WAKTU

JEDA

Sabtu, 05 Januari 2013

Love in Die


Love in Die


Malam Tahun baru 2013 masih penuh warna duka bagi keluarga Kurnianto. Belum kering airmata salah satu pegawai kantor berita radio 68H (KBR68H) itu saat mengenang kematian tragis yang menimpa Ayu Tria Desianti, anak sulungnya. Sore itu, Rabu, 26 Desember 2012, Kurnianto bergegas membawa anaknya ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Sebab kondisi Ayu tiba-tiba drop. Pembuluh darah bocah berusia 9 tahun penderita leukemia itu pecah. Ia harus mendapat pertolongan cepat. Tapi naas bagi Ayu. Hari itu Ruang ICU RS Harapan Kita yang biasa digunakan untuk cuci darah dan kemoterapi sedang digunakan syuting sinetron Love in Paris. Kru sinetron lalu lalang di ruang yang mestinya steril itu. Pelayanan terhadap pasien terganggu. Ayu makin kritis.

Pada Kamis 27 Desember 2012 dini hari, Ayu mengalami koma. Jantungnya berhenti. Pihak rumah sakit berusaha memompa jantungnya. Sementara syuting sinetron masih berlangsung di RS itu. Tapi terlambat. Ayu meregang nyawa. Bocah manis yang menderita kanker darah sejak usia 2 tahun itu dinyatakan meninggal pada pukul 02.30.

Berita kematian itu menyebar ke jejaring sosial. Orang-orang teriak. Orang-orang mengutuk. Orang-orang menghujat sambil bertanya-tanya dengan rasa geram di dada. Bagaimana sebuah ruang ICU di rumah sakit yang mestinya steril bisa menjadi lokasi syuting? Begitu ‘hebatkah” sinetron Indonesia hingga harus menggunakan lokasi beneran, tidak menggunakan lokasi buatan tanpa harus mengorbankan penanganan pasien yang sedang kritis?

Femmy Sagita, Sutradara sinetron Love in Paris, angkat bicara soal itu. ”Pas kemarin malam menunggu barang, kita bukan di ruang ICCU. Tapi ruang biasa yang kami sewa. Dokter kepala menyampaikan memberi izin syuting di ICCU real set. Kita juga tanya, emangnya boleh? Katanya enggak apa-apa, aman syuting di sini, tidak ada pasien. Akhirnya peralatan dari luar kita cancel," jelasnya pada berita online okezone.com.

Namun Kepala Instalasi Humas RS Harapan Kita, Sahrida, saat menggelar jumpa pers di kantornya, membantah jika lokasi syuting yang digunakan adalah ruang ICU. Menurutnya, ruangan yang dipakai untuk lokasi syuting adalah ruang penyimpanan alat. Di ruangan itu, disimpan alat-alat kesehatan yang bisa dipakai kalau dibutuhkan untuk darurat. Tapi letaknya berada di satu lantai dengan ruang ICU. ”Jadi sama-sama di lantai dua letaknya," tegasnya.

Terlepas dari perdebatan sutradara Love in Paris dan Rumah Sakit Harapan Kita, kematian Ayu Tria adalah salah satu bukti dari banyak kasus serupa mengenai tumpulnya sistem kesehatan di negeri ini. Ya. Sistem Kesehatan yang berorientasi pasar terbukti gagal dalam upaya mensejahterakan umat manusia. Sebab dalam sistem pasar, yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Akibatnya pasien hanyalah menjadi korban dari kerakusan. Ini bisa dilihat dari mahalnya biaya kesehatan. Maraknya kasus malapraktik yang menimpa pasien adalah contoh lainnya. Termasuk juga rumah sakit jadi lokasi syuting demi menangkup uang dan pencitraan. Ironisnya, dokter dan civitas kesehatan lainnya masih dianggap sebagai “dewa penolong” tanpa cela, tanpa kepentingan politik ekonomi dalam isi kepalanya.

Tentu kita merindukan sebuah rumah sakit seperti Gesundheit! Institute. Sebuah klinik pengobatan gratis di West Virginia yang didirikan oleh Patch Adam. Patch Adams mengembangkan sebuah rumah sakit yang menggunakan tawa sebagai obat, cinta sebagai mata uangnya dan kepercayaan serta dukungan sebagai fondasi pembangunannya. Sebab dalam praktek kedokteran yang ideal, menyembuhkan merupakan interaksi antarmanusia yang penuh kasih sayang, bukan transaksi bisnis. Kaum profesional di bidang kesehatan harus ’berani’ mengulurkan tangan pada pasien yang menunjukkan rasa sakit dan kerapuhan mereka. Demi kesehatan pasien; dokter dan seluruh staf kesehatan lainnya harus berusaha keras membangun persahabatan dengan pasien secara mendalam. Sebab persahabatan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit

Karena konsep dasar pelayanan kesehatan di Gesundheit! Institute adalah cinta dan persahabatan, maka biaya haruslah dihindarkan. Artinya, melayani adalah tugas kemanusiaan. Dan tugas mulia itu tidak butuh bayaran. Biaya yang tidak terkendali dalam bidang kedokteran mendorong keserakahan. Dan keserakahan adalah musuh utama persahabatan. Dalam perhabatan yang lahir dan dibangun adalah berbagi dalam segala hal baik susah dan senang. Itulah sebabnya rumah sakit Patch Adams mirip sebuah sirkus. Dokter dan staf kesehatannya berpakaian badut. Mereka melucu. Pasien tertawa. Sebab humor adalah obat mujarab dari segala penyakit. Humor sebagai pemberi kesehatan telah ada sepanjang sejarah kedokteran. Mulai Hiprokrates sampai Sir William Osler. Buku mainstream kedokteran tak menyangkal itu.

Tapi rumah sakit di negeri ini bukan Gesundheit! Institute. Tak ada humor di rumah sakit negeri ini. Yang ada ironi dalam tajam jarum suntik, lentik jemari suster dan isak tangis yang santer. Rumah sakit negeri ini adalah abang punya uang, abang akan dapat pelayanan standar kesehatan maksimal. Tapi jika tak punya uang, dengan seribu satu rintihanpun abang tetap akan ditendang. Miris. Ya. Tapi begitulah faktanya. Di kolong langit manapun semua sistem kesehatan yang berorientasi pasar selalu penuh tumbal manusia dan kemanusiaan.

Dan Ayu Tria adalah salah satu dari banyak tumbal sistem kapitalisme kesehatan. Bocah manis yang terus memperjuangkan hidupnya dari gempuran leukemia itu akhirnya kalah. Ia meninggal diantara hiruk pikuk syuting sinetron Love in Paris yang dilakukan di rumah sakit tempat ia biasa berobat. Bukan pembunuhan langsung sebenarnya. Tapi melakukan syuting di ruang ICU tempat di mana pasien-pasien kritis tengah bersabung nyawa adalah tindakan fatal. Kematian Ayu bukanlan sinetron. Dan   Love in Paris kini menjelma Love in Die.

Suara terompet tahun baru masih membahana dalam kepala kita. Warna-warni kembang api berlesatan ke udara. Mewarnai langit kelam berselimut mendung pada malam pergantian tahun yang dingin. Tahun baru 2013 tiba. Dan masih akan terdengar lenguh kesakitan dan isak duka bagi kaum papa. Saat angka-angka disusun kembali di kalender, orang miskin terus menjerit atas segala ketidakadilan yang melindasnya. Dihadapan sistem kesehatan berbasis pasar orang miskin tetap dilarang sakit. Dan hujatan demi hujatan atas segala ketidakadilan tak berperikemanusiaan di jejaring sosial twitter tinggallah sebuah hujatan selama tak ada perlawanan. Kejadian serupa dalam bentuknya yang lain akan terus berulang. Meminjam Widji Thukul dalam sajak “mendongkel orang-orang pintar;” begitu kering rasa jengkel, begitu sign out dari akun twitter, dunia tak bergerak. Kebengisan kapitalisme terus menampar-nampar di depan kita. Bahkan di wajah kita sendiri. Selamat tahun baru 2013.

2 komentar:

Alvina A. Amir mengatakan...

tragis.. miris bacanya.. ikut prihatin. semoga Ayu sudah bahagia dan tidak menderita lg bersamaNya.

edyfirmansyah mengatakan...

Amin. Semoga ya! Makasih ya udah mampir dan komen. Lam kenal!