WAKTU

JEDA

Rabu, 26 September 2012

Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)


Catatan Kecil tentang G 30 S di Madura (2)


“Berapa angkanya?” Tanya Soekarno pada Menteri Sekretaris Negara Oei Tjo Tat 

”Ada yang menyebutnya 250.000 ada yang menyebutnya 500.000”

”Tepatnya berapa?”

”Angka resmi Angkatan Darat 78.000, Pak”

”Sudahlah aku tak percaya. Berapa tepatnya?”

”Kalau Bapak tak percaya, kalikan lima saja angka resmi itu” jawab Oei.

Memang tak ada yang tahu angka resmi korban pembantaian yang dilakukan AD dan paramiliternya pada orang-orang PKI dan yang dituduh PKI pada tahun 1966 yang berdarah itu. Tapi semua peneliti sepakat kisaran angka 500.000 – 1.000.000 jiwa yang sudah dihabisi. Makanya tidak berlebihan jika ada yang mengatakan angka korban pengganyangan PKI pasca G 30 S lebih ‘mengerikan’ dari korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki atau perang Vietnam selama dua tahun. Malah Sarwo Edhie yang kala itu menjadi pemimpin operasi pengganyangan PKI pernah sesumbar telah menghabisi tiga juta orang. Para eksekutor di laparangan sepertinya melaksanakan betul titah Soeharto untuk “menghabisi sampai ke akar-akarnya’

Angka di atas belum termasuk mereka yang ditahan di penjara seluruh Indonesia dan dibuang ke pulau buru atas tuduhan terlibat G 30 S, tanpa proses pengadilan. Salah satu diantara orang PKI yang ditahan itu ada Djauhari.

Djauhari adalah ketua PKI Cabang Pamekasan. Pertengahan tahun 1966 dia diciduk tentara. Kemudian ditahan di penjara Pamekasan kurang lebih 3 tahun. Sebelum ditangkap dia bekerja di jawatan kereta api. Pada tahun 1969 dia dibebaskan. Di penjara dia belajar teknik pijat refleksi. Setelah keluar penjara dia buka praktek pemijatan. Pasiennya banyak. Termasuk bapak saya langganannya.

”Seandainya dia masih hidup, dia bisa cerita banyak soal peristiwa di tahun-tahun itu,” kenang bapak saya. 

Menurut bapak saya dia ‘tahu betul’ peristiwa itu. Usianya seumuran dengan kakek saya. Ketika tahun 1965-1966 usianya sekitar 30 tahun. Sebagai tokoh partai dia tentu saja ‘paham’ hiruk pikuk politik di tahun-tahun itu. Tak heran tiap ada pasien yang bertanya soal peristiwa G 30 S dia akan cerita panjang lebar. Malah dia tahu daftar orang-orang yang akan duduk di pemerintahan jika gerakan tersebut menang. ”Dia cerita sendiri kalau gerakan itu menang, dia adalah akan jadi calon bupati Pamekasan,” cerita bapak saya.

Cerita bapak saya dibenarkan oleh Tjipto. Tjipto juga pasien Djauhari sama seperti bapak saya. Tapi menurut Tjipto, Djauhari terlalu banyak membual. Dia terlalu melebih-lebihkan soal jadi bupati Pamekasan itu. ”Maklum orang tua. Banyak pikunnya daripada benarnya,” kata Tjipto.

Memang ketika G 30 S meletus dan berhasil menguasai RRI pada dini hari 1 Oktober 1965 yang suram itu, Letkol Untung segera mengumumkan apa yang ia sebut sebagai Dewan Revolusi. Dari situ dia menyebutkan tentara yang terlibat dinaikkan pangkatnya, juga menyebutkan susunan kabinet Dewan Revolusi itu. 

Kuat dugaan saya apa yang terus diceritakan Djauhari pada pasien-pasiennya soal daftar orang-orang PKI yang akan duduk di pemerintahan jika G 30 S menang lebih banyak terinspirasi berita itu. Bukankah apa yang diumumkan Letkol Untung beserta daftar dewan bentukannya itu juga dimuat di Berita Yudha dan Angkatan bersenjata, koran resmi Angkatan Darat yang diijinkan terbit pada awal mula peristiwa berdarah tersebut? 

Pertanyaan lain dalam benak saya menggantung. Mengapa Djauhari tidak ikut dibunuh? Bukankah dia ketua PKI? Pertanyaan ini tidak tanpa alas an. Pasalnya, sasaran pembunuhan yang telah direncanakan untuk pengganyakan PKI sampai ke akar-akarnya cukup sistemik. Di samping tokoh-tokoh PKI dari puncak sampai ke akar rumput, juga termasuk kader dan aktivis semua lapisan organisasi massanya. 

Terdapat juga target khusus yang lain berupa kaum intelektual dan tokoh yang duduk di pemerintahan seperti walikota, bupati, juga guru, seniman, kepala desa dsb. yang dianggap komunis atau simpatisan komunis. Nampaknya target tertentu ini benar-benar telah direncanakan dengan matang setelah analisis mendalam tentang kemungkinan hari depan komunisme di Indonesia. Mungkin sekali hal ini ada kaitannya dengan daftar maut CIA yang dimasak oleh dapur intelijen Jenderal Soeharto.

Saya lalu teringat salah satu cerpen Martin Aleida dalam kumpulan cerpen “Mati baik-baik, Kawan.” Dalam cerpen tersebut Martin bercerita tentang tokoh Ba. Dia tokoh PKI yang mengkhianati kawan-kawannya sendiri. Dari tangan Ba, daftar anggota PKI dan orang yang dituduh PKI didapat tentara untuk kemudian dijemput paksa malam-malam lalu dihabisi. Ba juga yang mendatangi restoran Indonesia di Paris tempat bermukimnya orang-orang eksil yang menyelamatkan diri dari kebiadaban militer Orde Baru. Tapi Ba pulang dengan tangan kosong dari Paris. Atas ‘balas budi’ tentara, Ba mendapatkan tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Tapi pada matinya tak ada satupun kawannya yang melayat. Warga juga enggan menggali liang kuburnya. Istrinya sendiri yang menggali kubur suaminya. 

Tak dapat dipungkiri, dalam masa-masa sulit selalu ada pengkhianat yang atas kepentingannya sendiri, keselamatannya sendiri rela menjilat musuh dengan mengorbankan kawan-kawan seperjuangannya sendiri. Jika Ba, adalah eksekutor bagi kawan-kawan sesama organisasi, maka barangkali Djauhari adalah corong tentara. Corong yang menghembuskan ‘kebenaran’ isu versi Orde Baru bahwa PKI-lah dalang G 30 S. Sebuah pengandaian dibangun dari cerita-cerita Djauhari pada pasien-pasiennya. Sudah disiapkan rencana kudeta Negara. Orang-orang yang akan duduk merebut kekuasaan sudah ada. Djauhari sanggup menyebutkan daftar nama orang-orang PKI yang akan berkuasa itu. Mulai dari Gubernur Jawa Timur. Sampai nama Bupati di tiap-tiap kabupaten di Madura jika G 30 S menang. Tentu saja orang-orang yang dia sebut itu sudah mati dibantai. Tak ada yang menyanggah cerita Djauhari. Semua pasien mengangguk setuju. Karena cerita Djauhari sesuai dengan rencana besar sebagaimana dikisahkan dalam film G 30 S yang merupakan alat propaganda Orde Baru. Sebuah fiksi yang keji. Sebuah pengandaian yang penuh amis darah pembantaian.

Djauhari meninggal pada tahun 2001. Tak seperti Ba yang sendirian dan kesepian, rumah Djauhari dipenuhi pelayat. Kerandanya diusung tetangganya, kerabatnya, kenalannya serta pasien-pasien langganannya sampai liat lahat dengan khitmat. Tak ada yang menuduhnya pengkhianat. Orang-orang hanya mengecapnya sebagai seorang komunis yang ‘taubat’. (bersambung)

1 komentar:

ellysuryani mengatakan...

Menarik. Rasanya pernah dengar nama Martin Aleida. Dimana ya..? Sudahlah ditunggu lanjutannya...