WAKTU

JEDA

Sabtu, 11 April 2015

Rumah Kaca Orwell



Judul              : 1984
Penulis            : George Orwell
Penerbit          : Bentang Pustaka, Jogyakarta
Cetakan          : I, 2014 (edisi II)
Nomor ISBN  : 978-602-291-003-9
Tebal              : vii + 392 halaman

Kabut cemas masih menggantung di hampir seluruh belahan dunia meski perang dunia kedua telah reda. Tahun itu, 1949. Gema genderang perang baru, yang ditabuh dua tahun lalu masih terdengar nyaring di telinga; perang dingin. Ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan dunia Komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet di bawah Stalin beserta sekutu negara-negara satelitnya, terus memanas. Ekonomi dunia bergerak seperti siput. 
Pada tahun penuh ketidakpastian dan rasa takut, sebuah penerbit bernama Secker and Wardburg yang bertempat di London, Inggris, meluncurkan sebuah novel distopian berjudul 1984. Penulisnya bernama George Orwell yang belakangan baru diketahui merupakan nama pena dari Eric Arthur Blair, seorang bekas opsir polisi Kerajaan Inggris kelahiran India.
Novel itu membuat masyarakat eropa yang terbelah dalam arus perang dingin berguncang. Mereka seakan mendapatkan sokongan tenaga melawan otoritarianisme yang terus mencakarkan kuku-kuku tajamnya. Tak lama setelah novel yang terdiri dari tiga bagian dengan satu lampiran khusus mengenai kaidah bahasa newspeak itu tebit, istilah orwellian jadi semacam kosakata baru untuk menunjukkan  pengebirian pendapat, kebebasan berpikir dan pemelintiran berita yang dilakukan kekuasaan yang otoriter. Istilah  “Tuan besar sedang mengawasimu” jadi jamak digunakan masyarakat eropa untuk mengolok-olok negara yang anti kebebasan berpendapat.
Apa pasal? Masyarakat Eropa terpengaruh dengan tokoh Winston Smith dalam novel tersebut. Dalam novel tersebut diceritakan, Winston bekerja di kantor kementerian kebenaran. Tugas utamanya adalah menulis ulang artikel koran masa lalu agar sesuai dengan garis kebijakan partai. Agar setiap ucapan dan isi pidato partai dan tuan besar (sang ketua partai} yang berhubungan dengan prediksi masa depan dapat terdokumentasi kebenarannya. Meskipun semuanya hanyalah hasil rekayasa belaka. Kerja orang-orang di belakang meja yang bertugas melakukan pemalsuan sejarah tingkat tinggi hingga tak seorangpun dapat menemukan bukti bahwa sejarah dan kebenaran telah dipalsukan (hal.46-58).
Sejatinya novel yang ditulis Orwell enam bulan sebelum ajal menjemputnya merupakan kritik satir atas otoritarianisme Stalin di Uni Soviet yang berimbas pada partai buruh dimana kala itu tengah berkuasa di Inggris. Dan barangkali banyak orang setuju Stalin memang pantas dikritik. Kalau perlu dikutuk dan dicaci-maki. Di bawah kakinya cita-cita revolusi Lenin untuk menciptakan masyarakat sosialis tanpa penindasan luluh lantak. Marxisme jadi ‘kitab suci’ yang tak dapat ditafsir ulang. Satu-satunya yang berhak menafsir pemikiran-pemikiran Karl Marx hanyalah partai komunis. Masyarakat Uni Soviet hidup dalam ketakutan. Mereka seakan tersedot dalam labirin kegelapan yang mengerikan. Kebebasan berpendapat dibungkam. Pengkritik dilenyapkan. Leon Trotsky merupakan contoh bagaimana nasib pengkritik kekuasaan Stalin. Diburu habis-habisan, hingga akhirnya kepalanya dikapak mata-mata Stalin yang menyamar jadi pembantu Trotsky di persembunyiannya di Siberia. Sastrawan Maxim Gorky juga mengalami nasib serupa meski tak setragis Trotsky. Diasingkan. Pembabatan total pada orang-orang yang dianggap makar pada kekuasaan Stalin dilakukan. Kuburan massal jadi pemandangan yang mencekam.
Dalam novelnya, Orwell menggambarkan kesepian, kegetiran dan ketakutan orang-orang yang hidup dalam kungkungan negara diktator melalui tokoh Winston Smith. Meski Winston bekerja di departemen milik negara dimana partai Sosing berkuasa, tapi dalam pikirannya Winston selalu memberontak. Pemberontakannya terhadap segala kebijakan tuan besar partai sosing yang despotik dan manipulatif itu ia tuangkan dalam buku hariannya dengan cemas. Cemas karena di negara Oeceania tempatnya tinggal terpasang teleskrin di mana-mana. Sebuah alat yang memantau semua gerak gerik warga. Bahkan termasuk mimik muka dan gestur. Juga terdapat polisi pikiran yang bertugas menyelidiki pikiran warga. Sehingga privasi hanyalah fantasi di negeri Oceania. Negara berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang membangkang, terpaksa diuapkan. Yang paling mengerikan, sebelum diuapkan para pembangkang dikirim ke kamp-kamp penyiksaan untuk menjalani serangkaian kebiadaban bernama alat siksa. Karenanya novel ini sengaja bergerak dengan alur lambat dengan penggambaran suasana mencekam untuk mengajak pembaca merasakan hidup berkalang ketakutan dalam pengawasan penuh negara.
Cara Orwell menggambarkan bagaimana negara otoriter mengawasi masyarakatnya mengingatkan saya pada novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer. Pram menulis Rumah Kaca untuk menggambarkan bagaimana kolonialisme mengawasi gerak-gerik para aktivis kemerdekaan. Dalam novel tersebut yang diawasi ketat adalah Minke. Bedanya dengan 1984-nya Orwell, jika orwell menggambarkan bentuk pengawasan ketat negara otoriter terhadap segala tindak tanduk warganya melalui novel futuristik, Pram justru menggambarkan bagaimana cara perumahkacaan negara kolonial melalui novel epik. Sementara tokoh Winston Smith adalah tokoh rekaan Orwell, sedangkan tokoh Minke justru diadaptasi Pram dari tokoh nyata bernama RM. Tirto Adisurjo, pendiri harian Medan Prijaji. Berkat novel 1984 dan Animal Farm, nama Orwell melambung sebagai sastrawan penting eropa. Sementara Pram terus duduk di kursi kandidat nobel sastra dunia. Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan Pram yang menjungkirkan ide Orwell dalam 1984 menjadi Rumah Kaca, mengingat 1984 terbit lebih dulu dibandingkan novel terakhir dari tetralogi pulau buru itu. Meskipun demikian, kedua sastrawan besar tersebut memiliki muara yang sama; menolak tunduk. Dan karya mereka adalah jalan perlawanan, jalan menuju kemerdekaan.
Pertanyaannya kemudian, masih relevankah membaca 1984? Bukankah perang dingin telah usai dan Uni Soviet sudah runtuh? Di Indonesia sendiri—negara yang dulu sempat menganggap novel 1984 sebagai novel berbahaya—kekuasaan Soeharto yang mirip dalam novel 1984 sudah lama jatuh? Bukankah tahun 1984 telah lama berlalu dan kini kita tengah berjalan di tahun 2015? Jawabannya tentu saja masih.
Hari-hari ini, di tengah gema teriakan revolusi mental di segala lini di negeri ini, kita menyaksikan bagaimana negara terus melakukan kebohongan-kebohongan dan pemelintiran berita. Alih-alih menurunkan harga BBM, negara justru menaikkannya lagi. Alih-alih mensejahterakan rakyat, negara justru membiarkan harga kebutuhan pokok terus melambung dan membiarkan tarif dasar listrik melonjak. Alih-alih memberikan kebebasan berpendapat, pemolisian para pengkritik negara hingga pemblokiran situs-situs yang dianggap radikal terus dilakukan.
Sementara itu, para aktivis-ativis pergerakan yang dulu pernah merasakan nyerinya disiksa di ruang penyiksaan orde baru, pernah merasakan ganasnya sepatu lars dan peluru tentara, seakan tutup mata atas penderitaan rakyat. Malah sebaliknya, menjadi bagian dari kekuasaan. Menjadi pengurus partai penguasa, menjadi komisaris utama dan staf ahli negara. Mereka terlihat persis seperti Winston. Setelah mengalami siksaan bertubi-tubi puluhan tahun, akhirnya Winston keluar. Airmatanya jatuh. Siksaan yang memedihkan itu ‘merusakkan’ otaknya. Ia sadar telah melakukan kesalahpahaman besar. Sekeluarnya dari kamp penyiksaan itu ia merasa meraih kemenangan atas dirinya. Menang, karena keinginan memberontak dan perasaan takut disiksa lagi dengan amat mengerikan saling bertarung. Winston jadi linglung. Ingin rasanya dirinya ditembak mati saja. Tapi ia tak dilenyapkan sebagaimana para pemberontak yang lain. Ia dibebaskan. Sekeluarnya dari kamp penyiksaan, Winston merasa sangat mencintai bung besar,  sang penguasa otoriter itu.
Sungguh novel yang layak dibaca bagi mereka yang ingin mengetahui dari dekat seperti apa hidup dalam pengawasan ketat negara. Lupakan bahwa Orwell mungkin sedang mengikuti angin anti komunisme yang sedang dihembuskan CIA lewat lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF), yang tujuannya menjauhkan kaum intelektual maupun sastrawan (awalnya Eropa Barat, tapi kemudian mendunia) dari Marxisme dan Komunisme. Suka tidak suka, Lu Tsun, sastrawan Cina itu benar, karya sastra adalah propaganda, tapi tak semua propaganda adalah sastra. Propaganda Orwell lewat 1984 bisa dibilang berhasil. Sejak pertamakali terbit, novel ini telah memberikan banyak pengaruh bukan hanya masyarakat eropa, tapi juga pada kesusastraan Inggris. Karenanya tak heran jika majalah Time menjadikan novel ini sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sejak 1923-2005. Demikian besarnya pengaruh Orwell, malah masyarakat Burma/Myanmar banyak memanggilnya sebagai ‘sang nabi’, karena ramalan dalam novel 1984 masih relevan hingga hari ini.
 

cover buku 1984 terbitan Bentang Pustaka

cover buku 1984 terbitan tahun 1960an

Tidak ada komentar: