WAKTU

JEDA

Rabu, 06 Februari 2013

Pram, Ibu dan Generasi Martir

Pram, Ibu dan Generasi Martir

”Jangan pernah meminta-minta. Belajar mandiri dan pakai kekuatan sendiri. Nanti kau belajar di Eropa sampai dapat gelar doktor.” Ujar Oemi Saidah suatu kali pada anak sulungnya yang berusia lima tahun. Kala itu 1930. Kehidupan Oemi Saidah dan keluarganya, sebagaimana kebanyakan kehidupan masyarakat Indonesia, begitu miskin. Dihisap kolonialisme Belanda yang rakus.

Seperti ajimat, kata-kata itu terus terngiang dalam benak bocah itu. Bahkan jadi prinsip hidup. Bocah itu adalah Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Ia memang tak pernah sekolah di eropa sampai doktor seperti pesan Ibunya, bahkan sampai el maut mengambil nyawanya pada pada 30 April 2006 silam. Tapi dari tangan dingin pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini, setidaknya 51 karyanya lahir dan diterjemahkan ke sekitar 41 bahasa dunia. Tak heran jika ia menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang namanya berkali-kali menjadi kandidat nobel sastra dunia semasa hidupnya.

”Karena beliaulah saya jadi begini ini. Karenanya saya menghormati beliau lebih dari hormat saya kepada siapapun juga” kata penulis novel Bumi Manusia itu kala diwawancarai André Vltchek dan Rossie Indira.  

Tak berlebihan jika Pram menyebut Ibunya sebagai orang yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu. Bahkan saking cintanya pada Ibunya, di kemudian hari, sifat dan watak ibunya menjadi ukuran Pram menilai setiap perempuan yang didekatinya.

Oemi Saidah adalah seorang yang lembut. Tapi bisa juga menjadi keras dan tegas terutama dalam prinsip hidup. Di dalam darahnya mengalir darah masyarakat pesisir sekaligus darah priyayi. Kala kemiskinan mendera keluarganya, Saidah juga sanggup menjadi tulang punggung keluarganya seperti berdagang, berternak, dsb. Tak pernah ia menengadahkan tangan meski kemiskinan terus menjepitnya. Dalam keadaan hidupnya yang berat, kecintaan pada anak-anaknya tak berkarat hingga tuberculosis menghentikan nafas istri Mastoer itu. Nyala api cinta dan semangat hidupnya itulah yang terus jadi obor anak-anaknya. Terutama Pram.

Dari Pram kita belajar keberanian membela kemanusiaan dan keteguhan memegang prinsip. Pulau Buru, tempat paling purba yang diciptakan rejim fasis orde baru, dimana Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya dengan darah dan siksa tak sanggup meluluhlantakkan keteguhan prinsipnya. Ia bergeming. Dari penjara, karyanya mengalir terus, meski terus menerus dilarang di negerinya sendiri. Mati hanya sekali, memberikan segala milik diri yang berguna bagi manusia dan negeri sendiri adalah harga mati. Begitu barangkali Pram meneguhkan dirinya sendiri.

Tentu adalah harapan semua Ibu di negeri ini suatu saat anak-anaknya bisa memiliki harga di mata kemanusiaan. Tak gentar membela kebenaran, tak surut ditikam begis belati kekuasaan. Punya prinsip hidup sekeras baja rel kereta. Tak gampang larut dalam buaian uang dan haus kuasa. Terus bergerak maju. Menjadi martir bagi bangsanya. Di tengah negara yang carut marut dan penuh kebusukan ini dibutuhkan banyak pram lahir dari rahim ibu-ibu di negeri ini.

Seorang penulis Amerika yang juga seorang konseling keluarga, Dorothy Law Nolte, pernah menulis sajak bagus yang diperuntukkan pada para orang tua dalam mendidik anak-anaknya berjudul “anak belajar dari kehidupan.” Begini isi sajak yang awalnya dimuat di kolom keluarga surat kabar mingguan The Torrance Herald pada tahun 1954 itu: Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki/Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi/Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri/Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri/Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri/Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri/Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai/Jika anak dibesarkan  dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan/Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya/Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan//

Untuk bisa membesarkan anak seperti yang diamarkan Dorothy Law Nolte, seorang Ibu harus memiliki kesadaran yang matang tentang peran pentingnya bagi peradaban sebuah bangsa, baik dari segi politik, sosial, ekonomi dan budaya. Pertama-tama seorang Ibu harus kenal akar sejarah bangsanya. Untuk itu seorang Ibu haruslah seorang pembaca yang lahap buku-buku dan haruslah seorang yang kritis terhadap segala ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi. Ia haruslah terbuka pikiran dan hatinya atas segala gerak jaman. Sebab dibalik generasi martir selalu ada Ibu berhati lembut tapi bermental baja. Sebagaimana kata pepatah, tak ada apel jatuh jauh dari pohonnya.

Soal itu Gerwani di era 1950an pernah mencoba membukakan jalan. Berbekal materialisme dialektika, dan semangat melawan neo imperialis Amerika, Gerakan wanita Indonesia yang berafiliasi dengan PKI ini secara rutin menggelar pendidikan politik bagi perempuan. Politik sebagai panglima dan turun ke bawah (turba) berbaur dengan masyarakat bawah adalah panjinya. Mereka turun ke desa-desa, menyuplai bacaan buat ibu-ibu rumah tangga. Mengenalkan bacaan yang layak dan tak layak bagi anak. Mengenalkan bahaya neokolonialisme lewat kebudayaan seperti musik ngak ngik ngok yang cengeng dan bacaan cabul yang tak pantas dibaca menjelang tidur. Sekaligus memberikan pendidikan politik perlawanan pada neokolonialisme. Tapi tak berlangsung lama. Arus balik politik tiba-tiba menghantamnya.

1965. Tepatnya 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban. Begitu isi berita yang ditulis Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Dituduh komunis. Dibunuh dan dibui. Ribuan perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan dimiskinkan secara politik.

Yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur. Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Dihadapan kapitalisme yang banal, Ibu hanyalah pelayan suami agar lebih prima jadi sekrup produksi esok hari. Ibu melahirkan anak-anak yang siap jadi mesin giling kapitalisme. Disaat kejenuhan menyerang, mereka ditenggelamkan dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan kesadaran kritis perempuan.

Selama para Ibu di negeri ini tak bergegas keluar dari kubangan itu, sebuah generasi akan hilang. Generasi martir. Generasi yang gandrung akan kemanusiaan dan solid membela yang lemah dan benar. Yang lahir adalah generasi lebay dan alay yang gamang membaca hari depan. Generasi yang doyan uang dan korup. Bukankah tak ada ibu yang tak berlinang airmata jika anak-anak yang lahir dari rahimnya digiring ke penjara karena korupsi. Sebagaimana juga tak ada anak yang tak kecewa jika ibunya justru seorang koruptor. Tentu ini bukan salah Ibu mengandung, ketika anak-anaknya menjadi penjahat berdasi, pengkhianat bangsa yang menjual tanah airnya demi kembung isi kantong sendiri. Tapi salah kita yang terus limbung dihadapan nujum modal yang menghancurkan kemanusiaan. Tanpa berbuat apa-apa.(*)

Tidak ada komentar: