WAKTU

JEDA

Selasa, 08 Januari 2008

Menjauhi Pesona Sastra Kosmetik (DIMUAT DI SURYA, 06 Januari 2008)

Menjauhi Pesona Sastra Kosmetik
Oleh: Edy Firmansyah
(Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Jakarta)

------
(Sejatinya tulisan ini dibuat sebagai catatan tambahan atas tulisan Nurani Soyomukti yang berjudul Menggugat Sastra Antiideologi yang dimuat di SEPUTAR INDONESIA (SINDO) 16 Desember 2006. Awalnya saya kirim ke SINDO. Tetapi tidak dimuat. Baru pada awal Desember 2007 kembali saya kirim tulisan ini (tanpa mengubah isinya) ke redaksi SURYA. lama tak ada kabar. Saya meyangka esai ini akan bernasib sama seperti ketika dikirim ke SINDO. Ternyata tidak. Pada akhir Desember, kawan di SURYA yang kebetulan menjadi 'tukang jagal' tulisan orang menghubungi saya, Esai ini akan dimuat dengan syarat saya harus melakukan swasunting seperlunya sehingga sesuai dengan Space kolom esai SURYA. Saya meyanggupi. dan setelah telp ditutup, saya langsung melakukan mutilasi terhadap esai ini. saya lakukan tak kurang dari 15 menit. kemudian saya kirim lagi. dan benar, 06 Januari 2008 esai ini Nongol di SURYA)
------
Dewasa ini orang ramai membicarakan soal keberpihakan sastra, tetapi nyaris tak pernah berupaya mencipta karya sastra. Dengan kata lain, sastra lebih seru jika selalu jadi polemik. Sementara mencipta karya sastra yang berbobot dan memiliki keterlibatan sosial bukanlah suatu yang vital.
Karena itu penting kiranya untuk meluruskan kembali mengenai posisi sastra yang sebenarnya di hadapan masyarakat. Seni (baca: sastra) adalah simbol yang menunjukkan pada konsep tentang manusia dalam hubungannya dengan realitas. Nah karena wilayah sastra berada dalam realitas dan yang ditangkap adalah situasi, ia senantiasa berteriak, mengungkapkan sekaligus mengandaikan pendobrakan terhadap semua struktur yang membelenggu. Baik itu belenggu budaya, ekonomi maupun politik.
Dan sebagai sastrawan merupakan sebuah panggilan untuk terus berteriak dan menciptakan kebebasan. Yakni kebebasan untuk meraih nilai-nilai luhur kemanusiaan. Gahlibnya sastra(wan) mempunyai kodrat sebagai pendobrak.
Widji Thukul sendiri mengatakan bahwa karya puisinya tidak mengkhususkan diri untuk masuk dalam ideologi tertentu. Karya puisinya tidak pula hendak membela rakyat. Yang dia bela sebenarnya dirinya sendiri. Apa yang dia tulis sebenarnya untuk dirinya sendiri;
“Sungguh, saya hanya bicara soal diri sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang rongsokan dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Jadi, saya tidak membela siapapun. Cuma, dengan membela diri sendiri ternyata juga menyuarakan hak-hak orang lain entah dimana,” tegasnya.(Aku Ingin Jadi Peluru, 2004; 216)
Bahkan kalau kita mau menelisik lebih jauh karya-karya Pramoedya Ananta Toer, tak ada satupun karyanya yang memenuhi persyaratan sebagai sastra berideologi marxis yang disebut realialisme sosialis.
Menurut Ajib Rosidi (Horison Tahun XXXXI, 2006; 19) ditemukan fakta bahwa dalam karangan Pram tak ada tokohnya yang menang. Semua tokoh utama karangan-karangan Pram berakhir dengan kegagalan atau kematian. Saaman dalam Keluarga Gerilya, Den Hardo dalam Perburuan, bahkan Minke dalam tertalogi Bumi Manusia dan Wiranggaleng dalam Arus Balik berakhir dengan kekalahan. Padahal menurut paham realisme sosialis, tokoh utama haruslah pejuang yang gigih dan gagah berani merebut kemenangan, berakhir dengan keunggulan.
Memang Pram melalui kolom “Lentera” dalam surat kabar Bintang Timur menguliti sastrawan anti komunis, terutama kalangan Manikebu, karena menganut Humanisme Universal. Sehingga Manikebu akhirnya dilarang pemerintah. Tapi hasilnya bukan semakin merapatkan barisan untuk menciptakan sastra yang berpihak pada kaum proletar. Melainkan justru merusak kondisi kesusastraan itu sendiri.
Pasalnya, meminjam istilah Iwan Simatupang, Sastra yang berideologi berada di tepi jurang ketamatan; terkotak-kotak, saling tuding antar ideology, saling kritik (begatif), saling mempertahankan dokrin masing-masing. Akibatnya karya yang dihasilkan bukanlah karya yang sejatinya bertema tentang perlawanan. Melainkan karya yang dikhususkan untuk menyatakan ‘perang’ terhadap sesama sastrawan yang berada di seberang jalan.
Sebenarnya kalau kita mau serius memperjuangkan sastra, saya sepakat dengan Arif Budiman dalam esainya Sastra yang berpublik, bahwa yang layak untuk dikritik dan digugat adalah sastrawan kita yang teralienasi. Yakni sastrawan yang sebenarnya miskin, tidurnya numpang-numpang pada teman, makan pun kadang ngutang. Tetapi begitu bikin puisi atau cerpen maka yang diciptakan adalah; awan-awan yang mengawang, danau-danau yang indah dengan riak air. Sementara kehidupannya yang miskin tak sekalipun tersentu dalam puisinya.
Merekalah sastra(wan) kosmetik. Yang mencoba memenuhi tuntutan estetis , tuntutan pasar dan tuntutan sastra model barat yang sejatinya tidak sesuai dengan historis dirinya sendiri. Tujuan mereka hanya ingin sukses melalui jalur yang lazim sebagaimana yang disediakan pasar. Seakan-akan mereka hanya menjual kemampuan menulis sastra tanpa mempertimbangkan aspek sosial, aspek kemanusiaan.
Yang lahir biasanya sastra yang berbau lendir dan kelamin. Untuk memenuhi dahaga kelas menengah. Sebagai bacaan refresing atau penghantar tidur. Memang di satu sisi sangat logis, karena merekalah yang mempunyai daya beli. Yang mampu membawa pengarang sastra ke puncak kesusesannya.
Berbeda sekali dengan sastrawan yang tetap berjalan di garis kerakyatan. Yang mengarahkan karyanya untuk mendobrak ketertindasan kelas bawah. Mereka akan tetap miskin. Sebab garapan mereka, sebagus apapun, jika dikirimkan pada media cetak atau penerbit punya kecenderungan besar untuk ditolak. “Benar memang, masyarakat miskin itu banyak, tapi tak punya daya beli yang menguntungkan produksi,’’ begitu kira-kira komentar penerbit atau redaktur Koran.
Tetapi di sisi yang lain, hal tersebut bertentangan dengan makna sejati dari sastra itu sendiri. Bahwa sastra yang memiliki nilai estetik tak melulu lahir dari imajinasi nakal. Melainkan juga perlu ditopang dengan realitas sosial di sekitarnya. Sebab sastra yang tak mengindahkan realitas sosial sama halnya dengan menyuguhkan wanita cantik tanpa alat kelamin.***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Editor Tabloid Fokus Pamekasan. Ketua FORDEM (Forum Demokrasi) Pamekasan, Madura.Alumnus Universitas Jember. Artikelnya tersebar di banyak media lokal maupun Nasional. Diantaranya; ; JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SURYA, KOMPAS edisi Jatim, BANJARMASIN POST, BATAM POST, KALTENG POS, RIAU POS, RADAR JEMBER, RADAR MADURA, JEMBER NEWS, dll.

Alamat : Perumnas Tlanakan Indah D-23 Pamekasan-Madura 69371
No telp : 08563032033
Email : stapers2002@yahoo.com atau

Tidak ada komentar: