WAKTU

JEDA

Minggu, 02 Maret 2008

Nasib Penulis (Muda) Indonesia (Dimuat di Harian SURYA, 1 Maret 2008)

Nasib Penulis (Muda) Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah

Jangan sekali-kali berpikir dapat kaya dengan menjadi penulis di Indonesia. Terlebih bagi para penulis pemula. Sebab menulis di Indonesia belum bisa diandalkan sebagai penghasilan utama.

Taruhlah anda kini telah menyelesaikan sebuah naskah, entah fiksi maupun non fiksi. Kalau anda ‘beruntung’ menemukan penerbit, maka paling banyak buku anda akan dicetak 3000 eksemplar. Dari situ, anda akan memperoleh honorarium 15 persen dari hasil bersih penjualan buku tersebut. Tentu saja setelah dipotong pajak. Honorarium itu tidak bisa diambil sekaligus, melainkan dibayar tiap tiga atau enam bulan sekali. Tergantung banyaknya buku yang terjual. Dalam keadaan biasa hasil penjualan buku tersebut akan menghasilkan uang kurang lebih 200 sampai 300 ribu saja. Dengan uang sebesar itu, dalam kondisi ekonomi yang serba sulit sekarang ini, jelas tidak cukup untuk membiayai istri dan seorang anak.

Belum lagi ketika memperoleh penerbit yang tidak jujur. Yang enggan membayar karya kita dengan berbagai alasan. Biasanya itu dikarenakan buku belum banyak yang laku. Keadaan akan semakin rumit—terutama oleh penulis pemula—manakala berhadapan dengan penerbit yang cenderung “pilih kasih”. Artinya dengan pertimbangan untung rugi, penerbit akan selalu mengutamakan karya dari penulis terkenal daripada karya penulis pemula. Akibatnya karya yang dikirimkan ke penerbit semakin tidak jelas akan diterbitkan atau tidak.
Sehingga jarang sekali ditemukan karya-karya kreatif anak negeri. Kebanyakan karya-karya penulis terkenal yang hanya berupa kumpulan tulisan yang pernah diterbitkan di majalah dan surat kabar. Paling banter hasil penulisan ulang sebuah skripsi atau desertasi. Sebab hasil ekonomis dari menulis tidak ada arti sama sekali.

Berbeda dengan di Negara-negara maju. Profesi penulis sangat dihargai. Buktinya setiap karya tulis yang dihasilkan akan dibayar mahal. Sebuah novel karya penulis pemula, dapat dicetak puluhan ribu, hingga ratusan ribu eksemplar. Apalagi kalau menjadi buku laris. Bahkan seorang penulis kolom pun dapat mengandalkan hidup keluarganya dari profesinya itu. Dengan kondisi demikian penulis, dapat dipacu kreativitasnya agar mampu menghasilkan karya tulis yang benar-benar baru, menarik dan berarti bagi pembacanya.

Makanya jangan heran jika dalam sebuah polling di Amerika mengenai profesi apa yang paling diminati masyarakat; profesi menulis berada diurutan kedua, setelah profesi dokter. Sedangkan profesi yang paling tidak diminati adalah menjadi pegawai negeri dan tentara.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah profesi menulis di sebuah negeri bisa begitu dihargai terkait erat dengan kegemaran membaca di masyarakatnya. Di negera maju kegemaran membaca telah menjadi tradisi panjang. Kegemaran membaca sudah dimulai sejak kanak-kanak. Dan hampir semua kalangan gemar membaca. Sehingga semua waktu luang di Negara maju dihabiskan dengan membaca. Bahkan ketika buang hajat di toilet, mereka tidak lepas dari bahan bacaan.

Karena masyarakat telah terbiasa memperoleh informasi melalui bacaan, maka keragaman jenis bacaan juga berkembang. Ada buku fiksi dan non fiksi., keduanya mempunyai penggemarnya sendiri-sendiri. Sehingga peluang untuk sukses dengan berprofesi menjadi penulis sangat besar.

Berbeda dengan Indonesia. Kebudayaan membaca hanya berkembang pada segelintir golongan yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan; yakni kaum intelektual, pelajar, mahasiswa dan sarjana. Sedangkan mayoritas masyarakat masih berkubang dalam budaya lisan. Kondisi semacam ini masih diperparah dengan prilaku kebanyakan pelajar, mahasiswa dan sarjana yang malas membaca. Mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan hura-hura ketimbang membaca buku. Sehingga semakin sedikitlah orang-orang di negeri ini yang gemar membaca. Makanya, tak heran jika pekerjaan yang paling diminati di negeri ini adalah Pegawai Negeri dan Tentara. Karena kedua pekerjaan itu minim sekali berhubungan dengan bacaan.

Padahal betapa besar manfaatnya jika kita bisa menulis. Baik secara pribadi maupun secara nasional. Hairston dalam Nursisto (2000) mendiskripsikan manfaat menulis untuk diri sendiri, di antaranya sebagai sarana menemukan jati diri, dapat memunculkan ide baru, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Sedangkan dalam sekala nasional menulis adalah tugas idealisme bangsa. Sebuah bangsa tanpa idealisme adalah bangsa yang mekanis dan hedonis. Dan jika kondisi itu dibiarkan maka—mengutip Pramoedya Ananta Toer—negeri ini akan digilas oleh sejarahnya sendiri.***

**Tentang PENULIS
Edy Firmansyah Adalah Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK).

Tidak ada komentar: