WAKTU

JEDA

Senin, 18 Januari 2010

GANJIL

Buku tak hanya jendela dunia. Dimana setiap kali kita mengintipnya selalu ada pengetahuan, ide, moralitas, dan sejarah disana. Buku juga bisa jadi petaka. Tulislah celoteh, catatan, perasaan, atau dongeng tentang keberpihakan pada yang disingkirkan dan ditindas, maka yang menjelma adalah kegemparan.

Meskipun sebenarnya kegemparan tak pernah lahir dari tulisan. Sebuah kegemparan lahir karena ketidaksiapan menerima sesuatu yang lain. Kegemparan lahir akibat dari keterlenaan pada status quo yang sejatinya rapuh. Ya, rapuh. Karena dunia lahir dan berdiri kokoh dari ketidaksempurnaan. Bumi yang subur adalah bumi hasil akumulasi ribuan jenis tanah aneka warna dan aneka unsur hara. Dan Tulisan hanyalah ‘perlawanan’ terhadap kemapanan makna. Tulisan adalah subversi terhadap keseragaman yang pasi.

Namun bagi republik yang pandir dan pendek berpikir, sebuah tulisan yang subversif kerap dianggap hantu yang menyeramkan. Seram karena tak seragam. Dan ketidakseragaman kerap dituding sebagai jalan lempang kekacauan. Itulah mengapa selalu saja ada buku yang haram dibaca. Itulah mengapa selalu saja ada buku yang dilarang negara. Alasannya sederhana. Agar tidak mengganggu ketertiban umum.

Dan hari-hari ini, dimana kebebasan berpendapat dan berpikir jadi panji-panji tegaknya demokrasi, pelarangan buku masih saja terjadi. Beberapa waktu lalu, menjelang pergantian tahun, Kejaksaan Agung (Kejagung) melarang peredaran 5 buah buku. Buku-buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Kelima buku itu adalah: (1) Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rossa. (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman. (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Namun pelarangan sering menciptakan arus balik. Undang-undang dibuat untuk dilanggar kata sebuah anekdot. Sedangkan pelarangan dilakukan sebenarnya untuk dihalalkan. Ada fetishisme disitu. Karena suka atau tidak suka buku juga bagian dari komoditi kapitalisme. Buku-buku yang diharamkan memang tak lagi beredar di pasaran. Ditarik paksa penguasa. Tapi ia diburu. Dicetak ulang diam-diam. Dibaca di ruang sembunyi. Kemudian dikoleksi dan disimpan di rak buku. Toh pada masa yang akan datang kebanyakan orang akan lupa tentang buku yang dibelenggu penguasa.

Ya, membebaskan diri dari lupa memang perjuangan terberat manusia, pekik Milan Kundera. Sebab dalam sebuah lupa kadang tersimpan cerita orang yang suka menyerang hak-hak orang lain, menjarah harta benda mereka, membuat nilai-nilai tertinggi tampak sebagai kejahatan, dan gemar menebarkan keharuman bagi perangai buruknya sendiri. Sebagian dari kita boleh saja acuh. Namun ada satu hal yang tak bisa dipalsukan atau dikhinati, yakni; ketetapan sejarah yang dipilin dalam tulisan.

Dalam posisi ini sejarah bukan hanya milik mereka yang memenangkan kekuasaan. Sejarah juga milik semua yang berpikir. Sejarah adalah milik mereka yang berani menentukan pilihan berbeda. Dan buku adalah ruang terbuka yang anti kesatuwarnaan. Buku-buku lahir, dibaca hingga mampu membius laku lampah pengarang dan pembacanya karena dibangun dengan multiwarna. Juga multirasa. Dicampur setetes dua keringat, darah dan air mata.

Karenanya buku tak pernah genap. Ia selalu ganjil. Dan keganjilan adalah pintu gerbang harapan. Ia terbuka untuk diteliti. Terbuka untuk dikritik. Terbuka untuk diserang balik. Buku dilawan buku. Kata-kata berhadapan dengan kata-kata. Bertarung di panggung yang sama. Sementara pelarangan tak pernah membuahkan keseragaman. Sebaliknya, pelarangan semakin menyempurnakan keganjilan.

Dan buku yang ganjil selalu berpihak. Berpihak pada yang papa. berpihak pada yang tertindas. Berani berpihak pada sejarah pinggiran, yang nyaris dilupakan atau sengaja dimusnahkan. Buku macam ini semakin riuh menggelar koor di keramaian atau di kuil-kuil sunyi selama ketimpangan semakin dimapankan. Disparitas-disparitas di berbagai fenomena kehidupan yang menyeruak dijalan-jalan adalah obor bagi buku-buku dengan semangat keganjilan.

Lewat keganjilan kita belajar banyak hal. Belajar untuk menerima perbedaan. Belajar untuk tak takluk pada represifitas zaman. Belajar untuk mengembangkan kreatifitas. Belajar untuk bertahan hidup. Dan keganjilan juga mengajari kita untuk selalu berpeluk pada optimisme kehendak. Dengan demikian harapan untuk berdiri di atas kaki sendiri, harapan untuk lepas dari perbudakan modern masih terbuka lebar.

Sebaliknya tunduk pada keseragaman berarti menyerah sebelum perang. Lewat keseragaman zaman memang akan berjalan dengan stabilitas sempurna. Dan keseragaman berarti merampas kehendak untuk merdeka. Dalam keseragaman kita tak lebih seperti bidak-bidak yang digerakkan tangan-tangan tak kelihatan. Dipaksa melaju dengan kecepatan ekonomi tingkat tinggi. Tapi alpa untuk peduli pada ketimpangan-ketimpangan yang diciptakannya sendiri. Kita menjelma—meminjam Herbert Marcuse—manusia satu dimensi yang bergerak mirip mesin-mesin produksi.

Dalam kondisi semacam itulah keganjilan penting untuk terus dilahirkan. Bukankah yang ganjil selalu abadi? Bukankah yang ganjil selalu jadi harapan pembebasan? Bukankah yang ganjil selalu memiliki banyak cara mendobrak kebekuan? Dan buku adalah keganjilan itu. Dan Ia abadi.

Tidak ada komentar: