WAKTU

JEDA

Senin, 12 Mei 2008

Anomali Sosial Kenaikan BBM

Dimuat di Harian SUARA MERDEKA Pada 12 Mei 2008


Anomali Sosial Kenaikan BBM
Oleh Edy Firmansyah


RENCANA pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 30 persen bukan saja akan makin memberatkan beban kehidupan masyarakat, melainkan juga akan memukul mundur kalangan usaha terutama di sektor riil. Jika kondisi ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan timbul anomali sosial yang berkepanjangan dan mengancam kehidupan berbangsa kita.

Sebelum ada rencana kenaikan harga BBM, harga kebutuhan pokok pun sudah melambung tinggi akibat melonjaknya harga minyak mentah dunia dan naiknya harga kebutuhan pokok internasional, bahkan ada yang sampai naik 100 persen atau lebih.

Bisa dibayangkan jika BBM benar-benar naik, harga seluruh komoditas akan kembali melonjak. Akibatnya transaksi antarkota, antarprovinsi dan antarpulau juga akan menurun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang kebutuhan tak akan mampu bersaing, karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga naik.

Implikasi lebih lanjut, makin banyak sektor usaha yang akan gulung tikar. Dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh/pekerja dan karyawan pun menjadi peristiwa yang tidak dapat terelakkan lagi. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya, jumlah masyarakat miskin (maskin) pun makin meningkat.

Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan pertambahan orang miskin sebesar 8,55 persen (sekitar 15 juta jiwa). Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia saat ini sekitar 36,8 juta jiwa atau 16,85 persen dari total populasi saat ini (Kompas, 8/05/08).

Kondisi sosial ekonomi seperti ini sangat berpotensi menjadi faktor utama terjadinya peningkatan anomali sosial. Seperti perilaku bunuh diri hingga meningkatnya angka kejahatan seperti pencurian, pencopetan bahkan perampokan yang mengarah pada tindak kekerasan.

Menurut Durkhaem, anomali sosial timbul akibat tidak seimbangnya kondisi sosial di masyarakat. Yakni antara pendapatan dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Di tingkatan gunung es, anomali sosial mulai dapat kita saksikan. Misalnya perampokan toko emas yang makin marak akhir-akhir ini hingga penimbunan BBM bersubsidi di beberapa daerah. BBM yang ditimbun lalu dijual ke kalangan industri. Hal ini jelas sangat meresahkan masyarakat.

Selain itu, anomali sosial yang tidak kalah seriusnya adalah konflik sosial berkepanjangan. Dalam kondisi masyarakat yang sedemikian tertekan, jangan heran jika hanya dengan kabar angin saja, masyarakat dapat langsung tersulut.

Kemudian tanpa ba-bi-bu akan membentuk kerumunan, melakukan kekerasan dan anarkisme. Ini merupakan bentuk eskapisme sosial sebagai wujud ketidakmampuan pusat kekuasaan dalam mendorong perubahan ekonomi-politik.

Pembagian BLT
Pemerintah sebenarnya telah membaca berbagai kemungkinan terjadinya anomali sosial. Oleh karena itu, rencana kenaikan BBM juga akan dibarengi dengan pembagian kompensasi BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Hanya saja, langkah ini berindikasi dapat menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, data penduduk yang digunakan adalah data lama, yakni hasil survei BPS tahun 2005 dalam memetakan jumlah keluarga miskin yang akan menerima bantuan tersebut (Jawa Pos, 8/05/08).

Padahal pembagian BLT 2005 sempat memunculan berbagai persoalan. Mulai dari kesalahan pencatatan identitas penerima, hingga pemberian BLT yang tidak tepat sasaran. Banyak anggota masyarakat berpunya yang menerima BLT, sementara masyarakat miskin justru gigit jari. Akhirnya terjadilah aksi unjuk rasa dan perusakan bangunan oleh mereka yang tidak mendapatkan bantuan.

Selain itu, langkah pemerintah dalam memberikan komensasi BBM berupa BLT hanya bersifat sementara. Artinya, bantuan ini hanya akan dinikmati masyarakat miskin selama setahun ke depan. Padahal dampak kenaikan BBM akan dirasakan masyarakat sepanjang masa.

Ada kesan BLT kembali diluncurkan, sekadar untuk mengkonter demonstrasi penolakan rencana kenaikan BBM. Diharapkan bisa mencegah masyarakat miskin terlibat dalam demonstrasi massif menolak kebijakan pemerintah tersebut. Tentu hal ini menguntungkan pemerintah, karena dapat ”memukul mundur” gerakan penolakan kenaikan BBM dengan mudah, terutama melalui alat-alat represifnya.

Kebijakan Prorakyat
Sebenarnya kebijakan menaikkan harga BBM ini bisa dihindari, seandainya pemerintah berani mengurangi impor berbagai kebutuhan pokok serta berani melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing pengelola minyak yang ada di Indonesia. Dua keberanian ini bisa meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.

Selain itu, Indonesia bisa memiliki nilai tawar di dunia. Hal inilah yang dilakukan Venezeula dan Bolivia untuk mengatasi lonjakan inflasi serta mengantasipasi lonjakan harga minyak dunia. Hanya saja, langkah ini memang perlu keberanian lebih, karena terus memberi subsidi kepada masyarakat berarti bertentangan dengan kebijakan neoliberal yang dianut ”negara-negara boneka” Bank Dunia dan IMF, seperti Indonesia.

Sayangnya, langkah itu masih jadi mimpi di negeri ini. Pemerintah lebih memilih menaikkan harga BBM, meski itu merupakan jalan pintas melepaskan diri dari beban keuangan negara, tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang dihadapi masyarakat. Risikonya sungguh ironis, masyarakat akan terus berkubang di dalam lumpur kemiskinan!

Tentang Penulis
Edy Firmansyah
, peneliti pada Institute of Reaseach Social Politic and Democracy (Irsod) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: