Kamar, Penulis dan Hal-hal yang tak Terduga
Dulu, saya berpikir, semampang orang tidak buta huruf, tentu ia bisa
menulis. Kalau bisa menulis tentu bisa menjual tulisannya ke media massa. Pandangan
itu ada benarnya, tapi dalam perjalanan waktu saya salah besar.
Suatu hari kawan sekampus saya, L, datang ke kos saya. Dia ingin belajar
menulis. Ingin tulisannya nongol di koran, seperti saya. Saya menyanggupi. Lalu
kami belajar bersama. Dan sepertinya serius sekali dia. Sekitar tiga bulan kami
berbagi pemikiran soal penulisan, hampir tiap malam. Sampai akhirnya ia
memutuskan mengirim tulisannya ke koran.
Dan dimulailah hari-hari penuh tarikan nafas panjang itu. Yakni ketika
mengirim ke koran, sebelumnya harus menarik nafas panjang kemudian berdoa dan
klik send di pojok kanan bawah email. Kemudian hidup dalam debar dalam
penantian panjang akan kepastian dimuat tidaknya sebuah tulisan. Hingga tulisan
ini saya buat, L, kawan saya itu tak pernah sekalipun tulisannya nongol di koran.
Namanya tak pernah dimuat. Saya sendiri heran. Apa dia kurang produktif atau
salah strategi.
Belakangan baru saya tahu, Ia memang tak berhasil menjadi penulis koran. Tapi
ketika saya bertandang ke rumahnya di Kediri beberapa tahun silam, Ia adalah
penulis skripsi yang produktip. Bukan skripsi sendiri tentu saja. Tapi skripsi
orang. Ia membuka jasa pembuatan skripsi. Bukan hanya skripsi. Tapi juga
desertasi dan tesis. Saya tak bisa membayangkan ketika dia cerita sudah
menyelesaikan ratusan skripsi. Waw…
Berapa omzetnya? Silahkan anda terka-terka sendiri. Setidaknya ketika
pulang dari rumahnya, saya ditraktir tiket pergi pulang. Tiket kereta api. Kediri-Surabaya.
Dan sebuah amplop berisi uang duaratus ribu.
”Makasih sudah mengajari saya menulis dulu. Kalo tidak, saya mungkin
sudah kelimpungan jadi pengangguran.” Ujarnya. Saya yakin ia terlalu
melebih-lebihkan pernyataannya ini.
Selain membuka jasa pembuatan skripsi, dia juga punya warnet dengan
delapan unit komputer yang buka 24 jam. Kadang saya berpikir, nasib orang
memang tak bisa diterka. Gak berhasil nembus Koran, justru berjaya buka jasa
bikin skripsi orang. Setidaknya hasil skripsinya nembus perpustakaan kampus. Meskipun
bukan nama sendiri. istilah kerennya sekarang; ghost writer.
Di waktu yang lain, saya juga mengajari dua adik saya menulis. Satu adik saya kerap nongol di media, sekarang menjadi dosen dan telah menerbitkan dua buku
ilmiah sesuai bidang akademiknya. Adik bungsu saya, ternyata tak seberuntung
saya dan adik saya. Sekali namanya pernah nongol di koran nasional. Puisi. Setelah
itu sepi. Akhirnya, ia malah banting setir buka jasa pembuatan skripsi di
kampung.
Kini kawan saya yang lain, kawan sekolah saya waktu SMP dan SMA meminta saya mengajarinya
menulis. Saya meyanggupi meski tidak terlalu serius menanggapi, mengingat ia
kini sudah beranak dan beristri. Menulis di masa tua? Hem, toh ia belajar juga.
”Saya suka cerpen.” Begitu terangnya
ketika saya meminta memilih genre penulisan. Kini dia menulis cerpen. Dan ingin
sekali tulisannya dimuat di Koran. Saya memberikan beberapa saran yang mungkin
penting buat dirinya. Minimal bisa menulis bahasa indonesia dengan benar.
Pasalnya sederhana saja, hari ini saya satu mobil dengan kawan saya yang
punya jasa pembuatan skripsi itu. Mobilnya itu mobil sendiri. Meski kredit. Dan
telah berjalan tiga tahun kredit tanpa nunggak. sambil nyetir, Ia cerita.
”Ternyata tidak gampang jadi penulis koran. Juga tidak terlalu sulit cari
rejeki kalau punya keahlian. Dulu saya yakin bisa jadi penulis Koran, lalu jadi
wartawan. Ternyata saya keliru. Itu berkaitan dengan nasib. Toh belajar nulis
ada gunanya juga. Setidaknya bisa buat skripsi orang dan nggak bingung kalau
anak minta diajari cara mengarang.” Ujarnya.
Saya tersenyum. Bukan saja senang. Sekaligus malu. Ia dulu saya ledekin
sebagai mahasiswa yang lambat menyerap ilmu. Pikirannya ke mana-mana dan
gampang gumonan. Eh, ternyata bisa berjaya. Dari tulisan. meski jasa pembuatan skripsi (warnet juga tentunya). Sementara saya, masih
saja menulis hal remeh-temeh macam begini dan kemana-mana naik motor. Malah sekarang,
hujan-hujan begini numpang mobil teman. Dan ditraktir makan di ayam goreng kalasan,
Surabaya.
Apa boleh buat orang yang bisa menulis belum tentu bisa menjual
tulisannya. Seorang jurnalis belum tentu bisa nyicil mobil dari hasil nulisnya.
Tidak banyak orang yang pandai melihat peluang. Kawan saya itu, yang kini
sedang mentraktir saya itu, orang yang pandai melihat peluang. Sementara saya,
orang hanya pandai meluangkan waktu dengan menulis.
Manusia dan nasib memang punya kamarnya sendiri. Sekali anda salah kamar,
lekaslah balik lagi, selagi masih ada waktu. Sekali tersesat anda susah balik
lagi. Seperti kawan saya yang lain. Tak pernah ingin profesi lain selain guru. Berkali
itu tes CPNS gagal. Akhirnya ia menjadi makelar. Makelar meloloskan orang untuk
menjadi guru. Saya tahu itu menipu. Herannya hingga sekarang, masih saja ada
yang percaya. Buktinya, kemarin bawa SK guru atas nama adik mertua saya yang kebetulan kerja serabutan. untuk menebusnya cukup 80 juta. Saya tahu itu SK palsu. tapi dia ngotot itu asli. logikanya, kalo benar bisa bikin SK asli, mengapa dia nggak pake namanya sendiri buat jadi guru. Aneh. Tapi kadang perlu ada hal macam demikian, kalau nggak mau lekas kiamat.
Semoga kawan saya yang sekampung dengan saya itu berhasil menjadi penulis
cerpen, dan kalo gagal tidak banting setir membuka biro jodoh menjadi penulis
surat cinta. Emang laku di tengah banjir mensen dan tagar cinta seperti
sekarang? Hehehe…saya hanya bercanda kok. Tapi kalau membuka percetakan khusus surat
yasin dan tahlil mungkin masih menjanjikan.
Demikian. Mari baca surat al-fatehah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar