WAKTU

JEDA

Rabu, 20 Mei 2009

Titik Nadir Budaya Baca Kita

Dimuat Di RADAR SURABAYA, 18 Mei 2009

(Refleksi Hari Buku Nasional 17 Mei )
Titik Nadir Budaya Baca Kita
Oleh: Edy Firmansyah

Tiap kali memperingati hari buku Nasional yang jatuh setiap tanggal 17 Mei, perbincangan publik yang kerap mengemuka adalah mengenai rendahnya minat baca masyarakat Indonesia . Pemerintah boleh saja gembar-gembor soal angka buta aksara yang terus menurun drastis, tapi soal membaca, kita memang harus mengelus dada.

Apa pasal? Masyarakat kita belum membaca secara benar, yakni membaca untuk memberi makna dalam dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan (Ajidarma; 2005;133).

Bahkan Taufik Ismail sang penyair yang dokter hewan itu menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat kita justru tak pernah menamatkan satu judul buku-pun. Makanya jangan heran jika berdasarkan data Unesco , Indonesia hanya mampu menerbitkan buku sebanyak 0,000009 persen dari total penduduknya. Dengan kata lain, 9 judul buku baru untuk setiap sejuta penduduknya. Hal ini sangat jauh bila dibandingkan dengan rata-rata 55 ( lima puluh lima ) judul buku baru persejuta penduduk bagi Negara berkembang.

Padahal kalau kita mau menilik sejarah awal kebangkitan bangsa ini, minat baca masyarakat kita ternyata tidak separah yang kita bayangkan sekarang. Pada awal kebangkitan nasional minat baca masyarakat juga tak kalah menakjubkan. Douwes Dekker mencatat setidaknya ada 34 majalah terbitan bangsa Indonesia. Dan pada tahun 1923, ketika diadakan survei terhadap ”pers pribumi Hindia Belanda” ternyata jumlah majalah meningkat jadi 107 macam! Bisa dibayangkan betapa tinggi minat baca dan hasrat menulis bangsa kita waktu itu.

Karenanya tak berlebihan jika Eka Budianta, salah satu budayawan negeri ini menyatakan bahwa sejatinya bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar lewat tulisan. Negeri ini ada dan eksis hingga kini hanya karena secarik kertas proklamasi. Pluralisme bisa tumbuh dan berkembang berkat tiga baris sumpah pemuda; penyelenggaraan negaranya bertumpu pada UUD 1945. Bisa dibayangkan jika semua itu tidak diejawantahkan dalam bentuk tulisan. Mungkin Indonesia kita ini hanya tinggal cerita dongeng belaka.

Nah, yang jadi pertanyaan mengapa budaya membaca kita saat ini merosot drastis bahkan sedang mencapai titik nadir? Ini karena sikap pemerintah yang seringkali paradoks dalam upaya meningkatkan literasi masyarakat. Benar memang pemerintah gencar melakukan program pemberantasan buta aksara. pemerintah juga kerap memasang slogan-slogan di berbagai pusat keramaian dan sudut kota untuk menumbuhkan minat baca seperti: Budayakan membaca buku, Buku adalah jendela dunia, Biasakan memberi hadiah buku, dan lain sebagainya. Tapi dorongan untuk menumbuhkan minat baca tersebut seringkali kontradiktif.

Mau bukti? Sekitar tahun 1988, tiga pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi. Alasannya sederhana. Mereka memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka kemudian dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun pada usia mereka yang belum genap 30 tahun (1000 Tahun Nusantara, Editor: J.B. Kristanto, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2000; 545–546). Tak hanya itu. Bahkan hingga kini pelarangan terhadap buku karya Pramodya Ananta Toer oleh Jaksa Agung belum juga dicabut.

Padahal Tertalogi Pulau buru (Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) adalah bacaan sejarah wajib bagi pelajar di manca negara untuk mengetahui kehidupan nusantara di era kolonial. Ironisnya, di negerinya sendiri buku berharga itu justru dilarang..

Parahnya lagi, pemerintah juga memangkas anggaran untuk perpustakaan sebagai dampak dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen. Akibatnya, bantuan rintisan dan penguatan taman bacaan masyarakat sebesar sektiar Rp. 41 miliar di 33 proponsi dengan target awal sekitar 2.250 lembaga terancam batal. Sedangkan pengadaan sebanyak 143 taman bacaan masyarakat layanan khusus bersifat mobile tidak jadi dilaksanakan lantaran anggarannya yang sebesar Rp 46 miliar terpangkas seluruhnya. (Kompas, 21/0408).

Padahal perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki perpustakaan yang lengkap dan megah hingga ke pelosok desa. Karena mereka tahu inti peradaban adalah buku. Dan rumah dari buku-buku adalah perpustakaan.

Sejarah telah membuktikan betapa perpustakaan mampu melahirkan orang-orang besar. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Gusdur, tak akan mungkin memiliki pemikiran brilian yang mampu memberikan perspektif baru dalam kemajuan bangsa jika tidak ditunjang oleh buku-buku. Bahkan Eka Budianta , salah seorang budayawan Indonesia, dari kecil sudah biasa nangkring di perpustakaan umum Kota Madya Malang, meskipun harus bersepeda 5 kilometer.

Tapi yang terjadi di negeri ini justru kebalikan dari semua itu. Bukan rahasia umum kalau perpustakaan umum dan daerah yang sudah ada justru tak terurus dan terkesan diterlantarkan. Koleksi bukunya sudah usang, tempat penyimpanan tidak representatif dan nyaris tidak ditemukan buku-buku baru. Toh, meskipun ada buku baru, biasanya buku dengan sampul dan isinya masih mulus (karena tak tersentuh) tapi terbitan lama. Pengunjung setianya pun bisa dihitung dengan jari.

Akibatnya bisa ditebak. Dengan buku-buku yang amat terbatas dan pembaca yang amat terbatas pula kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Hal-hal yang bisa dipelajari atau diketahui dengan cepat lewat pembacaan buku-buku yang lengkap, terpaksa dihubung-hubungkan sendiri dengan pengorbanan energi dan waktu yang tidak sebanding hanya karena kemiskinan buku.(Wahib, 2003;311). Dan jika kondisi semacam ini terus dibiarkan, upaya negeri ini untuk membangkitkan budaya membaca yang kemudian meningkat menjadi budaya menulis sebagai sebuah kekayaan bangsa akan sia-sia belaka.



TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Direktur Eksekutif People Education Care Institute (PECI) Surabaya.

Tidak ada komentar: