WAKTU

JEDA

Selasa, 31 Maret 2015

'Tubuh' Madura dalam Tiga Kacamata*)



Judul              : Sosiologi Tubuh; Membentang Teori di Ranah Aplikasi

Penulis          : Ardhie Radtya, M.A

Penerbit        : Kaukaba Dipantara, Yogyakarta

Cetakan         : Pertama, Agustus 2014

Tebal              : xxxvi+312 halaman

ISBN               : 978-602-1508-52-7

Peresensi      : HN. Amrif**)


APA jadinya jika ‘tubuh’ Madura dibedah melalui kacamata sosiologi tubuh? Buku berjudul Sosiologi Tubuh: Membentang Teori di Ranah Aplikasi karangan sosiolog muda Madura bernama Ardhie Raditya ini memberi jawabannya. 

Dengan menggunakan tiga kacamata sebagai obyek bantu menelisik soal madura itulah buku ini bergerak. Kacamata pertama memandang Madura melalui tubuh perempuannya. Kacamata berikutnya, memandang  Madura dari kacamata tubuh para jagoannya. Para preman Madura. Kacamata terakhir, melihat ‘tubuh’ Madura dari klasifikasi para tukang pijat tradisional Madura.

Dalam kacamata tubuh perempuan madura, dosen tetap di jurusan Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini memaparkan bahwa perempuan Madura tidak hanya ditindas oleh budaya patriakat saja. Perempuan madura, terutama perempuan dumeh (perempuan kelas bawah) ditindas oleh sesama perempuannya, yakni perempuan dari golongan parjejih (baca: priyayi). Menggunakan konsep pertentangan kelas ala feminisme marxis, kajian ini bergerak pada pandangan tentang posisi subaltern, yakni subyek yang tertekan dan tertindas. Berada dalam posisi inferior karena tersubordinasi oleh struktur dominan, yakni dominasi perempuan priyayi terhadap perempuan dumeh. Yang ditawarkan kemudian sebuah dekonstruksi untuk mensejajarkan posisi antara priyayi dan dumeh dalam segala lini kehidupan masyarakat. (hal. 259-265).

Dalam kacamata berikutnya, yakni tubuh Madura melalui para premannya, penulis buku ini menjelaskan bagaimana para preman Madura menafsir ulang tentang sehat dan sakit. Penulis buku ini memaparkan bagaimana para blater Madura menjaga kualitas tubuh mereka dari sakit. Baik sakit karena lemahnya fisik, maupun sakit karena berhasil ditembus senjata supranatural (baca: santet). Melalui cara menafsir ulang definisi sakit dan sehat ala blater madura, penulis kemudian menklasifikasi para blater bedasarkan tubuh mereka. Para preman Madura yang berhasil menjaga tubuhnya tetap prima baik dalam aspek mental (puasa berahi), ekonomi (sanggup puasa materi), dan kultural (menggendalikan supranatural) maka akan dianggap sebagai jagoan rajeh (kelas atas dalam dominasi jagoan Madura). Begitu juga sebaliknya. Yang gagal menjaga tubuhnya dianggap jagoan keni’ (preman kelas teri) (hal. 269-299). Cara mengklasifikasi para jagoan berdasarkan konstruksi tubuh dan kuasa tubuh atas sehat dan sakit tergolong unik dalam banyak penelitian atas jagoan Madura. 

Tapi, di samping dua kacamata diatas dalam memandang tubuh Madura, ada kacamata lain yang dipakai untuk mengupas budaya madura melalui sudut pandang sosiologi tubuh. Yakni, tentang tukang pijat Madura. Melalui analisa sosiologi tubuh, alumni UGM ini, mengklasifikasi berbagai jenis dukun pijat di madura. Termasuk darimana asal usul tukang pijat tersebut mendapatkan ilmu pijat. 

Bagi para penikmat budaya Madura, kajian ‘tubuh’ Madura dari tiga aspek diatas tentu menarik perhatian. Sebab hingga saat ini kebanyakan madura masih dipandang melalui aspek antropologi dan budaya semata. Sementara jarang sekali peneliti melakukan kajian dengan aspek sosiologi, apalagi sosiologi tubuh. Dan buku ini setidaknya menjadi angin segar bagi makin luasnya kajian tentang masyarakat Madura.

Hanya saja, kajian tentang Masyarakat Madura dalam buku ini tidaklah mewarnai keseluruhan buku ini. Kajian tentang Madura dengan tiga kacamata itu hanya ada di bab terakhir. Sedangkan mengenai tubuh Madura melalui sudut pandang tukang pijat berada di Bab I dan hanya diulas sekitar empat halaman saja (hal. 89-95). Padahal jika tiga tubuh Madura itu menjadi inti dari buku ini tentu akan menjadi lebih menarik bagi banyak orang, mengingat buku-buku mengenai Madura memang memiliki segmentasi yang jelas.

Sejatinya buku ini adalah buku mengenai teori sosiologi tubuh. Hal ini bisa dilihat dari sebagian besar isi buku ini yang mengulas dan mengutip berbagai teori dan pendapat tentang sosiologi tubuh. Tepatnya buku ini lebih identik sebagai buku diktat kuliah sosiologi dilihat banjirnya kutipan dan teori di sana-sini. Hal yang menguatkan lainnya bahwa buku ini merupakan diktat kuliah sosiologi adalah kata sambutan dan epilog yang ditulis oleh Dekan FISIKUM Unesa dan Rektor Unesa yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi pembaca. 

Buku setebal 300an halaman yang dikata pengantari Prof. Yusraf Amir Piliang, seorang guru besar kajian budaya pop di ITB dan penulis buku best seller berjudul “Dunia Yang Dilipat” ini, terdiri dari empat Bab. Bab pertama mengurai tentang sejarah dan teori-teori tentang sosiologi tubuh (hal.1-143). Bab kedua mengurai tentang tubuh hubungannya dengan globalisasi dan teknologi (hal.151-209). Bab ketiga memaparkan tentang tubuh dan media massa (hal. 213-266). Dan terakhir, pada bab empat, mengurai tentang tubuh dalam aras lokal (hal.269-300). 

Sebenarnya, bagi sosiolog kontemporer kajian soal tubuh bukanlah barang asing. Sejak revolusi industri menggerus masyarakat dalam gilda-gilda ekonomi kapitalis, sejak itu pula sosiologi tubuh menjadi alat untuk mendekonstruksi kesadaran masyarakat akan tubuh di bawah kungkungan kapitalisme. 

Dalam pandangan sosiologi tubuh, tubuh memiliki relasi kuasa dengan sistem sosial yang ada. Tubuh bisa menjadi objek eksploitasi kekuasaan dan sekaligus bisa juga menjadi subjek dalam eksploitasi terhadap tubuh lainnya. Dalam kondisi macam ini, selama relasi kuasa dan eksploitasi tubuh tak tuntas didekonstruksi, maka tubuh jadi bagian paling empuk dihajar tajam kuku kapitalisme. Dan ketika tubuh ambruk, maka masyarakatpun bakal limbung dan terpuruk.

Melalui sosiologi tubuh, para sosiolog mengungkap selubung gelap tubuh di bawah bengis tapak kaki kapitalisme untuk menyadarkan masyarakat betapa tubuh begitu berharga dan punya kuasa untuk melawan segala tindasan budaya terhadap dirinya. 

Sayangnya, buku bersampul wajah perempuan yang terbelah ini, terlalu sedikit membahas ‘tubuh’ Madura. Sebaliknya, justru buku ini menjenuhkan jika dilihat dari definisi, teori dan kutipan dari berbagai pemikir yang disusun bertumpuk-tumpuk termasuk istilah-istilah ilmiah yang bikin pembaca awam mengernyitkan dahi. Namun bagi mereka yang ingin menekuni sosiologi tubuh, terutama mahasiswa, praktisi dan akademisi masalah sosial yang ingin mengetahui bagaimana sosiologi tubuh bekerja membedah tubuh Madura dalam aplikasi penelitian di lapangan buku ini pantas dibaca. Termasuk mereka yang ingin mengenal masyarakat madura lewat sosiologi tubuh. 

*) Resensi ini dimuat di Harian SUARA MADURA, 31 Maret 2015 

**) HN. Amrif adalah alter ego Edy Firmansyah, seorang jurnalis partikelir, penyair dan penulis cerpen. Pernah bekerja di JAWA POS selama satu tahun (2005-2006). Menulis resensi di banyak media  nasional, media daring dan lokal.

Senin, 16 Maret 2015

Kamar, Penulis dan Hal-hal yang tak Terduga

Kamar, Penulis dan Hal-hal yang tak Terduga

Dulu, saya berpikir, semampang orang tidak buta huruf, tentu ia bisa menulis. Kalau bisa menulis tentu bisa menjual tulisannya ke media massa. Pandangan itu ada benarnya, tapi dalam perjalanan waktu saya salah besar.
Suatu hari kawan sekampus saya, L, datang ke kos saya. Dia ingin belajar menulis. Ingin tulisannya nongol di koran, seperti saya. Saya menyanggupi. Lalu kami belajar bersama. Dan sepertinya serius sekali dia. Sekitar tiga bulan kami berbagi pemikiran soal penulisan, hampir tiap malam. Sampai akhirnya ia memutuskan mengirim tulisannya ke koran.
Dan dimulailah hari-hari penuh tarikan nafas panjang itu. Yakni ketika mengirim ke koran, sebelumnya harus menarik nafas panjang kemudian berdoa dan klik send di pojok kanan bawah email. Kemudian hidup dalam debar dalam penantian panjang akan kepastian dimuat tidaknya sebuah tulisan. Hingga tulisan ini saya buat, L, kawan saya itu tak pernah sekalipun tulisannya nongol di koran. Namanya tak pernah dimuat. Saya sendiri heran. Apa dia kurang produktif atau salah strategi.
Belakangan baru saya tahu, Ia memang tak berhasil menjadi penulis koran. Tapi ketika saya bertandang ke rumahnya di Kediri beberapa tahun silam, Ia adalah penulis skripsi yang produktip. Bukan skripsi sendiri tentu saja. Tapi skripsi orang. Ia membuka jasa pembuatan skripsi. Bukan hanya skripsi. Tapi juga desertasi dan tesis. Saya tak bisa membayangkan ketika dia cerita sudah menyelesaikan ratusan skripsi. Waw…
Berapa omzetnya? Silahkan anda terka-terka sendiri. Setidaknya ketika pulang dari rumahnya, saya ditraktir tiket pergi pulang. Tiket kereta api. Kediri-Surabaya. Dan sebuah amplop berisi uang duaratus ribu.
”Makasih sudah mengajari saya menulis dulu. Kalo tidak, saya mungkin sudah kelimpungan jadi pengangguran.” Ujarnya. Saya yakin ia terlalu melebih-lebihkan pernyataannya ini.
Selain membuka jasa pembuatan skripsi, dia juga punya warnet dengan delapan unit komputer yang buka 24 jam. Kadang saya berpikir, nasib orang memang tak bisa diterka. Gak berhasil nembus Koran, justru berjaya buka jasa bikin skripsi orang. Setidaknya hasil skripsinya nembus perpustakaan kampus. Meskipun bukan nama sendiri. istilah kerennya sekarang; ghost writer.
Di waktu yang lain, saya juga mengajari dua adik saya menulis. Satu adik saya kerap nongol di media, sekarang menjadi dosen dan telah menerbitkan dua buku ilmiah sesuai bidang akademiknya. Adik bungsu saya, ternyata tak seberuntung saya dan adik saya. Sekali namanya pernah nongol di koran nasional. Puisi. Setelah itu sepi. Akhirnya, ia malah banting setir buka jasa pembuatan skripsi di kampung. 
Kini kawan saya yang lain, kawan sekolah saya waktu SMP dan SMA meminta saya mengajarinya menulis. Saya meyanggupi meski tidak terlalu serius menanggapi, mengingat ia kini sudah beranak dan beristri. Menulis di masa tua? Hem, toh ia belajar juga.
 ”Saya suka cerpen.” Begitu terangnya ketika saya meminta memilih genre penulisan. Kini dia menulis cerpen. Dan ingin sekali tulisannya dimuat di Koran. Saya memberikan beberapa saran yang mungkin penting buat dirinya. Minimal bisa menulis bahasa indonesia dengan benar. 
Pasalnya sederhana saja, hari ini saya satu mobil dengan kawan saya yang punya jasa pembuatan skripsi itu. Mobilnya itu mobil sendiri. Meski kredit. Dan telah berjalan tiga tahun kredit tanpa nunggak. sambil nyetir, Ia cerita.
”Ternyata tidak gampang jadi penulis koran. Juga tidak terlalu sulit cari rejeki kalau punya keahlian. Dulu saya yakin bisa jadi penulis Koran, lalu jadi wartawan. Ternyata saya keliru. Itu berkaitan dengan nasib. Toh belajar nulis ada gunanya juga. Setidaknya bisa buat skripsi orang dan nggak bingung kalau anak minta diajari cara mengarang.” Ujarnya.
Saya tersenyum. Bukan saja senang. Sekaligus malu. Ia dulu saya ledekin sebagai mahasiswa yang lambat menyerap ilmu. Pikirannya ke mana-mana dan gampang gumonan. Eh, ternyata bisa berjaya. Dari tulisan. meski jasa pembuatan skripsi (warnet juga tentunya). Sementara saya, masih saja menulis hal remeh-temeh macam begini dan kemana-mana naik motor. Malah sekarang, hujan-hujan begini numpang mobil teman. Dan ditraktir makan di ayam goreng kalasan, Surabaya.
Apa boleh buat orang yang bisa menulis belum tentu bisa menjual tulisannya. Seorang jurnalis belum tentu bisa nyicil mobil dari hasil nulisnya. Tidak banyak orang yang pandai melihat peluang. Kawan saya itu, yang kini sedang mentraktir saya itu, orang yang pandai melihat peluang. Sementara saya, orang hanya pandai meluangkan waktu dengan menulis. 
Manusia dan nasib memang punya kamarnya sendiri. Sekali anda salah kamar, lekaslah balik lagi, selagi masih ada waktu. Sekali tersesat anda susah balik lagi. Seperti kawan saya yang lain. Tak pernah ingin profesi lain selain guru. Berkali itu tes CPNS gagal. Akhirnya ia menjadi makelar. Makelar meloloskan orang untuk menjadi guru. Saya tahu itu menipu. Herannya hingga sekarang, masih saja ada yang percaya. Buktinya, kemarin bawa SK guru atas nama adik mertua saya yang kebetulan kerja serabutan. untuk menebusnya cukup 80 juta. Saya tahu itu SK palsu. tapi dia ngotot itu asli. logikanya, kalo benar bisa bikin SK asli, mengapa dia nggak pake namanya sendiri buat jadi guru. Aneh. Tapi kadang perlu ada hal macam demikian, kalau nggak mau lekas kiamat.
Semoga kawan saya yang sekampung dengan saya itu berhasil menjadi penulis cerpen, dan kalo gagal tidak banting setir membuka biro jodoh menjadi penulis surat cinta. Emang laku di tengah banjir mensen dan tagar cinta seperti sekarang? Hehehe…saya hanya bercanda kok. Tapi kalau membuka percetakan khusus surat yasin dan tahlil mungkin masih menjanjikan.
Demikian. Mari baca surat al-fatehah.


Senin, 09 Maret 2015

LAYAR TANCAP*)


Oleh: Edy Firmansyah

Fuad hanya terpaku ketika Ripin, bapaknya, dimasukkan ke dalam liang lahat. Matanya sembab. Pikiran berkecamuk. Mengapa Tuhan memanggil bapaknya dengan cara keji begitu? Seandainya ia menuruti bapaknya untuk tak nonton layar tancap malam itu, mungkin pagi ini ia masih bisa membuatkan bapaknya kopi. Tapi takdir berkehendak lain. Bapaknya mati. Tuhan begitu kejam. Fuad terus membatin. Fuad tak tahan. Fuad tak sanggup sendiri.
”Bapak…bapak…!” orang-orang terus memegangnya erat.
”Jangan sampai lepas. Nanti dia nekat” teriak yang lain sambil terus mencangkul.
Pelan-pelan jasad bapaknya yang dibalut kafan yang sebagian memerah karena darah tak kelihatan lagi. Ditimbun tanah. Fuad menangis sejadi-jadinya diantara gemuruh langit dan lafal doa.
***
Fuad baru saja melompat ke sungai, ketika kawan-kawannya bergegas naik dan meninggalkannya. Meski tak puas menikmati sejuk air sungai, Fuad menepi juga. Mengenakan celananya, tanpa sempat mengenakan baju, lalu berlari mengejar kawanannya ke lapangan. Bajunya ia pegang di tangan.
”Mobil itu datang. Mobil itu datang.” Teriak kawannya, Kharis, yang berlari paling depan.
Mobil yang dimaksud adalah mobil jenis van berpengeras suara dan digantungi poster besar berbagai jenis film. Mesin mobil itu bergerung memecah kesunyian lapangan di terik siang di tengah kampung. Suara mesin yang tumpang tindih dengan suara pengeras suara membuat soundtrack iklan KB terdengar buruk. Bergemerisik dan kerap membuat gendang telinga gatal.
Kawanan itu terus berlari mendekati mobil berwarna biru buram dengan beberapa bagian cat terkelupas itu kemudian membuntutinya dari belakang. Kharis berhasil melompat ke belakang van sambil terus tertawa jumawa. Yang lainnya masih terus berlari di belakang mobil van itu sambil bersorak sorai kegirangan.
Fuad terus berlari agak jauh tertinggal di belakang. Sambil berlari ia kenakan bajunya yang sedari tadi digenggamnya. Sebenarnya Fuad ingin terus mengikuti kawan-kawannya berlari dan biasanya berhenti di samping sekolah dasar di sisi lapangan tempat mobil van itu juga berhenti. Fuad memang terpesona dengan segala peralatan bioskop keliling itu. ia heran mengapa bisa dari proyektor film dan gulungan pita itu keluar gambar di layar putih yang ditancapkan di belakang gedung SD itu. Tapi pikiran anak-anaknya belum juga nyampek. Fuad hanya melongo. Heran. Kemudian berdecak kagum dalam hati.
Tapi kali ini ia urungkan niatnya mengejar kawanannya. Fuad kemudian memutuskan berbelok, berlari lekas-lekas menuju rumahnya. Dari pengeras suara mobil van itu ia dengar nanti malam akan digelar misbar. Layar tancap. Akan diputar lima filem. Dua film horor, dua film silat dan satu film komedi. Tutur tinular dan koboi cengeng adalah dua film favoritnya. Dan ia harus memberi tahu bapaknya, Ripin, bahwa ia akan nonton misbar sampai malam. Misbar adalah singkatan dari gerimis bubar. Dinamakan demikian karena layar tancap yang diputar akan dihentikan jika gerimis turun. Sebab peralatan itu bisa rusak jika terkena air.
Sudah hampir satu tahun bioskop keliling itu tak mampir ke kampungnya memberi hiburan. Biasanya hampir tiap bulan misbar itu digelar. Dan orang-orang kampung akan berduyun-duyun datang ke lapangan. Duduk bersila sampai larut malam menyaksikan film-film yang barangkali hanya bisa dinikmati di gedung-gedung biokop di Kabupaten.
Ripin sedang mengasah batu akiknya di ruang tamu, ketika Fuad tiba-tiba berlari masuk menuju dapur, menyambar kendi dan menenggak isinya, kemudian kembali ke ruang tamu.
”Ada apa kok ngos-ngosan begitu. Seperti dikejar demit aja.” Ujar bapaknya sambil menimang-nimang bacan yang baru saja digosoknya.
Dengan nafas tersenggal-senggal Fuad menceritakan keinginannya nonton misbar di lapangan seusai mengaji di surai haji Tholib malam nanti. Ia meminta sejumlah uang jajan. Tapi Ripin menggeleng tanda tak setuju. Fuad terus merajuk. Tapi Ripin terus menggeleng sambil menimang-nimang akiknya.
”Bapak tak bisa antar. Nanti malam bapak ada perlu ke rumah Haji Romli.ngurus acara sholawatan.”
”Pak, Fuad bisa pergi sendiri. Nanti berangkat ramai-ramai sama teman.”
”Bahaya pulang malam-malam. Sekarang banyak pembunuhan dan anak hilang.”
Ripin tahu bahwa ia memang terlalu keras pada anak semata wayangnya itu. banyak melarang ini itu. terutama aktivitas anaknya pada malam hari. Tapi apa boleh buat. Ia tak mau anaknya bernasib seperti dirinya. Jadi anak jalanan, kemudian jadi preman. Ia ingin anaknya tumbuh seperti anak normal lainnya. Sekolah, mengaji, membantu orang tua, setelah lulus bisa cari kerja. Kalo bisa jadi pegawai negeri atau guru ngaji.
Masih lekat dalam ingatan Ripin hari terakhirnya bertemu ibu dan bapaknya. Malam itu, karena tak tahan dipukuli terus sama bapaknya, emaknya akhirnya memilih minggat dari rumah. Membawa serta Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Tapi tanpa tujuan pasti. Emaknya berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin yang waktu itu masih sekecil Fuad sempat kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Enaknya. Sedangkan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Emak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah bergumam, Emak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Emak  menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Emak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian
Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Emaknya, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa Emaknya ditinggalkannya tergolek di atas jalan. Terengah-engah, di depan rumah, Ripin mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, Ripin melihat bapaknya sedang menjambak rambut Emak dan sedang menghantamkan kepala Emak yang kecil itu ke arah dinding. Melihat itu, Ripin kemudian berlari menjauhi rumah, menuju pasar malam dan tak pernah kembali.
Beruntung Ripin diambil anak seorang guru ngaji. Dan kemudian jadi pedagang ayam. Hidupnya tak lagi susah seperti waktu masih kecil. Ia tak harus menjadi preman seperti bapaknya hanya sekedar untuk cari makan. Sekali waktu, setelah tahu nasib emaknya, ia datang ke kuburnya. Membersihkan nisan Emaknya dan memanjatkan doa agar Emaknya tenang selalu di alam kubur. Sementara bapaknya sendiri ia tak tahu. Setelah mendengar cerita kalau bapaknya ditembak petrus, Ripin tak pernah tahu di mana kubur bapaknya.
Karena itu Ripin tak mau Fuad seperti dirinya. Cukup dia saja yang mengalami hidup sebatang kara dan sempat jadi anak jalanan dan pencopet. Fuad jangan. Samasekali jangan.
Fuad menghentikan rajukannya. Ketika bapaknya menyebut tentang maraknya pembunuhan dan orang hilang, bayangan tentang  seonggok mayat mengapung di kali tempat ia biasa mandi melintas. Mayat itu perutnya sobek, isinya terburai. Kata orang, mayat itu orang jahat. Mati dibantai ramai-ramai karena suka mengguna-gunai orang. Mengerikan. Mayat yang mengapung di kali itu membuat ia dan kawan-kawannya tak pernah lagi mandi di kali untuk beberapa waktu lamanya.
Tapi Fuad lekas-lekas menghapus bayangan itu. Ingatan tentang misbar menempel lagi dalam kepalanya. Fuad merajuk lagi. Kali ini dengan nada keras dan mulai merengek sambil menangis. Tapi bapak bergeming. Menggeleng dan ngeloyor pergi ke kamar mandi, berwudhu, lalu berjalan ke mushalla Haji Romli, meninggalkan Fuad yang terus sesegukan di ruang tamu, sendirian. Beberapa saat kemudian terdengar suara bapaknya mengumandangkan adzan dhuhur dari toa mushalla.
Tangis Fuad makin keras. Ia membayangkan seandainya ibunya ada di sampingnya, ia akan merajuk pada ibunya untuk meluluhkan hati bapaknya agar bisa menonton misbar. Tapi apa daya, ibunya tak akan pernah membelainya untuk meredakan tangisnya. Ibunya sudah di surga bersama adiknya. Ibunya mati saat hendak melahirkan adiknya. Sementara adiknya hanya bertahan seminggu di dunia kemudian juga menyusul ibunya menuju surga. Fuad kini berdua dengan bapaknya.
Malam begitu bersahaja dengan beribu bintang dan bulan berbentuk perahu di langit. Angin membawa gigil udara ke dalam kulit. Ripin sedang duduk diberanda sambil menghisap kretek dan memutar tasbih ketika Fuad pulang mengaji.
”Cuci tangan, cuci kaki. Setelah itu tidur” perintah Ripin.
Fuad melengos masuk rumah. Langsung naik ke tempat tidur tanpa menuruti perintah bapaknya. Memejamkan mata. Tapi tak bisa tidur. Ia membayangkan kawan-kawannya sedang berlarian di lapangan sambil makan ancang menunggu misbar dimulai. Ia membayangkan aroma sedap kacang rebus dan gulali menyeruak ke dalam hidungnya.
Beberapa saat kemudian Fuad mendengar langkah kaki bapaknya menuju kamar. Fuad lekas-lekas merapatkan matanya. Pura-pura tertidur lelap. Dirasakan tangan bapaknya membelas rambutnya. Didengarnya suara shalawat keluar dari mulut bapaknya sebaliknya tiga kali. Kemudian dirasakan tiupan dari mulut bapaknya di ubun-ubunnya. Fuad terus merapatkan matanya. Tapi tak bisa tidur. Bayang-bayang misbar masih menerkam pikiran kanak-kanaknya.
Rumah hening. Suara dengkur Ripin bersautan dengan suara jangkrik di luar. Dingin menyergap ke dalam sumsum ke dalam tulang. Fuad pelan-pelan membuka mata. Melihat ke arah bapaknya yang rebah di sampingnya. Berkali-kali mengguncangkan tangan bapaknya pelan untuk memastikan bapaknya tertidur pulas. Setelah yakin, ia pelan-pelan beringsut dari ranjang menuju dapur. Menaiki lemari dan mengambil kaleng tempat bapaknya menyimpan uang hasil jualan ayam. Selembar uang seribu ia kantongi, lalu menuju pintu belakang, membuka grendel dan bergegas berlari menuju lapangan. Nonton misbar.
Saat Fuad sampai di lapangan, film koboi cengeng baru separuh jalan. Film komedi yang diperankan Ateng, Iskak dan Dartok Helm kesukaannya. Fuad segera duduk di kerumuman kawan-kawannya sambil menikmati kacang rebus yang baru saja dibelinya. Ia terpingkal-pingkal bersama kawannya tiap melihat adegan lucu di film itu. Ia ngakak seakan lupa bahwa siang tadi ia menangis hebat.
Sementara itu, saat Fuad tertawa lepas menonton layar tancap, sebuah mobil jenis station wagon berhenti di depan rumah Ripin. Tak lama kemudian kabel listrik diputus. Listrik padam. Tiga orang berbadan tegap dan bertopeng ala ninja menerobos masuk ke rumah Ripin dengan mendobrak pintu. Tanpa kesulitan mereka menemukan Ripin tengah terlelap tidur. Tanpa banyak komentar mereka mengeluarkan pisau dan pedangnya. "Cras...crasss" Ripin langsung bersimbah darah dan meninggal. Lehernya nyaris putus digorok.
Mayatnya kemudian diseret ke luar rumah. Dilemparkan ke pinggir jalan.  Beberapa orang sempat melihat station wagon itu. Berpenumpang empat orang berambut cepak dan selalu menenteng handy talky. Orang-orang merubung mayat Ripin. Desas-desus beredar, Ripin mati dibunuh ninja.
Fuad masih tertawa terpingkal-pingkal tiap berlangsung adegan lucu dalam koboi cengeng.


Madura, 2015

*) Cerpen ini dimuat di harian RADAR SURABAYA, 08 Maret 2015