WAKTU

JEDA

Senin, 24 September 2012

Catatan Kecil Tentang G 30 S di Madura


Catatan Kecil Tentang G 30 S di Madura

“Dorr!”

Suara pistol revolver menggelegar memecah malam di kampung Patemon pada medio Desember 1965. Orang-orang yang berteriak-teriak di depan rumah Mbah Nisar sambil mengacung-acungkan clurit, golok, pentungan, dsb, kontan terdiam.

”Pulang kalian semua! Disitu tak ada PKI. Kalau masih ngotot masuk ke rumah Nisar, aku lobangi kepala kalian,” teriak kakek sambil mengacungkan pistol ke orang yang berapa paling depan tepat di pagar rumah Mbah Nisar.

Orang-orang kemudian membubarkan diri. Menjauhi Kakek. Maklum di Patemon kakek terkenal cukup disegani. Sementara itu Nenek terus gemetar di mulut gang sambil menenteng sampir-nya. Takut-takut gerombolan itu menyerang Kakek.

Sejak itu rumah Mbah Nisar tak pernah lagi disantroni orang. Nisar adalah sahabat kakek. Bisa juga disebut saudara kakek karena dia diambil anak oleh Paman kakek. Mbah Nisar, begitu aku memanggilnya, juga seorang PNI aktif sama dengan kakek kala itu. Dan mungkin karena itulah rumahnya disantroni gerombolan dan hendak dibunuh dengan tuduhan bersekongkol dengan PKI.

Tapi rumah-rumah lain, ribuan rumah-rumah orang-orang PKI dan dituduh PKI di Pamekasan, didobrak pintunya. Pemiliknya dihajar massa, lalu diseret ke dalam truk. Dibawa ke daerah Blumbungan, Nyalaran dan tempat-tempat kuburan missal lain di Kabupaten Pamekasan. Digebuki ramai-ramai. Tubuhnya dicincang, ditembak, lalu mayatnya di kubur dalam lubang. Ditumpuk dengan korban-korban lainnya.

Ratusan rumah juga dibakar. Perempuan di siksa, digorok lehernya, tubuhnya dilarungkan ke sungai. Anak-anak terlantar, orang-orang gila jadi pemandangan umum selain anyir darah dan bau busuk mayat-mayat yang dibantai atas tuduhan; terlibat G 30 S kemudian dilelerkan begitu saja di jalan-jalan seperti anjing kurap yang mati terlindas truk.

“Apakah orang PKI itu jahat?” aku memancing pertanyaan agar nenek bercerita lebih banyak soal peristiwa seputar pembantaian orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun-tahun berdarah 1965-1966 di Pamekasan-Madura.

”Aku tidak tahu.” Ujar nenek sambil memperbaiki letak tidurnya. Aku yang sedari tadi tiduran di sampingnya, kontan bangun membantu perempuan 92 tahun yang melahirkan bapakku itu, mengangkat tubuhnya yang kini ringkih karena usia terus menggerogotinya.

Ya. Memang tidak mudah mendapatkan informasi detail soal peristiwa pembantaian anggota PKI dan yang dituduh PKI pada tragedi G30S di Pamekasan-Madura. Selain karena ketakutan masyarakat atas stigma PKI itu sendiri, juga karena masyarakat sudah termakan propaganda film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Noer yang pada era Orde Baru wajib tonton setiap tanggal 30 September malam. Dalam film tersebut digambarkan bahwa anggota PKI dan semua organ yang berafiliasi dengannya adalah ‘keji.’ Membunuh 7 Jenderal AD dengan sadis. Pembunuhan dilakukan anggota Gerwani (organ perempuan PKI) dengan menyilet dan memotong kemaluan korban sambil menari telanjang dan pesta seks. Selain itu juga merencanakan kudeta terhadap kekuasaan sah Soekarno dengan membentuk Dewan Revolusi. Namun rencana itu dipatahkan Soeharto. Peristiwa dalam film tersebut kemudian juga diabadikan dalam diorama Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Mungkin benar kata ungkapan; Kebohongan yang diulang-ulang akhirnya bisa dianggap sebagai kebenaran.

Meski kakek saya seorang anggota PNI aktif, nenek saya perempuan rumahan. Tak bisa baca tulis. Tak terlibat dengan organ perempuan sayap PNI. Boleh dikata ‘benci’ politik. ”Karena kakekmu orang partai, uang kerap habis hanya untuk membiayai kegiatan partai” keluhnya. Selain itu kakek juga pengagum Soekarno, termasuk juga gayanya yang falmboyan dan suka kawin.

Memang, rumah Nenek kerap jadi tempat kongkow orang-orang PNI pada tahun 1960an. Berdiskusi siang-malam tentang segala hal. Dan nenek yang menyiapkan semua kebutuhan makan orang-orang yang kadang bisa lebih dari 20 orang. Tapi nenek tak pernuh nguping. Lebih sibuk ngurusi anak atau memasak di dapur.

Sementara kakek saya juga tak lagi bisa ditanyai. Dia meninggal pada tahun 1967. Karena liver menurut diagnosa kedokteran. Tapi berdasarkan cerita nenek dan bapak saya, kakek kena santet orang. ”Perutnya membuncit. Tiap BAB selalu keluar darah disertai pasir hitam,” kenang bapak saya yang pada waktu itu berusia 11 tahun.

Tapi ada satu peristiwa yang selalu nenek ingat. Pamannya, Riso ( aku selalu memanggilnya Mbah Riso) pernah masuk penjara karena menjadi anggota BTI (Barisan Tani Indonesia). Nenek saya yang rutin mengirimkan makanan ke penjara selama Mbah Riso di penjara. Dan tiap kali ketemu Mbah Riso di penjara kala itu, nenek saya selalu menangis. ”Wajahnya selalu bengkak. Mungkin disiksa di dalam ( penjara, red). Tapi tiap ditanya selalu bilang terjatuh di kamar mandi LP,” cerita nenek saya.

Penyiksaan dan pembunuhan dengan cara keji terhadap orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966 memang sudah jadi rahasia umum. Berdasarkan data dari John Rossa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal” tercatat satu juta lebih orang mati dibantai. Malah Sarwo Edhie, komandan operasi pembersihan orang PKI dalam sebuah wawancara, sesumbar sudah menghabisi tiga juta orang PKI.

Tak lama memang Mbah Riso jadi tahanan karena dianggap ‘terlibat’ G 30 S yang pecah pada 1 oktober dini hari pada tahun 1965 itu. Sekitar 8 bulan. Itupun bisa keluar karena nyogok kepala penjara. Nenek tak ingat berapa jumlahnya. Namun 8 bulan di penjara karena tuduhan PKI menghancurkan nasib keturunannya kala Orde Baru berkuasa. Stigma turunan Orde Baru; sekali bapak PKI anak cucu tetap PKI. Dan layak diberi stempel; Berbahaya! Semua anak Mbah Riso tak satupun ada yg jadi pegawai atau bekerja di perusahaan swasta. Semua anak laki-lakinya jadi sopir angkot. Dua anak perempuannya Cuma jadi ibu rumah tangga dengan suami yang bekerja srabutan. Pernah ada satu anak perempuan Mbah Riso yang sempat jadi guru. Tapi setelah 2 tahun bekerja, tiba-tiba dia dipecat dengan alasan yang tak jelas. Kemungkinan karena orang tuanya distigma PKI. ”Padahal saya baru mendaftar jadi BTI. Enam bulanan. Dan tak pernah aktif. Tapi rutin dapat jatah beras, gula, sabun, odol tiap bulan.” Kenangnya ketika beberapa tahun lalu sebelum dia meninggal saya sempat ‘iseng’ bertanya soal keterlibatannya di BTI.

Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan; ideologi seseorang diuji ketika berada di masa-masa sulit. Pada masa sulit itu kita jadi tahu siapa kawan seiring, siapa lawan. Siapa musuh dalam selimut. Siapa kawan yang menikam dari belakang.

Menurut cerita nenek, ditangkapnya Mbah Riso karena laporan seseorang yang tak lebih dari teman satu organisasinya sendiri. Mbah Tjikro. Dia adalah anggota PKI. Cukup karib dengan Mbah Riso. Pada tahun 1966 itu Mbah Tjikro juga ditangkap dan dipenjara. Lebih dulu dua bulan dari Mbah Riso. Usut punya usut dari dialah segala daftar nama anggota ‘PKI’ di kampung nenekku. Di dalam daftar itu ada nama Mbah Riso juga. Itulah yang bikin Nenek kesal. Selain itu, Mbah Tjikro juga gak pernah cerita kalau pembebasan tahanan bisa dilakukan dengan cara nyogok. Diapun bebas dari penjara juga selain memberi daftar nama juga nyogok. ”Aku pernah bertamu ke rumahnya. Tapi ketika ditanya dia nggak ngaku kalau keluar penjara nyogok. Coba dia kasih tahu, Nom (Anom: Paman, Madura, red) Riso bisa lekas dibebaskan. Meskipun uangnya dari utangan dan patungan antar keluarga,” kenang nenek.

Selain peristiwa itu, Nenek tak ingat lagi hiruk pikuk dan jerit pedih pada 1966 di Pamekasan, Madura. Nenek lebih banyak tinggal di rumah, merawat kakek yang terkena Liver sampai dia meninggal pada awal tahun 1967. Tapi sepanjang sakitnya, masih menurut cerita Nenek, Kakek selalu menyelipkan pistol di bawah bantalnya. Pistol milik kantor. Sebab pada masa itu pengawai bea cukai yang bekerja di pelabuhan memang berhak memegang pistol.

Menurut cerita bapak saya, sejak terjadi tragedi 1966 itu, banyak mayat-mayat bergelimpangan di sungai. Tangan terikat dengan tubuh tak lengkap. Ada yang hilang kepalanya. Ada yang tebas dua belah tangannya. Dan ada kepala yang ditancapkan di bambu lalu bambu tersebut di tanam di pinggir perempatan jalan. ”Saya tak tahu siapa yang bunuh. Masih kecil waktu itu. Tapi kerumunan orang selalu menyimpulkan satu hal tiap menemukan mayat-mayat yang nyangkut di carang-carang pinggir sungai atau dileler di jalan-jalan; orang PKI.”

Bapak juga cerita pada tahun itu Ujian kenaikan kelas juga tertunda kurang lebih 8 bulan lamanya. Ada juga diberlakukan jam malam. Memang pembunuhan dan penculikan kerap dilakukan malam hari. Dari tindakan banal tersebut tak sedikit guru sekolah dan guru ngaji (ulama) yang juga masuk daftar orang PKI dan harus dihabisi.

Dan semua pembantaian keji dan berdarah-darah itu, yang dilakukan militer dengan mendidik organ-organ paramiliter dan bekerjasama dengan pemuda Anshor, hanya berdasar satu andaian yang sama sekali tak terbukti; “Jika PKI menang, hal serupa juga akan dilakukannya”. Sebuah pengandaian yang keji mengingat jutaan orang PKI mati dibabati seperti hewan najis pada tahun 1965-1966. Tahun penuh darah. Tahun awal berdirinya orde baru. (bersambung)

3 komentar:

Raedu Basha mengatakan...

BAGUS

Izin copas ke blog saya ya. saya sedang menyukai sejarah2 PKI.

Raedu Basha mengatakan...

bagus mas...
izin copas ke blog saya. saya sedang ngumpulin sejarah2 PKI, Mas.

edyfirmansyah mengatakan...

Ambil aja, Mas Edu. ;) Salam kenal!