WAKTU

JEDA

Jumat, 28 April 2017

MOGOK




MOGOK




“Kalian tahu kalian dianggap apa? Kotoran! Sampah! Mereka pikir kalian bisa diperas, dikunyah. Mereka, tuan tanah itu, mengambil keuntungan dengan memeras darah dan keringat kita. Dan para polisi? Mereka cuma babi. Babi pemodal. Mereka menendang kita, mematahkan gigi kita agar kita tunduk pada tuan tanah. Kalian masih mau bekerja pada orang yang menyiksa kita?”

Belum usai Jay, salah seorang pekerja pemetik apel itu, berorasi, sebuah tembakan meletus. Entah berasal darimana. Jay terhuyung, bersimbah darah dengan dada berlobang. Ratusan pekerja pemetik apel yang berkerumun, histeris. Pekerja perempuan berteriak ketakutan. Beberapa yang lain kalap dan mulai mendorong barikade polisi. Beberapa lainnya lagi berlari hendak menangkap tubuh Jay agar tak terjerembab di tanah. Namun, belum sempat mereka menangkap orang tua itu, sebuah tembakan menyalak lagi. Dan Jay benar-benar tersungkur di tanah. Mati. Bersimbah darah.

Jay adalah salah satu penumpang kereta api yang membawa ratusan pekerja pemetik apel pengganti di Torgas Valley, California, sebab ratusan pekerja sebelumnya menuntut kenaikan upah. Saat tiba di pemberhentian kereta, rombongan Jay sudah disambut ratusan pekerja sebelumnya. Mereka berorasi agar para pekerja pengganti itu turut serta dalam perlawanan. Sial bagi Jay, kakek tua anggota kelompok radikal itu. Orasinya yang berapi-api membuatnya dihujam timah besi hingga mati. Tak jelas siapa yang menembak. Seperti kebanyakan kisah pemerintah di belahan negara manapun yang menganut kapitalisme, buruh mati sama sekali tidaklah berharga. Dan penembaknya tak pernah tertangkap.

Tahun itu tahun 1933. Di tahun 1930an, Amerika sedang dilanda depresi ekonomi parah. B
encana kekeringan akut melanda negeri Paman Sam. Akibatnya, gagal panen merebak. Di Oklahoma Barat dan Texas, misalnya, produksi pertanian sekarat. Daerah ini telah banyak mengalami penanaman berlebihan oleh petani gandum di tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama. Tanah mengalami rusak parah. Ekonomi macet. Keluarga tercerai-berai, bisnis bangkrut, pemerintahan kacau dan bank banyak menyita aset-aset keluarga karena tak mampu membayar utang. Dunia seakan telah berakhir dan runtuh saat itu. Hampir seperempat penduduk Amerika menganggur. Mereka yang beruntung mendapatkan pekerjaan justru tak kalah menderita. Bekerja dengan waktu yang lama, kondisi kerja yang kumuh dan upah yang tidak layak. Di Torgas Valley, California, tempat perkebunan apel menghampar luas, para pemetik apel yang dijanjikan dibayar 10 dollar perhari hanya dibayar 5 dollar perhari. Dari hari ke hari gaji mereka terus digunting oleh pemilik lahan apel dengan dalih efisiensi. Hingga hanya 1 dollar perhari. Kondisi para pekerja memprihatinkan; kucel, kumal, miskin dan terjerat utang.

Mula-mula mereka menganggap tak ada pilihan, kecuali menerima takdir sebagai buruh pengembara. Mengembara melintasi lembah demi lembah mencari bayaran meski amat murah dan kadang disiksa dengan menyakitkan. Beberapa kelompok radikal menyusup dalam kelompok buruh itu mempengaruhi mereka dan berupaya memberikan perlawanan pada pemilik lahan apel untuk menaikkan upah dengan cara mogok!

Sebenarnya sebelum Jay datang dengan kereta api bersama para pekerja pengganti itu, Mac Mcload dan Jim Nolan yang satu kelompok dengan Jay telah lebih dulu menyusup dalam komunitas para pekerja pemetik apel dan berhasil meyakinkan sebagian besar diantaranya bahwa buruh punya hak menuntut upah layak dan berhak diperlakukan layak sebagaimana warga negara amerika merdeka. Sebagian yang lain ragu akan nasib baik mereka dan menganggap mogok adalah kesia-siaan belaka.

Tapi kematian Jay benar-benar membangkitkan semangat mereka. Keragu-raguan melakukan mogok tiba-tiba berubah jadi bara api semangat yang menyala-nyala. Mogok dimulai. Para pekerja pengganti yang sejatinya untuk melancarkan laju produksi malah berpihak pada buruh. Ikut mogok. Tuntutan mereka adalah; 3 dollar sehari dan kami takkan lari.

Itulah tema utama film In Dubious Battle garapan James Franco. Sebuah film yang diadaptasi dari novel John Steinbeck berjudul sama yang baru saja saya tonton via streaming. konon, pembuatan film yang memakan waktu kurang lebih enam bulan ini mengambil lokasi syuting di Atlanta, termasuk Southeastern Railway Museum di Duluth, Georgia. Termasuk juga berlangsung di Bostwick, Georgia, dan Yakima, Washington dengan biaya sekitar $15,000,000. Franco sendiri memercayakan urusan naskah pada Matt Rager. Tak hanya itu, Franco juga memasukkan banyak bintang dalam film ini, diantaranya: Robert Duvall, Selena Gomez, Ed Harris, Vincent D’Onofrio.

Berfokus pada penceritaan tentang Jim Nolan (diperankan Nat Wolff) seorang pemuda, dan juga aktivis yang mengatur segala macam bentuk aksi protes, demi mendapatkan keadilan untuk para buruh. Dari film ini kita bisa merasakan betapa tidak mudah mengorganisir aksi mogok kerja.

Bagian terberat dari aksi mogok adalah saat negosiasi mengalami jalan buntu. Saat kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah. Para pekerja menuntut kenaikan upah. Sementara pemilik lahan bersikeras membayar hanya satu dollar sehari, dengan komprosi tambahan 20 sen saja. tak ada kesepakatan politik. Kesabaran menunggu adalah musuh terberatnya. Belum lagi tekanan-teknan psikis dan politik yang dilakukan para tuan tanah terhadap para pekerja yang mogok. Mulai dari intimidasi, kekerasan, membayar pekerja untuk jadi pengkhianat gerakan, membakar lumbung makan para peserta mogok, menuduh terlibat komunis hingga memanipulasi fakta dengan membayar media massa untuk menggiring opini publik bahwa pelaku mogoklah yang membuat kondisi ekonomi makin pelik dan tak berkesudahan.

Menyaksikan film berdurasi 1 jam 50 menit ini seperti menyaksikan sebuah peristiwa yang dekat dengan kita. Aksi penolakan pembangunan pabrik semen oleh petani Kendeng. Aksi penolakan penambangan Freeport di Papua oleh masyarakat Papua. Pola-pola intimidasi yang dilakukan kaum pemilik modal terhadap para pekerja, para investor kepada petani masih saja sama sebagaimana yang digambarkan dalam film yang diangkat dari novel yang ditulis John Steinbeck pada tahun 1930an yang berhasil membawa penulisnya mendapatkan Pulitzer ini.

Kita tahu tak terhitung jumlah perlawanan serupa seperti yang digambarkan dalam film ini. Hanya untuk mendapatkan perlakuan yang adil. Kebanyakan gagal karena lemahnya organisir dan rendahnya daya tahan perlawanan. Beberapa dari para pekerja yang melawan itu berakhir dengan dibunuh, disiksa, dipenjara. Seperti kasus Marsinah, seorang buruh arloji, yang mati disiksa tentara karena menuntut kenaikan upaya di media tahun 90an.

Tapi semua perlawanan sekecil apapun pasti punya hasil. Sejak mogok kerja tahun 1930an itu, berlangsung banyak pemogokan serupa dari tahun ke tahun. Dan pada akhirnya, tahun 1935 kongres mengeluarkan wagner act yang menjamin para pekerja bersatu, menawarkan secara kolektif dan mogok. Pada tahun 1938 Presiden Roosevelt menandatangani Fair labor Standard act yang menetapkan upah minimum regional, upah lembur dan 40 jam kerja seminggu.

Lantas apa tujuan mogok apa tujuan perlawanan sejenis di berbagai tempat di belahan dunia lain yang terus terjadi hingga hari-hari ini? Banyak orang mengira banyak mereka ingin kekayaan atau kekuasaan. Padahal itu salah. Mereka hanya ingin hidup mereka dihargai. Memegang kendali atas hidup mereka sendiri. manusia tak pantas memperbudak manusia lain hanya karena manusia lain itu tak punya apa-apa. Dan itu semua demi generasi berikutnya agar hidup lebih aman di dunia yang akan kita tinggali. Itu pesan moral yang disampaikan John Steinbeck dalam novelnya yang kemudian diangkat dalam film oleh James Franco dengan judul sama; In Dubious Battle. Perlawanan penuh keraguan.

Bagi saya sih ini sentimentil. Meskipun Franco kurang dalam menggali karakter tokoh Jim Nolan dan durasi waktunya film bertema buruh dengan kompleksitasnya yang rumit terlalu pendek. Sementara yang digarap menjadi film adalah novel John Steinbeck, peraih nobel sastra 1962 itu yang karyanya sangat kaya detail dan menyentuh. Entah kamu.


Tapi lepas dari semua itu, In Dubious Battle adalah film menarik diantara banyak film tentang perjuangan buruh di seluruh dunia. Bahwa kekuataan massa adalah niscaya. Satu hal kecil saja, tanpa demo-demo buruh kita takkan pernah merasakan nikmatnya libur 1 Mei yang dirayakan sebagai hari buruh dunia.

Tidak ada komentar: