WAKTU

JEDA

Senin, 07 September 2015

MASIH ADAKAH SASTRA INDONESIA?

Oleh: Edy Firmansyah*)

Ditetapkannya penyair gimbal asal Medan, Saut Situmorang sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik karena diskusi di fesbuk terkait dengan terbitnya buku “33 tokoh sastra paling berpengaruh” yang di dalamnya memuat Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra di dalam buku tersebut, membuat saya bertanya; masih adakah sastra Indonesia?

Tentu kalau yang kita bicarakan adalah banyaknya karya-karya sastra yang terbit dan beredar di pasaran buku, kita boleh saja menjawab bahwa sastra Indonesia itu masih ada. Dan saya terlalu berlebihan bertanya soal itu. 

Tapi dalam kemerdekaan menggunakan elemen-elemen bahasa sebagai alat komunikasi sastrawan baik dalam berkarya maupun dalam berdiskusi di ruang publik, pertanyaan saya jadi penting diajukan. Bermula dari kata bajingan, Saut Situmorang kemudian dituntut dengan pasal karet pencemaran nama baik. Awalnya dipanggil kepolisian sebagai saksi. Kemudian statusnya dinaikkan sebagai tersangka. Dan status tersangka itu tidak menutup kemungkinan penyair yang lama tinggal di Jogya itu akan menghadapi hari-hari panjang pengadilan yang bisa menyeretnya meringkuk dalam penjara.

Pelapornya, seorang perempuan yang mengaku juga sastrawan yang juga penyair bernama Fatin Hamama. Merasa tak tahan dengan ledekan dan sindiran, karena terus menerus membela buku Denny JA yang dikritik Saut Situmorang (dan kawan-kawannya) Fatin Hamama, melaporkan Saut Situmorang dan Sutan Iwan Sukri Munaf dengan tuduhkan “pencemaran nama baik.” Pelaporan itu kerena menurut sang karib Denny JA itu, dalam dunia Sastra, bahasa yang dipakai para pengkritik tidak pantas, tidak sopan, tidak tahu aturan dan sebagainya. Karena menurut pandangannya, dunia sastra itu santun, kemayu, unyu-unyu, kayak manten jawa. Kuat dugaan, tindakan pelaporan itu hanyalah upaya mengalihkan isu atas cacat akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang terus dibeberkan para pengkritik Denny JA. Belakangan, Iwan Sukri Munaf akhirnya harus tunduk pada kemauan Fatin Hamama. Ia memilih jalan damai. Didampingi pengacaranya, Ia meminta maaf pada Fatin Hamama secara terbuka. Meski ia selamat jadi cengkeraman pasal karet itu, tapi tindakannya mendapat cibiran banyak pihak. Tapi tiap orang punya daya tahannya sendiri dan punya keputusannya sendiri. 

Sementara, Saut Situmorang? Sangat tidak mungkin menekuk penyair yang sudah bicara dengan Tuhan itu. Kalau Fatin Hamama ingin Saut bertindak seperti Iwan Sukri Munaf, saya yakin itu hanya terjadi dalam mimpi indah diantara mimpi-mimpi buruk tidur malamnya. 

Soalnya sederhana, apakah kata bajingan adalah tindakan melanggar hukum dalam dunia sastra? Nyatanya tidak. Sarkasme masih menjadi bagian dalam majas. Ia diajarkan di bangku sekolahan bahkan sejak bangku sekolah kelas menengah pertama. Sebagai bagian dari gaya bahasa, sarkasme diijinkan digunakan siapa saja dan pada siapa saja baik secara verbal maupun tekstual. Alegori juga begitu. Ia juga masih diajarkan di bangku sekolahan sebagai bagian dari majas. Penggunaan kata seperti lonte tua yang tak laku juga tidak muncul begitu saja seperti kengawuran orang mabuk di sudut pasar. Dan Saut Situmorang tentu tidak menggunakannya dengan kengawuran anak sekolah yang baru belajar beladiri. 

Lantas mengapa persoalan macam begini harus berakhir di ranah hukum? Tentu banyak kemungkinannya. Bisa jadi Fatin Hamama memang tidak serius menjadi sastrawan apalagi penyair sehingga soal majas begini saja ia harus kebakaran jilbab dan perlu main polisi. Sangat mungkin pula tindakan pelaporan itu hanyalah upaya mengalihkan isu atas cacat akademik buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang terus dibeberkan para pengkritik Denny JA. Dengan demikian buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" bisa berlenggang kangkung di pasaran buku, dimamah dan dipercaya anak sekolahan sebagai buku ajar sastra Indonesia meski menyesatkan. Atau Fatin Hamama ingin sekali ikut terkenal seperti Denny JA. Dan “menggebuk” Saut Situmorang adalah kunci? Entahlah.

Tapi kalau memang yang terakhir yang dicari Fatin Hamama, kayaknya dia salah pilih jalan. Fatin Hamama gagal menjadi penyair besar, cita-citanya sejak kecil (menurut pengakuannya sih) itu. Dia belum matang secara mental memasuki jagad yang penuh para pendekar. Terbukti, baru diledek bajingan aja sudah main lapor polisi. Susah memang kalok anak rumahan yang mainnya kurang jauh dan pulangnya kurang malam masuk dunia sastra yang di dalamnya bukan hanya pendekar kata-kata, juga pendekar bogem mentah nan digjaya. 

Sebab, kalau mau jujur, dunia sastra nyatanya juga penuh ledekan dan cacian. Perkelahian. Pukulan. bahkan tonjokan. Tapi berkat itu semua seseorang bisa lantas terkenal sedemikian lama dan jadi populer serta berpengaruh di dunia sastra. Bukan hanya tingkat nasional pengaruhnya. Tapi bisa sampai nginternasional. Karena bukan cuma kecerdasannya teruji, mentalnya juga teruji.

Saya ambil contoh satu saja. dari Amerika Latin. Sebenarnya banyak sih, tapi satu saja biar tulisan ini tak panjang-panjang amat. Kalau di Indonesia kita tahu bagaimana HB. Jassin pernah menonjok muka Chairil Anwar karena meledeknya saat main teater. atau Idrus yang meledek Pramoedya Ananta Toer sebagai tukang berak, bukan penulis. Seandainya Chairil melaporkan Jassin ke polisi dan Pram menanggapi Idrus dengan main lapor aparat, kita tak mengenal Chairil dan Pram sebesar sekarang. 

Nah yang di Amerika Latin begini ceritanya. Gabriel García Márquez dan Mario Vargas Llosa sahabat karib. Keduanya sastrawan besar Amerika Latin. Sama-sama peraih nobel sastra. Tak jelas ujung pangkalnya kemana kemudian keduanya bermusuhan hebat. Puncaknya, di sebuah bioskop di Meksiko pada 1976, dalam acara pemutaran perdana film karya René Cardona La Odisea de los Andes, begitu Vargas Llosa bertemu García Márquez, peraih nobel sastra asal Peru itu langsung melayangkan tinjunya ke muka García Márquez. Mata kiri García Márquez bengkak. Dan aneh bin ajaib bagai dalam novel-novel realis magisnya, seorang teman lari ke toko daging dekat situ, mengambil seiris daging, lalu menaruhnya di mata García Márquez yang lebam sebagai kompres! 

Tapi Garcia Marquez tak pernah melaporkan sahabat karib yang sekaligus musuh bebuyutannya itu ke polisi. Dan hingga kini karya keduanya sama-sama dikagumi dan disegani dengan caranya masing-masing. Bahkan tanpa mereka, sastra Amerika Latin, bahkan sastra dunia, takkan menjadi seperti adanya kini. 

Kembali ke soal sastra Indonesia. Oke, nasi sudah jadi bubur. Saut Situmorang sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal pencemaran nama baik. Soalnya adalah apakah kemerdekaan menggunakan majas sebagai gaya bahasa dalam bahasa indonesia yang besar itu sudah tidak ada lagi? Sedemikian suramkah kemerdekaan kita berpendapat dan mengkritik orang menggunakan gaya bahasa yang sah dan diajarkan secara legal di bangku sekolahan hingga harus berakhir di tangan polisi? kalau menyaksikan bagaimana Ahok, Gubernur DKI itu dengan enteng menggunakan seribu satu caci maki dalam merespon banyak persoalan kita sangsi. Tapi sepertinya yang boleh mencaci hanya orang yang punya kuasa. Bukankah sudah tidak terhitung orang yang kena jerat pasal pencemaran nama baik? Dan kini pasal itu coba menekuk seorang penyair. Menekuk karena dia benar. 

Tentu kita tak ingin kehilangan kemerdekaan itu. Kita yang bangga pada sastra dan bahasa Indonesia tak ingin bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dikerdilkan sedemikian rupa hanya karena memilih menggunakan majas sarkasme dan alegori sebagai gaya bahasa. 

Kalau persoalan begini didiamkan begitu saja, barangkali sastra Indonesia telah selesai. Selesai ditekuk kuasa uang. Selesai ditekuk orang-orang kerdil dan punya uang untuk mengobrak abrik jejak sejarahnya demi mendongkrak popularitasnya. Dan kita akan terus menjadi bangsa yang seolah-olah santun tapi munafik. Munafik pada kenyataan sosial. Kalau sastrawan ya sastrawan yang lembek dan gampang patah kalau sudah dikukus sama dollar. Dan Saut Situmorang akan mendekam juga di balik jeruji penjara. Selanjutnya, mungkin kita. 

Selamat beraktivitas. jangan lupa sisa kondomnya dibuang, nanti ketahuan.


*) Edy Firmansyah, penyair unyu-unyu dan petani melon.

Tidak ada komentar: