WAKTU

JEDA

Senin, 19 Mei 2008

Kado Pahit di Peringatan Hari Buku

Dimuat di METROPOLIS, JAWA POS, pada 19 Mei 2008


Kado Pahit di Peringatan Hari Buku
Oleh: Edy Firmansyah


Pada peringatan hari buku nasional tahun ini yang jatuh pada 17 Mei, Jawa Timur mendapatkan kado pahit. Berdasarkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo—saat menyampaikan kinerja Departemen Pendidikan Nasional 2005-2007 di Surabaya beberapa waktu lalu—Propinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama jumlah penduduk buta aksara diantara seluruh propinsi di Indonesia.

Setidaknya sekitar 4,5 juta jiwa penduduk Jatim berusia 15 tahun keatas mengalami buta aksara. Jumlah tersebut merupakan 11,97 persen dari total jumlah penduduk Jatim atau dua kali lipat lebih tinggi dari target nasional yang ditetapkan sebesar lima persen.

Fenomena ini jelas merupakan ironi. Artinya, Jawa Timur (Jatim) yang notabene merupakan pusat pendidikan, baik pesantren, sekolah umum, maupun perguruan tinggi yang hampir merata di setiap kabupaten, mempunyai problem buta aksara.

Jatim memiliki jumlah universitas paling banyak se-Indonesia. Sebut saja Universitas Airlangga, Institut Tehnologi Sepuluh Nopember, Universitas Jember, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya (eks IKIP Surabaya), dan beberapa sekolah tinggi agama Islam negeri yang menyebar hampir di setiap kabupaten dan kota. Selain kaya akan perguruan tinggi, Jatim juga terkenal sebagai gudangnya pesantren, baik modern maupun tradisional. Sebut saja Tebuireng, Den Anyar (Jombang), Gontor Darussalam (Ponorogo, Ngawi), Lirboyo (Kediri), Langitan (Tuban), Nurul Jadid (Probolinggo), dan lain-lain.(Benni Setiawan, Kompas 19/01/06).

Disamping itu, pendidikan keaksaraan tak henti-hentinya digulirkan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan pemerintah daerah (dinas pendidikan) setempat. Pendidikan keaksaraan ini ditujukan tidak hanya supaya masyarakat mampu membaca, menulis, dan berhitung, tetapi diharapkan bisa mengaplikasikan kemampuan tersebut dalam kehidupan kesehariannya. Pada akhirnya diharapkan pendidikan keaksaraan dapat meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Bahkan pendidikan keaksaraan ini sudah merambah ke pelosok-pelosok desa.

Dengan kondisi semacam itu seharusnya Jatim menjadi salah satu wilayah yang paling unggul dalam hal mencetak sumber daya manusia (SDM) yang pilih tanding. Seharusnya wilayah yang dikelilingi pusat-pusat pendidikan memiliki akses informasi dan pengetahuan yang memadai untuk memompa kualitas literasi masyarakat. Tapi nyatanya tidaklah demikian. Buktinya Jatim justru jadi ‘juara’ buta aksara se Indonesia. Pertanyaannya mengapa bisa terjadi?

Harus diakui bahwa realitas kelompok buta aksara adalah cenderung miskin, bodoh, dan terbelakang. Mereka juga rendah untuk berpikir maju, sulit menghadapi tantangan dan perubahan, serta sulit menerima informasi pembaharuan (adopsi-inovasi), termasuk partisipasi pembangunan. Satu-satunya hal yang mampu menggerakkan mereka melakukan perubahan hanyalah faktor ekonomi. Artinya, jika ajakan, atau program yang digulirkan pemerintah bisa dirasakan langsung dampak sosial ekonominya oleh masyarakat, maka mereka akan bergerak maju. Sebaliknya jika tidak, mereka lebih memilih bekerja serabutan daripada menghabiskan waktu yang tak menghasilkan uang.

Misalnya saja pendidikan. Kita tahu bahwa biaya pendidikan saat ini amatlah mahal. Toh, meskipun lulus tidak ada jaminan pasti mereka yang tamat bersekolah bisa langsung terserap dalam dunia kerja. Stigma negatif tentang sekolah tiu terpatri begitu kuat sehingga berkelindan dari generasi ke generasi. Sehingga stigma yang sudah berurat akar itu sulit untuk dibongkar.

Kondisi ini yang sering diabaikan oleh para mentor atau pendidik kebutaaksaraan pemerintah. Artinya, mereka tidak memahami psikologis masyarakat. Sehingga upaya melakukan pencerdasan dan melek huruf sering berakhir dengan tangan kosong. Benar memang program telah dijalankan. Banyak masyarakat yang turut serta. Tapi setelah program selesai masyarakat langsung melupakan semua yang pernah mereka dapat.

Karena itu kedepan penting untuk melibatkan psikolog ketika hendak memulai program pemberantasan buta aksara. Atau minimal para mentor kebutaaksaaran memiliki bekal pengetahuan psikologis. Hal ini untuk mengetahui real needs dan felt needs dari kelompok buta aksara. Jika dua point penting itu sudah berhasil dibuka, maka pendidikan bisa diselipkan dengan disesuaikan dengan keragaman kebutuhan, pengalaman, dan potensi masing-masing individu.

Dan alangkah baiknya jika tugas besar ini juga melibatkan semua mahasiswa di Jatim secara keseluruhan. Bukankah tugas mahasiswa adalah agen perubahan? Artinya, energi kreatif mahasiswa tidak melulu difokuskan pada aksi dan demonstrasi semata. Melainkan juga harus diasah pada tindakan nyata. Dengan melibatkan mahasiswa dalam tugas besar memberantas buta aksara di Jatim, setidaknya membuka mata mereka bahwa disekitar mereka banyak masyarakat miskin yang membutuhkan pertolongan mereka. Bukankah bukan rahasia umum lagi kalah mahasiswa selalu saat ini tengah berada di menara gading. Nah, kini sudah saatnya mereka turun gunung, melakukan perubahan!

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy),

Tidak ada komentar: