.

Dan kini salah seorang kawannya hendak masuk dan melamar menjadi PNS. Dan kini dia didapuk untuk memuluskan cita-citanya. Ini jelas dilematis bagi Cak Kus. Jika ia menolong berarti ia menambah deretan panjang para koruptor di jejaring birokrasi yang rumit dan rapuh itu. tapi jika ia menolak ia jelas akan kehilangan salah satu temannya.

“Bagaimana Cak? Kok Nglamun!” Suara si A memudarkan lamunan Cak Kus.
***
Peristiwa diatas memang sudah puluhan tahun berlalu. Namun tiap kali media massa cetak dan elektronik mulai marak menyiarkan berita soal rekruitmen CPNS, Cak Kus selalu ingat akan temannya itu. si A memang tak pernah berhasil menjadi CPNS sebagaimana yang dicita-citakannya. Cak Kus menolak memberikan bantuan mencarikan jalan. Berkali-kali ikut tes ia selalu gagal. Sudah ratusan rupiah melayang dari tangannya karena ditipu para makelar PNS. Terakhir si A tertangkap basah membeli kunci jawaban tes CPNS. Ia dihukum 3 tahun penjara. Baru menjalani masa hukuman 1 tahun si A mati; bunuh diri dalam sel-nya.

Sedangkan istri si A akhirnya jualan rujak untuk bertahan hidup dan membiayai 2 anaknya yang masih kecil-kecil. Beruntung usahanya yang gigih dan tak kenal menyerah membuahkan hasil. Dua anaknya sekarang telah menjadi PNS. Satu diantara kini menjadi kepala dinas.

Dan Cak Kus memang tak pernah menyesal pada keputusannya.