WAKTU

JEDA

Jumat, 25 November 2016

APAKAH KAMU MENCINTAIKU

(bagian pertama dari dua tulisan. )


Apakah kamu mencintaiku? Entah mengapa, akhir-akhir ini, istriku Nurfa Rosanti suka sekali mengajukan pertanyaan itu. Pertanyaan klise khas anak-anak unyu yang baru pacaran. Asu tenan memang. Herannya, meski kadang mencoba menghindar untuk menjawab pertanyaan nggak penting itu dengan mengalihkan topik pembicaraan, tetep saja istriku itu menuntut jawab.

Saking seringnya pertanyaan itu ia ajukan, aku sendiri kadang bingung, kenapa dia tiba-tiba menanyakan pertanyaan macam itu sekarang. Kok nggak dari dulu-dulu waktu pacaran. Keterlaluan. Dulu waktu kami pacaran, untuk mengatakan i love you padaku, susahnya seperti orang sembelit. Aneh, setua ini masih juga bertanya soal cinta. Mungkin lagi puber kedua.

Tapi jika aku sedang sendirian dan dia sedang tak ada, aku kadang merenungkan pertanyaan dia dengan bertanya pada diri sendiri; apakah aku mencintainya?

Lalu aku membayangkan pertemuan pertama kami dulu. Dalam film-film romantis pertemuan pertama seringkali digambarkan di tempat-tempat keren; perpustakaan, toko buku, museum, gerai seni atau bisa juga di hutan seperti pertemuan Rosa dan Roco, dua pemeran utama dalam film Tarzan X. Tapi aku tidak begitu. Kami, aku dan dia, bertemu untuk pertamakalinya di rumah seorang teman perempuanku yang juga temannya. Rumahnya di dekat pasar, di pinggir jalan raya, Di sebuah siang yang terik yang aku sendiri lupa hari, bulan dan tanggalnya. Hanya ingat tahunnya, 1999. Tak ada yang istimewa dari pertemuan itu. Ia hanya teman SDku dulu hingga kelas 3 (sampai kemudian aku pindah ke kota lain). Kesan pertamaku, Ia perempuan yang biasa-biasa saja. Wajahnya mudah sekali dilupakan. Senyumnya dipaksa-paksakan sehingga bibirnya nampak manyun dan kedodoran. Status dia; berpacaran.

Mungkin karena status dia itulah, inilah kesan pertama dia ketika bertemu aku. Aku adalah lelaki yang jelek dan mudah sekali dilupakan. Kurus, sedikit gundul dan berjerawat. Tidak ada satupun alasan yang paling keren dalam pikirannya untuk menggantikan pacarnya dengan aku. Satu-satunya yang penting tentang aku dalam dirinya hanyalah aku teman sekelasnya waktu sekolah dasar dulu. Selebihnya tidaklah terlalu penting. Tapi satu-satunya yang penting tentang aku waktu itu, menurut aku sendiri tentu saja, aku punya pacar yang wajahnya hampir mirip Nike Ardilla. Keren? Nggak. Wong aku naksirnya sama Shania Twain.
(Tiapkali dia bercerita tentang kesan pertama dia waktu ketemu aku dulu, rasanya ingin melempar mulutnya dengan granat)

Ganjil bukan? Dua manusia berbeda jenis memulai pertemuan pertamanya sambil saling mengolok-olok satu sama lain di dalam hati bisa kemudian saling mencintai. Tapi hidup ini memang sudah ganjil sejak Adam belajar mengendarai onta.

Baiklah, lewati saja soal kencan-kencan buta kami. Saya menelpon dia lebih sering dari operator telkom memberitahukan nominal tagihan telepon. Saya menemuinya lebih kerap dari pertemuan ibu-ibu Dasa Wisma. Tapi kencan itu cuma proses. Dan akhir kisah percintaan bukan sebuah formula instan atau tips buat mencari pacar. Langsung aja ke intinya. Akhirnya kami berpacaran. Yee...pacaran. itupun bukan karena motif yang amat sakral, untuk berakhir di pelaminan, misalnya. Menikah? Halah belum sempat berpikir ke arah situ waktu itu. Malah yang aku pikir soal menikah saat itu adalah; bermula dari menikah itulah, Adam dan Hawa jadi bersekongkol makan Khuldi dan membuat kita jadi homo sapiens di bumi.

Jadi beginilah ceritanya. Kami berpacaran cuma karena iseng aja. Tidak ada alasan khusus. Kisah asmara dia dengan pacarnya sedang mengalami krisis. Dan mungkin akan ambruk dalam waktu dekat dan dia akan menyandang status; mantan untuk kali pertama dalam hidupnya (segalanya akan jadi mantan pada waktunya). Konon, menurut sumber yang tidak bisa dipercaya, dia ditikung pacarnya. Aku sendiri sudah putus sejak pengumuman UMPTN tayang di koran, hanya karena pacarku tidak siap diajak LDR. Klop.

Mulus? Tidak. Yang mulus cuma kulit buraq, bukan hidup. Kami berpacaran jarak jauh. Sangat jarang sekali bertemu. Jember-Surabaya PP. Persis seperti rute bus AKDP. Meski begitu tiap kali kami bertemu bukan berarti dunia ini serasa jadi milik kami berdua. Di saat aku tidak berpacaran dengannya, dia berpacaran dengan yang lain. Tiap malam minggu di saat aku menelponnya, pacarnya sedang menunggu dia di kursi tamu kostannya sampai telepon ditutup dan melanjutkan kencan mereka. Jadi kalian pikir LDR itu apa? Long Distance Relationship? Salah. LDR itu; Lho Dirimu Diselingkuhi Rek.

Jadi apa yang romantis dari hubungan macam begini? Apa menariknya berhubungan dengan perempuan yang sama sekali tidak menghargai komitmen? Ya, menariklah. Minimal, seandainya aku tahu bahwa semasa berpacaran denganku dia menjalin hati dengan yang lain, aku akan daftarkan dia jadi peserta liburan gratis ke Jepang, naik pesawat VVIP untuk dikirim jadi kelinci percobaan kedasyatan ledakan reaktor nuklir.
Tapi serius, seandainya aku tahu dia punya pacar lagi saat berpacaran denganku, aku akan jadi orang pertama yang akan melepasnya. Aku virgo. Dia virgo. Kami berdua sepersusuan bintang. Karena itulah aku tidak sanggup melihat pacarku bersedih karena bingung memilih jodohnya dalam sholat istiharoh jika hubungan macam begitu terus berlanjut dan aman. Aku tidak mau keinginan-keinginan pribadi justru mengerangkeng dia untuk berkembang. Tentu saja pahit kenyataan begitu. Tentu sakit. Hanya orang bodoh atau punya kelainan fungsi saraf-saraf sensorik yang bilang putus cinta dan patah hati rasanya biasa saja. tapi apa boleh buat. Sebuah keputusan harus diambil dalam hubungan macam begitu.

Dalam ilmu kesehatan, penting membuang racun dalam tubuh. Detoksifikasi berguna agar kesehatan kita tetap prima. Dalam percintaan juga begitu. Penting melepas orang yang kita cintai jika hubungan itu justru terus menjadi duri. Dalam percintaan, bisa jadi kita adalah racun bagi pasangan kita. Jika memahami keadaan itu, kita semestinya tidak berhak mengerangkeng seseorang untuk terus bertumbuh dan berkembang atas nama cinta hanya karena takut kehilangan dan terluka.

Tapi, ya, sudahlah, ambil hikmahnya saja. Toh semuanya cuma masa lalu. Seperti kata Mario Teduh; Kalo pacarmu selingkuh kamu nggak usah sedih. Mestinya bahagia. Bersyukur. Setidaknya kamu nggak salah pilih. Ia menarik bukan saja buatmu, tapi juga buat orang lain. Sebaliknya, jika setelah pacarmu jadian sama kamu, nggak ada orang lain yg mencoba mendekatinya, kamu mestinya mulai mikir. Jangan-jangan pacarmu emang nggak laku. Tapi, ya, kalau terus-terusan selingkuh, ada baiknya kamu mulai mengatur rencana untuk berpaling atau mengirim pacarmu ke Palestina. Siapa tahu dihajar mortir.

Jadi, beginilah akhirnya. Kami masih berpacaran, teruss, teruss seperti anak kecil di pasar malam yang menyukai komedi putar. Karcis komedi putarku masih banyak. Aku tak bisa menikmati hiburan lain di pasar malam ini selain komedi putar. Meskipun aku tahu yang kunaiki bukan kuda asli dan masih berputar-putar di tempat yang itu-itu juga: marah, sakit hati, bermesraan, berpelukan, marah lagi, saling berdiam-diaman, tertawa, menangis, marah lagi. Selalu begitu dan akan terus begitu. Dengan orang yang sama.

Sampai di sini sebenarnya yang namanya jatuh cinta itu nggak perlu dianggap terlalu serius. Apalagi sakral sampai mandi kembang tujuh rupa dan membakar dupa. Sebab alurnya sebenarnya sederhana. Biarkan hatimu terbuka agar seseorang masuk ke dalamnya. Setelah masuk, kau jaga dia agar betah dan sehat. Kau rawat, kau perhatikan gizinya, kau peluk, kau cium seperti bayi yang lahir dari rahimmu sendiri. Tapi untuk membangun hubungan langgeng sampai mati, sungguh tidak cukup hanya bermodal cinta. Selesai? Tidak.

Bersambung tahun 2222.

Tidak ada komentar: