WAKTU

JEDA

Selasa, 31 Maret 2015

'Tubuh' Madura dalam Tiga Kacamata*)



Judul              : Sosiologi Tubuh; Membentang Teori di Ranah Aplikasi

Penulis          : Ardhie Radtya, M.A

Penerbit        : Kaukaba Dipantara, Yogyakarta

Cetakan         : Pertama, Agustus 2014

Tebal              : xxxvi+312 halaman

ISBN               : 978-602-1508-52-7

Peresensi      : HN. Amrif**)


APA jadinya jika ‘tubuh’ Madura dibedah melalui kacamata sosiologi tubuh? Buku berjudul Sosiologi Tubuh: Membentang Teori di Ranah Aplikasi karangan sosiolog muda Madura bernama Ardhie Raditya ini memberi jawabannya. 

Dengan menggunakan tiga kacamata sebagai obyek bantu menelisik soal madura itulah buku ini bergerak. Kacamata pertama memandang Madura melalui tubuh perempuannya. Kacamata berikutnya, memandang  Madura dari kacamata tubuh para jagoannya. Para preman Madura. Kacamata terakhir, melihat ‘tubuh’ Madura dari klasifikasi para tukang pijat tradisional Madura.

Dalam kacamata tubuh perempuan madura, dosen tetap di jurusan Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini memaparkan bahwa perempuan Madura tidak hanya ditindas oleh budaya patriakat saja. Perempuan madura, terutama perempuan dumeh (perempuan kelas bawah) ditindas oleh sesama perempuannya, yakni perempuan dari golongan parjejih (baca: priyayi). Menggunakan konsep pertentangan kelas ala feminisme marxis, kajian ini bergerak pada pandangan tentang posisi subaltern, yakni subyek yang tertekan dan tertindas. Berada dalam posisi inferior karena tersubordinasi oleh struktur dominan, yakni dominasi perempuan priyayi terhadap perempuan dumeh. Yang ditawarkan kemudian sebuah dekonstruksi untuk mensejajarkan posisi antara priyayi dan dumeh dalam segala lini kehidupan masyarakat. (hal. 259-265).

Dalam kacamata berikutnya, yakni tubuh Madura melalui para premannya, penulis buku ini menjelaskan bagaimana para preman Madura menafsir ulang tentang sehat dan sakit. Penulis buku ini memaparkan bagaimana para blater Madura menjaga kualitas tubuh mereka dari sakit. Baik sakit karena lemahnya fisik, maupun sakit karena berhasil ditembus senjata supranatural (baca: santet). Melalui cara menafsir ulang definisi sakit dan sehat ala blater madura, penulis kemudian menklasifikasi para blater bedasarkan tubuh mereka. Para preman Madura yang berhasil menjaga tubuhnya tetap prima baik dalam aspek mental (puasa berahi), ekonomi (sanggup puasa materi), dan kultural (menggendalikan supranatural) maka akan dianggap sebagai jagoan rajeh (kelas atas dalam dominasi jagoan Madura). Begitu juga sebaliknya. Yang gagal menjaga tubuhnya dianggap jagoan keni’ (preman kelas teri) (hal. 269-299). Cara mengklasifikasi para jagoan berdasarkan konstruksi tubuh dan kuasa tubuh atas sehat dan sakit tergolong unik dalam banyak penelitian atas jagoan Madura. 

Tapi, di samping dua kacamata diatas dalam memandang tubuh Madura, ada kacamata lain yang dipakai untuk mengupas budaya madura melalui sudut pandang sosiologi tubuh. Yakni, tentang tukang pijat Madura. Melalui analisa sosiologi tubuh, alumni UGM ini, mengklasifikasi berbagai jenis dukun pijat di madura. Termasuk darimana asal usul tukang pijat tersebut mendapatkan ilmu pijat. 

Bagi para penikmat budaya Madura, kajian ‘tubuh’ Madura dari tiga aspek diatas tentu menarik perhatian. Sebab hingga saat ini kebanyakan madura masih dipandang melalui aspek antropologi dan budaya semata. Sementara jarang sekali peneliti melakukan kajian dengan aspek sosiologi, apalagi sosiologi tubuh. Dan buku ini setidaknya menjadi angin segar bagi makin luasnya kajian tentang masyarakat Madura.

Hanya saja, kajian tentang Masyarakat Madura dalam buku ini tidaklah mewarnai keseluruhan buku ini. Kajian tentang Madura dengan tiga kacamata itu hanya ada di bab terakhir. Sedangkan mengenai tubuh Madura melalui sudut pandang tukang pijat berada di Bab I dan hanya diulas sekitar empat halaman saja (hal. 89-95). Padahal jika tiga tubuh Madura itu menjadi inti dari buku ini tentu akan menjadi lebih menarik bagi banyak orang, mengingat buku-buku mengenai Madura memang memiliki segmentasi yang jelas.

Sejatinya buku ini adalah buku mengenai teori sosiologi tubuh. Hal ini bisa dilihat dari sebagian besar isi buku ini yang mengulas dan mengutip berbagai teori dan pendapat tentang sosiologi tubuh. Tepatnya buku ini lebih identik sebagai buku diktat kuliah sosiologi dilihat banjirnya kutipan dan teori di sana-sini. Hal yang menguatkan lainnya bahwa buku ini merupakan diktat kuliah sosiologi adalah kata sambutan dan epilog yang ditulis oleh Dekan FISIKUM Unesa dan Rektor Unesa yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi pembaca. 

Buku setebal 300an halaman yang dikata pengantari Prof. Yusraf Amir Piliang, seorang guru besar kajian budaya pop di ITB dan penulis buku best seller berjudul “Dunia Yang Dilipat” ini, terdiri dari empat Bab. Bab pertama mengurai tentang sejarah dan teori-teori tentang sosiologi tubuh (hal.1-143). Bab kedua mengurai tentang tubuh hubungannya dengan globalisasi dan teknologi (hal.151-209). Bab ketiga memaparkan tentang tubuh dan media massa (hal. 213-266). Dan terakhir, pada bab empat, mengurai tentang tubuh dalam aras lokal (hal.269-300). 

Sebenarnya, bagi sosiolog kontemporer kajian soal tubuh bukanlah barang asing. Sejak revolusi industri menggerus masyarakat dalam gilda-gilda ekonomi kapitalis, sejak itu pula sosiologi tubuh menjadi alat untuk mendekonstruksi kesadaran masyarakat akan tubuh di bawah kungkungan kapitalisme. 

Dalam pandangan sosiologi tubuh, tubuh memiliki relasi kuasa dengan sistem sosial yang ada. Tubuh bisa menjadi objek eksploitasi kekuasaan dan sekaligus bisa juga menjadi subjek dalam eksploitasi terhadap tubuh lainnya. Dalam kondisi macam ini, selama relasi kuasa dan eksploitasi tubuh tak tuntas didekonstruksi, maka tubuh jadi bagian paling empuk dihajar tajam kuku kapitalisme. Dan ketika tubuh ambruk, maka masyarakatpun bakal limbung dan terpuruk.

Melalui sosiologi tubuh, para sosiolog mengungkap selubung gelap tubuh di bawah bengis tapak kaki kapitalisme untuk menyadarkan masyarakat betapa tubuh begitu berharga dan punya kuasa untuk melawan segala tindasan budaya terhadap dirinya. 

Sayangnya, buku bersampul wajah perempuan yang terbelah ini, terlalu sedikit membahas ‘tubuh’ Madura. Sebaliknya, justru buku ini menjenuhkan jika dilihat dari definisi, teori dan kutipan dari berbagai pemikir yang disusun bertumpuk-tumpuk termasuk istilah-istilah ilmiah yang bikin pembaca awam mengernyitkan dahi. Namun bagi mereka yang ingin menekuni sosiologi tubuh, terutama mahasiswa, praktisi dan akademisi masalah sosial yang ingin mengetahui bagaimana sosiologi tubuh bekerja membedah tubuh Madura dalam aplikasi penelitian di lapangan buku ini pantas dibaca. Termasuk mereka yang ingin mengenal masyarakat madura lewat sosiologi tubuh. 

*) Resensi ini dimuat di Harian SUARA MADURA, 31 Maret 2015 

**) HN. Amrif adalah alter ego Edy Firmansyah, seorang jurnalis partikelir, penyair dan penulis cerpen. Pernah bekerja di JAWA POS selama satu tahun (2005-2006). Menulis resensi di banyak media  nasional, media daring dan lokal.

Tidak ada komentar: