WAKTU

JEDA

Kamis, 01 Desember 2016

DEMI CINTA

DEMI CINTA

Seorang lelaki tua, usia 70 tahun, yang sedang telanjang karena usai bersenggama, mengatakan sesuatu pada kekasihnya yang juga tua dan telanjang, yang membuat perempuan itu berlinang. 

“Aku sudah menunggu momen ini selama 54 tahun”

“Ya, aku tahu, aku tahu, kau sudah pernah mengatakannya padaku.”

Keduanya kemudian berpelukan dalam kamar. Melanjutkan percintaan mereka. Di luar, angin laut berhembus pelan. Semilir dan membius. Kapal, tempat sepasang kekasih itu mereguk keindahan cinta, bergoyang pelan. Mengikuti riak gelombang laut di sore yang pelan-pelan melarut ke dalam malam berkabut. Di tiangnya berkibar bendera kuning diembus angin. 

Lelaki tua itu bernama Florentino Ariza. Sedangkan sang perempuan bernama Fermina Daza. Keduanya bukan sepasang kekasih yang hidup bersama sejak muda seperti dalam novel Notebook karya Nicholas Sparks yang kemudian difilmkan dengan judul sama dan mendulang sukses di Amerika. Keduanya baru saja bertemu, setelah suami Fermina meninggal karena terjatuh dari tangga. Keduanya kemudian menuntaskan takdir cinta mereka yang terenggut dinding pembatas di kala muda. Sungguh penantian panjang dan melelahkan. 

Cinta mereka mula-mula bersemi di Argentina, di tahun 1879, ketika wabah Kolera mengamuk dan mencabut banyak sekali nyawa manusia. Florentino yang miskin dan bekerja sebagai pengantar telegram mendadak jatuh hati pada pandangan pertama kepada si jelita Fermina yang lahir dari keluarga kaya. Tak berpikir panjang, Florentino yang mahir menulis puisi kemudian mulai menulis surat cinta atau menantikan Fermina di luar rumahnya untuk sekedar menarik perhatian dan melihat wajah cantik pujaan hatinya. berharap cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. 

Gayung pun bersambut. Bait-bait puisi yang ditulis Florentino dalam surat-suratnya dengan getar kata penuh perasaan akhirnya meluluhkan hati Fermina, hingga gadis ini bersedia menikah dengannya. 

Sayang hubungan itu tidaklah mulus. Memang tak ada yang mulus dalam cinta. Ayah Fermina, Lorenzo, menentangnya. Soalnya sederhana, perbedaan kelas sosial. Untuk memutus jalinan cinta itu, akhirnya sang ayah mengirim putrinya berdiam dengan keluarganya yang lebih kaya, di luar kota hingga belasan tahun lamanya. Dan tak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan cinta. Florentino remuk mengetahui kenyataan pahit itu. Ia demam berhari-hari. Jiwanya limbung. 

Meski begitu rasa cintanya pada Fermina tak juga kemput. Florentino terus memelihara cintanya melalui surat-surat cinta yang ditulis tanpa henti, dan tak terkirimkan sembari menunggu pujaan hatinya kembali pulang. 

Namun waktu bisa merubah seseorang. Saat Fermina kembali, dia sudah menjadi perempuan yang berbeda. Baik secara fisik maupun cara pandang. Dalam soal memaknai cinta Florentino, tentu atas tekanan Ayahnya, Fermina akhirnya menganggap cintanya pada Florentino sekedar cinta monyet belaka dan mustahil diharapkan berakhir di pelaminan dengan bahagia. 

"Cinta kita yang dulu hanya ilusi. Jadi jauhi aku. Kita selesai" ujar Fermina pada Florentino saat mereka untuk pertamakalinya bertemu di sebuah pasar, setelah perpisahan itu.

Untuk mempertegas pernyataannya, Fermina, terpaksa menikah dengan Juvenal Urbino, seorang dokter muda yang ganteng, yang dianggap lebih sepadan oleh Fermina. Pertemuan keduanya terjadi saat Fermina sakit dan diobati Juvenal. 

Apakah Florentino Ariza mengubur dalam-dalam cintanya pada Fermina Daza? Nyatanya tidak. Florentino Ariza bersedia menunggu selama setengah abad untuk bisa hidup bersama dengan pujaan hatinya. Namun ia menunggu dengan kegetiran yang amat sangat dalam. Bercinta dengan banyak sekali perempuan untuk membunuh kebosanannya dalam penantian. ia melakukannya dengan perasaan pedih dan begitu hampa. 622 perempuan sudah ia tiduri selama penantian panjang yang melelahkan dan membuatnya nyaris sakit jiwa itu. Tubuhnya bersenggama dari satu perempuan ke lain perempuan. Namun jiwanya masih memeluk bayangan Fermina. 

Kisah-kisah Florentino dalam meniduri perempuan-perempuan itu ia catat dalam jurnal hariannya, bukan dalam format 3gp. Ia terpaksa melanggar janjinya sendiri untuk menjaga keperjakaannya selama menunggu Fermina Daza. Hari demi hari, seiring kekayaannya berlimpah karena sukses bekerja di perusahaan kapal sebagai sekretaris, ia bermain api cinta semu dengan banyak wanita. Sampai hari yang ditunggunya tiba jua. Suami Fermina meninggal dunia setelah jatuh dari tangga saat hendak menangkap burung. Dan Florentino datang lagi dalam kehidupan Fermina. Mula-mula ditolak. Namun Florentino kembali menulis dan mengirimkan surat-surat cintanya pada Fermina. Fermina pun luluh juga. Keduanya kemudian menuntaskan cinta yang tertunda lebih dari setengah abad. 

Terkesan fiktif? Iya, ini memang kisah novel klasik yang ditulis pemenang nobel sastra asal Kolombia, Gabriel García Márquez, yang kemudian difilmkan ulang oleh Mike Newell di tahun 2007. Dengan penulis skenarionya Ronald Harwood, peraih Oscar untuk skenario The Pianist. ketika Film ini ditayangkan perdana. banyak kritikus film menganggapnya film buruk dari berbagai film yang diadaptasi dari novel. Pasalnya sederhana, plot film terlalu mengikuti plot novel. bagi mereka yang pernah membaca buku penulis novel 100 tahun kesunyian itu, film itu terasa sekedar sinopsis novel. Unsur realisme magis yang menjadi kekuatan Gabriel Garcia Marquez dalam novel-novelnya lenyap.

Tapi bukan itu yang hendak saya sampaikan. Soalnya adalah tak ada yang fiksi dalam cinta. Cinta memiliki keajaibannya sendiri. Di dunia nyata ada kisah yang hampir mirip dengan apa yang ditulis Gabriel García Márquez. Salah satunya, Ah Ji asal Taiwan. Ah ji rela tinggal dan menua selama 20 tahun di stasiun kereta api Tainan. Semuanya bermula dari sebuah janji untuk bertemu di stasiun tersebut pada jam yang telah ditentukan. Laiknya pria yang akan berkencan dengan pujaan hati, Ah Ji pun mengenakan pakaian yang sangat rapi untuk menemui sang kekasih. Namun, hingga 20 tahun kemudian, sang kekasih tak kunjung datang. Dan Ah Ji tetap setia menunggu, sebab percaya kekasihnya akan datang. 

Tindakan Ah Ji bagi beberapa orang menggelikan. Bisa juga disebut keterlaluan. Tapi ini soal daya tahan saja. mereka yang tak punya daya tahan menunggu cinta, akhirnya memilih beralih ke hati lain dan menjalani hidup dengan orang lain. Membiarkan cinta lain tumbuh dan bersemi sambil terus membunuh cinta silam yang tak jua memberi kejelasan nasib.

Itu bisa terjadi pada siapa saja. termasuk kita juga. Benarkah kita telah menikahi atau memacari orang yang benar-benar mencintai kita? Jangan-jangan dalam hatinya, ia sedang menunggu orang lain, orang yang didambakannya dalam kenangan untuk bisa bersamanya. Jangan-jangan kita yang sedang menghabiskan waktu bersama pasangan kita untuk sekedar menghabiskan waktu sembari menanti momen yang tepat untuk bisa bersama dengan pujaan hati yang karena berbagai keterbatasan di masa silam tak bisa dimiliki. Siapa yang tahu isi hati seseorang? Kita bisa menikahi atau memiliki orang yang kita cintai, tapi kita tak pernah bisa menikahi jiwanya secara total. Lagipula fisik bisa terus menua, tapi gelora cinta akan tetap muda dan berbahaya.
Sungguh beruntunglah mereka yang bersama karena cinta, karena benar-benar saling mencintai, bukan karena pelarian dari perasaan cinta yang sejati yang tak bisa dimiliki. 

Cinta dan kenangan itu seperti iblis. Ia mengganggu, menghantui dan tak bisa mati.



Tidak ada komentar: