WAKTU

JEDA

Rabu, 27 Februari 2008

"Mendongrak Gairah Menulis Siswa" (DIMUAT DI SURYA, 25 Februari 2008)

Mendongrak Gairah Menulis Siswa
Oleh: Nurfa Rosanti
( Pengajar di SMP-SMA Darussyahid Sampang-Madura)

Salah satu sasaran pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah memberikan kompetensi kepada siswa untuk menulis karangan fiksi dan non fiksi dengan menggunakan kosakata yang bervariasi dan efektif untuk menimbulkan efek dan hasil tertentu. Dengan kata lain, siswa dikatakan cakap berbahasa Indonesia jika ia mampu menuangkan segala pikiran dan imajinasi dalam bentuk tulisan.

Tetapi dalam praktek di lapangan tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia diatas justru mengalami banyak kendala. Pertama, menulis adalah aktivitas berbahasa yang tidak disukai banyak orang, (bahkan dikalangan terpelajar sekalipun). Hal ini dapat dilihat dari tinggi frekuensi komunikasi verbal dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja saat jam istirahat sekolah. Siswa juga guru) lebih banyak menghabiskan waktu luang untuk berbicara tentang segala hal; mulai dari sinetron, gosip selebritis, pacar, pakaian model baru hingga menu makan malam daripada menuliskannya. Makanya tak heran jika banyak kalangan menuding frekuensi aktivitas menulis menempati peringkat paling rendah jika dibandingkan dengan aktivitas menyimak atau berbicara.

Bahkan hasil penelitian The Programme for International Student Assessment atau PISA, yang menilai kesiapan siswa berusia lima belas tahun untuk mengaplikasikan pengetahuan dan Life skill (baca; menulis) dalam kehidupan sehari-hari menempatkan capaian siswa Indonesia di lapisan bawah dari negara-negara lain di dunia.

Padahal manfaat menulis sangat besar. Menurut Mochtar Lubis, menulis adalah vitamin batin. Kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap. Selain itu menulis juga bisa menjadi sarana menemukan sesuatu, dapat memunculkan ide baru dan sarana mengungkapkan diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa.

Bahkan metode-metode baru tentang pembelajaran dalam dunia pendidikan dapat digali lewat menuangkan ide-ide melalui tulisan. Dan hal ini tentu saja menjadi bahan untuk pengembangan pendidikan di masa depan. Karena itu menumbuh kembangkan minat menulis siswa sebenarnya atau lebih tepatnya fondasi awalnya harus dibangun dari kematangan guru dalam hal yang sama. Bukankah ada pepatah klasik yang mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari?

Kedua, banyak guru yang ternyata belum mampu menginterpretasikan KBK bahasa dan sastra Indonesia seusai kondisi riil di sekolah dimana dia mengajar. Akibatnya Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia tak lebih dari hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya hanya karena mereka ‘terpaksa’ atau mungkin ‘dipaksa’ menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul ketika ujian.

Sehingga di mata bagi siswa bahasa dan sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, lalu ujian dan selesai. Dengan metode yang hampir sama dari tahun ke tahun dari generasi kegenerasi. Sehingga minat siswa untuk dapat menulis dengan baik menjadi mati.

Meski demikian bukan berarti upaya mendongkrak kreativitas menulis siswa tertutup rapat. Ada salah satu trik jitu yang bisa melejitkan minat menulis siswa, saya menyebutnya teknik IKMK; Ini Karyaku, Mana Karyamu? Yaitu; memotivasi siswa dengan cara menceritakan bahwa guru juga mampu menghasilkan karya bahasa dan sastra. Guru menunjukkan karya-karya yang pernah dipublikasikan di media massa baik itu cerpen, puisi, artikel maupun esai budaya. Dalam beberapa kesempatan karya tersebut dikupas proses kreatifnya, mulai dari pencarian tema, penggalian data dan teknik menulisnya. Bahkan kalau perlu guru juga menceritakan berapa honor tulisan di koran A, B atau C.

Cara ini lebih efektif daripada guru bercerita tentang penulis terkenal dan bagaimana ia menghasilkan karya-karya. Sebab siswa setingkat SMA memasuki usia remaja. Dalam masa tersebut siswa memerlukan tokoh panutan yang nyata untuk membantu mengembangkan potensinya. Nah, dengan menunjukkan karya-karya tersebut, siswa merasa dekat dengan pencipta karya tersebut, sehingga keinginannya untuk dapat menulis dengan baik menjadi menggelora.

Setelah itu, barulah pembelajaran bahasa dan sastra memasuki tahap praksis. Siswa diberi tugas membaca karya sastra baik dari buku, koran atau majalah, entah itu puisi, esai, cerpen maupun opini. Lalu, hasil bacaannya harus dituangkan dalam tulisan. Kemudian dianalisis bersama. Karya terbaik kemudian dikirimkan ke media massa. Bahkan agar kreativitas menulis siswa tidak mati, guru harus memberi penghargaan lebih bagi mereka yang karyanya tembus media massa (baik itu, cerpen, puisi atau esai). Misalnya memberi nilai bonus pada siswa dan membebaskan mengikuti ulangan harian.

Dengan metode semacam ini, niscaya pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak kering, kaku dan terasa membosankan. Siswa justru akan lebih aktif mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. Siswa mana yang tidak tergiur dengan dunia tulis-menulis. Jika, dimuat akan mendapatkan honor dari media, sekaligus mendapatkan nilai bonus dari guru.

TENTANG PENULIS
*Nurfa Rosanti adalah Pengajar di SMP dan SMA Darussyahid Sampang-Madura. Alumnus Universitas Negeri Surabaya (UNESA).

Tidak ada komentar: