WAKTU

JEDA

Jumat, 12 Februari 2010

Valentine Datang Lagi

Valentine datang lagi. Dan notisi-notisi cinta bertebaran di mall-mall dan plasa-plasa dengan sampul merah muda. Ia dilacurkan dan menunggu dibeli para remaja yang abai kesejatian cinta. Remaja-remaja yang hanya percaya pada ketelenjangan, ciuman nafsu dan pentil susu perempuan-perempuan remaja korban iklan.

Valentine datang lagi. Dan cinta yang dulu digadaikan atau dijual murah di ranjang-ranjang pergundikan tiba-tiba disucikan. Cinta yang kelabu, cinta remaja yang penuh birahi tiba-tiba disulap merah jambu. Sampulnya, heroisme St. Valentine yang gigih menentang raja Claudius yang haus darah dan kuasa. Bagi Claudius harta dan tahta adalah segalanya. Untuk mewujudkan itu ia butuh militer yang kuat. Maka ia melarang remaja-remaja menikah untuk mau bergabung menjadi prajurit perang yang bengis. St. Valentine menetang. Ia lebih memilih menikahkan pasangan muda dengan sembunyi-sembunyi dalam sebuah kapel yang diterangi pendar lilin.

Valentine datang lagi. Dan sebuah kisah perkawinan suci dewa zeus dan dewi Hera meliuk-liuk di kepala. Sebuah hari yang diyakini sebagai hari kesuburan. Dan terbayang orang-orang roma kuno khusyuk di hari Lupercalia. Menyembelih kurban. Kemudian minum anggur ramai-ramai dan berlarian di jalan-jalan sembari membawa potongan korban. Terdengar teriakan dan tertawa lirih para perempuan yang berebut menyentuh potongan kurban itu. Untuk menegakkan mitos tentang kesuburan.

Valentine datang lagi. Dan masih saja aku baca cerita rasis soal valentine. Sebuah perayaan murtad bagi mereka yang bukan umat Yesus. Sembari mencuplik ayat suci mereka ‘bernyanyi’; soal kekafiran. Soal perbuatan haram. Soal neraka jahanam. Soal remaja-remaja yang dirajam. Oh, agama, mengapa kau bisanya menakut-nakuti umatmu saja? Oh Valentine, kau datang lagi. Masih dengan semangat purba; cinta yang dijual. Cinta yang dikomersilkan.

Valentine datang lagi. Dan ia bukan soal cinta-cintaan melulu. Ia juga bukan Nafsu birahi yang ditancapkan di kelaminmu. Valentine barangkali adalah kejujuran. Kejujuran untuk mengakui bahwa manusia bukanlah makhluk sempurna. Ia lahir dari lendir yang asin. Campuran kebajikan dan dosa yang dipilin dalam desah yang sublim. Valentine barangkali sebuah perlawanan. Perlawanan melawan lupa. Melawan setiap penindasan dengan cinta. Cinta pada kejamakan. Bukan cinta pada kejumudan.
Melawan lupa adalah perjuangan tersulit manusia. Karena itu ada baiknya aku mendedahkan kisah cintaku tiap valentine tiba. Agar tak lupa. Agar tak pandir sebagai manusia.

Tiap Valentine tiba, Aku selalu Ingat Yunita Nur Diana. Ia kucinta sejak masih usia belia; 8 tahun. Kawan SD. Sekelas pula. Cinta monyet. Barangkali iya. Bukankah manusia adalah monyet juga nenek moyangnya. Tapi tak pernah berani kukatakan cinta padanya. Pernah sekali dua mencobanya. Tapi jujur tak pernah bisa sampai di kerongkongan. Yang bisa kulakukan hanya mondar-mandir aja di depan rumahnya tiap pulang sekolah. Itupun sudah cukup mengobati rindu kala itu. Ah, barangkali cinta hanya sekedar perjalanan saja. Seperti pendulum; ia mondar mandir hingga akhirnya ketika daya dorongnya kembali ke titik nol ia diam. cinta punya keterbatasan, kawan.

Tiap Valentine tiba, aku selalu ingat Verania Enri Elria. Usiaku remaja kala itu; 16 tahun. Teman SMA. Sekelas pula. Menyukainya seperti mengulang sejarah; barangkali cintaku hanya berakhir di teman sekelas saja. Tapi menyukainya seakan memberi pengalaman baru soal cinta. Jika pertama aku hanya menyukai perempuan di hati saja, tanpa pernah berani berkata-kata, dengannya aku bisa berbagi cerita. Tapi maaf, hanya beraninya lewat telepon saja. Nyaris saban hari aku telepon dia. Bicara macam-macam (umumnya dipaksakan) soal pelajaran, soal tugas, soal kawan, soal kegemaran. Tapi tak pernah berani ngomong suka. Tapi menyukainya aku jadi belajar bahwa ketakutan kerap melahirkan kebohongan. Dengannya aku tak pernah berani ngomong suka. Tapi aku pernah berbohong dengan sok jadi ‘penyair’. Pernah kutulisi halaman buku matematikanya yang aku pinjam dengan bait lagu katon bagaskara. Ia sempat ‘kagum’ dipikir aku bisa nulis puisi. Padahal plagiat. Mungkin sebal, mungkin juga iseng, salah satu halaman belakang buku tulisku ia tulis juga dengan bait lagu (entah aku lupa judulnya). IMPAS. Dalam bercinta mungkin perlu juga kebohongan?

Kata orang cinta itu mahal. Bukankah menelpon perlu biaya. Tapi ternyata pengalamanku mengenal cinta itu murah kok. Pasalnya, telepon umum dekat rumahku sedang rusak kala itu. Cukup aku masukin koin Rp. 500,- aku sudah menelpon berjam-jam lamanya. Ah, barangkali cinta memang seharga Rp. 500 perak saja. Memang akhirnya aku memang tak pernah pacaran dengannya. Maklum masih pecinta kelas teri.

Tiap Valentine tiba, aku selalu Ingat Veni Adri Santi. Ia kucinta ketika usiaku 17 tahun. Umur kami terpaut jauh. Aku kelas II SMA. Sementara ia masih SMP kelas II. Tapi dengannya aku mulai berani menyatakan cinta. tapi masih tak berani langsung berhadapan muka. Aku menulis surat cinta padanya. Itulah awal aku belajar tulis-menulis soal cinta. Tiap kali aku membaca surat-surat cinta baik yang kutulis maupun yang ia balas (yang aku simpan rapi di kamarku) aku sering cekikikan sendiri. Ternyata cinta kadang konyol kadang juga cengeng. meski mencoba untuk romantis, tapi tetap cengeng. Sayang, hubunganku dengannya kala itu hanya bertahan enam bulan.

Putus dengannya aku nangis di kamar. Luka cinta memang memedihkan. Tapi cerita cinta memang tak pernah usai bukan? Seseorang bisa dikatakan pecinta sejati ketika cintanya diuji. Cinta yang tak pernah diuji adalah cinta yang rapuh.

Tiap Valentine tiba, aku selalu ingat Diana Trisnasari. Ia kupacari setelah dua bulan jomblo. Statusnya sama. Ia kupacari ketika masih kelas II SMP. Barangkali cinta awalnya kebiasaan, setelah itu kerinduan. Ia anak tetangga sebelah. Dengannya aku bisa bertahan tiga tahun. Dengannya aku bisa menulis puluhan surat cinta dalam seminggu. Sebuah rekor dalam hidupku. Aku bisa berbusa-busa menulis surat cinta padanya. Meski jarang berbalas, tapi aku suka sekali. Tiap kali menulis aku seperti orang yang paling romantis. Kita putus setelah aku kuliah. Salah satu lawan dari kerinduan adalah jarak. Semakin jauh jarak yang ditempuh cinta, semakin sulit dipertahankan daya hipnotisnya.

Tapi Valentine kali ini aku tak ingat siapa-siapa lagi. Yang kuingat hanya istriku saja. Nurfa Rosanti. Bersamanya cintaku tumbuh sempurna. Berdua kita belajar menderita. Berdua kita belajar bahagia. Meski tiap pelajaran mengandung alpa, kita selalu mencoba menebusnya. Sejak menikah aku memang tak lagi menulis surat cinta padanya. Tapi aku yakin ia percaya, setiap kesetiaanku adalah kredo bagi cinta kita. I Love You, Sha!

2 komentar:

frizzyrock mengatakan...

Salam mesra dari negeri bunga rawa belong.
Florist Jakarta

edyfirmansyah mengatakan...

Makasih. Salam mesra juga buat anda!!!