WAKTU

JEDA

Selasa, 10 Oktober 2017

PERJUMPAAN TERAKHIR

Perjumpaan Terakhir
Oleh: Edy Firmansyah

Her, di tanah kelahiranku ini, kenangan berlompatan dari kepalaku tentang kalimat terakhir yang kau ucapkan padaku, ketika untuk terakhir kalinya kita bertemu.
            ”Aku ingin kuliah di Jember. Aku ingin kuliah di Jember” ucapmu dengan tatapan kosong. Hari itu pertengahan Februari 2003.
Aku memelukmu. Tapi kau menepis tanganku. Kemudian kau menarik taplak meja dan melemparkannya sehingga semua benda di atasnya pecah membentur dinding ruang tamu. Segalanya berantakan di lantai ruang tamu rumahmu. Termasuk harapanku.
Ibu dan kakak perempuanmu kemudian memegangmu. Menarikmu ke kamar. Merebahkanmu di ranjang. Kemudian menguncimu dari luar. Aku terharu melihat itu. Aku terharu. Aku bayangkan kau sendirian. Membawa pikiranmu mengelana ke negeri entah yang sulit dijangkau pikiran manusia yang merasa dirinya waras. Kau dipasung di dalam. Aku mengalami kesedihan di luar. Dunia ini kadang memang tidak adil buat sebuah kisah tentang persahabatan.
Masih kuingat dulu, bagaimana akhirnya kau harus menanggalkan cita-citamu sekolah di SMA dan terpaksa masuk STM. Tante Las pernah cerita bahwa ia punya saudara yang bekerja di pabrik otomotif di Jakarta yang menangani bidang personalia dan sumber daya manusia. Rencananya setelah lulus kau akan dititipkan padanya. Dan STM adalah sekolah paling ideal agar kau punya ketrampilan di bidang permesinan. Saat itu aku sepenuhnya setuju dengan Tante Las. Sementara kau kecewa dengan keputusan Ibumu. Meski akhirnya kau terima kenyataan yang pahit itu.
Dari hari ke hari perjalanan sekolahmu, lambat laun kau lupakan peristiwa itu. Kau semakin menikmati bersekolah di STM. Membawa buku hanya satu yang kau selipkan di saku belakang celana abu-abumu. Menjadi remaja paling depan (berbekal sabuk berkepala gir dan pentungan besi) saat tawuran.
Hari hari terus berganti. Waktu bersalin waktu. Tapi hari depan gampang sekali meleset dari ramalan manusia. Sebuah keadaan yang tak pernah bisa diprediksi masyarakat awam datang menerjang. Tahun 1998. Dollar melonjak menekan rupiah dengan angka yang hampir tak bisa dinyana ekonom. Harga kebutuhan pokok melambung. Krisis ekonomi. Kuku-kuku orde baru perlahan-lahan retak. Kemudian ambruk pada Mei 1998 digilas kaki-kaki jutaan massa dan mahasiswa.
Ekonomi nasional limbung. Perusahaan-perusahaan besar melarikan modal dan labanya ke negeri luar. Buruh-buruh jadi korban. PHK massal menorehkan angka yang tak terperikan. Dan Pamanmu, saudara Ibumu itu, juga menjadi tumbal krisis ekonomi yang terus menggila. Ia di PHK. Dan harapanmu mendapatkan gaji pertama di perusahaan otomotif di Jakarta kandas pula. Sejak lulus STM tahun 1999, di jidatmu sahih mendapat stempel paling keji; pengangguran.
”Aku ingin kuliah di Jember. Aku ingin kuliah di Jember.” Kau terus berteriak-teriak dari kamarmu. Kau menerjang pintu dari pohon mahoni itu berkali-kali. Kemudian senyap. Senyap. Airmata jatuh dari dua bola mata ibumu. Isak bergema dari pita suara kakak perempuanmu.
Sambil menangis Tante Las bercerita bahwa sebelum hilangan ingatan kau punya keinginan untuk kuliah ke Jember bersamaku. Tapi Tante Las menolak. Karena biaya kuliah tidaklah murah. ”Bahkan untuk membiayai adiknya saja yang SMA saya kadang mengeluh.” Kenang Ibumu. Aku terdiam. Lama sekali. Sementara Tante Las terus bercerita entah apalagi sampai akhirnya aku mohon diri. Pamit. Dan itu adalah pertemuan kita yang terakhir.
Her, di tanah kelahiranku ini, kenangan denganmu menyingkap tabirnya kembali. Mengajak ingatanku berjalan-jalan  ke masa lampau, saat kau berlari tergopoh-gopoh menuju rumahku, masuk tanpa salam (sehingga Ibuku marah hebat dan sempat mendugamu sebagai pencuri)  ke kamarku. Kau membangunkan aku yang tidur dengan masker bengkoang, hanya untuk bercerita kau baru jadian.
Kulihat kau bercerita dengan mata berbinar-binar penuh semangat. Pacarmu itu, anak SMKK bernama Titin itu, telah berhasil kau ajak ke Camplong dan kau menggandengnya sepanjang jalan pantai yang terletak di Desa Taddan, Sampang, Madura itu. Dan ketika kau mengantarkannya pulang, kau ceritakan juga dengan lugu bahwa keningmu telah diciumnya. Keningmu yang kini mungkin tinggal rangka tengkorak itu (atau mungkin abu), untuk pertamakali dalam hidupmu, disentuh oleh bibir seorang perempuan selain Ibumu. Aku terpingkal mendengar ceritamu. Bukan, bukan karena saat itu pengalaman cintaku lebih baik darimu, tapi karena kau menganggap ia satu-satu perempuan yang bakal jadi jodohmu.
”Men, jangan terlalu naïf dengan hubungan seperti pacaran. Nikmatilah dan yakinlah pada akhirnya segala hanya akan jadi mantan” ujarku dengan nada sedikit bercanda dan menggurui.
Tapi kau bergeming. Kau menganggap ciuman itu adalah takdir jodohmu. Padahal mestinya kau percaya, jodoh itu di tangan Tuhan, sementara ciuman paling indah itu di tangan mantan. Kau terus mencari pembenaran atas pikiran naifmu sendiri. Aku tak tahu sudah berapa dukun yang telah engkau datangi untuk mengikat cintamu pada Titin agar supaya Titin tidak pindah ke lain kening. Yang aku tahu, sejak kau jatuh cinta itu, parfummu berganti minyak senyongnyong yang kadang aku tak tahan baunya ketika kau berkeringat.
Belakangan baru aku tahu bahwa hubungan cintamu tak akan lama. Kau membangun hubungan itu dengan fondasi yang rapuh: kebohongan. Dari Titin aku dengar bahwa kau mengaku telah bekerja sambil nyambi kuliah di Surabaya padahal kenyataannya kau hanyalah pengangguran belaka. Kau juga mengaku anak seorang guru padahal kau hanyalah yatim seorang prajurit AD dan ibumu hanyalah ibu rumah tangga yang kerap menjual apa saja yang berharga saat uang pensiunannya tak cukup untuk makan sebulan. Kau sering pinjam motor ayahku untuk ngapel ke rumah Titin dan kau katakan itu motormu.
Apa susahnya jujur pada diri sendiri? Apa susahnya? Kadang aku sering menyesal mengapa aku tak pernah menasehatimu soal itu. Kadang aku marah mengapa kau ditakdirkan sebagai yatim yang nyaris tak punya kepercayaan diri untuk mengakui keadaan ekonomi keluargamu yang remuk itu.
”Aku takut dikasihani. Aku pada rasa iba. Aku takut dimanfaatkan” ucapmu suatu ketika.
Ya Setiap manusia punya rasa takut. Seperti juga setiap manusia punya keberanian. Tapi aku takut kehilangan kau, Her. Aku takut tak punya lagi tempat berbagi tawa saat aku pulang menghabiskan liburan kuliah. Aku takut kesepian di kampung halaman. Aku takut pada segala yang bakal retak meski waktu mengajarkan bahwa segalanya pasti retak. Termasuk kita. Dan aku tak pernah berani menyatakan itu padamu.
Mestinya aku berani mengatakan itu padamu sehingga ketakutan itu tak terus menghantuiku. Sebab ketakutan yang dipelihara kerap menjadi kenyataan. Tapi aku terlambat. Sangat terlambat.
Malam itu, 05 Maret 2003, hapeku berdering. Panggilan dari Ayahku. Aku mengangkatnya. Dan Ia mengabarkan berita yang benar-benar membuatku berlinang airmata. Kau meninggal. Malam itu hidupku jadi sunyi sendiri di antara hiruk pikuk diskusi tentang neokapitalisme di Indonesia di sebuah forum kelompok diskusi. Kawan-kawan menghiburku. Tapi tak ada yang sanggup menghiburku kecuali isak tangisku sendiri.
Her, di Tanah kelahiranku ini, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) itu, saat Aku membersihkan pusara ayahku pada H-2 menjelang lebaran tahun 2014, kenangan tentangmu berlompatan dari kepalaku. Sebab tanpa pernah Aku sangka, di depan pusara Ayahku, berdiri sebuah nisan dengan sebuah nama bercat hitam; Heru Setio Widodo (28 Agustus 1980-05 Maret 2003).
 Tenang-tenanglah di sana kawan. Pada akhirnya kematian milikku juga. Dan kita akan kembali bersama.

Madura, Desember 2014-Januari 2015

*Edy Firmansyah adalah penulis buku kumpulan cerpen "Selaput Dara Lastri" (IBC, Yogyakarta, 2010) dan buku puisi “Ciuman Pertama” (Gardu, Yogyakarta 2012). Pernah menjadi jurnalis Jawa Pos (2005-2006). Sekarang, menulis untuk senang-senang. Sesekali mengedit berita, menjadi jurnalis paruh di tengah kesibukannya jadi skrup produksi di institusi negara.

Tidak ada komentar: