WAKTU

JEDA

Sabtu, 31 Januari 2009

Imlek dan Semangat Anti Diskriminasi

Dimuat di RADAR SURABAYA, 27 Januari 2009


Imlek dan Semangat Anti Diskriminasi
Oleh: Edy Firmansyah



Pada 26 Januari 2009 lalu saudara-saudara kita yang berlatar budaya Tionghoa merayakan Imlek ke-2560. Daerah-daerah di nusantara mulai penuh dengan warna merah, lampu lampion dan pernak-pernik imlek lainnya. Namun perayaan imlek di negeri ini masih dipenuhi nuansa keprihatinan. Terutama terkait dengan dikriminasi rasial dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Sampai sekarang masih terdapat puluhan peraturan hukum yang diskriminatif bagi etnis Tionghoa. Setiap orang etnis Tionghoa tetap harus menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) untuk segala urusan administratif, mulai dari tingkat kecamatan, catatan sipil, kantor imigrasi, atau bahkan mengajukan kredit. Tetap dengan biaya lebih tinggi daripada etnis lain. Pada beberapa kantor pembedaan biaya itu dipublikasikan secara terbuka. Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) yang menjadi usul inisiatif DPR RI ternyata juga masih dihambat proses pembahasannya di Departemen Kehakiman dan HAM.

Seperti yang terjadi pada ratusan warga Tionghoa miskin di Jakarta Barat. Mereka masih kesulitan mengurus dokumen kependudukan seperti kartu tanda penduduk dan akte kelahiran. Akibatnya, mereka kesulitan menyekolahkan anak-anak dan kesulitan mencari pekerjaan. Sehingga dengan amat terpaksa mereka membuat KTP ’tembak.” Anehnya lagi, meski tak memiliki KTP ratusan masyarakat Tionghoa tersebut dapat ikut memilih dalam pemilu.(Kompas, Rabu 30/01).

Karena itu kemeriahan imlek kali ini harus dijadikan momentum awal sebuah aksi kemanusiaan dan perlawanan tehadap diskriminasi rasial demi tercapainya masa depan yang lebih baik. Sebab ajaran utama bagi umat Khong Hu Cu, dari sang nabi (Kong Zi) membumikan etika kehidupan bukan hanya bagi umatnya semata melainkan juga sebagai basis bagi persatuan dan kedamaian umat manusia seluruhnya. Makanya jangan heran jika pada saat perayaan Imlek sebuah keluarga berkumpul dan saling menghormati, mengucapkan maaf dan selamat mulai dari yang muda pada yang tua. Kemudian saling bersilaturrahmi antar tetangga, berbagi rejeki dan dilanjutkan dengan bersembahyang dan berdoa di hadapan leluhur.

Tetapi sayangnya ajaran itu masih belum tersampaikan secara luas sebagai bagian dari budaya nasional. Buktinya meski Keputusan Presiden No 6/2000 yang melegalkan perayaan keagamaan dan kebudayaan masyarakat Khong Hu Cu ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dan masyarakat Tionghoa memiliki kebebasan menjalankan agama dan kepercayaannya, diskriminasi rasial masih merupakan hukum positif dan masih jadi bagian dari keseharian masyarakat.

Parahnya lagi, kebijakan terhadap kasus kerusuhan rasial Mei 1998 juga masih terkatung-katung. Di satu sisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencanangkan dibentuknya Tim Adhoc Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM yang berat, namun di sisi lain ternyata pemerintah tidak memberikan dukungan sepenuhnya untuk tim bentukan Komnas HAM itu bekerja maksimal. Para pejabat tinggi TNI dan Polri yang tergabung dalam Operasi Pengamanan Mantap Jaya dengan tenang mengabaikan surat panggilan resmi sebagai saksi di Komnas HAM.

Padahal dalam sebuah perjanjian internasional, pemerintah Indonesia juga menyepakati untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial: " Setiap Negara Peserta akan mengambil tindakan yang efektif untuk meninjau kembali kebijaksanaan pemerintah nasional dan daerah, dan untuk memperbaiki, menarik kembali atau membatalkan undang-undang dan peraturan yang berpengaruh menciptakan atau mengembangkan diskriminasi ras di manapun" (Konvensi Internasional mengenai Pengahapusan segala bentuk diskriminasi rasial, Pasal 2 ayat 1 huruf c).
Tapi mengapa dalam prakteknya diskriminasi tersebut justru masih marak dilakukan? Untuk menjawabnya perlu kiranya merujuk pada sejarah masa lalu. Bahwa kedatangan etnis Tionghoa selain karena praktek perdagangan sebagian besar juga karena praktek koloni. Penjajah Belanda membawa ribuan etnis tionghoa ke Indonesia untuk membuka lahan baru, serta menghambat perdagangan kaum pribumi sekaligus sebagai alat menancapkan kuku imperialismenya.

Tapi apa yang dilakukan penjajah tersebut diabayar dengan ongkos yang mahal. Etnis Tionghoa selalu menjadi kambing hitam setiap ada gejolak dari kaum pribumi menuntut kesejahteraan. Makanya jangan heran, tiap muncul konflik, penjarahan dan kekerasan kerap dilampiaskan pada pemukiman Tionghoa.

Pada era kemerdekaan warisan Belanda tersebut ternyata masih juga diterapkan. Buku “Hoakkiau di Indonesia” karangan Pramodya Ananta Toer yang membahas tentang diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia adalah salah satu bukti betapa terpojoknya posisi kaum Tinghoa tersebut. Bahkan marjinalisasi terhadpa kehidupan masyarakat etnis ini semakin terasa di era orde baru. Puncaknya adalah kerusuhan pada medio Mei 1998, dimana perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa di tempat umum. Dan ironisnya, proses hukum terhadap pelanggaran HAM berat ini terkatung-katung hingga kini.

Karena itu penting kiranya untuk menggiring perayaan Imlek sebagai wacana pembebasan terhadap diskriminasi. Masyarakat Tionghoa harus membuktikan bahwa agama Tionghoa tak jauh beda dengan agama lain yang memiliki tujuan universal, yakni perdamaian umat manusia. Dan musuh perdamaian adalah penindasan, korupsi, kolusi, marjinalisasi, kemiskinan dan kemelaratan. Imlek dapat menjadi jalan tembus batas-batas kemanusiaan, sehingga seseorang bisa bertindak lebih dari sekedar unsur manusiawi; bergerak dan beragama untuk kepentingan orang-orang tertindas tanpa pandang bulu. Bukankah hal itu yang menjadi cita-cita Kong Zi? Gong Xi Fat Coi.***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pengamat Kebudayaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta .

Tidak ada komentar: