WAKTU

JEDA

Rabu, 12 April 2017

Sedikit Bento dalam Kong

SEDIKIT BENTO DALAM KONG

Sejak pertamakali diproduksi Hollywood pada tahun 1933, film King Kong garapan Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack segera menarik perhatian. Tidak hanya bagi penonton, tetapi juga bagi industri layar lebar dengan laba yang dihasilkan dari pemutaran filmnya. Makanya tak heran jika film dengan tokoh monyet raksasa itu sempat memiliki sejumlah sekuel sekaligus diulangbuat beberapa kali. Taruhlah misalnya, King Kong garapan John Guillermin pada tahun 1976 silam Dan King Kong garapan Peter Jackson yang dirilis 2005.

Dua film dengan tokoh monyet raksasa yang disebut di atas itu memiliki alur cerita yang sama dengan film tahun 1993. Seekor monyet raksasa penguasa pulau Skull Island jatuh cinta pada seorang aktris bernama Ann Darrow (tahun 1933 diperankan Fay Way, tahun 1976 diperankan Jessica Lange dan tahun 2005 diperankan Naomi Watts) yang sedang menghadapi maut ketika hendak dipersembahkan pada si monyet sebagai tumbal oleh penduduk setempat. Dari situlah ketegangan-ketegangan dimulai. Yach mirip-mirip kisah Beauty and the Beast milik Disney.

Nah, tahun 2017 ini Jordan Vogt-Roberts kembali mencoba membuat ulang film Kong itu. Dengan efek yang lebih bagus dan alur cerita yang berbeda. Berbeda? Iya, dengan naskah cerita yang digarap bersama oleh Dan Gilroy (Nightcrawler, 2014), Max Borenstein (Godzilla, 2014) dan Derek Connolly (Jurassic Park, 2015).

Hasilnya, tidak ada lagi monyet raksasa yang jatuh cinta pada perempuan. Yang ada adalah Kong si penjaga pulau. Pelindung kehidupan hutan. Si mahkluk raksasa penjaga harmoni alam. Perhatian Kong pada karakter Mason Weaver hanya sebuah tribut pada konflik klasik di film King Kong terdahulu. Bukan cerita utamanya.
Juga tidak ada lagi penduduk primitif yang buas dan jahat, yang ada adalah penduduk hutan yang ramah dan melindungi dan memuja Kong sebagai dewa, bukan sebagai monster yang meminta tumbal manusia secara berkala. Tidak ada lagi plot kapal besar yang ditumpangi sutradara gagal dan aktris gagal yang mencoba membuat film di pulau asing. Tak ada lagi adegan membawa Kong ke kota untuk dipertontonkan pada manusia modern.

Kali ini yang hadir dalam Kong garapan Jordan Vogt-Roberts adalah sekelompok pasukan helikopter yang dipimpin Lieutenant Colonel Preston Packard (Samuel L. Jackson) dan seorang mantan pasukan elit militer Inggris, Captain James Conrad (Tom Hiddleston). keduanya dipekerjakan oleh agen pemerintah Bill Randa (John Goodman) untuk mengawal ekspedisinya dalam memetakan sebuah pulau asing di Samudera Pasifik yang selama ini dikenal sebagai Skull Island. Perjalanan itu juga diikuti oleh jurnalis foto, Mason Weaver (Brie Larson), yang mencurigai bahwa ekspedisi ilmu pengetahuan tersebut hanyalah sebuah samaran bagi sebuah operasi militer rahasia yang sedang dijalankan pemerintah. Setibanya di Skull Island, pasukan helikopter yang dibawa Bill Randa mulai menjatuhkan rentetan bom yang digunakan untuk mengetahui kondisi tanah di pulau tersebut. Tanpa disangka, satu sosok monyet raksasa penghuni Skull Island yang merasa terganggu atas kedatangan kelompok tersebut lantas melakukan serangan mematikan. Menyerang dan menghancurkan helikopter. Tindakan tersebut tidak lagi sebuah tindakan membabi buta, melainkan upaya melindungi pulau dari kebangkitan kull Crawler – seekor kadal raksasa yang dikisahkan pernah membunuh keluarga Kong dan menjadi musuh utama bagi para penghuni Skull Island.

Mau tak mau Captain James Conrad dan kawanannya yang selamat dari serangan pertama, harus bertahan hidup di pulau tersebut sebelum pasukan penyelamat datang tiga hari kemudian.

Pada menit-menit pertama, saat menonton Kong: Skull Island garapan Jordan Vogt Roberts, saat lagu The Hollies--band pop rock asal Inggris era 60an--mengalun, kontan saya berteriak dalam hati: Bento nih. Bento. Pasalnya, instrumen lagu berjudul Long Cool Woman in a Black Dress itu mirip banget dengan instrumen musik salah satu lagu Iwan Fals yang terkenal itu. Bento.

Memang Vogt-Roberts sepertinya sengaja memasukkan deretan lagu-lagu rock popular di tahun ‘70an ke dalam banyak adegan film penuh makhluk gigantis itu. tapi serasa tidak terlalu mengesankan jika dibandingkan dengan soundtrack, misalnya, Guardians of the Galaxy (James Gunn, 2014) yang sukses menjadikan setiap lagu klasik dalam adegan filmnya sebagai pendukung suasana pengisahan atau Soundtrack film Dead Poll, deretan lagu dalam jalinan kisah Kong: Skull Island terasa hambar.


Namun efek visualnya patut dijempol. Dengan sentuhan efek visual sekaligus dukungan penampilan motion capture dari aktor Terry Notary yang memerankannya, penampilan Kong tampak sangat meyakinkan. Konon ukuran Kong dibikin Jauh lebih besar dari Kong milik Peter Jackson. Kera berukuran gigantis itu digambarkan memiliki tinggi 100 kaki. Di tangan sutradara film drama The King of Summer ini, Kong bahkan memiliki kepribadian yang jauh lebih berwarna dari kebanyakan karakter manusia yang mengisi jalan cerita film. Dengan lain kata, film Kong: Skull Island seakan hendak menggiring penonton justru agar fokus pada karakter Kong dan kehidupan yang berada di sekitarnya. Hutan, pulau dan ekosistem alam di dalamnya. Sehingga seakan-akan karakter-karakter manusia dalam jalan penceritaan film ini menjadi sama sekali “tidak berguna” kehadirannya.

Pertempuran Kong dengan kadal raksasa yang bringas dan buas adalah fokus utama film ini. Kita akan disuguhkan efek pertarungan raksasa baik melawan raksasa jahat. Manusia hanya cukup menonton dan menyelamatkan diri. Pertarungan hidup mati pada paruh akhir penceritaan Kong: Skull Island menghadirkan puncak ketegangan maksimal bagi jalan cerita film dan mampu tereksekusi dengan sangat baik.

Akibatnya, seakan tak satupun diantara karakter tersebut yang memiliki pendalaman kisah yang cukup berarti. Kebanyakan diantara mereka malah hanya dihadirkan sebagai korban keganasan raksasa-raksasa penghuni Skull Island dengan deretan dialog yang cukup menggelikan. Para tentara-tentara yang kalah perang dalam perang Vietnam jadi terlihat makin konyol. Kecuali karakter Hank Marlow yang diperankan oleh John C. Reilly dan digambarkan sebagai sosok mantan anggota pasukan militer Amerika Serikat yang telah terdampar di Skull Island selama 28 tahun memiliki deretan kisah yang membuat karakternya begitu menarik. Begitu pula dengan karakter Lieutenant Colonel Preston Packard yang diperankan Jackson. Terutama saat dia berteriak: “aku ajarkan padanya kali ini raja diraja bumi ini adalah manusia”. Angkuh di tengah kerapuhannya pada maut. Meskipun hadir terlalu terbatas, karakteristik antagonis itu mampu diterjemahkan dengan baik.

Namun, lepas dari semua itu, Kong: Skull Island berhasil meyakinkan saya bahwa memang manusia itu cuma elemen kecil dalam semesta. maka tidak pantaslah menjadi perusak alih-alih demi nasionalisme. Menonton Kong: Skull Island, saya terbayang-bayang begitu banyaknya penolakan penduduk adat dan hutan pada eksploitasi alam atas nama tambang. Seakan-akan penolakan itu seperti raksasa yang bangkit melindungi harmoni alam. Dan akan terus membesar. Seperti Kong.

Tidak ada komentar: